Sunday, December 2, 2012

BARUS, BANDAR PERDAGANGAN INTERNASIONAL DI MASA LALU

BARUS, BANDAR PERDAGANGAN INTERNASIONAL DI MASA LALU
                                                 Oleh: Edward Simanungkalit 



1.      Kapur Barus
Berbicara mengenai kapur barus, maka nama itu langsung mengingatkan kita dengan Barus, yang dalam catatan dari Arab disebut Fansur. Produk alam yang khas ini dihasilkan dari pohon kamfer yang memiliki kandungan kristal kapur yang berbeda dengan kapur barus dari daerah lain. Komoditi inilah yang menjadikan nama Barus begitu terkenal di dunia. Sumber kuno menyebutkan bahwa kapur barus memiliki peran penting dalam kaitannya dengan lalulintas perdagangan sejak abad ke-6 M. Keberadaan kapur barus ini menjadi sumber berita bagi para pedagang/musafir asing mengenai pelabuhan yang banyak memperdagangkannya khususnya di wilayah barat pulau Sumatera. Kapur barus tersebut tentu berbeda dengan kapur barus yang kita kenal sekarang, karena kapur barus yang kita kenal sekarang merupakan barang sintetis.

Berbagai sumber menunjukkan bahwa kapur barus tidak dihasilkan hanya di daerah Barus saja, melainkan juga di sebagian Sumatera bagian timur, pedalaman Sumatera Utara, Brunei dan bagian lain Kalimantan, serta di bagian selatan Semenanjung Malaysia, bahkan Jepang, Korea, Arab, dan Cina. Bila di Korea dan Jepang, pohon yang menghasilkannya dikenal dengan nama Cinnamomum camphora dari keluarga Lauraceae, maka kamper asli dari daerah Barus,  yang disebut kapur Barus atau kapur Borneo diperoleh dari pohon Dryobalanops aromatica Gaertn, yang masuk dalam keluarga Dipterocarpaceae (Sutrisna, 2007:1).

Umumnya pohon ini tumbuh dengan ukuran diameter batang yang besar minimum 70 cm dan membentuk barisan pohon dengan ketinggian yang relatif sama dan rata dengan tinggi mencapai 60-70 meter (Whitten dkk.,1984:254).  Diketahui bahwa pada abad ke-17, selain di daerah Barus pohon ini juga banyak tumbuh di daerah Dairi dan Kelasan yang merupakan daerah pegunungan, serta di tepi sungai Cinendang (Vurren,1908:1392). Komoditi kapur barus ini berkaitan juga dengan kemenyan yang banyak dihasilkan dari daerah yang disebut belakangan ini.

Sumber-sumber yang memberikan data tentang komoditi dagang ini dirasakan masih kurang, sehingga dibutuhkan sumber-sumber lain yang dapat memberikan tambahan data tentang kapur barus dengan sumber berita-berita tertulis dari Arab dan Cina. Beberapa sumber tertulis Arab (Sutrisna, 2007:2-3) telah menceritakan tentang Barus/Fansur sebagai penghasil kamfer atau kapur barus terbaik jauh pada abad ke-8 dan 9 bahkan pada abad ke-7. Al-Quran juga telah mencatat istilah kamper/kafur. Keterangan dari sumber tertulis Arab menyebutkan bahwa kapur barus difungsikan tidak hanya untuk pewangi saja melainkan juga dalam pengobatan, membersihkan/merempahi tubuh mayat, bahan campuran rempah-rempah. Bahan ini juga banyak digunakan sebelum maupun sesudah operasi pembedahan tubuh manusia (Stephan, 2002:225-233).

Adapun sumber tertulis Cina sudah menceritakan tentang Barus/Fansur sebagai penghasil kamfer/kapur barus terbaik jauh pada abad ke-8 dan lain-lain. Selain kapur barus ada beberapa produk alam lain yang diekspor ke negeri Arab maupun Cina, di antaranya kayu gaharu, gading, timah, kayu eboni, kayu sapan, rempah-rempah, dan kemenyan. Adapun ekspor ke negeri Cina berupa gading, air mawar, kemenyan, buah-buahan, gula putih, cincin kristal, gelas, batu karang, pakaian kapas, cula badak, wangi-wangian, dan bumbu masak serta obat-obatan (Sutrisna, 2007:4-5).

Sumber tertulis dari Eropa juga mencatat perjalanan Marcopolo ke beberapa pelabuhan di Sumatera pada tahun 1291. Dalam catatan perjalanan itu Marcopolo menyebut nama sebuah tempat di bagian barat Sumatera, yakni Fansur. Disanjungnya bahwa kualitas kamper dari negeri Fansur atau Barus itu sebagai yang terbaik di dunia dan harganyapun sangat mahal (Ambary,1998). Melalui komoditi tersebut, maka Barus  menjadi dikenal bangsa-bangsa yang berada di belahan Barat maupun Timur. Hal ini tampak dari penyebutan kapur barus dalam berbagai bahasa yang digunakan oleh beberapa bangsa di dunia,  di antaranya adalah: camphora  (bahasa Latin/Yunani),  al canfor (Spanyol), kamphor (Jerman), campher (Inggeris), kafura  (Arab), campgre (Perancis), dan kamfora (bahasa Rusia).

Melalui sumber-sumber tertulis yang telah disinggung tadi, maka diperoleh gambaran bahwa kapur barus merupakan komoditi dagang yang telah dikenal para pedagang dari Arab dan Cina lebih dari seribu tahun lalu. Dalam sejarah juga disebutkan bahwa Barus pada masa lalu merupakan pusat dagang yang telah menjadikannya sebagai bandar internasional yang ramai dikunjungi, bukan hanya oleh bangsa Arab dan Cina tadi, tetapi juga bangsa-bangsa lain seperti Yunani, Spanyol, Belanda Portugis, Inggris, Korea dan Jepang.  Proses perdagangan komoditi dilakukan melalui pasar di pelabuhan maupun di daerah pedalaman. Mereka mengekspor kapur barus dan komoditi dagang lainnya ke luar negeri melalui pelabuhan Barus, sehingga telah terjadi kontak budaya dengan berbagai bangsa melalui perlabuhan tersebut. Berbagai tradisi lisan Toba ada menyebutkan Barus seperti dalam cerita Raja Uti, Sariburaja, maupun Manghuntal Sinambela yang menjadi Raja Singamangaraja I.

2.       Merosotnya Peranan Barus
Pada awal abad ke-12, Lobu Tua merupakan kawasan multietnis di Barus ditinggalkan secara mendadak oleh penghuninya sesudah kota tersebut diserang oleh kelompok yang dinamakan Gergasi. Lucas Partanda Koestoro dari Balai Arkeologi Medan menyebutkan bahwa hal ini didasarkan pada data tidak adanya satu benda arkeologis yang dihasilkan setelah awal abad ke-12 tersebut. Setelah ditinggalkan oleh komunitas multietnis tersebut, Barus kemudian dihuni oleh orang-orang Batak yang datang dari kawasan sebelah utara kota ini. Meskipun demikian, peranan Barus masih dianggap menonjol setelah dikuasai raja-raja Batak, sehingga menjadi rebutan bagi misi dagang Portugis dan Belanda.

Tome Pires, orang Portugis yang mengelilingi Sumatera  mendarat juga di Barus pada awal abad ke-16,  mencatat Barus sebagai pelabuhan yang ramai dan makmur. "Kami sekarang harus bercerita tentang Kerajaan Barus yang sangat kaya itu, yang juga dinamakan Panchur atau Pansur. Orang Gujarat menamakannya Panchur, juga bangsa Parsi, Arab, Bengali, Keling, dst. Di Sumatera namanya Baros (Baruus). Yang dibicarakan ini satu kerajaan, bukan dua," demikian catatan Pires. Tahun 1550, Belanda berhasil merebut kekuasaan perdagangan di daerah Barus dan tahun 1618, VOC mendapatkan hak istimewa perdagangan dari raja-raja Barus, melebihi hak yang diberikan kepada bangsa Cina, India, Persia, dan Mesir. Hegemoni Belanda dalam perdagangan di Barus ini menyebabkan pedagang dari daerah lain menyingkir dan pamor Barus sudah telanjur menurun, karena para pedagang beralih ke pelabuhan lain.

Barus semakin tenggelam saat Kerajaan Aceh berdiri pada permulaan abad ke-17. Kerajaan Aceh tersebut membangun pelabuhan di pantai Timur Sumatera yang lebih strategis bagi jalur perdagangan, karena berhadapan dengan Selat Melaka. Berkembangnya teknologi pembuatan kapur barus sintetis di Eropa menjadi salah satu faktor memudarnya Barus dalam peta perdagangan dunia. Pada awal abad ke-18, Barus benar-benar tenggelam dan menjadi pelabuhan sunyi yang terpencil. Kehancuran Barus semakin sempurna ketika pada tanggal 29 Desember 1948, Barus dibumihanguskan oleh pejuang kemerdekaan Indonesia sehubungan dengan adanya kabar bahwa Belanda akan menuju Barus setelah menguasai Sibolga. Akhirnya, Barus benar-benar dilupakan dan yang tinggal hanya dongeng-dongeng tentang kehebatan mistik di sana ketika penulis dua kali mengunjungi Barus pada tahun 2008 (Berbagai sumber).

Setelah jalan dari Dolok Sanggul ke Barus melalui Pakkat dibangun akhir-akhir ini, maka Barus sudah benar-benar terbuka menambah jalan yang sudah ada sebelumnya dari Sibolga. Jika jalan dari Barus menuju Aceh Singkil telah bagus, maka Barus sudah benar-benar terbuka. Apalagi Bonaran Situmeang, anak Barus itu, menjadi Bupati Tapanuli Tengah sekarang ini, maka harapan pemekaran Barus Raya menjadi sebuah kabupaten semakin besar bagi masyarakat di sana. ***


Telah dimuat di:
Harian BATAK POS
Edisi Sabtu, 1 Desember 2012

SEJARAH BARUS

SEJARAH  BARUS
Oleh: Edward Simanungkalit



Palembang disebut-sebut sebagai kota tertua di Indonesia yang didirikan pada tanggal 17 Juni 683 M. Padahal, ada kota lain yang jauh lebih tua dan kota itu justru berada di Sumatera Utara, yaitu Barus. Barus sangat mungkin merupakan kota tertua di Indonesia mengingat Barus  sudah disebut-sebut namanya sejak awal Masehi oleh literatur-literatur Arab, India, Tamil, Yunani, Syiria, Armenia, China, dan sebagainya. Claudius Ptolomeus, di dalam bukunya “Geographia”, telah membuat peta Barousai (Barus) pada abad kedua. Ptolomeus, adalah Gubernur Kerajaan Yunani di Alexandria, menyebutkan bahwa Barus berada di pesisir barat (Sumatera Utara) yang merupakan sebuah bandar niaga penghasil kapur barus. Kapur barus yang diolah dari kayu kamfer ini, menurut Marco Polo, memiliki kwalitas terbaik di dunia. Kemenyan banyak juga diperdagangkan di Barus yang dihasilkan dari pedalaman negeri Batak.
Adapun nama, ‘Barousai’, tercatat dalam sejarah Dinasti Liang, raja-raja China Selatan yang memerintah pada abad ke-6, dan sejak saat itu Barus dikenal hingga sekarang dan sering dihubungkan dengan Kamper (Kapur Barus). Tentang nama Kamper, catatan tertulis tertua diketahui dari dokumen ‘Surat-surat Lama’ yang ditemukan di Dunhuang (Cina) yang ditulis oleh pedagang Sogdian pada abad ke-4. Sementara di Eropa, catatan pertama mengenai Kamper diperoleh dari catatan seorang dokter Yunani Actius Amida (502-578 M)(Hidayatullah, 2012:1).
Orang-orang Kristen telah masuk di  Barus pada tahun 645 M dan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia pun juga mempercayai hal ini (Sijabat, 2007:34-35). Barus, yang dikenal juga dengan sebutan Fansur ini, dicatat oleh seorang penulis Kristen Nestorian bernama Shaik Abu Saleh al Armini dalam satu dokumen penting dalam bahasa Arab yang ditulis dalam abad XII dan telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris tahun 1895. Di dalam dokumen ini dicatat bahwa telah ada orang Kristen sejak abad ke-7 di Fansur, Barus. Sementara itu, penjelajah dari Armenia Mabousahl mencatat bahwa pada abad ke-12 telah terdapat Gereja Katolik “Bunda Perawan Maria” di Barus (Kompas, 01/04-2005).
Pedagang Arab memasuki Barus sekitar 627-643 M dan menyebarkan agama Islam di sana. Ada juga utusan Khulafaur Rasyidin, bernama Syekh Ismail, akan ke Samudera Pasai dan singgah di Barus, sekitar tahun 634 M. Sejak itu, tercatat bangsa Arab-Islam mendirikan koloni di Barus. Bangsa Arab menamakan Barus dengan sebutan Fansur atau Fansuri, misalnya oleh penulis Sulaiman pada 851 M dalam bukunya “Silsilatus Tawarikh.” (Wanti, 2007). Berdasakan buku Nuchbatuddar karya Addimasqi, Barus juga dikenal sebagai daerah awal masuknya agama Islam sekitar abad 7 M. 
Penulis di Makam Tuan Ambar (Barus, 19/03-2008)

Menurut literatur kuno Tiongkok, sekitar tahun 625 M telah ada sebuah perkampungan Arab Islam di pesisir Sumatera, yaitu Barus. Termuan G.R. Tibbets ini diperkuat HAMKA yang menyebutkan bahwa seorang pencatat sejarah Tiongkok yang mengembara pada tahun 674 M telah menemukan satu kelompok bangsa Arab yang membuat kampung dan berdiam di pesisir Barat Sumatera. Ini sebabnya, HAMKA menulis bahwa penemuan tersebut telah mengubah pandangan orang tentang sejarah masuknya agama Islam di tanah air. HAMKA juga menambahkan bahwa temuan ini telah diyakini kebenarannya oleh para pencatat sejarah dunia Islam di Princetown University di Amerika (Ridyasmara, 2006). 
 
Sebuah Tim Arkeolog yang berasal dari Ecole Francaise D’extreme-Orient (EFEO) Prancis yang bekerjasama dengan peneliti Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (PPAN) melakukan penelitian di Lobu Tua, Barus, menemukan bahwa Barus telah menjadi  sebuah perkampungan multi etnis pada sekitar abad 9-12 M. Dahulu kala sudah ada bermukim di Barus dari berbagai suku bangsa seperti Arab, Aceh, India, China, Tamil, Jawa, Batak, Minangkabau, Bugis, Bengkulu, dan sebagainya. Tim tersebut menemukan banyak benda berkualitas tinggi yang usianya sudah ratusan tahun dan ini menandakan dahulu kala kehidupan di Barus sangatlah makmur (Kompas, 01/04-2005).
Prasasti yang ditemukan di Lobu Tua, Barus dibuat tahun 1088 dalam bahasa Tamil. Prasasti itu menyebutkan bahwa paling sedikit semenjak abad ke-11, telah bermukim di kota Barus sebuah koloni bangsa Tamil. Menurut batu Lobutua itu, mereka tergabung dalam sebuah perusahaan, terkenal dengan nama ”kelompok 500″ yang tidak asing lagi bagi orang-orang India waktu itu. Perusahaan swasta yang mereka wakili, merupakan perusahaan dagang cukup kuat, merdeka dalam tindakan dan tidak gampang tunduk pada salah satu raja yang berkuasa di sekitar Barus. Mereka inilah yang membeli beberapa hasil dari rakyat terutama kapur barus untuk diekspor ke luar negeri (Kompas, 01/04-2005).
                                                                          *****
 
Sehubungan dengan sejarah Barus tadi, maka kawasan Barus juga dikuasai oleh Raja-raja dari dua dinasti, yaitu Barus Hulu dan Barus Hilir. Barus Hulu adalah Dinasti Pardosi yang berasal dari Toba, sedang Barus Hilir adalah Dinasti Hatorusan yang berasal dari Tarusan, Minangkabau, keturunan Raja Pagarruyung, tetapi sejak awal di Barus memakai marga Pasaribu. Manuskrip  naskah hulu yaitu Asal Keturunan Raja dalam Negeri Barus dari Dinasti Pardosi, dan naskah hilir yaitu Sejarah Tuanku Batu Badan dari Dinasti Hatorusan. Kedua naskah tersebut diteliti oleh Jane Drakard dan diterbitkan dengan judul “Sejarah Raja-Raja Barus: Dua Naskah Dari Barus” (Drakard, 2003).
Dinasti Pardosi berdasarkan naskah  Asal Keturunan Raja dalam Negeri Barus dimulai dengan kata-kata: “Bermula dihikayatkan suatu raja dalam negeri Toba sila-silahi (Silalahi) lua’ Baligi (Luat Balige), kampung Parsoluhan, suku Pohan .” Raja Kesaktian itu memiliki anak, Alang Pardoksi (Pardosi), meninggalkan tanah Toba sebagai berikut:
1. Raja Kesaktian (di Toba)
2. Alang Pardosi pindah ke Rambe dan mendirikan istana di Gotting, Tukka
3. Pucaro Duan Pardosi di Tukka
4. Guru Marsakot Pardosi di Lobu Tua
5. Raja Tutung Pardosi di Tukka, berselisih dengan Raja Rambe di Pakkat.
6. Tuan Namora Raja Pardosi
n Ada gap yang lama, beberapa raja difase ini tidak terdokumentasi
7. Raja Tua Pardosi
8. Raja Kadir Pardosi (Pertama masuk Islam)
9. Raja Mualif Pardosi
10. Sultan Marah Pangsu Pardosi (700-an Hijriyah)
11. Sultan Marah Sifat Pardosi
12. Tuanku Maharaja Bongsu Pardosi (1054 H)
13. Tuanku Raja Kecil Pardosi
14. Sultan Daeng Pardosi
15. Sultan Marah Tulang Pardosi
16. Sultan Munawar Syah Pardosi
17. Sultan Marah Pangkat Pardosi (1170 H)
18. Sultan Baginda Raja Adil Pardosi (1213 H)
19. Sultan Sailan Pardosi (1241 H )
20. Sultan Limba Tua Pardosi
21. Sultan Ma’in Intan Pardosi
22. Sultan Agama yang bernama Sultan Subum Pardosi
23. Sultan Marah Tulang yang bernama Sultan Nangu Pardosi (1270 H) (Marbun, 2005)
Dinasti Hatorusan berdasarkan naskah Sejarah Tuanku Batu Badan sebagai berikut:
1. Sultan Ibrahimsyah Pasaribu (gelar Raja Hatorusan). Wafat 1610 Masehi.
2. Sultan Yusuf Pasaribu
3. Sultan Adil Pasaribu
4. Tuanku Sultan Pasaribu
5. Sultan Raja Kecil Pasaribu
6. Sultan Emas Pasaribu
7. Sultan Kesyari Pasaribu
8. Sultan Main Alam Pasaribu
9. Sultan Perhimpunan Pasaribu
10. Sultan Marah Laut bin Sultan Main Alam Pasaribu pada tahun 1289 Rabiul Akhir atau tanggal 17 Juni 1872 M, menuliskan kembali Sejarah Tuanku Batu Badan dari sebuah naskah tua peninggalan leluhurnya yang hampir lapuk (Marbun, 2005).
Akhirnya, dapat dipastikan bahwa Barus adalah kota tertua di Indonesia. Bahkan tidak mustahil bahwa Barus ini merupakan kota prasejarah juga. Barus memiliki sejarahnya tersendiri meskipun sempat ditinggalkan hingga menjadikan Barus menjadi kota tertutup. Kini Barus mulai terbuka kembali. ***

Telah dimuat di:
Harian BATAK POS
Edisi Sabtu, 24 Oktober 2012