Friday, April 27, 2012

TENTANG PARMALIMON DAN AGAMA MALIM


TENTANG PARMALIMON DAN AGAMA MALIM

  

Pengantar:
Hanya sedikit diantara kita, termasuk orang Batak sekalipun, yang mengenal komunitas Parmalim, sebuah komunitas masyarakat Batak Toba (sebagian besar) yang menjalankan kepercayaan asli dan berakar pada kebudayaan Batak. Mereka meyakini Sisingamangaraja sebagai salah seorang nabi, penerima wahyu dari Tuhan yang mereka sebut Mula Jadi Nabolon.
Salah satu yang tidak banyak diketahui orang tentang Agama Malim ini adalah mereka berpantang memakan daging babi dan makanan yang mengandung darah. Selain itu mereka juga dilarang untuk menebang kayu di hutan sembarangan.
Bulan April 2009 saya berkesempatan mengunjungi pusat Agama Malim di Huta Tinggi, Kecamatan Laguboti Kabupaten Tobasa dan bertemu langsung dengan Raja Ihutan (gelar pemimpin tertinggi agama Parmalim) Raja Marnangkok Naipospos, dan saudaranya Monang Naipospos yang adalah salah satu tokoh intelektual Parmalim yang paling aktif menulis dan menjadi semacam kepala bidang hubungan dengan masyarakat luar Agama Parmalim, dan yang dalam Pemilu Legislatif tahun 2009 yang lalu terpilih menjadi salah seorang aggota DPRD Kabupaten Toba Samosir.
Tulisan berikut ini adalah kutipan langsung dari web resmi Agama Malim yaitu www.parmalim.com atas seijin dari Monang Naipospos.

HAMALIMON BATAK

Hubungan dengan Mulajadi Nabolon disebut “Ugamo” inti ajaran dalam menjalankan hubungan itu disebut “Hamalimon”.

Pengertian “Malim” ada dua bagian: “Malim” sebagai sifat dasar yang dituju, berawal dari “Haiason” dan “Parsolamon”. Yang kedua adalah “Malim” sebagai sosok pribadi.


Haiasaon diartikan kebersihan. Kebersihan fisik dan rohani. Parsolamon diartikan membatasi diri dari menikmati dan bertindak.

Ada beberapa pribadi leluhur di tanah batak yang dianggap sebagai Malim, yakni Raja Uti, Simarimbulubosi dan Sisingamangaraja.

Mereka menganjurkan panyampaian persembahan kepada Mulajadi Nabolon yang disebut Pelean Debata “na ias jala malim” bersih dan suci. Pelaksanaannya diawali dari pribadi (keluarga) seperti penyampaian “patumona ni naniula” kegiatan se kampung yang merupakan klan dalam satu parsantian.

Biasanya kumpulan satu rumpun keluarga semarga termasuk boru dan paisolat (pendatang). Persembahan suci sebagai ucapan syukur kepada Mulajadi Nabolon dilakukan pada Upacara Bius dengan persembahan kerbau yang disebut Horbo Santi atau Horbo Bius.

Horbo Santi, seekor kerbau (sitingko tanduk siopat pusoran) pilihan bertanduk bulat dan empat pusar. Kerbau ini dipelihara berbulan-bulan sebelum dipersembahkan. Kerbau ini bila masuk kehalaman orang, dianggap anugerah, bila masuk ke kebun tidak didenda.
HARAJAON BATAK

Raja Uti dikenal menerima amanah mengajarkan Hamalimon dan pola penyembahan terhadap Mulajadi Nabolon. Beliau juga menerima amanat “Harajaon” pertama sekali di tanah Batak walaupun tidak dilakukan secara terlembaga. Raja Uti dianugerahi Mulajadi Nabolon “Mula ni Harajaon na marsuhi ni ampang naopat”.

Suhi ni ampang naopat menjadi dasar konsep kelembagaan masyarakat, harajaon dan paradaton. Harajaon Bius yang kemudian dikembangkan Sisingamangaraja selalu mengacu kepada empat orang Raja utama. Mereka disebut Pargomgom, Pangumei, Partahi dan Namora. Keempat Raja ini dilengkapi perangkat tambahan yang penyebutannya berbeda di masing-masing bius, seperti parmaksi, partingting, nabegu dll. Untuk menghindari adanya kasta diantara mereka sering juga disebut Raja Naualu. Keempat Raja tadi lazim juga disebut Raja Naopat atau Raja Maropat. Raja Bius juga disebut Raja Parbaringin. Konsep ini sudah lama di tanah Batak sebelum mengenal raja Merampat di Aceh, karena kebetulan saja sama. Sering peneliti menyatakan Sisingamangaraja meniru konsep ini dari Aceh.

Sisingamangaraja menerima wejangan dari Raja Uti untuk pelaksanaan amanah “maningahon” harajaon, patik, uhum, hamalimon. Harajaon “na marsuhi ni ampang naopat” tetap menjadi landasan pelaksanaannya.
Otonomi dinikmati masyarakat. Beliau tidak menjadi raja untuk kekuasaan sentral. Demokrasi Batak dibangun dan dipelihara. Tujuan ketakwaan kepada Mulajadi Nabolon dipenuhi, hormat kepada pemimpin masyarakat (pantun marraja) dan sayang terhadap sesama manusia.

Bius dibenahi menjadi Dewan Pertimbangan Kebijaksanaan yang dilakukan oleh Huta. Bius diwajibkan memenuhi syarat memiliki “onan” untuk bursa ekonomi rakyat dan berfungsi ganda meliputi pelayanan kesehatan dan pelayanan pertimbangan hukum. Di onan juga disediakan area “partungkoan” para pemimpin “raja-raja” bius, huta dan perangkatnya.

Onan adalah pekan atau pasar. Onan dibentuk sebagai persyaratan ini menjadi bius. Ada hukum di onan yang disebut, osos hau tanggurung tongka masipaurakan. Bila terjadi persenggolan tidak boleh bersengketa. Onan dijaga oleh seorang pendekar partigabolit menjamin keamanan. Di Onan dilakukan mediasi permasalahan hukum oleh para Raja Bius dan juga Pusat Pelayanan Kesehatan Masyarakat oleh Sibaso dan Tiang Aras.

Bius juga melakukan “Pardebataon” minimal sekali dalam satu tahun yakni peyampaian persembahan kepada Mulajadi Nabolon atas limpahan rejeki hasil panen yang diberikan.


Agamanya (Ugamo?) ada pada tatanan keteraturan, kedamaian dan ketakwaan kepada Mulajadi Nabolon dengan mempedomani syarat Hamalimon. Sistem ini yang kemudian dikenal dengan Harajaon Malim.

MASA KRISIS

Sisingamangaraja XI sudah melihat adanya ancaman kemerosotan kepercayaan yang tumbuh sejak lama di tanah Batak. Dampak dari serangan padri sangat terasa dalam perubahan moral dan perekonomian. Tatanam kemasyarakatan, adat, patik, uhum, harajaon, dan hamalimon terancam punah.

Pada era Sisingamangaraja XII pergolakan di Tanah Batak semakin keruh, pembangkangan semakin banyak, keberpihakan kepada penjajah dan misi baru semakin deras. Dulunya para Raja Bius Parbaringin yang sangat mendukung Raja Sisingamangaraja XII menentang penjajahan mulai merosot. Diantara kerabat para raja tradisional itu ada yang diangkat kolonial menjadi raja versi mereka. Para raja angkatan penjajah ini melakukan pendekatan dan penekanan kepada para Raja Parbaringin dan para pejuang pro Sisingamangaraja XII untuk melenturkan peranannya.

Pada suatu ketika, Raja Sisingamangaraja XII membuat maklumat bahwa beliau sakit. Para Raja Bius menjadi pesimis, tidak seorangpun menjenguk beliau. Pada saat itu Raja Mulia Naipospos Raja Parbaringin dari Bius Laguboti berangkat menuju Bakkara. Ternyata Raja Sisingamangaraja XII sehat walafiat. Kepada Raja Mulia dipaparkan ancaman yang akan datang dan semakin lemahnya dukungan perjuangan menentang penjajahan.

Hamalimon dalam Habatahon itu akan pupus bila dibiarkan tanpa pertahanan. Sisingamangaraja XII menyusun strategi lebih tegas dalam bentuk aksi. Raja Mulia memegang teguh peranannya untuk tidak muncul sebagai sosok perlawanan anti kolonial, sehingga lebih didekatkan kepada Missionaris Nommensen di Sigumpar. Ini merupakan pengkaderan secara terselubung agar tidak segera dipatahkan oleh gerakan misi kristen dan penjajah.
Guru Somalaing Pardede melakukan aksi pengorganisasian hamalimon. Sisingamangaraja XII sebelumnya lebih mempercayainya sebagai penasehat perang. Ajaran Guru Somalaing makin mengkristal. Sebelumnya Raja Sisingamangaraja XII sudah mengetahui ajarannya ada dipengaruhi kepercayaan Romawi oleh Modigliano dengan penambahan tokoh spiritual Patuan Raja Rum, dan tidak mendapat restu. Gerakan spontan ini mengakibatkan beliau ditangkap dan dibuang.
Setelah Raja Sisingamangaraja XII diumumkan gugur 17 Juni 1907 dalam perjuangan melawan penjajah, tanah batak berduka, ada yang pesimis dan ada yang optimis. Yang pesimis mengikuti jejak penjajah, dan yang optimis tetap melakukan perjuangan mempertahankan hak dan kebebasan.


PELEMBAGAAN UGAMO MALIM

Ugamo diartikan suatu kumpulan orang yang melakukan aksi membentuk hubungan dengan Penciptanya. Raja Mulia yang menerima amanah sedikit ragu atas kemampuannya, hingga beliau ditemui oleh seorang sosok yang kumal. Beliau menagih janji untuk melembagakan hamalimon yang disebut UGAMO MALIM. Ketika Raja Mulia hendak mengucapkan kata pernyataannya siapa diri yang menemuinya, beliau spontan menghentikan dan mengenalkan diri “Nasiakbagi” tidak memiliki harajaon, dan harta benda serta kampung halaman.
Raja Mulia bersedih, karena harus memperkenalkannya “sahabatnya” (didepan umum disebut sahabat, namun dalam pengakuannya adalah sebagai guru, raja dan MALIM) seperti, marga Simatupang, teman pedagang, teman main judi dan lain sebagainya. Para pengikutnya menyebut Nasiakbagi lebih terhormat menjadi “Raja Nasiakbagi”. Apa yang diamanatkan Sisingamangaraja XII sebelumnya itu juga dituntut pelaksanaannya.
Munculnya Raja Nasiakbagi semakin menguatkan keyakinan Raja Mulia Naipospos akan pesan yang telah diamanatkan Raja Sisingamangaraja sebelumnya. Raja Nasiakbagi menyerahkan konsep pengorganisasian dan ajaran Ugamo Malim sesuai dengan apa yang diterimanya dari Raja Sisingamangaraja. Raja Nasiakbagi selalu menolak apabila dirinya dianggap sosok Raja Sisingamangaraja XII ataupun penjelmaannya. Beliau selalu mengatakan bahwa Sisingamangaraja sudah berada disisi Mulajadi Nabolon.
Gayus Hutahaean dengan semangatnya menyebarkan informasi bahwa Raja Sisingamangaraja XII hidup dan jalan bareng dengan Raja Mulia Naipospos menyebabkan dia ditangkap pemerintah Belanda dan dibuang. Sejak itu tidak ada yang berani membicarakan Raja Sisingamangaraja.

Penjajah dan kroninya mencurigai langkah Raja Mulia dan sosok “Nasiakbagi” dan melakukan fitnah dan pengejaran. Raja Mulia dipenjara beberapa kali karena tidak menyebut siapa sebenarnya yang menyebut dirinya Nasiakbagi itu. Setelah melihat pola pengajaran dan pengorganisasian yang dilakukan Raja Mulia sudah mapan, akhirnya “Raja Nasiakbagi” meninggalkannya.

Tantangan dan kekerasan banyak dihadapi selama mengembangkan Ugamo Malim. Berbagai tudingan dan sebutan dilontarkan tidak dijawab. Ada yang menyebut mereka sama dengan kelompok Parhudamdam, ada yang menyebut Parsitengka ada yang menyebut Agama Sempalan dari berbagai Agama, ada yang menyebut Animisme, ada yang menyebut Sipelebegu atau Pelbegu. Sebagian lagi menyebut mereka Parugamo, dan ada yang menyebut Parsiakbagi. Semua sebutan itu tidak dibantah, karena mereka yang berkuasa saat itu lebih dominan diterima publik. Ada kepentingan mereka untuk memberikan stigma buruk kepada kelompok ini agar tidak ada yang mengikuti atau bila mungkin ditinggalkan para pengikutnya.Karena mereka adalah par-Ugamo Malim maka lebih lajim disebut menjadi Parmalim.

Mereka sering dipaksa memberikan sumbangan pembangunan gereja. Pernah mezbah persembahan Parmalim di Hatinggian dirampas dan dirobohkan atas perintah Raja Ihutan yang diangkat Penjajah. Pemerintah kolonial akhirnya memberi izin kepada Kelompok Parmalim yang dipimpin Raja Mulia Naipospos untuk mendirikan BALE PASOGIT tempat peribadatan di Hutatinggi yang dikeluarkan controleur van Toba tahun 1921.


STRATEGI PENGEMBANGAN

Raja Sisingamangaraja dan raja Nasiakbagi menanamkan motto bagi para pengikutnya untuk menerima perkembangan tanpa mengorbankan nilai spiritual Batak. Motto ini dikenal dengan : Parbinotoan Naimbaru, Ngolu Naimbaru, Tondi na marsihohot.

Parbinotoan Naimbaru: Menerima perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi demi peningkatan kualitas sumber daya manusia.

Ngolu Naimbaru: Menerima perkembangan jaman untuk meningkatkan kesejahteraan dan peradaban, tanpa melanggar etika sosial sesuai tuntunan ajaran Ugamo Malim.

Tondi na Marsihohot: Tetap bertaqwa kepada Tuhan Debata Mulajadi Nabolon melalui ajaran Sisingamangaraja - Raja Nasiakbagi tanpa dipengaruhi ajaran keyakinan agama lain.

Parmalim menyongsong masa depan, tak pernah surut melakukan pedoman dan ajaran yang dianut walau mengalami banyak hambatan external dan internal. Para tokoh Parmalim menolak mengikuti pendidikan mission kepada anak-anaknya karena harus dibaptis kristen. Raja Mulia harus menjalankan amanah, pendidikan harus dilakukan. Anak tunggalnya Raja Ungkap disekolahkan ke sekolah independent yang dikelola pendidikan Inggeris di Tambunan yang berbasis di Singapura. Tidak diwajibkan menganut agama tertentu.
Semula Raja Ungkap dianggap para tokoh Parmalim akan menjadi lawan setelah menerima pendidikan modern dan pergaulan dengan orang asing. Raja Mulia sebelumnya banyak menerima hujatan dari para rekan seperjuangannya karena masalah pendidikan itu.Raja Ungkap membuktikan sebaliknya. Walau tidak terlalu mulus, beliau mendirikan Sekolah Parmalim (Parmalim School) tanggal 1 November 1932. Sejak itu banyak anak Parmalim mendapatkan pendidikan.

Penganut Agama Batak tempo dulu banyak ditarik menjadi Kristen melalui pendidikan yang dikelola mereka. Pada umumnya para Parbaringin tidak setuju dengan pengorganisasian Ugamo Malim (Parmalim) akhirnya terlindas dengan jaman. Dengan dibukanya sekolah Parmalim generasi baru dibangun. Inilah sejarah awal dimulainya Parmalim baru yang lebih cerdas. Pendidikan misi Kristen tidak memberi pengaruh pencerdasan generasi Parmalim yang ada saat itu dan sekarang.

Raja Mulia Naipospos menyerahkan tahta kepemimpinnan kepada putra tunggalnya Raja Ungkap Naipospos pada tahun 1956. Raja Ungkap sebelumnya sudah mengalami pahit getir penggemblengan diri dari Raja Mulia ayahandanya sendiri. Raja Ungkap adalah generasi kedua dan pertama sekali menerima pendidikan sekolah. Beliau menguasai Bahasa Inggeris, Belanda dan Jepang.

Dengan berpedoman kepada prinsip parbinotoan naimbaru (ilmu pengetahuan baru), ngolu naimbaru (hidup lebih sejahtera) tondi na marsihohot (kepercayaan yang teguh), beliau melanjutkan apa yang telah dibentuk dan dirintis Raja Mulia.

Beliau juga memimpin misi penguatan ajaran Ugamo Malim bagi para pemeluknya yang berpusat di Sait Ni Huta, Uluan. Gerakan itu juga meningkat hingga mencari peluang kehidupan yang lebih baik dengan gerakan manombang. Mereka mencari peluang kehidupan baru di daerah Sumatera Timur – Simalungun tepatnya daerah Bah Jambi. Disana berdiri sebuah perkampungan khusus untuk Parmalim dan disebut Kampung Malim. Sejak itu, Parmalim menyebar dari Toba ke daerah subur Sumatera bagian Timur.Langkah itu, telah memperkuat kesatuan (kelembagaan), kemandirian, kedamaian, dan kekuatan iman Parmalim.

Pendidikan dan pemanfaatan peluang kehidupan, kewirausahaan bukan ajaran baru bagi Parmalim yang sampai saat ini sudah banyak menghasilkan SDM dan berperan di berbagai kegiatan, pemerintahan maupun swasta.

Masyarakat umum tidak dapat lagi mengenal Parmalim dalam pandangan yang kaku seperti sosok dukun, berjambang, makan sirih, pakai tongkat, ikat kepala, pakai ulos, bau kemenyan, ahli nujum dan lusuh. Image itu sejak lama dipraktekkan kelompok tertentu dan menganggap Parmalim merupakan obyek yang perlu diselamatkan dan digiring kehadapan Tuhan menurut cara mereka. Sampai saat ini pemahaman ini masih ada, dan sejak masa pembentukan wujud Parmalim yang lebih maju dan mandiri itu, sebaliknya masih banyak orang menganggap Parmalim sudah punah.
Pernah sekelompok mahasiswa Sekolah tinggi Agama dari Tarutung berkunjung ke Pusat Parmalim di Hutatinggi. Mereka berpikir akan berhadapan dengan sosok manusia berjambang, makan sirih, pakaian serba hitam, bau kemenyan dan asesori rumah tinggal dipenuhi patung-patung berhala dan tunggal panaluan. Katanya itu dari refrensi mata kuliah mereka.


Sumber:

No comments:

Post a Comment