• Investasi Bisnis versus Hak Adat


    Nestor Rico Tambunan
    Keadilan, kata pengarang Prancis Emile Zola, tak mungkin ada kecuali dalam kebenaran. Dan kebahagiaan tak mungkin ada, kecuali dalam keadilan.

    Kebenaran ucapan Emile Zola ini akan amat terasa bila merenungi nasib masyarakat adat di berbagai belahan bumi Nusantara saat ini. Perusahaan-perusahaan besar terus menerobos deras menanam investasi sampai ke jantung pemukiman suku-suku dan masyarakat adat, menguasai tanah dan segala kekayaannya, dan memarjinalkan hak-hak ulayat masyarakat adat setempat.

    Masyarakat-masyarakat adat semakin tersingkir dan dimiskinkan. Padahal, masyarakat-masyarakat itu sudah turun-temurun hidup di sana, jauh sebelum perusahaan itu ada, bahkan sebelum negeri ini berdiri.

    Lalu, dimana kebenaran dan keadilan?

    Kasus Masyarakat Tapanuli

    Salah satu contoh pemarjinalan hak masyarakat adat paling kontroversial adalah pencaplokan hutan-hutan alam di kawasan Tapanuli dan sekitar Danau Toba, Sumatera Utara, oleh PT Inti Indorayon Utama (IIU) yang belakangan berubah jadi PT Toba Pulp Lestari (TPL).

    Perusahaan penghasil pulp ini mendapat konsesi hak penguasaan hutan tanaman industri (HPHTI) dari pemerintah tahun 1983. Dengan senjata konsesi itu, anak perusahaan grup Raja Garuda Mas milik konglomerat Sukanto Tanoto ini menebangi hutan-hutan di kawasan Tapanuli dan selanjutnya mengganti dengan tanaman eukaliptus. Masyarakat-masyarakat adat Batak yang sudah turun temurun mengelola dan menjaga hutan tersebut protes, sehingga menimbulkan bentrok fisik, hukum, dan konflik sosial.

    Konflik itu terus berlangsung selama 27 tahun. Konflik terakhir adalah protes masyarakat atas penebangan hutan kemenyan di Kab. Humbang Hasundutan. Kemenyan adalah komoditi unggulan lokal kawasan Humbang yang sangat langka, bukan hanya untuk ukuran Indonesia, bahkan dunia, karena hanya ada hutan di wilayah ini. Sudah ratusan tahun hutan kemenyan tersebut secara turun temurun menjadi sumber ekonomi penduduk setempat.

    TPL merasa berhak menebangi hutan kemenyan dan kemudian mengganti dengan eukaliptus, dengan alasan hutan tersebut masuk kawasan konsesi HPHTI mereka. Dari sekitar 30.000-an hektar hutan kemenyan, konon kini hanya tersisa 7.400 hektar. Sisa itu pun terus mendapat tekanan, karena dikelilingi hutan tanaman industri TPL.

    Masyarakat adat Humbang Hasundutan tidak berdaya, karena seperti dalam konflik-konflik sebelumnya, aparat keamanan dan hukum cenderung selalu berpihak pada TPL dan cepat mengkriminalisasi rakyat. Sementara pemerintah-pemerintah daerah, entah kenapa, cenderung diam dan jadi penonton.

    TPL dengan enteng menjawab semua klaim masyarakat dengan berlindung pada pemerintah selaku pemberi konsesi hak pengusahaan hutan. "TPL ini enggak punya tanah, yang punya tanah itu negara. Pemerintah memberikannya kepada kami dalam bentuk konsesi, jadi kalau mau komplain, mestinya bukan ke TPL, tetapi ke pemerintah," kata Direktur PT TPL Juanda Panjaitan. (Kompas, 28/7/ 2010).

    Kasus di Berbagai Daerah
    Sejarah kehidupan orang Batak di kawasan Tapanuli dan sekitar Danau Toba telah berlangsung turun temurun sejak 600 – 700 tahun lalu. Dengan kearifan khas adat Batak, masing-masing masyarakat adat menjaga hutan ulayat mereka. Hutan-hutan adat itu mengandung nilai dan fungsi konservasi yang tinggi.

    Sukanto Tanoto, pemilik Raja Garuda Mas dan TPL adalah pengusaha HPH, kelapa sawit, dan pabrik kertas yang termasuk orang terkaya di Indonesia, bahkan di dunia. Ketika nenek-moyang orang Batak mulai bermukim di Tapanuli, mungkin nenek moyang Sukanto Tanoto masih di daratan China. Sungguh tak adil, masyarakat adat Batak di kawasan Tapanuli dan sekitar Danau Toba dikalahkan (dikorbankan) untuk seorang konglomerat China yang sudah mahakaya.

    Tapi masyarakat Tapanuli tidak sendirian. Di berbagai kawasan lain di Sumatera, antara lain di Riau, juga terjadi kasus yang sama. Tidak hanya dengan pemegang konsesi HPH, tapi juga perkebunan-perkebunan kelapa sawit besar. Di Kalimantan, hak ulayat masyarakat-masyarakat adat Dayak sudah lama tercerai-berai oleh para pengusaha HPH. Belakangan muncul pula perkebunan-perkebunan kelapa sawit dan pengusaha-pengusaha pemegang konsesi hak penguasaan tambang (HPT) batubara.

