Sunday, April 22, 2012

TUANKU RAO

Tuanku Rao. Terror Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak
Oleh: Batara R. Hutagalung

Perang Paderi (Ada yang berpendapat kata ini berasal dari Pidari di
Sumatera Barat, dan ada yang berpendapat kata Paderi berasal dari kata
Padre, bahasa Portugis, yang artinya pendeta, dalam hal ini adalah
ulama) di Sumatera Barat berawal dari pertentangan antara kaum adat
dengan kaum ulama. Sebagaimana seluruh wilayah di Asia Tenggara
lainnya, sebelum masuknya agama Islam, agama yang dianut masyarakat di
Sumatera Barat juga agama Buddha dan Hindu. Sisa-sisa budaya Hindu yang
masih ada misalnya sistem matrilineal (garis ibu), yang mirip dengan
yang terdapat di India hingga sekarang. Masuknya agama Islam ke
Sumatera Utara dan Timur, juga awalnya dibawa oleh pedagang-pedagang dari Gujarat dan Cina.

Setelah kembalinya beberapa tokoh Islam dari Mazhab Hambali yang
ingin menerapkan alirannya di Sumatera Barat, timbul pertentangan
antara kaum adat dan kaum ulama, yang bereskalasi kepada konflik
bersenjata. Karena tidak kuat melawan kaum ulama (Paderi), kaum adat
meminta bantuan Belanda, yang tentu disambut dengan gembira. Maka pecahlah Perang Paderi yang berlangsung dari tahun 1816 sampai tahun 1833.

Selama berlangsungnya Perang Paderi, pasukan kaum Paderi bukan
hanya berperang melawan kaum adat dan Belanda, melainkan juga menyerang
Tanah Batak Selatan, Mandailing, tahun 1816 - 1820 dan kemudian
mengIslamkan Tanah Batak selatan dengan kekerasan senjata, bahkan di
beberapa tempat dengan tindakan yang sangat kejam.

Sebelum masuknya agama Islam dan Kristen ke Tanah Batak, selain
agama asli Batak yaitu Parmalim, seperti di hampir di seluruh
Nusantara, agama yang berkembang di Sumatera Utara adalah agama Hindu
dan Buddha. Sedangkan di Sumatera Barat pada abad 14 berkembang aliran
Tantra Çaivite (Shaivite) Mahayana dari agama Buddha, dan hingga tahun
1581 Kerajaan Pagarruyung di Minangkabau masih beragama Hindu.

Agama Islam yang masuk ke Mandailing dinamakan oleh penduduk
setempat sebagai Silom Bonjol (Islam Bonjol) karena para penyerbunya
datang dari Bonjol. Seperti juga di Jawa Timur dan Banten rakyat
setempat yang tidak mau masuk Islam, menyingkir ke utara dan bahkan
akibat agresi kaum Paderi dari Bonjol, tak sedikit yang melarikan diri
sampai Malaya.

Penyerbuan Islam ke Mandailing berawal dari dendam keturunan marga
Siregar terhadap dinasti Singamangaraja dan seorang anak hasil incest
(hubungan seksual dalam satu keluarga) dari keluarga Singamangaraja X.

Ketika bermukim di daerah Muara, di Danau Toba, Marga Siregar
sering melakukan tindakan yang tidak disenangi oleh marga-marga lain,
sehingga konflik bersenjatapun tidak dapat dihindari. Raja Oloan Sorba
Dibanua, kakek moyang dari Dinasti Singamangaraja, memimpin penyerbuan
terhadap pemukiman Marga Siregar di Muara. Setelah melihat kekuatan
penyerbu yang jauh lebih besar, untuk menyelamatkan anak buah dan
keluarganya, peminpin marga Siregar, Raja Porhas Siregar meminta Raja
Oloan Sorba Dibanua untuk melakukan perang tanding -satu lawan satu-
sesuai tradisi Batak. Menurut tradisi perang tanding Batak, rakyat yang
pemimpinnya mati dalam pertarungan satu lawan satu tersebut, harus
diperlakukan dengan hormat dan tidak dirampas harta bendanya serta
dikawal menuju tempat yang mereka inginkan.

Dalam perang tanding itu, Raja Porhas Siregar kalah dan tewas di
tangan Raja Oloan Sorba Dibanua. Anak buah Raja Porhas ternyata tidak
diperlakukan seperti tradisi perang tanding, melainkan diburu oleh anak
buah Raja Oloan sehingga mereka terpaksa melarikan diri ke
tebing-tebing yang tinggi di belakang Muara, meningggalkan keluarga dan
harta benda. Mereka kemudian bermukim di dataran tinggi Humbang.
Pemimpin Marga Siregar yang baru, Togar Natigor Siregar mengucapkan
sumpah, yang diikuti oleh seluruh Marga Siregar yang mengikat untuk
semua keturunan mereka, yaitu: Kembali ke Muara untuk membunuh Raja
Oloan Sorba Dibanua dan seluruh keturunannya.

Dendam ini baru terbalas setelah 26 generasi, tepatnya tahun 1819,
ketika Jatengger Siregar –yang datang bersama pasukan Paderi, di bawah
pimpinan Pongkinangolngolan (Tuanku Rao)- memenggal kepala
Singamangaraja X, keturunan Raja Oloan Sorba Dibanua, dalam penyerbuan
ke Bakkara, ibu kota Dinasti Singamangaraja.

Ibu dari Pongkinangolngolan adalah Gana Sinambela, putri dari
Singamangaraja IX sedangkan ayahnya adalah Pangeran Gindoporang
Sinambela adik dari Singamangaraja IX. Gindoporang dan Singamangaraja
IX adalah putra-putra Singamangaraja VIII. Dengan demikian,
Pongkinangolngolan adalah anak hasil hubungan gelap antara Putri Gana
Sinambela dengan Pamannya, Pangeran Gindoporang Sinambela.

Gana Sinambela sendiri adalah kakak dari Singamangaraja X.
Walaupun terlahir sebagai anak di luar nikah, Singamangaraja X sangat
mengasihi dan memanjakan keponakannya. Untuk memberikan nama marga,
tidak mungkin diberikan marga Sinambela, karena ibunya bermarga
Sinambela. Namun nama marga sangat penting bagi orang Batak, sehingga
Singamangaraja X mencari jalan keluar untuk masalah ini. Singamangaraja
X mempunyai adik perempuan lain, Putri Sere Sinambela, yang menikah
dengan Jongga Simorangkir, seorang hulubalang. Dalam suatu upacara
adat, secara pro forma Pongkinangolngolan “dijual” kepada Jongga
Simorangkir, dan Pongkinangolngolan kini bermarga Simorangkir.

Namun kelahiran di luar nikah ini diketahui oleh 3 orang Datu
(tokoh spiritual) yang dipimpin oleh Datu Amantagor Manurung. Mereka
meramalkan, bahwa Pongkinangolngolan suatu hari akan membunuh pamannya,
Singamangaraja X. Oleh karena itu, Pongkinangolngolan harus dibunuh.

Sesuai hukum adat, Singamangaraja X terpaksa menjatuhkan hukuman
mati atas keponakan yang disayanginya. Namun dia memutuskan, bahwa
Pongkinangolngolan tidak dipancung kepalanya, melainkan akan
ditenggelamkan di Danau Toba. Dia diikat pada sebatang kayu dan
badannya dibebani dengan batu-batu supaya tenggelam.

Di tepi Danau Toba, Singamangaraja X pura-pura melakukan
pemeriksaan terakhir, namun dengan menggunakan keris pusaka Gajah
Dompak ia melonggarkan tali yang mengikat Pongkinangolngolan, sambil
menyelipkan satu kantong kulit berisi mata uang perak ke balik pakaian
Pongkinangolngola. Perbuatan ini tidak diketahui oleh para Datu, karena
selain tertutup tubuhnya, juga tertutup tubuh Putri Gana Sinambela yang
memeluk dan menangisi putra kesayangannya.

Tubuh Pongkonangolngolan yang terikat kayu dibawa dengan rakit ke
tengah Danau dan kemudian di buang ke air. Setelah berhasil melepaskan
batu-batu dari tubuhnya, dengan berpegangan pada kayu
Pongkinangolngolan berhasil mencapai sungai Asahan, di mana kemudian di
dekat Narumonda, ia ditolong oleh seorang nelayan, Lintong Marpaung.

Setelah bertahun-tahun berada di daerah Angkola dan Sipirok,
Pongkinangolngolan memutuskan untuk pergi ke Minangkabau, karena selalu
kuatir suatu hari akan dikenali sebagai orang yang telah dijatuhi
hukuman mati oleh Raja Batak.

Di Minangkabau ia mula-mula bekerja pada Datuk Bandaharo Ganggo
sebagai perawat kuda. Pada waktu itu, tiga orang tokoh Islam Mazhab
Hambali, yaitu Haji Miskin, Haji Piobang dan Haji Sumanik baru kembali
dari Mekkah dan sedang melakukan penyebaran Mazhab Hambali di
Minangkabau, yang menganut aliran Syi’ah. Haji Piobang dan Haji Sumanik
pernah menjadi pewira di pasukan kavaleri Janitsar Turki. Gerakan
mereka mendapat dukungan dari Tuanku Nan Renceh, yang mempersiapkan
tentara untuk melaksanakan gerakan Mazhab Hambali, termasuk rencana
untuk mengislamkan Mandailing.

Tuanku Nan Renceh yang adalah seorang teman Datuk Bandaharo
Ganggo, mendengar mengenai nasib dan silsilah dari Pongkinangolngolan.
Ia memperhitungkan, bahwa Pongkinangolngolan yang adalah keponakan
Singamangaraja X dan sebagai cucu di dalam garis laki-laki dari
Singamangaraja VIII, tentu sangat baik untuk digunakan dalam rencana
merebut dan mengIslamkan Tanah Batak. Oleh karena itu, ia meminta
kawannya, Datuk Bandaharo agar menyerahkan Pongkinangolngolan kepadanya
untuk dididik olehnya.

Pada 9 Rabiu’ulawal 1219 H (tahun 1804 M), dengan syarat-syarat
Khitanan dan Syahadat, Pongkinangolngolan diislamkan dan diberi nama
Umar Katab oleh Tuanku Nan Renceh. Nama tersebut diambil dari nama
seorang Panglima Tentara Islam, Umar Chattab. Namun terselip juga asal
usul Umar Katab, karena bila dibaca dari belakang, maka akan terbaca:
Batak!

Penyebaran Mazhab Hambali dimulai tahun 1804 dengan pemusnahan
keluarga Kerajaan Pagarruyung di Suroaso, yang menolak aliran baru
tersebut. Hampir seluruh keluarga Raja Pagarruyung dipenggal kepalanya
oleh pasukan yang dipimpin oleh Tuanku Lelo, yang nama asalnya adalah
Idris Nasution. Hanya beberapa orang saja yang dapat menyelamatkan
diri, di antaranya adalah Yang Dipertuan Arifin Muning Alamsyah yang
melarikan diri ke Kuantan dan kemudian meminta bantuan Belanda. Juga
putrinya, Puan Gadis dapat menyelamatkan diri, dan pada tahun 1871
menceriterakan kisahnya kepada Willem Iskandar.

Umar Katab alias Pongkinangolngolan Sinambela kembali dari Mekkah
dan Syria tahun 1815, di mana ia sempat mengikuti pendidikan
kemiliteran pada pasukan kavaleri janitsar Turki. Oleh Tuanku Nan
Renceh ia diangkat menjadi perwira tentara Paderi dan diberi gelar
Tuanku Rao. Ternyata Tuanku Nan Renceh menjalankan politik divide et
impera seperti Belanda, yaitu menggunakan orang Batak untuk menyerang
Tanah Batak.

Penyerbuan ke Tanah Batak dimulai pada 1 Ramadhan 1231 H (tahun
1816 M), dengan penyerbuan terhadap benteng Muarasipongi yang
dipertahankan oleh Marga Lubis. 5.000 orang dari pasukan berkuda
ditambah 6.000 infanteri meluluhlantakkan benteng Muarasipongi, dan
seluruh penduduknya dibantai tanpa menyisakan seorangpun. Kekejaman ini
sengaja dilakukan dan disebarluaskan untuk menebarkan teror dan rasa
takut agar memudahkan penaklukkan. Setelah itu, satu persatu wilayah
Mandailing ditaklukkan oleh pasukan Paderi, yang dipimpin oleh Tuanku
Rao dan Tuanku Lelo, yang adalah putra-putra Batak sendiri. Selain
kedua nama ini, ada sejumlah orang Batak yang telah masuk Islam, ikut
pasukan Paderi menyerang Tanak Batak, yaitu Tuanku Tambusai (Harahap),
Tuanku Sorik Marapin (Nasution), Tuanku Mandailing (Lubis), Tuanku
Asahan (Mansur Marpaung), Tuanku Kotapinang (Alamsyah Dasopang), Tuanku
Daulat (Harahap), Tuanku Patuan Soripada (Siregar), Tuanku Saman
(Hutagalung), Tuanku Ali Sakti (Jatengger Siregar), Tuanku Junjungan
(Tahir Daulay) dan Tuanku Marajo (Harahap).

Penyerbuan terhadap Singamangaraja X di Benteng Bakkara,
dilaksanakan tahun 1819. Orang-orang Siregar Salak dari Sipirok
dipimpin oleh Jatengger Siregar ikut dalam pasukan penyerang, guna
memenuhi sumpah Togar Natigor Siregar dan membalas dendam kepada
keturunan Raja Oloan Sorba Dibanua, yaitu Singamangaraja X. Jatengger
Siregar menantang Singamangaraja untuk melakukan perang tanding.
Walaupun sudah berusia lanjut, namun Singamangaraja tak gentar dan
menerima tantangan Jatengger Siregar yang masih muda. Duel dilakukan
dengan menggunakan pedang di atas kuda.

Duel yang tak seimbang berlangsung tak lama. Singamangaraja kalah
dan kepalanya dipenggal oleh pedang Jatengger Siregar. Terpenuhi sudah
dendam yang tersimpan selama 26 generasi. Kepala Singamangaraja X
ditusukkan ke ujung satu tombak dan ditancapkan ke tanah. Orang-orang
marga Siregar masih belum puas dan menantang putra-putra Singamangaraja
X untuk perang tanding. Sebelas putra-putra Singamangaraja memenuhi
tantangan ini, dan hasilnya adalah 7 – 4 untuk kemenangan putra-putra
Singamangaraja. Namun setelah itu, penyerbuan terhadap Benteng Bakkara
terus dilanjutkan, dan sebagaimana di tempat-tempat lain, tak tersisa
seorangpun dari penduduk Bakkara, termasuk semua perempuan yang juga
tewas dalam pertempuran.

Penyerbuan pasukan Paderi terhenti tahun 1820, karena
berjangkitnya penyakit kolera dan epidemi penyakit pes. Dari 150.000
orang tentara Paderi yang memasuki Tanah Batak tahun 1818, hanya
tersisa sekitar 30.000 orang dua tahun kemudian. Sebagian terbesar
bukan tewas di medan petempuran, melainkan mati karena berbagai
penyakit.

Untuk menyelamatkan sisa pasukannya, tahun 1820 Tuanku Rao
bermaksud menarik mundur seluruh pasukannya dari Tanah Batak Utara,
sehingga rencana pengIslaman seluruh Tanah Batak tak dapat diteruskan.
Namun Tuanku Imam Bonjol memerintahkan agar Tuanku Rao bersama
pasukannya tetap di Tanah Batak, untuk menghadang masuknya tentara
Belanda. Ketika keadaan bertambah parah, akhirnya Tuanku Rao melakukan
pembangkangan terhadap perintah Tuanku Imam Bonjol, dan memerintahkan
sisa pasukannya keluar dari Tanah Batak Utara dan kembali ke Selatan.

Enam dari panglima pasukan Paderi asal Batak, yaitu Tuanku
Mandailing, Tuanku Asahan, Tuanku Kotapinang, Tuanku Daulat, Tuanku Ali
Sakti dan Tuanku Junjungan, tahun 1820 memberontak terhadap penindasan
asing dari Bonjol/Minangkabau dan menanggalkan gelar Tuanku yang
dipandang sebagai gelar Minangkabau. Bahkan Jatengger Siregar hanya
menyandang gelar tersebut selama tiga hari. Mereka sangat marah atas
perilaku pasukan Paderi yang merampok dan menguras Tanah Batak yang
telah ditaklukkan. Namun hanya karena ingin balas dendam kepada
Singamangaraja, Jatengger Siregar menahan diri sampai terlaksananya
sumpah Togar Natigor Siregar dan ia behasil membunuh Singamangaraja X.

Mansur Marpaung (Tuanku Asahan) dan Alamsyah Dasopang (Tuanku
Kotapinang) dengan tegas menyatakan tidak mau tunduk lagi kepada Tuanku
Imam Bonjol dan Tuanku Nan Renceh, dan kemudian mendirikan
kesultanan/kerajaan sendiri. Marpaung mendirikan Kesultanan Asahan dan
mengangkat dirinya menjadi sultan, sedangkan Dasopang mendirikan
Kerajaan Kotapinang, dan ia menjadi raja.

Tuanku Rao tewas dalam pertempuran di Air bangis pada 5 September
1821, sedangkan Tuanku Lelo (Idris Nasution) tewas dipenggal kepalanya
dan kemudian tubuhnya dicincang oleh Halimah Rangkuti, salah satu
tawanan yang dijadikan selirnya.


----------------


Catatan:
Tulisan
ini merupakan cuplikan dari buku yang ditulis oleh Mangaradja Onggang
Parlindungan Siregar, “Pongkinangolngolan Sinambela gelar Tuanku Rao,
Terror Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak”, Penerbit Tanjung
Pengharapan, Jakarta, 1964.

Tuanku Lelo/Idris Nasution adalah
kakek buyut dari Mangaraja Onggang Parlindungan ( hlm. 358). Dari
ayahnya, Sutan Martua Raja Siregar, seorang guru sejarah, M.O.
Parlindungan memperoleh warisan sejumlah catatan tangan yang merupakan
hasil penelitian dari Willem Iskandar, Guru Batak, Sutan Martua Raja
dan Residen Poortman. Sebenarnya ia hanya bermaksud menulis buku untuk
putra-putranya. Buku tersebut memuat banyak rahasia keluarga, termasuk
kebiadaban yang dilakukan oleh Tuanku Lelo tersebut. Mayjen TNI (purn.)
T.Bonar Simatupang menilai, bahwa tulisan tersebut banyak mengandung
sejarah Batak, yang perlu diketahui oleh generasi muda Batak.
Parlindungan Siregar setuju untuk menerbitkan karyanya untuk publik.
Parlindungan Siregar meminta T.B. Simatupang, Ali Budiarjo, SH dan dr.
Wiliater Hutagalung memberi masukan-masukan dan koreksi terhadap naskah
buku tersebut.


Sumber:
http://indonesia.faithfreedom.org/forum/viewtopic.php?t=4737

No comments:

Post a Comment