MASYARAKAT TOBA DALAM HUTA, HORJA DAN BIUS
Oleh: Edward Simanungkalit
Sejarah lisan Toba, yaitu tarombo, yang diwariskan dari generasi ke
generasi menceritakan bahwa pemukiman pertama sebagai desa yang
terorganisir didirikan oleh leluhur Batak-Toba melalui usaha pertanian
bersawah dengan menggunakan sistim irigasi. Namanya Sianjur Mula-mula,
yang terletak pada dua lembah kecil, Lembah Sagala dan Lembah Limbong,
sebelah barat Gunung Pusuk Buhit di pantai barat daya Danau Toba. Di
sanalah leluhur orang Toba membangun bius sebagai lembaga otonom yang
meliputi kedua lembah tersebut. Konsep bius sebagai negara-mini lahir
dari sistim pertanian bersawah dan faktor sistim irigasi dalam kehidupan
setiap desa bertani sawah. Desa Toba memiliki ciri lembah/rura di mana
tiap lembah tersebut mengkondisikan terbangunnya sebuah paguyuban
(valley society) yang berporos pada satu sistim irigasi, yaitu bius,
yang dikelola secara tunggal meliputi seluruh lahan persawahan lembah.
Ini merupakan tuntutan alam yang memaksa penduduk lembah itu untuk
menciptakan organisasi bius dan hukum bius (Situmorang, 2009:11-12).
Melihat kepada hasil penelitian Bernard Kevin Maloney (1983), bahwa pendahulu Toba itu sudah memiliki arah ciri lembah (valley) sebagaimana ditemukan adanya bekas kehidupan di Pea Sim Sim pada sekitar 6.500 tahun lalu (bnd. Bellwood, 2000:339). Dengan rentang waktu yang panjang, yaitu sekitar 4.000 tahun, ditemukan adanya jejak kehidupan di Tao Sipinggan pada sekitar 2.500 tahun lalu, di Pea Sijajap pada sekitar 2.600 tahun lalu, Pea Bullok pada sekitar 2.700 tahun lalu. Kehidupan di ketiga tempat ini juga tetap berciri lembah (valley) yang sama seperti sebelumnya. Diperkirakan bahwa mereka ini berasal dari pendukung budaya Hoabinh. Kemudian selanjutnya pada periode berikut, datangnya pendukung budaya Dongson membuat percampuran antara pendukung budaya Dongson dengan pendukung budaya Hoabinh di mana kebudayaan Dongson lebih tinggi. Diperkirakan bahwa mereka inilah yang menempati Sianjur Mula-mula di lembah Limbong-Sagala dengan kebudayaan yang dominan bercorak Dongson. Dengan teknologi dan kemampuan bertani sawah yang mereka miliki, mereka pun membangun pertanian sawah dan kemudian berkembang melahirkan bius.
Bius Sianjur Mula-mula merupakan bius pertama di lembah Limbong-Sagala.
Dari Bius Sianjur Mula-mula ini kemudian bermigrasi terus ke sepanjang
pantai barat Danau Toba hingga lembah terluas Toba-Holbung di sepanjang
garis pantai selatan Danau Toba. Lembah-lembah di kawasan pantai barat
dan selatan Danau Toba ini kondisi dan bentuknya hampir sama dengan
lembah Limbong-Sagala, sehingga daerah ini menjadi tujuan utama arah
gerak migrasi. Dari bius Sianjur Mula-mula ini kemudian arus migrasi
lainnya ke Pulau Samosir dan perkembangan terus ke daerah Humbang,
lembah Silindung dan ke barat sampai ke tebing-tebing Bukit Barisan yang
menghadap garis pesisir barat Sumatera. Pola gerak migrasi yang lebih
dulu tertuju ke sepanjang pantai barat dan selatan danau Toba, karena
semuanya berbentuk lembah yang hampir sama dengan lembah Limbong-Sagala
melahirkan bius-bius bercorak valley-society sambil terus berkembang
sesuai kondisi di tempat-tempat baru tersebut.
Huta-Horja-Bius merupakan elemen dasar daripada sistim kelembagaan
masyarakat Toba. Huta bukanlah desa atau kampung dalam pengertian
sekarang. Huta merupakan persekutuan hukum dan adat terkecil di dalam
masyarakat Toba. “Huta: secara harfiah berarti ‘kota’ atau ‘kuta’, yaitu
pemukiman berupa benteng bertembok dan selalu berbentuk bujursangkar.
Ukurannya rata-rata 50x70 meter persegi. Huta merupakan milik dari
pendirinya dan terun-temurun diperintah oleh keturunannya sebagai
tingkat pemerintahan bius paling bawah.” (Situmorang, 2009:522). Huta
ini dikelilingi oleh tembok batu (tano bato) yang ditanami bambu. Setiap
huta memiliki ruma (rumah hunian) dan sopo (lumbung). Setiap huta
dipimpin oleh seorang raja-huta secara turun-temurun di mana para
raja-huta inilah yang merupakan elit politik dalam bius. Melalui
raja-huta itulah terpilih semua pejabat teras bius, yaitu pemerintahan
(dewan) bius yang sekuler. Golongan raja-huta di semua bius merupakan
elite politik yang wakil-wakilnya merupakan anggota musyawarah (ad hoc)
di tiap horja.
Huta biasanya berisi enam, delapan, sepuluh atau selusin ruma. Sebagian didiami oleh dua-tiga keluarga, tetapi urusan intern huta sangat banyak jumlahnya. Raja-huta, sebagai penguasa tunggal, mengatur masalah sehari-hari dari setiap penduduk yang berlangsung di dalam huta. Untuk pengambilan keputusan dalam menangani masalah-masalah, maka raja-huta harus meminta, mendengar, dan mempertimbangkan pendapat warga huta. Pengambilan keputusan harus berdasarkan adat ber-horja dan adat ber-bius, sehingga raja-huta, sebagai pejabat tunggal, bertanggungjawab kepada horja dan bius. Ini digambarkan melalui ungkapan: “Huta do mula ni Horja. Horja do mula ni Bius.”. Beberapa huta yang berdekatan dengan marga berbeda, tetapi mempunyai pertalian, merupakan bagian dari perhimpunan ‘horja’. Biasanya satu horja terdiri dari sejumlah huta atau 10 sampai 15 huta, tergantung keadaan setempat. Tiap horja membawahi sejumlah huta yang berada di tanah/golat horja.
Horja terbentuk oleh kelompok marga-raja bersama mereka yang leluhurnya
dari semula ikut membantu usaha pembukaan huta dan pendatang baru.
Biasanya yang ikut dalam pembukaan huta tersebut ialah boru, sehingga
marga-boru atau boru ni tano ini termasuk juga membentuk horja. Horja
adalah bentuk kerjasama selamanya antara keturunan pionir dan pendatang.
Dalam setiap keputusan penting selalu berdasarkan konsensus antara
marga-raja dan marga-boru dalam konteks horja. Dengan demikian, maka di
dalam horja, bahwa marga bukanlah suatu organisasi dan merupakan subjek
hukum pemilik tanah mengingat adanya marga-boru (boru ni tano) dan
pendatang tadi. Marga berfungsi sebagai pimpinan horja, pengayom
golat/hak ulayat atas nama horja (Situmorang, 2009:38-39).
Tiap horja adalah bagian dari bius dan bius melebihi dari satu horja. Jumlah horja tergantung dari jumlah pionir yang terkait dalam berdirinya suatu bius. Setiap horja bertindak sebagai kelompok kepentingan. Meskipun hanya dua horja di dalam suatu bius, tetapi setiap bius tetap merupakan lembaga tunggal yang mandiri. Horja tidak begitu nyata sehari-harinya, tetapi baru nyata sebagai lembaga dalam musyawarah serta mufakat pada waktu-waktu tertentu seperti dalam pesta horja atau kegiatan di mana seluruh warga terlibat. Setiap horja memilih dan mengutus wakilnya menjadi anggota dewan bius yang sekuler. Horja juga mengutus wakilnya untuk menjadi pendeta/parbaringin yang akan duduk dalam organisasi parbaringin (Situmorang, 2009:39-40).
Bius merupakan paguyuban yang terdiri dari beberapa horja. “Bius:
paguyuban dengan kekuasaan dan pemerintahan meliputi wilayah tertentu,
sebagai penguasa irigasi, keagamaan, tertib hukum dan pengayoman hukum
pertanahan (hak ulayat).” (Situmorang, 2009:521). Pada hakikatnya
pimpinan bius terdiri dari dwitunggal, yaitu primus interpares (sekuler)
dari bius dan Pande-Bolon (pimpinan parbaringin di bius). Sementara
kedaulatan rakyat berada di tangan si tuan na torop. Dewan Bius terdiri
dari utusan tiap-tiap horja yang dipimpin oleh oleh anggota “tertua”
dari horja “tertua” (pengayom hukum).
Status parbaringin (kependetaan) bersifat turun-temurun dan mereka
diutus oleh horja. Parbaringin utama bergelar Pande-Bolon yang bertindak
sebagai ketua organisasi parbaringin dan penasihat utama Dewan Bius
(yang sekuler). Pande-Bolon didampingi oleh pendeta-pendeta utama dengan
pembagian tugas di antara mereka menurut bidang-bidang yang terpenting.
Tugas-tugas itu menyangkut ritual-ritual yang mengiringi seluruh proses
pertanian sepanjang “tahun” (antara masa panen dengan masa panen
berikutnya). Organisasi parbaringin juga terlibat dalam pembagian tanah
yang berlangsung secara berkala “sekali dalam 60 tahun” . Organisasi
parbaringin mendampingi Dewan Bius dalam perundingan dengan bius lain,
khususnya bila terjadi konflik dan Parbaringin berstatus “juru damai dan
sakral yang dihormati oleh semua pihak.” (Situmotang, 2009:200-201).
Dewan Bius (adakalanya bersama Parbaringin) menjamin terlaksananya hukum
Adat Bius. Hukum Adat Bius ini diyakini berasal dan dibawa dari lembaga
Bius yang awal di Sianjur Mula-mula. Karena, menurut tradisi lisan
bahwa Sianjur Mula-mula adalah kampung awal dari orang Toba dan
dipercayai di sanalah lembaga Bius pertama kalinya berkembang. Bius
menurut model Sianjur Mula-mula menguasai sebuah teritori dengan
perbatasan yang jelas sebagai wilayah kedaulatannya.
Semua perangkat hukum adat tak tertulis itu tercakup dalam lembaga bius, yang berfungsi sebagai pengemban tertinggi Adat Bius. Adat Bius (Situmorang, 2009:12-13) itu meliputi pengaturan:
Semua perangkat hukum adat tak tertulis itu tercakup dalam lembaga bius, yang berfungsi sebagai pengemban tertinggi Adat Bius. Adat Bius (Situmorang, 2009:12-13) itu meliputi pengaturan:
1. Hukum pertanahan (hak ulayat).
2. Hukum relasi bertetangga atau relasi kewilayahan antar-bius.
3. Hukum penguasaan tanah, yang dalam bius disebut hukum golat.
4. Hukum tali-air (irigasi) dan perairan (sungai, danau).
5. Hukum
sumber daya komunal (hutan, padang rumput penggembalaan, tanah cadangan
untuk persawahan dan pemukiman (pangeahan), yang dikuasai secara
bersama (kolektif) oleh paguyuban.
6. Hukum yang mengatur hak dan kewajiban penggarap atas sawah.
7. Hukum yang mengatur hak pendiri/pemilik huta dan lain-lain.
Bius meliputi penduduk yang kewargaannya terjamin dengan hak dan
kewajiban yang jelas. Hak kewargaan meliputi dua hak azasi lagi:
1. Hak atas tanah garapan (disertai kewajibannya).
2. Hak bebas pindah ke lain daerah/bius, dengan kewajiban mematuhi hukum Adat Bius.
Kewargaan tadi hanya boleh dicabut atas diri seseorang dengan hukuman terberat dibuang ke luar bius atau dikucilkan melalui pengadilan bius. Hukuman dijatuhkan atas pelanggaran berat, seperti membunuh orang, membakar rumah, berzinah, dlsb. Adat Bius yang demikian, diwariskan oleh Bius Sianjur Mula-mula dan kemudian menjadi hukum di setiap bius lainnya.