    Dulu hutan-hutan Kalimantan ditebang, sekarang ditanami kelapa sawit atau dikeruk. Bukan hanya hutan, bahkan perkampungan, kebun, dan sawah masyarakat Dayak tahu-tahu telah berada dalam konsesi perkebunan atau pertambangan para pengusaha yang datang entah dari mana. Seperti dikeluhkan Kepala Desa Long Bentuk, Kab. Kutai Timur, Kaltim, Benediktus Beng Lui, saat ini desanya terancam perluasan kebun kelapa sawit. Ketika perusahaan itu mendapat izin dari pemerintah, keberadaan desa itu tidak dicantumkan (Kompas, 20/10/2010).
    Nasib yang sama juga kemungkinan akan menimpa wilayah Papua, yang kini jadi sasaran baru para investor, termasuk perkebunan. Apalagi, belakangan pemerintah sedang gencar menggolkan gagasan pertanian berskala luas, seperti proyek Merauke Integrated Food and Energy Estate di Merauke.

    Mengakomodasi Hak Adat
    Hingga saat ini, memang belum satu pun peraturan perundangan di Indonesia yang mengakui kepemilikan tanah masyarakat adat. Baik UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan maupun SK Menhut No. 44/2005 menyatakan tanah milik Negara. Artinya, hak kepemilikan tanah berada di tangan pemerintah. Pemerintah hanya mengakui hak kelola terhadap suatu tanah adat oleh masyarakat setempat, namun kepemilikan tidak.

    Karena milik negara itu, pemerintah berhak mengkonsesikan kawasan hutan pada perusahaan swasta. Persoalannya, pemberian konsesi itu tanpa melihat di dalamnya terdapat tanah ulayat atau adat. Mestinya, pemerintah harus menghormati hak ulayat itu, karena mereka sudah mengelola tanah tersebut bahkan sebelum negara ini berdiri.

    Tanah adat, menurut hukum adat, merupakan hak-hak perorangan atas tanah yang menjadi hak pribadi, akan tetapi didalamnya mengandung unsur kebersamaan. Istilah modernnya, mengandung "fungsi sosial". Hak ini sangat perlu dipertimbangkan, karena hukum adat juga merupakan sumber utama hukum undang-undang agraria atau hukum pertanahan Indonesia.

    Akomodasi kepentingan adat di negara-negara Pasifik Selatan bisa menjadi contoh. Fiji dan Selandia Baru misalnya, selama ini mengakui dan mengakomodasi kebutuhan masyarakat adat penduduk asli. Bahkan, di Republik Rakyat China yang memakai sistem pemerintahan otoriter, keberadaan masyarakat adat (shau shu min zhu) diakui dan memiliki hak khusus.

    Dalam kasus konflik masyarakat adat dengan TPL di Humbang Hasundutan, hutan-hutan kemenyan yang ratusan tahun dikuasai dan menjadi sumber ekonomi masyarakat adat setempat mestinya bisa dikeluarkan dari kawasan hutan negara sesuai SK Menhut No. 44/2005. Pemerintah Kab. Humbang Hasundutan bisa mengajukan kepada Menteri Kehutanan agar tanah ulayat hutan kemenyan tersebut dikeluarkan dari konsesi TPL.

    Bagian dari Reformasi Agraria
    Kearifan adat dan masyarakat lokal adalah bagian dari wujud multikulturalisme dan keberagaman Indonesia. Dan itulah sesungguhnya “Indonesian Dream” – Indonesia yang kita impikan. Bersatu dalam keberagaman. Karena itu, kepemilikan masyarakat adat terhadap tanah mestinya diproteksi atau diatur dalam undang-undang, minimal dalam bentuk peraturan daerah.

    Presiden SBY pernah menjanjikan akan melaksanakan reformasi agraria. Reformasi agraria ini mestinya menjadi kesempatan mengakomodasi hak-hak ulayat masyarakat adat ini. Pemerintah harus memberi kesempatan kepada masyarakat adat untuk mengurus hak kepemilikan tanah mereka.
    Caranya, dengan melakukan harmonisasi terhadap semua peraturan perundangan yang bersentuhan dengan pertanahan. Pemerintah harus mengatur pembatasan konsesi terhadap pihak swasta yang ingin membuka lahan baru, sehingga tidak main caplok dan menyerobot kawasan tanah adat. Pemerintah juga perlu mengatur peruntukan semua kawasan hutan, sehingga bisa melakukan monitoring dan evaluasi terhadap rencana ekspansi pihak swasta. Karena, pihak swasta pasti akan terus melakukan ekspansi jika diberi kesempatan.

    Mestinya bisa. Mestinya Presiden SBY serius melaksakan komitmen politiknya di bidang agraria. Kalau tidak, ia akan dinilai sebagai pimpinan yang cuma gemar wacana.
    Masyarakat adat sudah terlalu lama dan banyak menjadi korban. Telah begitu banyak pengusaha menjadi orang sangat kaya karena konsesi-konsesi yang diberikan pemerintah. Sementara masyarakat-masyarakat adat tetap terpuruk dalam kemiskinan, terseok-seok bertahan hidup di bumi mereka yang terkoyak-koyak.

    Kalau ketidakadilan ini kita biarkan terus berlangsung, lalu dimana ke-Indonesia-an kita? Kalau negara terus absen, terus berpihak pada pemilik modal, rakyat akan merasa seperti yatim piatu. Kita harus hati-hati. Karena kita akan berhadapan dengan makin banyak masyarakat yang frustasi. Masyarakat yang semakin mudah marah karena merasa diperlakukan tidak adil.

    Kebahagiaan tak mungkin ada, kecuali dalam keadilan. Dan keadilan tak mungkin ada, kecuali dalam kebenaran. *


    Sumber: