• Mamodomi Boru

    Mungkin semua orang sering mendengar istilah kawin lari, di Mandailing. Biasa disebut dengan Mangalojongkon Boru. Bila seorang pemuda membawa kawin lari seorang gadis, biasanya si gadis ditemani satu orang gadis juga yang disebut dengan Pandongani. Dalam tradisi Mandailing ini masih sering terjadi. Untuk menghindari sesuatu yang dianggap melanggar norma-norma, lahirlah tradisi yaitu “Mamodomi Boru”. Mamodomi Boru artinya, meramaikan/menemani seorang gadis yang mau menikah pada malam hari dirumah kediaman calon suaminya sebelum dijatuhi akad nikah. Mamodomi boru biasanya diramaikan oleh gadis-gadis setempat selama tiga malam. Dan rumah kediaman calon suami akan selalu ramai karena, pemuda-pemuda juga ikut berkunjung ke rumah itu.

    Pada momen ini juga biasanya disediakan daun sirih (Burangir) beserta dengan kombinasinya seperti sontang sejenis daun kering yang biasa dimakan bersamaan dengan daun sirih. Dan perlu diketahui sontang bisa jadi obat saat suara kita serak.

    Bila para gadis mau tidur, diperkenankan kepada para pemuda untuk bubar. Begitulah seterusnya pada setiap malamnya sampai akad nikah telah dilaksanakan.


    Mamodomi boru sering juga disebut dengan istilah paboru-boru. Seperti yang diuraikan tadi, bila akad nikah sudah dilakukan sipandongani juga boleh pulang kerumahnya. Tapi perlu diketahui sebelumnya, kalau selama akad nikah belum terlaksana. Dari pihak laki-laki atau calon suami harus pergi ke rumah orangtua calon istri, untuk menyatakan kalau anak gadisnya telah dibawa kawin lari, ini biasa disebut mandokon ulang agoan. Nah begitulah salah satu adat di Mandailing yang mempunyai nilai dan norma
    yang baik.

    Oleh: Musor Lubis Tobing dan Mr. Tanjung


    Markusip
    Keadaan sudah jauh berubah di tanah Mandailing. Dahulu kala, hingga tahun 70an, cara berpacaran antara pemuda dan gadis adalah dengan cara markusip. Semua orang Mandailing tahu cerita markusip ini.

    Caranya si pemuda akan datang ke sebelah rumah si gadis, ataupun ke kolong rumah si gadis pada malam hari. Waktunya, tentu setelah diperkirakan ayah si gadis telah tertidur.

    Pada malam hari itu, si pemuda akan memanggil nama si gadis dengan berbisik. Si gadispun akan menjawab dengan berbisik pula. Bila telah berlanjut perkenalan ini, si pemuda akan tahan berbisik-bisik dengan si gadis ini sepanjang malam. Begitulah sistem bercinta di Mandailing pada zaman dahulu. Sejak hati mereka bertaut, si pemuda tak akan bosan-bosannya datang untuk markusip ke rumah si gadis ini pada malam hari. Ada pemuda yang datang setiap malam. Ada yang lima kali seminggu. Tergantung berapa rindu si laki-laki. Cara markusip ini cuma sampai berbisik-bisik. Tak lebih dari itu. Yang paling lucu, bila si pemuda ada di kolong rumah si gadis. Dia akan tetap  Berada di situ hingga pembicaraan mereka tuntas, atau mereka saling dapat mengobati rasa rindu mereka dengan pertemuan markusip itu. Terkadang orang yang markusip akan saling mengenal setelah mereka membuat perjanjian untuk saling melihat. Bukan saling berjumpa. Sebab untuk berjumpa seorang gadis dan seorang pemuda, adalah sesuatu yang tabu di Mandailing pada zaman dulu. Jadi mereka cuma saling bertatapan dari jarak jauh. Dan malamnya markusip kembali. Si gadis tetap di dalam rumah. Dan si pemuda di kolong rumah. Begitulah cara markusip. Dalam acara markusip ini, biasanya akan membicarakan masalah percintaan atau masalah perkawinan mereka. Si ayah atau si ibu tak pernah melihat gadis mereka bertemu lelaki. Tapi banyak di antara  mereka telah punya hubungan cinta dengan cara bisik-bisik atau dinamakan markusip di tanah Mandailing. Begitulah yang dirasakan si pemuda kalau mau memadu kasih. Dia mesti mau ke kolong rumah si gadis di gelapnya malam. Tak perduli ada ular atau lipan di situ. Sementara si gadis di dalam rumah. Begitulah cara markusip. Tapi semua ini sudah tinggal cerita. Tak ada lagi masyarakat yang melakukan markusip si zaman sekarang ini

    Ditulis oleh Mr. Tanjung panyabungan.