by. Thompson HS
Agustus 2002 lalu, dimulailah suatu usaha untuk membangkitkan Opera (Gaya) Batak. Tapi usaha menghidupkan kembali salah satu bentuk seni pertunjukan Sumatera Utara yang pernah populer sejak tahun 1920-an sampai tahun 1980-an ini tidak mudah. Usaha itu bermula dari suatu pelatihan kepada generasi muda yang output-nya berhasil melahirkan satu grup percontohan, yakni Grup Opera Silindung (GOS). Grup ini kemudian mengadakan pementasan Opera (Gaya) Batak yang cukup bersejarah di Hotel Danau Toba Internasional (HDTI) pada 8 Maret 2003, sebelum dilanjutkan di dua tempat di Jakarta, masing-masing Hotel Indonesia dan Taman Mini Indonesia Indah pada 4-11 Oktober 2003. Tidak sampai di situ saja. Pada 21-30 Januari 2004 lalu, grup yang sama juga mengadakan pentas keliling di tiga tempat di Sumut, yakni Sipoholon, Laguboti, dan Siantar.
Rentetan pementasan terakhir ini lebih kepada usaha untuk memberitahukan pada masyarakat bahwa upaya membangkitkan Opera Batak sudah mulai menunjukkan hasil. Sejak kehadiran GOS, pementasan Opera (Gaya) Batak sudah dilakukan tujuh kali. Bersamaan dengan kehadiran grup yang bertempat di Tarutung, Tapanuli Utara itu, muncul usaha lain agar Opera (Gaya) Batak tidak hanya bangkit sampai “seperempat badan”. Ibaratnya, jangan cukup sebatas dengkul saja. Jadi, harusnya bisa menanjak dari “setengah badan” sampai kembali semarak seperti dulu.
Pada masa populernya, kelompok yang mementaskan Opera (Gaya) Batak mencapai 30-an grup yang pertunjukannya tersebar di berbagai wilayah Sumatera Utara sampai perbatasan Aceh. Bahkan pada tahun 70-an sempat digiring ke Istana Negara oleh Presiden Sukarno. Tilhang Gultom, ketua rombongan tim waktu itu kemudian dikenal menjadi salah satu pionir dengan grup modelnya yang bernama Serindo (Seni Ragam Indonesia). Grup Serindo dianggap menjiwai lahirnya 30-an grup tersebut dengan kecenderungan permainannya masing-masing. Bahkan dalam perkembangan aktivitas selanjutnya, Serindo menjadi plural dengan pemain-pemain, cerita, dan instrumen yang lintas kultural dan agama.
Sampai sekarang, di kalangan masyarakat Batak selalu melekat kesan khusus kalau menyinggung Opera (Gaya) Batak. Biasanya mereka akan berujar: “Oh, Opera Batak Tilhang Gultom atau Serindo itu ya?” Kejayaan Serindo dan grup-grup lainnya memang mulai hampir punah, termasuk karena masalah regenerasi. Sampai saat ini para pemainnya tidak mampu lagi meneruskan dan menjalankan agenda pementasan. Pada masa kejayaannya, mereka biasanya dapat mengadakan pementasan keliling ke berbagai daerah dan tempat dengan menjual tiket setiap malam yang ditentukan. Sistem pertunjukan mereka pun sudah mengikuti semacam prosedur keramaian dan hiburan. Misalnya mengajukan permintaan izin dari pemerintah dan polisi setempat. Beberapa orang pemain lama masih dapat ditemukan dan sempat diajak kembali untuk mengadakan pementasan.
Di dua tempat di Medan, masing-masing Pendopo USU dan Taman Budaya Sumatera Utara, sudah diadakan uji coba rekonstruksi bagi sejumlah pemain lama pada bulan Juni 2003 sebelum suatu kesempatan mentas di Balige 14 Agustus 2004. Untuk segmen lain, secara inovatif para pemain lama itu juga dilibatkan dalam program penayangan Opera Batak Metropolitan di TVRI Sumut sejak 10 Maret 2004. Mereka bergabung dengan para pemain muda dan tamu (lintas kultural, agama, dan negara) sampai 33 episode cerita terbaru. Pada kesempatan lainnya yang diadakan Bainfokom Sumut, mereka juga dilibatkan dalam suatu garapan permainan. Letak kekayaan seni pertunjukan Opera (Gaya) Batak adalah pada ciri-cirinya yang menawarkan pertunjukan variatif (variety show).
Dari sisi dramaturginya, Opera (Gaya) Batak didukung oleh aspek musikal/vokal, tarian, dan teater. Musik/vokal yang digunakan mengandung bentuk dan nilai-nilai musik tradisi. Bentuk dan nilai-nilai tradisi itu didukung secara instrumentalia yang khas dan unik karena warna bunyi dan melodinya tidak gampang dikategorikan pada jenis musik tertentu. Dari pengalaman saya mendengar sambil belajar, aspek musikal dalam Opera (Gaya) Batak terkadang memberi kesan hibridasi kekayaan musikal dari berbagai peradaban. Gambar nadanya sampai saat ini masih sulit ditemukan dalam partitur. Mempelajari musik/vokal Opera (Gaya) Batak masih mudah dilakukan lewat catatan liriknya dan persebaran musikalnya melalui rekaman audio dan acara-acara tertentu. Tarian sebagai aspek pendukung dalam Opera (Gaya) Batak selalu dilakukan pada awal dan akhir pertunjukan. Selain itu, di antara adegan dan interval permainan, tarian muncul sebagai pemicu dinamika atau mengendurkan ketegangan yang disebabkan lakon cerita. Kedudukan lakon cerita sendiri terkadang lebih penting sebagai tontonan, karena tema-tema yang dimainkan biasanya bersumber dari cerita rakyat.
Berbagai tema seperti masalah gender (dalam cerita Siboru Tumbaga), kepahlawan (dalam cerita Sisingamangaraja, Pulo Batu), silsilah (dalam cerita Si Raja Lontung), anak durhaka (dalam cerita Si Mardan), dan lain-lain, tak jarang lebih digemari masyarakat karena berbagai nilai-nilai penghiburan dan katarsis yang diproyeksikannya. Ratusan lakon cerita dan lagu sudah dimainkan dengan berbagai versi, dan kebanyakan dari lagu itu adalah ciptaan Mister Tilhang Gultom. Dari segi dramaturgi, Opera (Gaya) Batak sudah mulai dapat dikembangkan kembali. Namun apakah itu sudah dapat diandalkan sebagai modal? Tentu sejumlah instansi masih perlu menjadi bapak angkatnya.
Sewaktu usaha itu dimulai di Tarutung, dukungan datang dari Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) Jakarta dan Pemkab Taput, khususnya untuk pelatihan dan pementasan di Jakarta. Hasilnya, ya, masih dengan kebangkitan sebatas dengkul itu. Ketika dukungan itu dilakukan untuk berbagai pementasan di Medan dan pentas keliling, kebangkitan Opera (Gaya) Batak dapat dikatakan sudah setengah badan. Nah, sekarang, kalau benar Opera (Gaya) Batak ini diakui sebagai potensi seni pertunjukan dari Sumatera Utara, siapakah yang berani menjadi bapak angkatnya?
Sumber:
http://www.insidesumatera.com/?open=view&newsid=895&go=Pergulatan+Opera+%28Gaya%29+Batak+Menuju+Reinkarnasi
No comments:
Post a Comment