• Toba Pulp Lestari 27 Tahun Ciptakan Kemiskinan Sistemik di Tapanuli


    Telah 27 tahun Toba Pulp Lestari (TPL), Tbk menancapkan kukunya di daerah Tapanuli, Sumatera Utara yang visinya untuk memajukan masyarakat, ternyata tiga dekade itu pula PT TPL (dulunya PT Inti Indorayon Utama) berkonflik dengan masyarakat lokal yang menghasilkan kesengsaraan dan kemiskinan yang lebih parah. TPL turut bertanggungjawab terhadap rusaknya hutan alam yang memiliki nilai konservasi tinggi (High Conservation Values), hancurnya mata air alam, dan hancurnya ekosistem danau Toba, yang akhirnya berkontribusi terhadap pemanasan global. TPL hanya “berhasil” mengubah rimbunan pohon seluas 269.060 hektar - empat kali luas negara Singapura - menjadi bubur kertas 300.000 ton per tahun, tetapi menimbulkan degradasi sistemik atas kehidupan sosial dan ekologi, demikian pernyataan sikap masyarakat korban konflik dengan PT.TPL di kantor Bakumsu, Selasa (27/7).

    Dalam menangani konflik dengan masyarakat Lokal, ternyata TPL masih memakai cara cara lama seperti yang dipraktekkannya pada jaman orde baru ketika masih bernama PT Indorayon. Hingga saat ini TPL belum pernah  mendengarkan aspirasi masyarakat adat, dan tidak berhenti menghancurkan hutan alam dan hutan kemenyan di Tapanuli, ujar James Sinambela salah satu petani kemenyan di Humbang Hasundutan. Ditambahkan Saurlin Siagian juga bahwa TPL telah mengabaikan prinsip Free Prior and Informed Consent, prinsip internasional tentang masyarakat adat, dimana masyarakat adat (lokal) harus dilibatkan dan didengarkan sebagai acuan utama dalam melakukan pembangunan.

    Ironisnya, lembaga pemeringkat milik Kementerian Lingkungan Hidup, Proper, memberikan peringkat “hijau” kepada PT TPL. Menurutnya penghancuran hutan kemenyan di Humbang Hasundutan merupakan salah satu kasus yang menonjol. Hutan kemenyan yang telah diusahakan ratusan tahun oleh masyarakat lokal ditebang, karena dinilai masuk ke kawasan HPHTI TPL. Dari sekitar 30.000-an hektar hutan kemenyan di Humbang Hasundutan, kini hanya tersisa 7.400 hektar. "Sekarang hutan tersisa tersebut menjadi habitat hewan langka seperti harimau dan beruang, karena di sekitarnya tak ada yang tersisa. Ini tentu membahayakan karena warga biasa menyadap getah kemenyan di hutan tersebut," pungkasnya.

    Kasus lain konflik masyarakat Bulu Silape, kabupaten Tobasa. Dimana terjadi pengerukan jalan yang didinding bukit desa Bulu Silape tahun 1989 yang dilakukan oleh PT TPL yang mengakibatkan bencana longsor menewaskan 13 orang warga desa, dan menimbulkan kerusakan total puluhan rumah dan areal persawahan. Hingga saat ini pihak TPL tidak pernah minta maaf, apalagi memberikan kompensasi kepada rakyat korban, ungkap Suryati Simanjuntak dari KSPPM. Untuk itu masyarakat menuntut  TPL menghentikan segera segala operasinya dari tanah adat di Tapanuli, sementara pemerintah melakukan audit total terhadap lahan yang diklaim dimiliki oleh TPL.


    Sumber: