• Nafasnya Ada di Danau Toba


    Masa Depan PLTA Asahan
    Kerusakan ekosistem Danau Toba, tidak saja mengancam masa depan lingkungan dan industri pariwisata. Tetapi, sumber energi listrik di Sumatera Utara khususnya PLTA di sepanjang Sungai Asahan, bernilai puluhan triliun juga ikut dipertaruhkan.

    Ketika wartawan koran ini ikut reses Komisi VII DPR RI dan jajaran PLN, mengamati kondisi kawasan itu. Danau Toba tampak sangat indah dari udara ketika pesawat Pelita Dash 7 terbang rendah melintas kawasan itu, Kamis lalu. Air membiru, di puncak bukit terlihat embun. Beberapa sungai dari lereng gunung tampak memutih dan terus mengalir menuju danau. Air dari pegunungan itu mengisi danau vulkanik raksasa itu. Tak terhingga berkah alam itu.


    Pemukiman penduduk menyebar mulai dari gunung hingga ke tepi danau. Kawasan yang didiami mayoritas suku Batak itu, bertofografi bukit yang tandus dan lembah curam. Hanya sedikit areal landai untuk pemukiman, pertanian, peternakan, sektor publik dan kegiatan ekonomi.  
    Debit air sungai terus menyusut di musim kemarau. Bahkan beberapa anak sungai hingga mengering. Dari pantauan udara, tampak jelas areal penebangan PT Toba Pulp Lestari (dulu PT Inti Indorayon Utama), di Humbang Hasundutan hingga ke Tele. Sebagian area konsesi di sana, adalah hulu Sungai Pangiringan, yang memasok air ke PLTA Lau Renun.

    PLTA yang dibangun dengan membor perut bumi sepanjang 14,5 kilometer sangat berperan menjaga kestabilan level permukaan danau. Tetapi, masa depan pembangkit 82 MW juga terancam karena krisis air. Kini, pembangkit senilai 26,6 miliar yen itu tidak maksimal beroperasi atau rata-rata 14 jam per hari.


    Kerusakan daerah tangkapan air (DTA) tersebar di 7 kabupaten di sekeliling danau. Masing-masing di Kabupaten Samosir, Simalungun, Karo, Dairi, Humbahas, Tapanuli Utara dan Tobasa. Ada karena kebakaran, pembukaan pertanian, longsor serta penebangan. Ketika Komisi VII yang antara lain membidangi energi dan lingkungan melihat langsung Danau Toba dan kerusakan kawasannya, merasakan dua hal berbeda silih berganti. 

    Mereka berdecak kagum menikmati birunya Danau Toba dari udara, tetapi kesal melihat kerusakan ekosistem di sana-sini. Limpahan air danau itu mengalir ke Sungai Asahan. Di sungai itu, dibangun PLTA Asahan I kapasitas 2 x 90 MW (beroperasi Mei 2010), PLTA Asahan II berkapasitas 603 MW (milik Inalum beroperasi sejak 1982) dan Asahan III yang didesain berkapasitas 2 x 87 MW, kini masih terkatung-katung.

    Komisi VII pun sepakat, bahwa andalan masa depan energi di Sumut terbesar adalah di air Danau Toba. “Saya melihat, up stream adalah air Danau Toba, sedangkan di down stream dapat memproduksi listrik. Dua bagian ini tidak dapat dipisahkan penanganannya,” kata Milton Pakpahan, anggota Komisi VII.

    Karena itu, melestarikan kawasan hutan menjadi kewajiban pemerintah mulai pusat hingga daerah di kawasan ini. Ia juga mengkritik PT TPL yang masih menebang hutan, tetapi minim reboisasi. “TPL lebih banyak berdampak buruk ke Danau Toba, daripada memberi manfaat kepada masyarakat sekitar atau negara,” tegasnya.

    Milton menegaskan, jika kerusakan ekosistem ini tidak ditangani, tahun 2020 tidak ada lagi cerita hutan karena sudah gundul. Dan, mengancam pembangkit listrik ramah lingkungan di Sungai Asahan. Disebut ramah lingkungan, karena tidak menggunakan bahan bakar minyak, gas atau batubara sebagai penggerak pembangkit. PLTA tidak menimbulkan polusi udara, gas karbon dioksida (CO2) atau gas lainnya yang menimbulkan pemanasan global. Karena itu, penyelamatan kawasan Danau Toba tidak boleh lagi berjalan sektoral. Tetapi, harus terintegrasi mulai dari pusat ke daerah.

    Masalah Danau Toba ini dibahas tajam dalam pertemuan bersama Komisi VII DPR RI, jajaran Direksi PLN dan General Manager, Gubsu, Muspida Sumut, PT Toba Pulp Lestari, PT Inalum, jajaran Pertamina dan instansi terkait di Kantor Gubsu, Jalan Diponegoro, Sabtu (20/3). Pertemuan itu dipimpin Ketua Tim Reses Komisi VII Effendy Muara Sakti Simbolon dan Gubsu Syamsul Arifin.
    Dalam rapat itu, Milton menegaskan, kesejahteraan warga di 7 kabupaten kawasan Danau Toba harus ditingkatkan. Sehingga, ikut memelihara kawasan itu. “Dengan kondisi begini, jangan bicara Danau Toba, deh. Kalau rakyat di kawasan itu sejahtera, pasti dipelihara danau dan hutannya,” ujarnya. 

    Anggota Komisi VII, Jhonny Allen Marbun menegaskan, pola pengelolaan kawasan ekosistem Danau Toba selama ini sudah salah arah. Kesalahan itu akibat pembiaran oleh Pemkab setempat, Pemprovsu, Pemerintah Pusat dan DPR. Karena itu, Komisi VII akan berupaya membawa masalah ini untuk dibahas lintas departemen sehingga ada sistem penanganan yang terpadu. “Jika kawasan Danau Toba hancur, matilah pembangkit 1.000 mega watt di sepanjang Sungai Asahan,” kata Jhonny, asal pemilihan Sumut itu. Ia menyebut, sekalipun pembangkit berada di sana, yang menikmati listriknya adalah masyarakat Sumut, Riau dan Aceh.

    Direktur Utama PT PLN (Persero) Dahlan Iskan sangat sepakat jika ekosistem Danau Toba ditangani terpadu lintas sektor. Karena, jaminan debit air Danau Toba menjadi sebagai penentu masa depan pembangkit di sepanjang di Sungai Asahan. “Ibarat kita manusia, Danau Toba itulah nafasnya PLTA di Sungai Asahan. Jadi kontinuitas air di sektor hulu sangat penting,” katanya. (jab)


    Sumber: