• TANGGUNGJAWAB BERSAMA MELESTARIKAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN MENCINTAI DAN MEMELIHARA POHON


    Oleh Elias Situmorang

    Sejak revolusi industri di Inggris pada abad XIX hingga dewasa ini, masalah lingkungan hidup menjadi salah satu pokok permasalahan yang hangat dibicarakan. Di satu sisi mesti diakui bahwa revolusi industri banyak membawa keuntungan dan kemudahan dalam hidup manusia, akan tetapi di sisi lain revolusi industri ini juga membawa dampak negatif bagi manusia secara khusus lingkungan hidup. Untuk kepentingan industri tidak jarang alam digerogoti, hutan alam ditebangi untuk menumpuk kekayaan tanpa mempertimbangkan aspek keseimbangan ekologis. Perlakuan manusia yang kurang arif terhadap lingkungan hidup mengakibatkan kerugian besar bagi manusia itu sendiri: banjir, longsor, susutnya air bersih, pancaroba cuasa, pemanasan global, dan lain sebagainya.

    Dampak Penebangan Hutan Alam Tropis
    Pelbagai upaya dilakukan agar perusakan hutan, terutama hutan alam tropis dapat dihentikan, misalnya pada pertengahan 1989 diadakan suatu konfrensi besar mengenai curah hujan hutan tropis di Sao Paolo Brasil. Konfrensi yang berjudul “Pers dan Planet” tersebut bertujuan untuk mengajak orang-orang pers agar berminat lebih besar terhadap masalah kerusakan hutan tropis di seluruh dunia.

    Indonesia memiliki hutan hujan tropis yang sangat besar dan luas. Karena salah satu kekayaan inilah, kondisi dan perubahan atmosfir di atas wilayah Indonesia jelas sangat berpengaruh terhadap keadaan cuaca dunia. Apa maksudnya? Jelas, Indonesia mengemban tugas dan tanggungjawab besar untuk melindungi, menjaga, dan melestarikan hutan tropisnya sebaik mungkin agar cuaca dunia tetap terjaga dalam kondisi normal. Namun fakta menunjukkan bahwa hutan tropis Indonesia dari tahun ke tahun semakin terancam. Menurut data Bank Dunia 2002, setiap 12 detik, satu lapangan bola hutan tropis Indonesia lenyap dibabat. Indonesia juga menyandang gelar juara pertama “lomba” merusak hutan, dengan “melenyapkan” dua persen hutan tropisnya setiap tahun yang dilakukan oleh para pembalak liar. Akibat ulah para pelaku illegal logging ini negara rugi Rp 45 triliun per tahun. Tapi para pelaku illegal logging ini tidak terusik sedikit pun untuk berhenti membabat hutan. Mereka terlalu rakus dan tak bisa disadarkan dengan alasan beradab seperti pelestarian keanekaragaman hayati (Tempo, Edisi 10-16 September 2007, hlm 23).

    Perambahan hutan yang berlebihan, biasanya bertujuan untuk keperluan ekonomi yaitu perdagangan kayu, baik dalam negeri maupun antar negara. Dalam memanfaatkan hutan untuk perdagangan dan juga untuk bahan baku industri pulp dan rayon, sering dan bahkan dapat dikatakan selalu didasari dengan prinsip “memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya dengan cepat, dan lupa atau tanpa memikirkan penanaman pohon untuk penghutanan kembali”. Pembabatan hutan dengan cara ini jelas akan merusak lingkungan hidup. Dalam waktu singkat, hutan sudah rusak berat karena proses penghancuran jauh lebih mudah daripada proses perbaikannya.

    Sebagai bandingan kita dapat bercermin pada luas hutan yang lenyab di wilayah Kabupaten Tapanuli Utara, Dairi, Toba Samosir, dan Simalungun yang menjadi daerah sumber bahan baku bagi kegiatan operasional PT Inti Indorayon Utama (PT IIU), yang berdiri sejak tahun 1986 di Porsea Sumut. Selama sepuluh tahun beroperasi diperkirakan sudah ada sekitar 100.000 hektar hutan di daerah ini yang habis ditebangi oleh PT IIU. Penebangan hutan seluas itu telah mengakibatkan terganggunya siklus hodrologi disertai berbagai kerusakan lingkungan lainnya seperti kepunahan berbagai species serangga, burung, binatang liar, dan berbagai jenis tanaman (bdk. Jansen H.Sinamo, Dampak Operasi PT.Inti Indorayon Utama Terhadap Lingkungan Danau Toba. Jakarta: Yayasan Perhimpunan Pencinta Danau Toba, 1999). Dampak lain penebagan hutan secara tebang habis ini juga membuat hilangnya mata pencaharian penduduk dari hutan berupa rotan, damar, kemenyan, dan binatang langka semakin terancam habitatnya.

    PT IIU memang menanami sebagian hutan alam yang mereka pakai dengan menggunakan tanaman Eukaliptus. Akan tetapi proses pergantian hutan alam menjadi hutan monokultur yang menggunakan sejumlah pestisida, herbisida, dan pupuk kimia mempercepat musnahnya berbagai spesies serangga dan keanekaragaman genetik secara umum. Pada gilirannya, hal ini akan mempercepat berkembangnya sejumlah hama dan patogen yang merusak tanaman baru tersebut. Kejadian seperti ini misalnya sudah pernah diamati sejumlah ahli lingkungan hidup di hutan eukaliptus di daerah Kerala, India, yang habis musnah oleh sejenis fungi yang mematikan.

    Keadaan yang sangat memprihatinkan ini mendorong ribuan masyarakat Porsea dan Samosir yang mengalami banyak penderitaan akibat kehadiran PT IIU, melakukan protes besar-besar dengan satu tuntutan kepada pemerintah untuk segera menutup perusahaan penghasil pulp dan rayon. Dibawah terik matahari mereka menggelar unjuk rasa di depan kantor DPRD Sumut (Harian Sinar Indonesia Baru, Medan, Kamis 11 Juni 1998 hlm 1 klm 1-3). Akibat derasnya tuntutan masyarakat, PT IIU sempat ditutup selama dua tahun tidak dapat beroperasi namun sejak tahun 2002 dibuka kembali dengan syarat yang ketat dan dengan nama baru yakni PT Toba Pulp Lestari (PT TPL).

    Membangun Rasa Cinta Terhadap Lingkungan
    Jurgen Moltman, seorang filsuf dan pecinta lingkungan hidup mengatakan bahwa kerusakan lingkungan hidup secara khusus pembabatan hutan yang berlebihan berarti dengan sendirinya merupakan salah satu bentuk penghancuran areal yang menyediakan dasar untuk hidup manusia sebagai keseluruhan. Lebih khusus Prof. Dr. Emil Salim, Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup Indonesia periode 1987-1992 melukiskan keadaan bumi sedang berada dalam keadaan yang rusak. Emil Salim menyebutkan penyebab utamanya adalah karena pengeksploitasian pohon diberbagai tempat di muka bumi ini. Dalam keterangannya disebutkan bahwa salah satu ancaman yang paling serius akibat kerusakan yang dialami bumi adalah naiknya suhu bumi. Menurut Emil Salim akibat lain dari pengeksploitasian pohon tersebut adalah iklim yang tidak menentu, kerusakan tanah, air bersih makin sulit, dan udara makin panas (“Tangis Sang Bumi” dalam Tempo tahun XX No. 28 April 1990, hlm 73).

    Pernyataan Emil Salim sepuluh tahun silam ini masih tetap aktual untuk didegungkan pada millenium baru ini sebab sampai sekarang pun pembabatan hutan masih tetap terjadi. Mochtar Lubis, salah seorang budayawan Indonesia juga mengungkapkan keprihatinannya yang mendalam khususnya menyangkut masalah pengeksploitasian hutan alam yang tak kenal ampun. Kerakusan manusia itu dilukiskan Mochtar Lubis dengan pernyataan yang sungguh menyayat hati.

    “Hati saya sungguh merasa terganggu. Hutan tak ubahnya seakan sebuah Medan perang ditinggalkan oleh pasukan-pasukan yang berperang. Tunggul-tunggul pohon besar jadi monument kehancuran hutan dan pohon-pohon yang ditebang untuk membuka jalan bagi menarik pohon-pohon komersial ke sungai, terbaring malang melintang sebagai mayat-mayat serdadu yang tewas. Mereka ditinggalkan begitu saja, karena nilai komersilnya tidak ada atau rendah sama sekali” (dikutif dari buku Hansjurg Steinling, Menuju Kelestarian Hutan. Jakarta: Obor, 1988).

    Pernyataan ketiga tokoh ini dapat kita jadikan dasar untuk menggugah perasaan dan nurani kita agar mencintai dan berani berjuang untuk melestarikan lingkungan hidup serta berefleksi akan keberadaan dan makna pepohonan dalam menunjang kelangsungan hidup manusia dan makhluk lainnya di muka bumi ini.

    Peranan manusia dalam proses pembentukan pelestarian alam sangat penting dan sangat dominan. Lingkungan yang lestari sangat ditentukan oleh sikap dan tindakan manusia. Interaksi yang sepadan antara manusia dan lingkungannya melulu ditentukan oleh manusia sebagai pemegang kekuasaan yang mesti digunakan secara arif. Dasar untuk dapat bersahabat dengan alam adalah dengan menanamkan rasa cinta yang mendalam terhadap lingkungan hidup. Manusia dalam dirinya mempunyai potensi untuk mencinta. Cinta pada lingkungan hidup dengan segala makhluk didalamnya, akan menciptakan damai dan harmoni antara manusia dan alam lingkungannya.

    Selanjutnya rasa cinta pada lingkungan hidup akan membawa kesadaran mendalam bahwa dunia dan segala isinya termasuk manusia adalah satu, dalam arti sama-sama memiliki peranan penting dalam tatanan dunia. Interaksi dari setiap unsur atau komponen alam ini menyatu membentuk keutuhan dunia. Di dalam segalanya itu, manusia punya keistimewaan yakni memiliki akal budi. Keistimewaan yang dimiliki manusia ini sekaligus memikul tanggung jawab besar dalam melestarikan lingkungan dengan segala yang ada di dalamnya. Manusia diberi Allah kuasa untuk memelihara segala ciptaan-Nya dengan penuh tanggung jawab. Dengan ini jelas bahwa cinta pada lingkungan hidup dengan segala makhluk di dalamnya akan menciptakan damai dan harmoni antara manusia dan alam lingkungannya.

    Tanam dan Pelihara Pohon
    Pendayagunaan setiap ciptaan hendaknya didasari berbagai pertimbangan yang matang dan sehat. Sebelum bertindak, terutama menyangkut penebangan pohon, hendaknya disadari bahwa pohon itu bukan hanya milik seorang atau kelompok tertentu. Umat manusia diharapkan bersama-sama melestarikan pohon bukan hanaya dengan cara retoris tetapi telebih dengan tindakan kongkrit. Setiap orang diharapkan mau dan penuh kesadaran untuk menanam dan memelihara pohon atau jenis tanaman lain di segala tempat yang memungkinkan.

    Setiap orang, secara khusus pengusaha pemegang HPH diharapkan sedapat mungkin menghentikan pemotongan pohon sampai keberadaan lingkungan hidup dalam hal ini hutan alam sudah pulih kembali. Sebagai contoh analogi: Sebelum seseorang menebang sebatang pohon dalam kebunnya pertama-tama haruslah mempertimbangkan waktu yang diperlukan untuk menanam pohon itu dan dampak sampingan penebangan pohon itu. Tanpa ada pertimbangan, maka tidak sedikit kerugian yang harus ditanggung oleh si pemilik kebun itu sendiri. Manusia boleh mengolah kekayaan alam akan tetapi harus memperhatikan berberapa catatan penting yang tak dapat diabaikan yakni bertindak secara bertanggungjawab, memikirkan masa depan generasi mendatang, dan mengembangkan sikap konservatif.

    Kongkritnya untuk menjadi sahabat lingkungan hidup tidak perlu harus seorang pakar, tidak harus anggota organisasi atau lembaga terkait, tidak harus aktivis atau selebritis, dan tidak harus terhambat dengan ketiadaan dana. Karena yang diperlukan adalah komitmen, tekad kuat, tujuan mulia, solusi yang mudah dimengerti, menerapkan kepedulian dalam kehidupan sehari-hari dengan kemauan menanam dan memelihara pohon demi masa depan anak cucu bangsa. Semua kita punya tanggungjawab bersama untuk melestarikan dan memelihara pohon bukan hanya dengan cara retoris tetapi terlebih dengan tindakan kongkrit.


    Sumber: