Sunday, April 22, 2012

Beberapa Catatan mengenai Tuanku Rao dan Perang Paderi

Beberapa Catatan mengenai Tuanku Rao dan Perang Paderi
Oleh Batara R Hutagalung
Disampaikan dalam Seminar “Perang Paderi, 1803 – 1838. Aspek Sosial Budaya, Sosial Psikologi, Agama dan Manajemen Konflik."
Di Arsip Nasional RI, Jakarta, 22 Januari 2008.


Pendahuluan

Sejak terbit pertama kali tahun 1964, buku karya Mangaraja Onggang
Parlindungan (MOP), ‘Tuanku Rao. Teror Agama Islam Mazhab Hambali di
Tanah Batak. 1816 – 1833.’ telah menuai banyak kritik dan sanggahan.
Sanggahan tertulis pertama datang dari HAMKA dengan bukunya yang
berjudul: Antara Fakta Dan Khayal. “TUANKU RAO.” Secara garis besar
HAMKA menyebutkan, bahwa isi buku MOP 80 % bohong dan 20 % meragukan.

Cetakan kedua buku MOP terbit pada bulan Juni 2007, dan buku yang
langsung memberikan sanggahan terhadap buku tersebut ditulis oleh
Basyral Hamidy Harahap, dengan judul ‘Greget Tuanku Rao.’
Selain
kedua buku tersebut, berbagai silang pendapat dan kontroversi mengenai
Tuanku Rao dan Perang Paderi muncul dalam berbagai tulisan, baik di
media massa maupun di internet.

Mengenai sosok dan asal-usul Tuanku
Rao sendiri terdapat beragam versi. Namun kelihatannya tak satupun yang
dapat mengklaim, bahwa pendapatnyalah yang paling benar, karena semua
versi hanya bedasarkan cerita rakyat atau cerita keluarga yang tidak
dapat melampirkan dokumen yang otentik, termasuk yang dikemukakan oleh
HAMKA. Dalam bukunya, HAMKA menyebut suatu sumber Belanda, J.B.
Neumann, Kontelir BB, yang menyebut bahwa Tuanku Rao berasal dari
Padang Matinggi, bukan orang Bakkara. Sumber Neumann juga orang
Belanda, Residen T.J. Willer. (Hlm. 239)
Sumber lain yang disebut
oleh HAMKA adalah Asrul Sani, yang juga menyebut bahwa Tuanku Rao
adalah orang Padang Matinggi. Namun tidak disebutkan, dari mana sumber
informasinya. (Hlm. 240)
Bahkan Sanusi Pane menganggap, bahwa Tuanku Rao dan Tuanku Tambusai adalah orang yang satu itu juga. (Hlm. 242)

Selain mengenai sosok Tuanku Rao, HAMKA juga membantah keterangan
mengenai sejumlah tokoh yang ditulis oleh MOP dalam bukunya. Juga HAMKA
membantah segala bentuk kekerasan dan perkosaan terhadap perempuan
Batak.
Buku BHH ‘Greget Tuanku Rao’ membantah beberapa hal yang
ditulis oleh MOP, namun dia membenarkan terjadinya tindak kekerasan
seperti perkosaan yang dilakukan oleh tentara Paderi.

Bantah membantah mengenai suatu tulisan atau peristiwa adalah hal yang biasa,
juga dalam penulisan sejarah. Banyak kalangan dari etnis Jawa membantah
adanya Perang Bubat yang terjadi pada tahun 1357. Namun kenyataannya,
di kota-kota di Jawa Barat tidak ada nama jalan Gajah Mada, Hayam Wuruk
atau Majapahit, karena di masyarakat Sunda, berkembang cerita
sebagimana tertulis dalam Kidung Sunda.

Tuanku Rao Dalam Turi-Turian Batak

Di masyarakat Batak, baik Mandailing, Angkola, Sipirok, Padang Lawas
maupun Toba, cerita rakyat dikenal sebagai turi-turian atau cerita yang
dituturkan oleh seorang Bayo Parturi. Turi-turian yang juga diceritakan
turun temurun oleh para orang tua kepada anak-cucunya dapat bersumber
dari peristiwa yang benar-benar terjadi, tetapi bisa juga legenda atau
hikayat, yang hanya merupakan produk fantasi dari nenek moyang.

Walaupun etnis Batak memiliki aksara sendiri yang dinamakan ‘Surat
Batak’, namun sangat sedikit sastra Batak yang dituliskan dengan Surat
Batak. Pada umumnya, Surat Batak digunakan untuk menuliskan ilmu
kedukunan dan surat-menyurat, dan di beberapa daerah, antara lain di
Karo, Angkola dan Simalungun, Surat Batak digunakan untuk menuliskan
syair. Hal ini yang menyebabkan, banyak turi-turian tidak ditulis dalam
Surat Batak, melainkan hanya melalui penuturan secara lisan
turun-temurun dari nenek moyang ke anak cucu, atau dituturkan oleh Bayo
Partuturi.

Mengenai asal-usul Tuanku Rao, terdapat beberapa versi.
Versi yang paling banyak berkembang adalah versi yang ditulis oleh
Mangaraja Onggang Palindungan (MOP) dalam bukunya ‘Tuanku Rao. Teror
Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak. 1816 – 1833.’
Dalam
buku ini disebutkan, bahwa Tuanku Rao adalah anak hasil hubungan gelap
dari Gana boru Sinambela, putri Singamangaraja IX dengan paman
kandungnya sendiri, Gindoporang Sinambela, adik dari Singamangaraja X.

Ketika Gana Sinambela hamil akibat hubungan dengan pamannya, kehamilan
ini diketahui oleh ayahnya. Untuk menutup aib ini, Gindoporang dan Gana
diasingkan ke Singkil, Aceh, karena untuk hamil di luar nikah, apalagi
hasil hubungan dengan keluarga sendiri (incest), sanksinya adalah
hukuman mati.

Di Singkil, Gindoporang masuk agama Islam dan
mengambil nama Muhammad Zainal Amirudin Sinambela. Gana sendiri tidak
bersedia masuk Islam, dan tetap menganut agama Batak, Parmalim. Ketika
putra mereka lahir, Gindoporang memberikan nama Muhammad Fakih Amirudin
Sinambela. Oleh ibunya, dia diberi nama Pongki Na Ngolngolan yang
artinya adalah Fakih yang menunggu-nunggu, karena Gana masih berharap,
suatu hari akan dapat kembali ke Tanah Batak.

Setelah
Singamangaraja IX meninggal, dia diganti oleh putranya, yang menjadi
Singamangaraja X. Singamangaraja X memanggil kembali adiknya, Gana
Sinambela bersama putranya, Pongkinangolngolan.
Beberapa Datu
(dukun) di Bakkara yang mengetahui mengenai asal-usul
Pongkinangolngolan meramalkan, bahwa suatu hari dia akan membunuh
Singamangaraja X. Oleh karena itu mereka mendesak, agar
Pongkinagolngolan dihukum mati.

Pongkinangolngolan dapat
menyelamatkan diri dan mengembara sampai ke Mandailing, di mana dia
kemudian menjadi anak didik Tuanku Nan Renceh. Setelah masuk Islam,
namanya diganti menjadi Umar Katab. Nama Katab apabila dibaca dari
belakang menjadi Batak. Umar Katab ini kemudian bergelar Tuanku Rao.
Demikian asal-usul Tuanku Rao menurut versi MOP.

Versi lain
menyebutkan, bahwa Tuanku Rao adalah putra dari Nai Napatihan, putri
Singamangaraja X, yang menikah dengan putra Ompu Palti Raja dari marga
keturunan Si Raja Lontung. Nai Napatihan dan Suaminya yang putra
pejabat lembaga Ompu Palti Raja tersebut, diungsikan secara santun oleh
Sisingamangaraja X ke Singkil, Aceh, agar tidak menjadi saingannya di
kemudian hari. Dalam pengungsian lahirlah seorang anak yang bernama
Pongkinangolngolan yang kemudian dikenal bernama Fakih Amiruddin.

Juga
ada versi yang menyebutkan bahwa Ibunya adalah Nai Napatihan Sinambela
yang menikah dengan seorang putra Aceh dan kemudian diusir dari tanah
Batak.
Ada versi lain yang ditulis oleh seorang sarjana Batak
dalam disertasinya di UGM, yang menyatakan bahwa Pongkinangolngolan
bukanlah Tuanku Rao, tapi orang yang berbeda. Pongkinangolngolan
bersama Tuanku Rao berseteru dengan Sisingamangaraja X dalam sebuah
konstalasi politik saat itu.
(lihat weblog: http://islamkaro.blogspot.com/2006/11/perkawinan-inses.html)

Dalam bukunya Antara Fakta Dan Khayal “TUANKU RAO”, HAMKA menulis,
bahwa Tuanku Rao berasal dari Padang Matinggi, Rao Padang Nunang. (Hlm.
240).

Imam Bonjol sendiri menulis dalam catatan hariannya, bahwa
Tuanku Rao berasal dari suatu desa di Mandailing (sebagaimana
disampaikan oleh Dr. Phil. Ichwan Azhary dalam diskusi ‘Hikayat Tuanku
Rao dan Kilas Balik Perang Paderi’ di Medan, 24 November 2007 dan di
Pematang Siantar, 26 November 2007). Namun tidak diterangkan lebih
lanjut mengenai asal-usul Tuanku Rao. Mungkin Imam Bonjol hanya
mengetahui, bahwa Tuanku Rao datang dari suatu desa di Mandailing dan
tidak mengetahui lebih lanjut mengenai asal-usulnya apakah memang asli
dari daerah tersebut.

Agresi kaum Paderi ke Sumatra Utara

Mengenai agresi kaum Padri ke Tanah Batak yang dikenal di kalangan
Batak sebagai “Tingki Ni Pidari” atau “Zaman Padri”, dua sesepuh Batak,
Drs Muara Sitorus dan Edith Dumasi Nababan, SH, yang hadir dalam
diskusi ‘Hikayat Tuanku Rao dan Kilas Balik Perang Paderi’ yang
diselenggarakan di Sekretariat Plot (Pusat Latihan Opera Batak)
Siantar, pada Senin 26 November 2007, memberikan kesaksiannya: (Dikutip
dari harian METRO SIANTAR edisi 27, 28 dan 29 November 2007).

“... Drs Muara Sitorus, seorang mantan guru, misalnya, menyatakan
sangat senang saat harian METRO SIANTAR menulis kisah Perang Paderi dan
'cerita kelam' dalam keluarga Dinasti Singamangaraja, sebanyak empat
seri. "Saya tak menyangka, di zaman sekarang masih ada orang yang
peduli dengan kisah sejarah di masa lalu. Terima kasih METRO," kata
tokoh masyarakat asal Porsea yang merantau ke Siantar, mengawali (
terima kasih kembali, Pak, red).

Selanjutnya ia mengatakan, fakta
sejarah yang ditulis Parlindungan dalam buku Tuanku Rao, sudah lama
didengarnya, jauh sebelum buku Tuanku Rao terbit. "Saya sudah lama
mendengar kisah mengenai Tingki ni Pidari. Itu adalah kisah mengenai
Pasukan Paderi menyerang Tanah Batak. Dari peristiwa Tingki ni Pidari
inilah, muncul istilah Monjo (mirip dengan bunyi Bonjol). Monjo ini
adalah sebutan orang Batak menyebut Pasukan Paderi," katanya.

Kalau pasukan Paderi datang, orang-orang akan berteriak "Monjo
datang...Monjo datang!" "Kalau ada teriakan Monjo, itu menjadi pertanda
bagi orang-orang Batak yang mendengarnya, untuk lari ke hutan
menyelamatkan diri," katanya. Kisah ini didengarnya dari
orang-orangtua, yang diceritakan secara lisan. Karena itu, Drs Muara
Sitorus senang dengan penerbitan buku Tuanku Rao, dan menegaskan, kalau
kisah di dalamnya adalah fakta sejarah.

Mendukung pernyataan Drs
Muara Sitorus, Ibu Edith Dumasi Br Nababan, mantan Hakim Agung yang
hadir dalam diskusi di Sekretariat PLOt itu mengatakan, Tingki Ni
Pidari itu sungguh benar terjadi. "Saya sudah lama mendengar kisah
mengenai kisah Tingki Ni Pidari. Dan seperti dikatakan Pak Sitorus,
pasukan Imam Bonjol itu disebut Monjo. Kalau Monjo datang, seluruh
orang Batak haruslah berlari menyelamatkan diri ke hutan," katanya.

Sayangnya, hanya anak-anak,wanita, dan pria yang tengah bekerja di
sawah yang sempat melarikan diri ke hutan. Sementara yang tinggal di
rumah, umumnya perempuan-perempuan cantik yang bekerja menenun
ulos/kain, tak sempat kabur.

Untuk memaksa orang-orang yang
sembunyi di rumah agar keluar, Pasukan Paderi pun membakar rumah-rumah.
Semua perempuan yang bersembunyi dalam rumah terpaksa keluar, daripada
terpanggang hidup-hidup. "Itulah makanya, rumah-rumah Batak habis di
daerah Silindung. Hanya di Toba saja yang masih tersisa sedikit,"
katanya ...

... Yang melarikan diri ke hutan, sebagian besar
mati kelaparan. Hanya yang kuat-kuat dan umumnya tak cantik, yang
bertahan selamat. "Itulah sebabnya, perempuan-perempuan Batak yang
cantik baru ada sekarang ini. Itu karena yang cantik-cantik sudah mati
dipancung atau diperkosa oleh Monjo, atau kelaparan di hutan. Hanya
perempuan-perempuan kuat dan berbadan tegap, yang umumnya tak begitu
cantik yang berhasil bertahan hidup di hutan. Makanya
perempuan-perempuan Batak sampai waktu yang cukup lama, umumnya tak
cantik. Sekarang saja, baru ada perempuan Batak yang cantik," kata Ibu
Edith Dumasi Br Nababan, yang masih saudara kandung dengan Dr SAE
Nababan, mantan Ephorus HKBP.

Selain membenarkan adanya kisah
mengenai Tingki ni Pidari yang disebutnya sebagai masa kelam di Tanah
Batak --seperti diceritakan oleh Parlindungan dalam buku Tuanku Rao--
Ibu Edith Nababan yang juga istri Ir Sahat Lumban Tobing (alm) ini
mengatakan, kisah mengenai Pongkinangolngolan Sinambela alias Tuanku
Rao, adalah benar merupakan bere (keponakan) Singamangaraja X. Tapi
karena Pongkinangolngolan memiliki kekuatan batin/spiritual, sejumlah
datu di Bakkara mengatakan dia harus diusir/dibunuh. Itulah kisahnya
maka dia terusir hingga ke Minang.

"Mertua dari mertua saya masih
keturunan Dinasti Singamangaraja. Dan saya ada mendengar keberadaan
Pongkinangolngolan sebagai bere Singamangaraja X, yang membunuh
tulangnya (paman – red) itu," kata mantan Ketua Pengadilan Tinggi di
Lampung yang juga pernah menjabat sebagai wakil Ketua Pengadilan Tinggi
di Jawa Baratdan di Kalbar ini.
Caranya, Pongkinangolngolan yang
sudah begelar Tuanku Rao, mengirim pesan ke Tulang-nya, untuk menerima
pisau sebagai hadiah. Namun saat Tulangnya datang dari Bakkara,
Pongkinangolngolan memeluk Tulang-nya itu dan menikamnya hingga tewas
(versi MO Parlindungan, Singamangajara X dibunuh Jatengger Siregar).

Dari sana, Pasukan Paderi menyerang kampung Tulang-nya di Bakkara, dan
menjarah harta benda, seperti perhiasan, baju, ternak, untuk logistik
tentara. "Itulah cerita yang saya dengar dari ayah saya. Bahkan bibi
dari ayah saya adalah salahsatu yang sempat ditawan Pasukan Paderi,
yang berhasil melarikan diri dengan mengikuti aliran Aek Sigeaon," kata
ibu Edith Nababan (yang selanjutnya diwawancarai METRO).

Saat
epidemi penyakit merajalela, Pasukan Paderi mundur dari Tanah Batak.
Namun sebagian memilih tinggal di Silindung, di daerah Sosorpadang, dan
sampai sekarang masih ditempati oleh orang Padang yang Islam. "Sampai
saat ini mereka tidak pernah diganggu," kata ibu yang saat ini menjabat
sebagai Ketua Paguyuban Darma Wulan (Warga Usia Lanjut) cabang Medan.

Ibu Edith juga mengaku, sempat kenal dengan Sutan Martua Raja, ayah MO
Parlindungan, si penulis buku Tuanku Rao. Saat itu, mereka tinggal
bertetangga di Siantar. Ibu Edith sendiri kala itu masih murid SD,
sementara Sutan Martua Raja sudah tua.

Menurut ibu yang sudah
berambut putih ini, orang Batak tidak tersinggung dan tidak perlu
dendam membaca buku Tuanku Rao. "Sejarah kelam di Tanah Tapanuli jangan
sampai menumbuhkan dendam. Kekerasan horizontal antarsuku ataupun atas
nama agama/kepercayaan harus diakhiri. Mari kita membuka diri menerima
fakta, bahwa orang orang Batak pernah kalah dalam Perang Paderi. Dan
mari kita belajar dari sejarah, dengan tidak mengulangi perbuatan
kekerasan. Karena sejarah memang sangat mungkin berulang," kata ibu
yang saat masih gadis ini sudah menjabat sebagai Ketua PN Taput dan
Dairi...’

Demikian juga buku yang ditulis oleh Basyral Hamidy
Harahap (BHH), memaparkan penyerbuan tentara Paderi ke Simanabun yang
dipimpin oleh Tuanku Tambusai. BHH menuliskan a.l.: (lihat Weblognya:
http://www.basyral-hamidy-harahap.com/blog)
‘… Sebagai penulis, ada
debar-debum jantung saya ketika menulis bab Datu Bange di dalam buku
ini. Bukan hanya karena bab ini bercerita tentang
ketidak-berperikemanusiaanan, genocide, dan dendam yang membara. Tetapi
karena ia juga bercerita tentang leluhur saya yang terus menerus
melakukan perlawanan, sekalipun mereka sudah dalam posisi yang tidak
menguntungkan. Sementara itu pasukan berbaju Putih yang
mendengung-dengungkan agama, sambil menebas kepala manusia, membakari
kampung, memperkosa, dan melakukan segala macam kebiadaban, terus
mengejar musuhnya. Inilah yang membuat pihak Belanda jadi meleleh, dan
terusik rasa kemanusiannya. Datu Bange dan rombongannya terus melakukan
perlawanan. Secara spontan pasukan Belanda kemudian melindungi
rombongan Datu Bange. Karena jika tidak demikian, sebuah tragedi
kemanusiaan yang jauh lebih kejam pasti terjadi, yang bagaimanapun
tidak akan bisa diterima manusia beradab !!!

Datu Bange dan
pengikutnya yang tidak lain adalah leluhur saya, pada akhirnya berhasil
memasuki daerah baru setelah menempuh medan yang berat, berliku-liku
naik gunung dan turun lembah serta hutan belantara dengan jarak lebih
dari 65 kilometer, dan kemudian mereka menetap di daerah Angkola dan
Mandailing Godang. Walaupun untuk itu Datu Bange harus menebusnya
dengan nyawanya sendiri…

Bahkan BHH menganggap dasar yang
digunakan oleh panitia yang mengusulkan gelar Pahlawan Nasional untuk
Tuanku Tambusai tersebut naif dan menjatuhkan harkat dan martabat Datu
Bange. BHH menulis (Hlm. 67):
“… Pada masa itu daerah-daerah
dataran tinggi yang penduduknya masih parbegu dan sering membuat
kekacauan seperti merampok dan mengambil Budak yang meresahkan
penduduk. Tuanku Tambusai ingin mengakhiri keadaan itu dengan melakukan
gerakan terhadap kelompok parbegu tadi dipimpin oleh Datu Bange, Raja
Siminabun yang bentengnya terletak di atas puncak bukit terjal di
tepian sungai Batang Pane…”

BHH menulis bahwa Datuk Bange telah
beragama Islam, namun tidak mau menerima aliran Islam yang dibawa oleh
Tuanku Tambusai. Lama sebelum gerakan Paderi mereka sudah memeluk
Islam. BHH menyatakan bahwa Datu Bange bukan perampok, melainkan Kepala
Luat Dolok, raja paling kharismatik di Padang Lawas raya yang dicintai
rakyatnya. BHH juga menonjolkan peranan ulama-ulama Sufi Mandailing
yang menyebarkan agama Islam di daerah itu berabad sebelum Paderi
datang. (Hlm. 68)

Memang Islam telah masuk ke Sumatera Utara sejak
abad 8, dan kebanyakan beraliran Syiah. Selama ratusan tahun Islam dan
agama asli Batak, Parmalim, serta penganut Hindu-Buddha dapat hidup
berdampingan dengan damai.