Sitor Situmorang (2009:95-96) mengemukakan bahwa sebelum lahirnya
lembaga Singamangaraja pada abad ke-16, lembaga Pendeta-raja sudah ada
di negeri Toba yang terbagi dalam tiga kerajaan, yaitu:
1. Kerajaan Ompu Palti Raja, Pendeta-raja yang berpusat di Urat, Samosir Selatan.
2. Kerajaan Jonggi Manaor, Pendeta-raja yang berpusat di Limbong, Pusuk Buhit.
3. Kerajaan di kalangan Sumba, yaitu kerajaan Sorimangaraja, Pendeta-raja di Baligeraja, Toba Holbung.
Mitos Pendeta-raja merupakan pangkal tolak proses “kesatuan Toba” sebagaimana akhirnya menjadi klaim lembaga Singamangaraja sejak abad ke-16. Ketiganya merupakan Pendeta-raja, sedang kemudian muncul Dewa-raja, yaitu lembaga Singamangaraja yang menjadi pemersatu di tingkat “nasional” Toba. Singamangaraja bukan parbaringin dan tidak membawahi organisasi parbaringin bius manapun, tetapi organisasi parbaringin di tiap bius manapun di seluruh Toba mengakui kepemimpinan religius dan politik Singamangaraja. Meskipun demikian, parbaringin tidak melepaskan pengakuannya kepada Pendeta-raja di ketiga wilayah masing-masing.
Singamangaraja dipahami sebagai inkarnasi Batara Guru, sehingga
menempatkan Singamangaraja sebagai Dewa-raja, bukan Pendeta-raja.
Hubungan federatif dan regional terjalin di antara bius-bius dan
perserikatan regional antar-bius berurusan dengan lembaga
Singamangaraja, sebagai pemersatu Toba, yang berkedudukan di bius
Bakkara. Sebagai pendeta yang mewakili Singamangaraja dalam urusan
upacara di tiap bius, parbaringin tiap bius juga disebut raja na ualu.
Sedangkan pejabat-pejabat sekuler tertinggi disebut raja maropat atau
raja na opat (raja empat serangkai). Dalam pelaksanaan tugas menurut
agama Parbaringin, desa na ualu (jagad raya) berpusat pada
Singamangaraja. Sementara dalam konteks bius sebagai mikrokosmos,
parbaringin berkiblat kepada pimpinan bius. Parbaringin melaksanakan
upacara dan upacara terpenting, yaitu: pesta Horja dan pesta Bius.
Adapun peranan parbaringin sentral adalah sebagai pengolah, pemelihara
dan pengembang ugamo; khususnya Pande-Bolon sebagai pendeta utama.
Parbaringin dipandang sebagai teladan ajaran yang berbunyi: Mardebata,
Martutur, Marpatik, Maruhum, Maradat/Marraja.
Lembaga Onan yang disebut Onan Na Marpatik menjadi sangat penting
perannya. Setiap onan berstatus resmi memiliki toguan yang dilengkapi
dengan batu somong. Peresmian onan sebagai pusat keramat berlangsung
dengan upacara “penanaman batu somong”. Penanaman batu somong adalah
ritual khusus dan menjadi wewenang Pendeta-raja yang kemudian berkembang
menjadi wewenang khusus Singamangaraja saja. Ada tiga onan yang utama,
yaitu: Onan Simanggurguri di Limbong-Sagala, Onan Hariara Maranak di
Urat, dan Onan Raja di Baligeraja. Onan Na Marpatik ini adalah pusat
tertua di Toba untuk perdagangan antarwilayah dan dengan dunia luar
(pesisir barat, Barus). Di samping Onan besar yang bersifat regional
seperti ketiga onan tadi, maka masih ada lagi onan lain yang lebih kecil
di tiap bius disebut Onan manogot-nogot atau Onan na metmet. Onan ini
biasanya berlangsung hanya selama dua-tiga jam setiap hari di waktu pagi
dan hanya dikunjungi oleh penduduk setempat.
Onan Simanggurguri menjadi model semua lembaga Onan besar (Onan Na
Marpatik). Hukum Onan itu meliputi berbagai aspek tertib hukum yang
menjamin keamanan dan kebebasan lalulintas perdagangan antar wilayah
serta antara Toba dengan “dunia luar” termasuk meliputi norma-norma
moral sosial. Menurut Sitor Situmorang (2009:157), bahwa hukum Onan Na
Marpatik meliputi hal-hal berikut:
1. Di
tiap Onan (besar) berlaku ukuran atau sukatan yang bersifat standar
(baku) sesuai ketentuan “nasional”. Pelanggaran (penipuan) akan dihukum.
2. Onan
(besar) dilindungi hukum “perdamaian pasar”.
Sehari sebelum dan sesudahnya, setiap pengunjung pasar tidak boleh diganggu oleh siapa pun atau dengan alasan apa pun. Selama tiga hari itu setiap bentuk konflik yang menjurus kepada kekerasan harus dihentikan. Konflik yang timbul harus disampaikan kepada pengurus lembaga Onan (besar) (Dewan Raja-Raja Pasar) yang bertindak sebagai “juru damai” (arbitrase). Pihak yang mengabaikannya akan ditindak oleh Dewan Raja-Raja Pasar. Lembaga Onan (besar) adalah lembaga kewilayahan, suprabius, karena memang selalu didirikan atas kesepakatan sejumlah bius bertetangga. Kesepakatan itu berbentuk perjanjian (padan) yang dilakukan di atas (marbulan). Kekuatan semua bius pendiri Onan itulah yang bertindak sebagai “penegak hukum” selaku Dewan Raja-Raja Pasar. Perjanjian itu diperlambangkan oleh Batu Somong yang telah disinggung sebelumnya.
Sehari sebelum dan sesudahnya, setiap pengunjung pasar tidak boleh diganggu oleh siapa pun atau dengan alasan apa pun. Selama tiga hari itu setiap bentuk konflik yang menjurus kepada kekerasan harus dihentikan. Konflik yang timbul harus disampaikan kepada pengurus lembaga Onan (besar) (Dewan Raja-Raja Pasar) yang bertindak sebagai “juru damai” (arbitrase). Pihak yang mengabaikannya akan ditindak oleh Dewan Raja-Raja Pasar. Lembaga Onan (besar) adalah lembaga kewilayahan, suprabius, karena memang selalu didirikan atas kesepakatan sejumlah bius bertetangga. Kesepakatan itu berbentuk perjanjian (padan) yang dilakukan di atas (marbulan). Kekuatan semua bius pendiri Onan itulah yang bertindak sebagai “penegak hukum” selaku Dewan Raja-Raja Pasar. Perjanjian itu diperlambangkan oleh Batu Somong yang telah disinggung sebelumnya.
Peranan sosial lembaga Onan juga nampak dari norma-norma berikut:
1. Pantang melakukan tagihan piutang pada hari onan. Hutang-piutang harus diselesaikan di luar hari onan.
2. Onan
sebagai tempat memperoleh “perlindungan” (suaka). Seseorang yang merasa
terancam oleh tindakan di luar hukum, karena suatu perkara memperoleh
perlindungan terhadap tindakan sewenang-wenang berdasarkan “azas praduga
tak bersalah”. Ia dapat lari ke tempat resmi persidangan penguasa pasar
(toguan) mencari perlindungan dan mengajukan persoalannya serta tidak
boleh diganggu lagi oleh si penuntut sampai menanti proses wajar.
3. Onan
juga merupakan tempat ritual kemargaan yang disebut mangebang. Anak
pertama yang baru lahir atau pasangan pengantin baru dapat diperkenalkan
kepada khalayak ramai (mangebang) di Onan. Seorang janda dapat dibawa
ke Onan dengan menyematkan seranting pohon beringin di sanggulnya tanda
boleh dipinang kembali sesuai ketentuan adat (Situmorang, 2009:157-158).
Demikianlah fungsi Onan sebagai lembaga, sebagai sokoguru tertib hukum
Batak-Toba. Sedemikian pentingnya Onan ini, sehingga peresmiannya
merupakan kewenangan Singamangaraja. Sedang sifat yang dimiliki
Singamangaraja (Situmorang, 2009:322) antara lain:
· Raja yang tujuh kali suci
· Raja yang tujuh kali keramat
· Raja yang menyusun hukum
· Raja yang menitahkan adat
· Pemegang sukatan yang benar
· Pemegang dacin yang tak pernah oleng
· Penggembala tanpa cambuk
· Pengusir burung dari sawah tanpa aliali
· Pembebas ikan yang masuk bubu
· Pelepas binatang terperangkap
· Raja yang serba mengetahui
Sifat Singamangaraja di atas memberikan gambaran bagaimana seorang raja dan ini akan menjadi sifat yang diturunkan ke jajaran di bawahnya untuk dianut. Dengan demikian, memberikan gambaran bagaimana nilai-nilai tertinggi yang dianut di dalam sebuah “negara” , yaitu negeri Toba, dan dengan masyarakatnya, yaitu masyarakat Toba. Secara keseluruhan, kita dapat memperoleh gambaran bagaimana masyarakat Toba merupakan masyarakat yang tertata di dalam huta, horja, dan bius di bawah pemerintahan seorang Dewa-raja, yaitu Singamangaraja.
Samosir, Toba-Holbung, Humbang, dan Silindung merupakan daerah Toba yang
ditata dalam sistim huta, horja, dan bius diikuti dengan adanya nilai
anutan, hukum, lembaga arbitrase, dan lembaga-lembaga lainnya di tingkat
bawah dan diikuti suatu sistim kepercayaan. Gambaran masyarakat yang
egaliter dan demokratis seperti ini demikian teratur dan tertata dalam
suasana hidup bersama.
Pengamatan Lance Castle cukup dapat menunjukkan situasi dan ciri kelembagaan masyarakat Toba di pedalaman sebelum masuknya penjajahan. Penggambarannya terasa lebih mendekati kenyataan (Situmorang, 2009:317) sebagai berikut:
Pengamatan Lance Castle cukup dapat menunjukkan situasi dan ciri kelembagaan masyarakat Toba di pedalaman sebelum masuknya penjajahan. Penggambarannya terasa lebih mendekati kenyataan (Situmorang, 2009:317) sebagai berikut:
“Bahwa masyarakat Batak dilanda oleh kekacauan, tak mengenal hukum dan
penuh kekejaman, seperti yang dikesankan oleh berbagai laporan para
misionaris agaknya tak dapat dipandang sebagai petunjuk tentang keadaan
sebelum munculnya gerakan Padri. Terlepas dari dugaan kanibalisme, kesan
Burton dan Ward mengenai Lembah Silindung menggambarkan suasana damai
dan nyaman. Memang terdapat persaingan yang terus-menerus di kalangan
penduduk, demikian pula perkara-perkara yang mengakibatkan perang.
Tetapi, kekejaman akibat perang dibatasi oleh adanya larangan-larangan
(tabu), sedang lembaga-lembaga arbitrasi (adat) selalu terbuka lebar”.
Kesaksian misionaris Burton dan Ward dari Inggris, yang merupakan orang
Barat pertama yang masuk ke pedalaman Batak-Toba sebelum perang Padri,
pada tahun 1824 (Situmorang, 2009:330-331) memberikan gambaran sebagai
berikut:
“ … Jalan setapak itu akhirnya masuk ke lembah di sela-sela bukit, suara
sungai kecil terdengar. Perhatian kami tertambat pada tamasya riam
kecil. Waktu kami berpaling untuk mengamatinya, maka sepotong dari
wilayah Silindung mencuat dari antara pepohonan. Tak terungkapkan dengan
kata-kata kekaguman yang timbul dalam sanubari kami pada saat kami
sampai di lereng bukit, yang memberi pemandangan lebih luas. Bahkan
kuli-kuli pengangkutan barang, begitu melihat tamasya yang tak
diduga-duga ini, seolah terpaku sejenak di tempatnya berdiri, serentak
membanting bebannya ke tanah, lalu mengucapkan kata-kata kagum yang
paling hangat. Hal utama yang paling tampak ialah sebuah daratan,
panjang kira-kira 12 mil, lebar 3 mil, terdiri dari persawahan yang luas
memanjang tak putus-putus. Sebuah sungai yang lebar, berkelok-kelok
dari ujung ke ujung daratan, lengkap dengan sejumlah anak sungai
penyumbang airnya dan member air ke tali-tali air buatan untuk keperluan
irigasi ke segala penjuru angin, menghiasi daratan. Tetapi
terlebih-lebih banyaknya desa di pinggirnya dan yang bertebaran di sana,
dan ramainya penduduk yang berkumpul di pasar-pusatnya. Begitu juga
corak ragam barang-barang hasil usaha dan kegiatan manusia, memberi
pemandangan yang terlalu mengagumkan hingga tak terucapkan. Dataran
dikelilingi oleh rangkaian bukit, tingginya antara 500 sampai 1.000
kaki, semuanya dalam keadaan terpelihara. Seluruh daerah sekelilingnya
bebas hutan, kecuali puncak beberapa gunung tinggi, yang kata orang
didiami oleh ular-ular naga dan roh-roh jahat. Di sini kami beristirahat
sebentar merundingkan rencana selanjutnya sebelum turun memasuki
lembah, sambil melepaskan tembakan-tembakan bedil, sebagai pertanda dan
salam memberitahukan kedatangan kami sebagai tamu”.
Selama dua minggu Burton dan Ward di Silindung di tengah-tengah
masyarakat di sana yang disambut oleh raja-raja Batak dengan tortor.
Burton dan Ward menulis memoar dan menceritakan bahwa orang Batak Toba
merupakan masyarakat yang ramah-tamah. Meskipun kemudian maksud Burton
dan Ward untuk menjadikan mereka Kristen ditolak, sewaktu rombongan
kecil itu hendak kembali ke Sibolga, raja-raja dan rakyat Silindung
menjamu mereka secara adat. Sekitar 7.000 orang hadir dalam acara pesta
makan secara adat itu (Sihombing, 1961:9-11).
Demikianlah gambaran masyarakat Batak Toba di masa lalu sebelum
datangnya Padri meluluh-lantakkan negeri makmur yang aman-tenteram itu
dan sebelum datangnya para misionaris RMG dari Jerman serta penjajah
Belanda. Tergambar kepada kita bagaimana masyarakat Toba sebelum
mengalami pengalaman traumatis akibat kejamnya perang Padri dan perang
Toba melawan Belanda serta tekanan penjajahan Belanda. Itu masyarakat
Toba dengan sistim huta-horja-bius dan lembaga-lembaga lainnya. ***
Tulisan ini telah dimuat di:
Koran BATAK POS,
Edisi 04 & 11 Agustus 2012 dan 01 September 2012
Edisi 04 & 11 Agustus 2012 dan 01 September 2012
Horas amang tulisan ini sangat menarik. Saya Jakob Siringoringo juga mengelola blog untuk sebuah organisasi namanya Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)Wilayah Tano Batak. Bisa dikungjungi di amantanobatak.wordpress.com
ReplyDeleteUntuk itu, sebagai bagian dari pemberitaan lebih luas mengenai sejarah kita boleh kah saya memuat ulang tulisan amang ini di blog amantanobatak? Tentu dengan mencantumkan sumbernya. Itu pasti.
Terima kasih amang.
Horas ma tutu,
DeleteBoi do dimuat web-blog muna i, asal ma dimuat nama penulis dohot sumber blog sopo panisioan on. Mauliate.