Tuesday, January 10, 2017

KETIKA TOBA BERUBAH JADI BATAK

KETIKA TOBA BERUBAH JADI BATAK
Oleh: Edward Simanungkalit *


Orang Toba Berdiam di Toba Na Sae
Sejak kecil, penulis memahami diri sendiri sebagai Halak Toba atau Orang Toba pada paruh kedua tahun 1960-an. Itu yang penulis ketahui dari para orangtua di lingkungan penulis di saat berada di Kabupaten Dairi. Para orangtua sering berkata: “Anggo adat ni hita, halak Toba, asing do adatna tu adat ni dongan Pakpak manang dongan Karo.” i.e. : “Kalau adat kita, orang Toba, berbeda dengan adat dari saudara kita, Pakpak maupun Karo.”. Begitu kira-kira disampaikan, sehingga terlihat kontras antara Orang Toba dengan Orang Pakpak maupun Orang Karo, yang jelas memberikan identifikasi diri bahwa diri penulis adalah Halak Toba atau Orang Toba. Demikian juga, ketika penulis berada di daerah Karo, maka ketika menyebut marga penulis, maka Orang Karo menyebut penulis: “O’ kalak Tebba.” Begitu juga Orang Pakpak menyebut penulis: “Kalak Tebba”. Kedua perkataan ini artinya: “Halak Toba” atau “Orang Toba”. Jadi, penulis adalah Halak Toba atau Orang Toba.

Ketika ada orang dari Sidikalang mau ke bekas daerah Tapanuli Utara dulu sebelum pemekaran (Taput Lama). Maka ditanyakan mereka mau ke mana, maka jawabannya: “Naeng tu Toba” i.e.: “Mau ke Toba” dan dilanjutkan penjelasannya di mana Tobanya itu, yaitu: Pangururan,  Dolok Sanggul, Lintong ni Huta, Siborong-borong, Tarutung, Balige, Porsea, Laguboti, dll. Demikian juga, ketika mereka kembali dari daerah-daerah tersebut, maka mereka berkata: “Dari Toba”. Bus-bus umum pun yang mau ke daerah-daerah tadi akan berkeliling kota memanggil para penumpangnya dengan berkata: “Toba, Toba, Tobaaaaa …”. Baru-baru ini pada bulan Juni 2015 lalu, ketika melintas di depan stasiun bus Sitra, mereka memanggil: “Toba, Toba, Tobaaaa …”. Pada waktu itu penulis sengaja bertanya kepada mereka apa yang mereka maksudkan dengan kata “Toba” itu, mereka menjawab: “Samosir, Dolok Sanggul, Lintong ni Huta, Siborong-borong,  Tarutung, Balige, Porsea, Laguboti, dll. Jadi, yang mereka maksudkan dengan kata “Toba” atau “Tano Toba” itu ialah bekas wilayah Kabupaten Tapanuli Utara dulu sebelum dimekarkan (Taput Lama).          

Stempel Raja Singamangaraja XII berbunyi: “Maharaja di Negeri Toba”. Stempel ini berbunyi: “Negeri Toba”, bukan “Negeri Batak”. Di dalam buku: “Sejarah Raja-raja Barus: Dua Naskah dari Barus” (Drakard, 1988) pada naskah “Sarakatah Surat Catera Asal Keturunan Raja Dalam Negeri Barus” ditulis dengan kata-kata sebagai berikut: “Bermula dihikayatkan suatu raja dalam negeri Toba sila-silahi (Silalahi) lua’ Baligi (Luat Balige). Kampung Parsoluhan, suku Pohan.” Terjemahan manuskrip kuno ini meriwayatkan tentang Alang Pardosi, yang mendirikan Dinasti Pardosi di Barus. Mereka menggunakan kata: “Negeri Toba” (Tano Toba), bukan “Negeri Batak” (Tano Batak). Demikian juga, Sitor Situmorang di dalam bukunya: “Toba Na Sae” (2009) menjelaskan soal kata: “Toba Na Sae” itu dengan memaksudkan: “Negeri Toba” yang meliputi: Toba Humbang, Toba Samosir, Toba Holbung, dan Toba Silindung. Ini yang dikenal pada tahun 1970-an dan sebelumnya. Selain itu berkaitan dengan kata “Toba” ini, maka ada lagi Hata Toba, Marende Toba, Boru Toba, Lompa-lompa ni Halak Toba, Adat Toba, Ulos Toba, dll. Demikian banyaknya dulu kata yang memakai kata “Toba”, sehingga penulis memandang diri sendiri sebagai Orang Toba.

Orang Toba berdiam di sekitar danau yang disebut Tao Toba.  Demikian juga beberapa orang yang penulis tanyai yang pada masa kecil dan remajanya di Samosir dan di Humbang Hasundutan pada tahun 1960-an, bahwa mereka pun menyebut dirinya dulu di sana sebagai "Halak Toba" atau "Orang Toba" juga. Memang di masa itu ada kata “Batak” yang jarang dipergunakan, karena itu hanyalah wadah persatuan 5 etnis, yaitu: Batak Toba, Batak Pakpak, Batak Karo, Batak Simalungun, dan Batak Mandailing. Penulis tidak tahu kenapa disebut “Batak” dan itu tidak terasa merupakan bagian diri penulis, karena di dalam perbicangan sehari-hari, maka sebagai Orang Toba itulah yang merupakan identifikasi diri penulis. Penulis merasakan dan meghayati diri sebagai Orang Toba yang demikian kuat tertanam di dalam diri penulis. Begitulah penulis memandang diri sendiri selama berada di Sidikalang hingga sampai tamat sekolah dari SMA.

Kemudian hari setelah bertemu dengan berbagai literatur ketika kuliah di Jakarta, maka di dalam buku-buku tersebut dipergunakan istilah “Batak” dan “Batak Toba”. Buku-buku yang ditulis oleh berbagai penulis ini mempengaruhi diri penulis. Di paruh kedua tahun 1980-an hal itu semakin banyak dipergunakan yang dari Toba menjadi Batak Toba. Bahkan kemudian hari bukan hanya Toba itu adalah Batak, tetapi Batak itu adalah Toba. Sehingga, penulis menemukan ada orang yang menyebut bekas Tapanuli Utara dulu menjadi: Batak Humbang, Batak Silidung, Batak Toba, dan Batak Samosir. Kemudian mulailah muncul perkataan: “Anggo hita halak Batak on asing do tu nasida halak Karo, halak Pakpak, manang halak Simalungun pe.” i.e.: “Kalau kita, orang Batak, ini berbeda dengan orang Karo, orang Pakpak, maupun orang Simalungun.”. Sedang Orang Simalungun, Pakpak, dan Karo menyebut Orang Toba dengan sebutan: "Orang Batak".

Akhirnya, Halak Toba (Orang Toba) berubah menjadi Halak Batak (Orang Batak). Seiring dengan pemekaran Kabupaten Tapanuli Utara, maka dibentuklah Kabupaten Toba Samosir (Tobasa), Kabupaten Humbang Hasundutan, dan Kabupaten Samosir. Belakangan ini yang tadinya disebut Toba Holbung secara perlahan-lahan berubah menjadi Toba dan kata “Holbung”nya pun mulai hilang. Melihat telah terjadinya pergeseran seperti yang penulis uraikan di atas tadi, maka penulis mencoba kembali kepada apa yang dulu penulis hayati sebagai diri penulis. Itulah makanya, penulis menggunakan kata “Toba” dan “Orang Toba” kembali seperti dulu ketika masih kanak-kanak. Sebelum penulis membahas berbagai hal, maka penulis terlebih dahulu memilih penggunaan istilah “Orang Toba” untuk menidentifikasi orang-orang atau masyarakat yang berasal dari kawasan Humbang, Silindung, Toba Holbung, dan Samosir. Jadi, Toba Na Sae, yang dalam bahasa Melayu disebut Negeri Toba, merupakan daerah yang didiami Halak Toba (Orang Toba), meliputi: Humbang, Samosir, Toba Holbung, dan Silindung. Sedang selanjutnya terjadi perubahan dan ini akan diungkapkan lebih jauh.


Toba Dikonstruksi Menjadi Batak

Ensiklopedia Britannica memberi keterangan tentang “Batak” sebagai berikut:  “Batak, also spelled Battak or Batta,  several closely related ethnic groups of north-central Sumatra, Indonesia. The term Batak is one of convenience, likely coined during precolonial times by indigenous outsiders (e.g., the Malay) and later adopted by Europeans. The groups embraced by the term — the Toba, the Karo, the Simalungun, the Pak Pak, the Mandailing, and the Angkola — have to a limited degree adopted it as a self-designation.” (www.britannica.com). Istilah “Batak” itu kemungkinan diciptakan selama masa pra-kolonial oleh pihak luar, misalnya: Melayu, dan kemudian diadopsi oleh orang Eropa. Kelompok-kelompok yang termasuk ke dalamnya, yaitu: Toba, Karo, Pakpak, Simalungun, Pakpak, Mandailing, dan Angkola. Lothar Schreiner, dalam bukunya “Adat dan Injil; Perjumpaan Adat dengan Iman Kristen di Tanah Batak” (1999:11)  mengatakan: “Sebutan ‘Batak’ maupun ‘daerah Batak’ barulah muncul setelah pengkristenan.” Senada dengan itu, Lance Castle, dalam bukunya, “Kehidupan Politik Sebuah Keresidenan: Tapanuli 1915-1940”, Desertasi Ph.D (1972:138) mengemukakan bahwa sebutan “Batak” itu bermula dari ‘stereotipe’ orang-orang Melayu Muslim di Sumatra Timur terhadap orang “Batak”, sedangkan konotasi yang terkandung dalam sebutan “Batak” ialah: ‘jelek, kasar, jorok, dan bodoh’. Akibatnya banyak orang “Batak” tidak mau menyebutkan identitas  mereka sebagai “Batak”, dan lebih senang menyatakan diri sebagai orang: Toba, Karo, Simalungun, Mandailing/Angkola, atau Pakpak/Dairi. Lothar Schreiner dan Lance Castle maupun Ensiklopedia Britannica sebelumnya memberikan informasi bahwa kata “BATAK” itu baru muncul sejak masuknya Kristen dan Kolonial ke daerah pedalaman Sumatera Utara.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia bahwa arti kata “Batak” ialah petualang; pengembara. Kata kerja “mem-ba-tak” artinya: 1 bertualang, melanglang; mengembara; 2 merampok; menyamun; merampas. Sedang kata sifat “pem-ba-tak” artinya: perampok; penyamun. Demikian pengertian yang berhubungan dengan kata “Batak” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Dr. Daniel Perret melakukan penelitian mengenai ”Melayu” dan ”Batak” dalam strategi Kolonial Belanda. Sejak 1990 sampai 1993, Perret menggelar penelitian lapangan dengan cakupan wilayah Indonesia timur laut – tempat manipulasi identitas “Batak dan Melayu”  dibangun untuk kepentingan para kapitalis perkebunan. Desertasinya telah dibukukan dengan judul ”KOLONIALISME DAN ETNISITAS: Batak dan Melayu di Sumatera Timur Laut” (2010). Sejak abad ke-2 Masehi, lewat tulisan Claudius Ptolemaeus, dan selama satu milenium, Sumatra bagian Utara dianggap sebagai daerah berbahaya karena diduga dihuni oleh sejumlah masyarakat kanibal. Hal ini bahkan masih berlangsung hingga awal abad ke-20. Daerah tersebut diketahui kaya dengan kamper yang diekspor sejak abad ke-5 atau ke-6 M, melalui sebuah tempat yang bernama Barus. Pada awal abad ke-13 M, Zhao Rugua mencatat sebuah negeri bernama Pa-t’a, di bawah kuasa Sriwijaya. Kaitan antara Pa-t’a dan Bata sudah diterima umum.
Dari penelusurannya, Perret menemukan jejak pengaruh besar pemerintah kolonial Belanda terhadap pola hubungan dan akulturasi dua kelompok penyandang budaya tadi di awal. “Batak” di satu pihak dan “Melayu” di pihak lain, dengan ciri khas bahasa, pakaian, dan adat-istiadat masing-masing.  Mengenai istilah “Batak” ini, Daniel Perret memandangnya sebagai ciptaan penjajah berdasarkan rujukan teks Belanda dan melihat istilah “Batak” berkonotasi merendahkan sebagai sebutan orang luar bagi orang pedalaman yang beradat kasar. Seiring dengan semakin meluasnya proses Islamisasi di kalangan orang-orang pedalaman yang bermigrasi ke pesisir timur Sumatera Utara, mereka mengadopsi identitas Melayu dengan beragama Islam bahkan proses itu meluas ke pedalaman. Perkembangan Islam ini mencemaskan penjajah, sehingga menghalangi dakwah di daerah yang telah dikristenkan dan larangan mengangkat warga muslim sebagai pegawai pemerintah setempat. Penyebaran Islam terus bergerak masuk wilayah pedalaman yang  dinilai mengancam kolonialisasi, sehingga pemerintah kolonial merasa perlu mengintensifkan Kristenisasi di “Tanah Batak”.

Daniel Perret mengungkapkan, berdasarkan masukan dari J.T. Creemer, pengembangan Kristen di daerah “Batak” memiliki fungsi yang cukup strategis bagi kolonial Belanda., karena berpindah agama menjadi Kristen membuat orang “Batak” tidak akan menimbulkan masalah bagi penjajah kolonial. Sementara Islam mulai masuk ke “Tanah Batak” yang dirasakan sebagai sebuah potensi mencemaskan bagi kepentingan penjajah, maka upaya menghadirkan misi Kristen dilakukan. Berdasarkan kajian etnologi, Daniel Perret memperlihatkan bahwa munculnya kesadaran mengenai sebuah “keluarga besar Batak” baru terjadi pada era kolonialisme Belanda. Bahkan dalam disertasi J. Pardede (1975), sebagaimana disebutkan oleh Perret, dikemukakan bahwa istilah “Tanah Batak” dan “rakyat Batak” merupakan sebuah terminologi baru yang diciptakan oleh pihak asing. Perret juga menyebutkan bahwa perbedaan antara “Batak” dan “Melayu”, seperti telah menjadi sebuah kesepakatan para penulis, hanya terletak pada faktor kanibalisme. Nicolo de’ Conti yang pernah tinggal di Scimuthera (Kerajaan Samudra) di pantai timur sumatera pada tahun 1430, menjadi orang pertama yang menyebutkan nama tempat “Batech” yang dikaitkan dengan sebuah populasi yang bersifat kanibal dan gemar berperang. Oleh karena itulah, awalnya sebutan “Batak” dianggap sebagai sebuah penghinaan bagi penduduk setempat dan kata “Batak” tidak dipakai oleh orang setempat ketika berbicara tentang diri mereka sendiri. Kata ini telah menjadi semacam evasive identity yang secara umum digunakan untuk menunjuk “orang lain” atau untuk memperlihatkan sebuah kategori yang meliputi pemakan babi dari manapun asalnya. Anehnya, Perret mengungkapkan fenomena sebutan “Batak” justru digunakan oleh penduduk dusun untuk mengidentifikasi para misionaris Belanda dan orang Tionghoa, karena mereka juga memakan babi. Sebutan “Batak” tampaknya juga tidak dapat ditemukan dalam karya sastra era pra-kolonial. Dalam perkembangan waktu selanjutnya istilah “Batak” ini kemudian diterima sebagai sebuah identitas etnis tertentu. Daniel Perret mengungkapkan, setelah keberadaan orang-orang “Batak” diterima oleh orang Barat, kemudian mulailah diciptakanlah batas-batas “Tanah Batak”. Jadi, istilah “Batak” adalah identitas yang sengaja diciptakan pada masa kolonialisme di Sumatera Utara. Studi Daniel Perret menunjukkan adanya pola di mana istilah “Batak” sengaja dimunculkan, sebagai pembeda sebuah etnis di Sumatra Utara dengan bangsa “Melayu” yang identik memeluk Islam.

Orang Melayu di pesisir Sumatera Timur menganggap dirinya berbudaya, sedang semua orang yang non-Melayu yang berada di pedalaman dan di lembah pegunungan Bukit Barisan dipandang sebagai orang yang tidak berpengetahuan, berperilaku kasar dan bahkan kanibal, diberi label ”Batak”.  Melayu bukan label etnis, dia adalah label budaya. Siapa saja dapat menjadi Melayu, asal dia beragama Islam, beradat-istiadat Melayu, berbahasa Melayu dan mengaku Melayu. Label Melayu dan ”Batak”, menurut Daniel Perret, muncul bersamaan pada abad 16. Label ”Batak” ini muncul sebagai pelengkap label Melayu. Istilah ”Batak” ini disebutkan dengan konotasi merendahkan (seakan memiliki stigma/cacat sosial). Khusus mengenai istilah ”Batak”, Daniel Perret menjelaskan bahwa istilah itu bukan berasal dari orang-orang Toba, Simalungun, Pakpak Bharat, Karo atau Mandailing/Sipirok. Label itu datang dari luar khasanah budaya mereka. Dalam beberapa dokumen bahwa sebutan ”Batak” tidak terdapat dalam sastra pra-kolonial. Bahkan dalam Hikayat Deli (1825) istilah ”Batak” hanya sekali digunakan, sedang dalam Syair Putri Hijau (1924) sama sekali tidak menyinggung ”Batak” atau Melayu. Baik dalam Pustaka Kembaren (1927) maupun Pustaka Ginting (1930) tidak dijumpai kata-kata ”Batak”. Selain itu, sebagai data tambahan, B.A. Simanjuntak mencacat bahwa kata-kata ”Batak” tidak dijumpai dalam Pustaha Toba. Memang dalam stempel Singamangaraja, yang tertera hanya kalimat ”Ahu Raja Toba”, bukan ”Ahu Raja Batak.” Karena label ”Batak” dibawa dari luar, maka dia menjadi sebuah label yang kabur dan menyesatkan (evasive identity). Ketika seorang menganggap orang lain ”Batak”, maka dia merasa lebih tinggi dari orang lain itu.  

Batak” dalam literatur baru dikenal dalam laporan Nicolo de Conti (1430) yang selama setahun tinggal di Scimuthera (Kerajaan Samudra) di pantai timur sumatera. Disebutkan nama tempat-tempat “Batech”, sebagai populasi yang bersifat kanibal dan gemar berperang. Selanjutnya, dalam laporan terkenal Tome Pires, Suma Oriental pada awal abad ke-16.

Adapun F. Mendes Pinto, orang Eropa pertama yang masuk ke pedalaman Sumatera Utara, yang merekamnya secara tertulis dalam Peregrination. Di antaranya catatan tentang adanya kunjungan duta raja orang “Batak” menemui kapten Melaka yang baru Pedro de Faria di tahun 1539. Mendes Pinto juga yang mencatat pertama adanya masyarakat Aru di pesisir timur laut Sumatera dan mengunjungi rajanya yang muslim. Sementara itu, dua puluh tahun sebelumnya, Duarte Barbosa sudah mencatat tentang kerajaan Aru yang ketika itu dikuasai oleh orang kanibal penganut paganisme. Tak sedikit, sejak istilah “Batech” muncul (Nicolo de Conti), diikuti juga dengan “Bata” (Tome Pires, Mendes Pinto), “Batang” (Sidi Ali Celibi, 1954), “Batas” (Joao de Barros, 1563). Kemudian dilanjutkan Beaulieu (1629-1621), laporan Tionghoa pada 01/03/1701, Hamilton (1727) dan Charles Miller (1772), sampai akhirnya William Marsden (1783) membuat pembedaan Carrow dan Batta, dilanjutkan John Anderson (1823) yang mendeskripsikan pembedaan Mandiling atau Kataran, Pakpak, Tubba, Karau-karau, Kappak dan Alas. Dalam buku ini diuraikan juga ruang geografi (peta “Batak”) versi ˜orang Eropa” berturut-turut versi Junghun (1841), Collet (1925), Kennedy (1945), Cunningham (1958), Reid (1979), dan Sibeth (1991). Fakta ini menunjukkan berbagai kepentingan yang melandasi kawasan stategis Sumatera Utara sejak jaman prasejarah hingga saat ini dan juga masa mendatang.
 
     
Di sekitar penghujung abad ke-19, bahwa posisi pihak non-Melayu semakin terjepit oleh perkembangan ekonomi dan agama yang dialami oleh pihak Melayu. Belanda memanfaatkan situasi ini, sehingga dalam kesempatan berhubungan langsung dengan elit pedalaman ini para kontrolir Belanda yang ditempatkan di dusun-dusun (Simalungun, Karo dan Toba) memperkuat keterpisahan mereka dengan Sultan-Sultan Melayu Pesisir, dan mendorong tumbuhnya perasaan komunitas dan kesadaran etnis sendiri, sebagai orang ”Batak”. Mulai tahun 1888, kontrolir-kontrolir yang ditempatkan di dusun-dusun ditugaskan untuk menangani urusan ”Batak”, yaitu membela kepentingan orang ”Batak” berhadapan dengan orang Melayu. Kemudian pemerintah kolonial menciptakan ruang hukum untuk Dusun dan Dataran sebagai ruang hukum ”Batak”, sedang untuk daerah pesisir dimasukkan dalam ruang hukum Melayu. Dengan keterpisahan ini Belanda dapat lebih mudah memancing konflik antara Melayu dan ”Batak” seperti pecahnya perang Sunggal (1872). Di satu sisi perkebunan asing/Belanda menerima konsesi tanah dari Sultan Melayu dengan sukacita, di sisi lain pemerintah kolonial merangsang timbulnya protes dari pemilik tanah penduduk asli setempat. Demikianlah pemerintah Belanda menggunakan label ”Batak” untuk mempersatukan seluruh suku-suku non-Melayu sebagai sebuah identitas etnik.  Van der Tuuk, ahli Bahasa yang bekerja untuk Nederlands Bijbelgenootschap (NBG), dalam suratnya tertanggal 15 November 1855, pernah mengusulkan kepada pengurus NBG agar  istilah “Batak” dan “Melayu” tidak digunakan secara resmi. Sebagai gantinya van der Tuuk mengusulkan penyebutan seperti “Mandailing”, “Angkola”, dan lain sebagainya.

Pemerintah Belanda terus menerus memompakan label ”Batak” dengan penguatan sosio-geografis tertentu, nilai-nilai adat budaya dan kemudian agama Kristen. Sehingga keterpisahan kawasan ”Batak dengan Melayu” menjadi lebih nyata dan kontras, tidak dalam pengertian budayatetapi dalam pengertian kelompok etnik ”Melayu versus Batak”. Untuk mengukuhkan gerakan ini secara akademis, pemerintah Belanda di Universitas Leiden mendirikan Bataksch Institut. Beberapa cabangnya Bataksch Vereeniging didirikan pada lokasi-lokasi tertentu seperti di Tapanuli dengan berbagai kegiatan termasuk melaksanakan pertemuan-pertemuan, mendirikan museum, opera Batak (Tilhang) yang adopsi dari teater Bangsawan Melayu, menulis adat ”Batak” (yang disusun oleh seorang kontrolir, 1909). Sementara itu, di bagian Selatan Tapanuli telah berdiri kelompok (Bangsa) Mandailing yang berseberangan dengan kelompok ”Batak” di Utara. Sebagai migran di kota Medan, mereka saling berhadapan pula dalam berbagai polemik wacana mengenai ”Batak” bahkan konflik terbuka (peristiwa Sungai Mati 1920). Orang Mandailing tidak mau disebut ”Batak” karena mereka merasa sudah berbudaya tinggi, jadi bukan melulu karena masalah geneologis.

Akhirnya, Daniel Perret dalam desertasinya menyimpulkan bahwa baik istilah ”Batak”  maupun ”Melayu” bukanlah label etnik, tetapi label budaya. Tetapi untuk kepentingan strategi kolonial, pemerintah Belanda telah mampu ”memaksakan” atau dengan istilah lain ”mengkonstruksi” orang-orang Simalungun, Karo, Pakpak dan Toba menerima label ”Batak” sebagai label kesatuan etnik dan mematahkan jalinan sosial-tradisional antara kawasan pesisir dan pegunungan (Melayu dan non-Melayu). Bahkan menyediakan fasilitas unsur-unsur pembentukan dan penegasan identitas etnis baru itu sebagai orang ”Batak”. Semua itu untuk kepentingan strategi (divide et empera) kolonial Belanda. Namun bisa dicermati, bahwa saat ini etnis “Batak” seringkali diidentikkan pula sebagai “etnis Kristen”, meskipun kenyataannya terdapat juga pemeluk agama Islam pada etnis ini.

Dr. Ichwan Azhari, sejarawan dari Unimed, dalam tulisan hasil penelitiannya berjudul: ”Konstruksi Batak dan Tapanuli di Dalam Ruang Administratif di Sumatera Utara Sejak Abad 19” (2011).  mengemukakan bahwa kata “Batak” awalnya diambil para musafir yang menjelajah ke Sumatra dari para penduduk pesisir untuk menyebut kelompok etnik yang berada di pegunungan dengan nama “bata”. Tapi nama yang diberikan penduduk pesisir ini berkonotasi negatif bahkan cenderung menghina untuk menyebut penduduk pegunungan itu sebagai kurang beradab, liar, dan tinggal di hutan.” Pada sumber-sumber manuskrip Melayu klasik dari abad ke-17 koleksi Leiden dan manuskrip Hikayat Hang Tuah, saat Malaka jatuh ke tangan Portugis (1511) ada ditemukan kata “Batak”  di kalangan Melayu, Malaysia sebagai label penduduk rimba pedalaman dengan pandangan sangat hina dan direndahkan. Di Filipina juga penduduk pesisir menyebut penduduk pedalaman dengan label negatif sebagai “Batak”. Itu sebabnya HN van der Tuuk pernah risau dan mengingatkan para misionaris Jerman agar tidak menggunakan nama “Batak” untuk nama etnik, karena gambaran negatif yang terkandung pada kata “Batak” itu. Di Malaysia dan Filipina, penduduk yang diberi label “Batak” tidak mau menggunakan label merendahkan itu menjadi nama etnik mereka. Di Sumatra Utara label itu terus dipakai, karena peran misionaris Jerman dan pemerintah kolonial Belanda yang memberi konstruksi dan makna baru atas kata itu.

Dalam penelitiannya di arsip misionaris Jerman di Wuppertal sejak bulan September 2010, terlihat para misionaris sendiri awalnya mengalami keragu-raguan untuk menggunakan kata “Batak” sebagai nama etnik. Hal ini dikarenakan kata “Batak” itu tidak dikenal oleh orang “Batak” ketika para misionaris datang dan melakukan penelitian awal. Pada tahun 1878 lembaga kantor pusat missionaris Jerman di Barmen mengeluarkan peta resmi misionaris yang dicetak dan disebarluaskan berbentuk buku berjudul Mission Atlas (1878). Dalam buku ini terdapat delapan peta yang di antaranya berjudul Die Sudlichen Batta-lander auf Sumatra (Tanah Batak Selatan di Sumatra). Judul-judul peta Der Nordlichen Battalander Die Sudlichen Batta-lander ini merupakan titik awal konstruksi “Batak Utara” dan “Batak Selatan”  yang dilakukan para misionaris Jerman yang dipakai pemerintah kolonial Belanda dan konstruksi itu berpengaruh sampai saat ini.

Konsep dari misionaris Jerman yang semula menggunakan kata “Batak” untuk kelompok masyarakat yang tinggal di kawasan Tapanuli Utara saja, dipakai Belanda lebih lanjut untuk menguatkan cengkraman ideologi kolonial mereka. Perlahan-lahan konsep “Batak” itu mulai meluas dipakai Belanda termasuk sebagai pernyataan identitas oleh penduduk di luar daerah Toba. Peneliti Belanda juga kemudian merumuskan konsep “sub-suku batak” dalam antropologi kolonial yang membagi etnik “Batak” dalam beberapa “sub-suku” seperti sub-suku Batak Toba, Batak Mandailing, Batak Karo, Batak Simalungun serta Batak Pakpak (Joustra, 1910). Konstruksi Belanda tentang sub-etnik Batak ini sama sekali tidak diperkenalkan apa lagi dipakai para misionaris Jerman selama lebih 50 tahun keberadaan mereka di “tanah batak”. Dalam antropologi di Indonesia moderen konsep “sub-suku Batak” made in Belanda itu kemudian dicopy Payung Bangun dalam buku “Manusia dan Kebudayaan Indonesia” yang diedit Koentjaraningrat (1980). Konsep “sub-suku Batak” merupakan konstruksi konsep kolonial yang dalam perjalanan sejarah berikutnya terbukti tidak tepat dan ditolak sendiri oleh kelompok-kelompok etnik yang dikenakan label “Batak” tersebut. Kini orang Karo, Pak Pak, Simalungun serta Mandailing menolak disebut “Batak” yang dikonstruksi antropologi kolonial. Dengan demikian, dapat dikatakan “Batak” sebagai nama etnik (suku) tidak berasal dari orang “Batak” sendiri, tapi diciptakan atau dikonstruksi oleh para musafir barat dan kemudian dikukuhkan oleh misionaris Jerman yang datang ke “tanah Batak” sejak tahun 1860 an. Pemerintah kolonial Belanda kemudian mengadopsi kata “Batak” yang oleh jasa para misionaris Jerman itu maknanya sudah tidak lagi berkonotasi negatif. Dalam sumber-sumber lisan dan tertulis, terutama di dalam pustaha (tulisan tangan asli Batak) tidak ditemukan kata “Batak” untuk menyebut diri sebagai orang atau etnik “Batak”. Jadi dengan demikian nama “Batak” tidak asli berasal dari dalam kebudayaan “Batak” melainkan sesuatu yang diciptakan dan diberikan dari luar (Lihat: Ichwan Azhari, Konstruksi Batak di Dalam Ruang Administratif di Sumatera Utara Sejak Abad 19, 2011).


Bukan Batak, tapi Toba, Pakpak, Karo, Simalungun, dan Mandailing

Seluruh paparan di atas mengungkapkan bahwa istilah “Batak” itu bukan berasal dari dalam etnis itu sendiri, tetapi berasal dari luar yang dikonstruksi oleh misionaris Jerman pada Orang Toba di awalnya dan dikonstruksi Belanda pada non-Melayu berikutnya. Rumusan antropologi kolonial yang kemudian hari dicopy Prof. Dr. Payung Bangun ke dalam antropologi nasional dengan membuat sub-etnik “Batak” seperti: Batak Toba, Batak Karo, Batak Simalungun, Batak Mandailing, dan Batak Pakpak mendapat penolakan dari pihak Mandailing, Karo, Simalungun, dan Pakpak, karena bukan berasal dari dalam. Mandailing telah menggugatnya ke pengadilan dalam peristiwa Riwajat Tanah Wakaf Bangsa Mandailing di Sungai Mati, Medan pada tahun 1925 dan putusan pengadilan menyatakan bahwa Etnis Mandailing terpisah dari Batak (Wikipedia). Dengan demikian, memaksakan Mandailing sebagai “Batak” merupakan ketidakpatuhan kepada putusan pengadilan tadi. Itulah sebabnya kemudian Belanda memunculkan istilah lain, yaitu: “Tapanuli”, untuk mempersatukan Utara dan Selatan. Kemudian Angkola memberi nama gerejanya dengan nama GKPA, Simalungun memberi  nama gerejanya dengan nama GKPS, dan Pakpak member nama gerejanya dengan nama GKPPD, tanpa ada kata “Batak”. Tanah Pakpak, pemilik hak ulayatnya, adalah marga-marga Pakpak dan jelas terlihat dari Lembaga Adat Sulang Silima yang membuktikan bahwa Pakpak merupakan sebuah etnis tersendiri. Selain itu tarombo Pakpak berbeda sekali dengan tarombo Toba, seperti contohnya marga-marga dari Sicike-cike di Sidikalang dengan ibunya berru Padang dan berru Saraan bahwa mereka sudah 36 generasi, sedang marga-marga Toba rata-rata masih sekitar 20 generasi dan tidak lebih dari 25 generasi.

Adapun pihak Simalungun malah telah menyusun sebuah buku  berjudul: “SEJARAH ETNIS SIMALUNGUN” (2012) hasil kerja dari sebuah tim yang mumpuni sebanyak 7 orang tanpa mengunakan kata “Batak” dan “sub-etnik”. Akan halnya dengan GKBP, sebenarnya namanya sejak awal GKP (Gereja Karo Protestan), tetapi oleh pengaruh Belanda dan pendeta Toba serta pendeta-pendeta lulusan Seminari Sipoholon mengakibatkan namanya dirubah menjadi GKBP (Gereja Batak Karo Protestan) pada tahun 1941. Pada waktu itu,  Ketua Moderamen GBKP, Pdt. J. van Muylwijk dan Sekretaris Moderamen adalah Guru Lucius Tambun ditetapkan untuk periode 1941-1943. Nama awalnya Gereja Karo Protestan (GKP) membuktikan bahwa mereka memang sejak awal bukan “Batak”. Selain itu, gabungan Katolik, gereja-gereja lain dan Muslim lebih banyak jumlahnya daripada keseluruhan warga GBKP, sehingga tidak merupakan suara mayoritas. Meskipun demikian, DNA Karo jauh lebih valid untuk membuktikan bahwa Karo bukanlah keturunan Toba dengan asal-usul yang berbeda (Lihat: Edward Simanungkalit, DARI ASIA DARATAN HINGGA DI TANAH KARO: Sebuah Penelusuran Para Ahli Genetika, dalam Kompasiana, 24/05-2016). Belakangan ada juga usaha untuk membatakkan Nias dengan menyebut Nias sebagai keturunan Raja Asi-asi, tetapi inipun juga secara arkeologi dan genetika berbeda antara Toba dengan Nias yang memiliki marka Y-DNA: O-M110 dan O-P203 (Lihat juga: KARO DAN NIAS BUKAN KETURUNAN SI RAJA BATAK; INI BUKTINYA, dalam Kompasiana, 24/03-2016). Jadi, pada dasarnya masing-masing etnis ini adalah etnis yang terbentuk sendiri-sendiri dan kemudian ada migran dari dalam ke luar dan dari luar ke dalam, tetapi bukan mengubah etnis aslinya.


Penutup
Negatifnya gambaran mengenai kata “Batak” ini sebagaimana telah diuraikan di atas sungguh tidak membuat hati bangga mengusungnya. Meskipun Pdt. Johannes Warneck memberi pengertian baru terhadap kata “Batak” itu, yaitu: “Penunggang kuda”, tetapi kata itu sudah demikian luas dipahami masyarakat dengan pengertian negatif tadi.  Hal ini ditambah lagi dengan pengertian kata “Batak” di dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) semakin meyakinkan bahwa istilah ini demikian negatif. Itu sebabnya HN van der Tuuk tidak pernah menulis kamus “Batak”, tetapi kamus Toba – Belanda, kamus Pakpak – Belanda, dan kamus Mandailing – Belanda. Selain itu, nama etnis inipun bukan berasal dari dalam etnis itu sendiri, sehingga mengaburkan identitas etnis tersebut. Oleh karena itu, Toba adalah Toba, Pakpak adalah Pakpak, Karo adalah Karo, Simalungun adalah Simalungun, Mandailing adalah Mandailing, dan kelimanya bukanlah Batak. Saatnya sekarang ini meninggalkan beban  yang diletakkan oleh Misionaris Jerman dan Belanda, karena mempertahankannya akan membuat kehilangan identitas yang sebenarnya. Akhirnya, nama “Batak” dikonstruksi oleh Misionaris Jerman dan colonial Belanda, sedang nenek-moyang menyebut “Toba”. Daripada ikut Jerman dan Belanda, lebih baik ikut nenek-moyang!

                                                          (*) Pemerhati Sejarah Alternatif Peradaban