Banyak kalangan –termasuk HAMKA-
menolak isu tentang adanya pemerkosaan massal dan orgy tawanan
perempuan oleh sebagian pasukan Paderi. Cerita tentang bagaimana
anggota Paderi melampiaskan nafsu syahwatnya secara terbuka terhadap
tawanan-tawanan cantik dituding Hamka sebagai khayalan Parlindungan
belaka. Hamka juga menuduh cerita-cerita seks itu sengaja dipasang
Parlindungan untuk menarik hati para pemuda ketimbang mencari data
ilmiah. Di mata Hamka, Tuanku Lelo yang menurut Parlindungan bernama
asli Idris Nasution itu tokoh karangan Parlindungan belaka. Sedangkan
dalam bukunya, MOP menyatakan, bahwa Tuanku Lelo/Idris Nasution adalah
kakek buyutnya.

Mengenai penculikan kaum perempuan di daerah yang
telah ditaklukkan dan kemudian dijual sebagai budak, juga pernah
ditulis oleh Rosihan Anwar di harian Kompas edisi Senin, 06 Februari
2006 dengan judul ’Perang Padri yang Tak Anda Ketahui’ , di mana
tertulis:
“… Yang menarik ialah kebiasaan menculik kaum perempuan
dalam serangan, kemudian mengangkut mereka untuk dijual sebagai budak
(slaves). Kaum Padri melakukan ini di daerah Mandailing. Perdagangan
budak masa itu sebuah gejala lazim…”

Di zaman penjajahan
Belanda, perbudakan adalah hal yang resmi dipraktekkan. Bahkan ada
undang-undang perbudakan, yang berlaku sejak tahun 1640 dan secara
resmi baru dihapus tahun 1863. Namun pada kenyataannya, praktek
perbudakan di wilayah jajahan Belanda masih berlangsung hingga akhir
abad 19. Demikian juga dengan perkosaaan terhadap perempuan di daerah
diserang dan telah dikalahkan atau diduduki. Hal ini masih terus
terjadi hingga sekarang.

Dalam bukunya ‘Antara Fakta dan
Khayalan’ -entah disadari atau tidak- HAMKA banyak membeberkan tindak
kekerasan dalam penyebaran beberapa aliran Islam di Timur-Tengah,
terutama yang dilakukan untuk menyebarluaskan sesuatu aliran atau
mazhab. HAMKA juga menuliskan kekejaman Tuanku Nan Renceh yang sangat
fanatik kewahabiannya, yang memerintahkan untuk membunuh adik ibunya,
karena tidak mau mengikuti sembahyang. (Hlm. 238)

Mengenai
pakaian putih yang dikenakan oleh para ulama di Minangkabau, HAMKA
menulis, bahwa warna putih yang dikenakan oleh para ulama merupakan
warisan dari agama Buddha. HAMKA menulis (Hlm. 303):
“… Bahkan
warna putih itu mungkin sudah ada sejak orang Minangkabau masih memeluk
Agama Budha. Biksu-biksu Budha berjalan dengan pakaian selendang putih
meminta bakal (mungkin yang dimaksud adalah bekal – pen.) makanan
kepada penduduk. Setelah datang Agama Islam pusaka secara Budha itu
diteruskan oleh santri-santri di Minangkabau yang dinamai ‘Orang
Siak’.: Mereka bersarung putih, berbaju dan celana putih meminta
sedekah bekal mengaji tiap-tiap hari Kamis ke runah-rumah penduduk…”


Memang sulit untuk memberikan penilaian terhadap peristiwa atau hal-hal
yang terjadi di masa lalu, dengan ukuran kemanusiaan sekarang. Juga
apabila tidak ada atau kurangnya data, fakta dan dokumen yang dapat
memperkuat cerita rakyat atau penuturan mengenai suatu peristiwa
sejarah.

Referensi:
- Mangaraja Onggang Parlindungan, ‘Tuanku Rao. Teror Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak. 1816 – 1833.’ Cetakan kedua, Penerbit LkiS, Yogyakarta, 2007
- HAMKA, Antara Fakta Dan Khayal. “TUANKU RAO.” Penerbit Bulan Bintang, Jakarta, 1964
- Basyral Hamidy Harahap, ‘Greget Tuanku Rao.’ Penerbit Komunitas Bambu, Jakarta, 2007.
- Beberapa Situs dan Weblog internet.


Sumber:
http://batarahutagalung.blogspot.com/2008/01/beberapa-catatan-mengenai-tuanku-rao.html

No comments:

Post a Comment