Opera Batak Riwayatmu Dulu
Pernah dengar Opera batak?Jenis kesenian teater rakyat itu ternyata sempat
merajai dunia hiburan di Sumatera Utara. Hingga dekade 1980-an, opera Batak
merupakan tontonan menarik meski diadakan di lapangan terbuka dengan resiko
misbar(gerimis bubar).Pada masa jayanya, group opera jumlahnya mencapai
30-an. Diantaranya Serindo, Serada, Rompemas, Seribudi, Roos, Ropeda,
Serbungas, Roserda, Sermindo dan lain-lain.Opera menyajikan cerita sandiwara
yang diselingi lagu-lagu, tari-tarian dan lawak.
Musik pengiringnya uning-uningan atau seperangkat alat musik tradisional
batak yang terdiri dari serunai, kecapi, seruling, garantung, odap dan
hesek. Panggungnya sederhana namun cukup unik. Bentuknya menyerupai rumah
adat Batak dan diberi hiasan gorga (ukiran khas batak) serta nama operanya.
Panggung sengaja diberi lukisan atau property sebagaimana tuntutan cerita.
Sebuah tirai penutup menjadi alat penghubung pergantian adegan atau bila
acara berganti ke selingan lagu, tari atau lawak. Makanya, opera batak sama
durasinya dengan film India. Apalagi kalau sang primadona mampu menghipnotis
penonton hingga saweran banyak mengalir, tak jarang sebuah lagu
dilama-lamain. Penonton puas meski pertunjukan usai dini hari. Tak peduli
pulang menembus kegelapan malam. Maklum saja, tidak seperti sekarang ini
alat penerangan listrik pada masa itu belum menjangkau pelosok pedesaan di
Sumatera Utara.
Nah, suasana panggung opera hanya diterangi lampu petromak yang lazim
disebut lampu gas, yang terkadang mesti diturunkan untuk menambah angin atau
karena kehabisan minyak. Mirip ludruk atau wayang wong dipulau Jawa, opera
Batak biasanya berkeliling dari desa ke desa. Sasarannya tentu desa yang
baru selesai panen dengan tujuan agar peluang menyedot penonton lebih
terbuka. Lama pementasan di sebuah desa tergantung dari kondisi namun
biasanya tidak sampai sebulan. Mengingat dunia hiburan jaman dulu terbilang
langka tidak heran bila kehadiran opera selalu ditunggu-tuggu
masyarakat.Karena berlokasi di alam terbuka maka bukan suatu kejanggalan
bila penontonnya duduk margobar atau mengenakan sarung atau selimut untuk
melawan dinginnya angin malam. Yang unik, bila tidak ada uang, tiket bisa
digantikan beras atau hasil sawah lading asal sesuai dengan nilai tukar yang
disepakati.
Tilhang Gultom
Membicarakan dunia opera Batak tentu tidak lepas dari nama tokoh Tilhang
Gultom. Pria kelahiran Desa Sitamiang, Pulau Samosir ini pantas disebut
maestro dan pelopor opera Batak. Tak hanya sekedar pelopor, lewat
karya-karyanya lahir ratusan cerita sandiwara, tari-tari dan juga lagu yang
menjadi trade mark dalam setiap pementasan opera yang ada di Sumatera Utara,
yang bahkan sampai sekarang lagu-lagunya masih akrab di telinga kita.
Sejak usia muda, Tilhang telah mengabdikan dirinya pada dunia seni. Tahun
1925, untuk pertama kalinya ia membentuk group trio yang diberi nama Tilhang
Parhasapi yang berarti 'Tilhang Sang Pemetik Kecapi'. Rekannya adalah Pipin
Butar-butar (peniup Serunai) dan Adat Raja Gultom (kecapi rythem). Meski
belum disebut opera, group inilah yang menjadi cikal-bakal terbentuknya
group opera yang pertama : Opera Serindo, Grup yang paling popular hingga
teater rakyat itu akhirnya tinggal kenangan.
Tak bisa dipungkiri, lahirnya opera batak tidak lepas dari jenis opera yang
mulai berkembang sebelumnya di timur jauh, misalnya grup Dardanella dan Miss
Tjitjih. Tilhang pun terinspirasi sehingga menambah anggotanya dan mulai
menyuguhkan sandiwara, lagu dan tari. Tiga tahun berikutnya grup Tilhang
maju pesat bahkan memiliki anggota 50 orang. Surat kabar Pertjatoeran, edisi
15 agustus 1928 menyebutkan, pada bulan tersebut, opera Tilhang telah
bermain di pasar malam Balige dan Siborong-borong. Sebagai catatan, pada
masa itu pemain opera hanya terdiri dari kaum pria. Kondisi zaman agaknya
masih tabu bagi kaum wanita untuk melakoni kehidupan opera.
Dasar Tilhang, laki-laki pun dimakeupnya menjadi wanita sehingga penonton
sering terkecoh. Tokoh wanita yang cukup popular pada masa itu adalah
Johanis Situmorang, yang sering mendapat surat ungkapan rasa cinta dari para
penggemarnya. Bahkan di barak mereka Johanis sering pula terpaksa minggat,
menghindari fansnya yang ingin ketemu.
Setahun kemudian, Tilhang mengganti nama operanya menjadi Batak Sitamiang.
Kemudian ganti lagi menjadi Tilhang Opera Batak (TOB).Hebatnya tahun 1933,
TOB sudah merambah semenanjung Malaka dan tampil di Penang dan Singapura.
Tahun 1936 TOB berganti nama lagi menjadi Tilhang Batak Hindia Toneel
(TBHT), kenapa berbau irlandeer, ini akibat instruksi pihak penjajah
Belanda. Pada periode tersebut pemainnya mencapai 60 orang. Grup Tilhang
agaknya sudah ditakdirkan berganti-ganti nama. Tahun itu juga TBHT berganti
nama menjadi Tilhang Toneel Gezalschap (TTG). Dan sejak Jepang menjajah
Indonesia TTG berganti menjadi sandiwara Asia Timur Raya. Tilhang tak kuasa
membendung intervensi Gun Seikanbu atau Pemerintah Jepang. Faktor ini pula
yang membuat Tilhang memilih operanya mati suri daripada menjadi alat
propaganda Jepang.(sumber: hariara.wordpress.com)
No comments:
Post a Comment