Monday, April 30, 2012

Bermimpi Menghijaukan Indonesia dengan Eucalyptus


Bermimpi Menghijaukan Indonesia dengan Eucalyptus


Ir. Makmur Damanik:
Kalau kita berkendaraan mobil dari Medan menuju Kecamatan Porsea di Kabupaten Toba Samosir, maka di sejumlah tempat di tepi jalan, mulai dari Aek Nauli di Kecamatan Parapat, Kabupaten Simalungun, akan terlihat hutan-hutan eucalyptus di antara hutan-hutan pinus atau tanah gersang di sana.

Pohon-pohon itu ditanam PT Inti Indorayon Utama (IIU), yang kini berganti nama menjadi PT Toba Pulp Lestari (TPL), untuk memenuhi kebutuhan akan bahan baku pulp. Namun, pengembangan Hutan Tanaman Industri (HTI) eucalyptus, menggantikan hutan-hutan pinus mercusii, di kawasan seputar Danau Toba (ketinggian di atas 902 m di atas permukaan laut), masih menjadi salah satu pokok kontroversi. Perubahan jenis hutan itu menjadi salah satu penyebab kemarahan masyarakat Tobasa terhadap pabrik pulp itu. Masyarakat penentang menilai selama ini hutan pinus mereka yang telah berumur puluhan, bahkan ratusan tahun, tidak boleh mereka usik, lalu atas izin pemerintah boleh dirambah dan ditebangi oleh perusahaan itu. Apalagi, kemudian di atas lahan bekas tebangan dijadikan HTI dengan tanaman eucalyptus. Rasa cemburu itulah yang kemudian berkembang memunculkan berbagai isu seperti tanaman eucalyptus rakus air, pucuk daunnya meracuni tanah, dan PT IIU menggunduli hutan sehingga permukaan air Danau Toba turun, dan sebagainya. Mungkin yang kurang dijelaskan pemerintah adalah pertimbangan pengembangan HTI di kawasan itu, yakni banyak lahan kritis dan gundul di kawasan seputar Danau Toba sehingga fungsi dan nilai hutan harus ditingkatkan, menggantikan huan pinus dengan tananam berdaun lebar untuk meningkatkan nilai konservasi tanah dan air, dan tanaman pinus rawan terbakar karena mengandung resin. Artinya, dalam pertimbangan pemerintah, eucalyptus lebih menguntungkan ketimbang pinus sebagai HTI, juga sebagai bahan baku pulp.

Tanaman Unggul Salah seorang yang sangat yakin tanaman ini memang menguntungkan dan tidak merusak lingkungan adalah Ir. Makmur Damanik, kini kepala riset kehutanan di pusat pembibitan (nursery) eucalyptus, PT TPL, di Sosorladang, Kecamatan Porsea, Kabupaten Toba Samosir. Keyakinannya didasarkan pada hasil lebih dari 200 penelitian ilmiah yang dilakukan bersama rekan-rekannya mengenai eucalyptus. Sehingga berbagai aspek dan karakter tanaman ini sangat mereka kuasai. Prestasi yang terutama adalah penemuan metode kloning untuk tanaman ini. Metode ini dipelajarinya di Australia, namun kemudian diadaptasi untuk eucalyptus. Tanaman ini dinilai cocok untuk bahan baku pulp atau bahkan sebagai HTI karena seratnya menengah, ada yang berjenis hard wood (bisa untuk bantalan kereta api) tapi ada juga yang soft wood, kayu yang dihasilkan lebih baik ketimbang dari hutan alam (khususnya untuk bahan baku pulp), biaya produksi lebih murah, dan bisa dipanen hanya dalam tempo 6-7 tahun. Insinyur jurusan tanah dari Institut Pertanian Bogor, yang kemudian jadi pawang eucalyptus ini, berani berkata demikian karena teknik kloning (multiplikasi) bisa menghasilkan jenis tananam yang unggul untuk ditanam di kawasan itu. ”Jadi eucalyptus yang kami kembangkan dengan sistem kloning akan mempunyai ciri sama seperti induknya. Kalau induknya berbatang besar dan lurus, maka demikian pula hasil kloningnya,” ujarnya, di kebun pembibitan yang dikelolanya, belum lama ini. Keunggulan lainnya, hanya dalam tempo 6-7 tahun pohon dari hasil kloning sudah bisa dipanen, dengan ukuran jauh lebih besar dibanding dari biji. Dengan demikian, dari kaca mata pabrik kertas hal ini jauh lebih menguntungkan dibandingkan dengan pinus yang perlu 30 tahun (di Kanada, Amerika dan Eropa) untuk bisa dipanen.

Produksi Murah
Keunggulan lain dari teknologi kloning ini adalah murahnya biaya pembibitan. Semasa PT IIU masih memakai benih biji eucalyptus untuk bibit, di kebun pembibitan itu hanya bisa dihasilkan 100 bibit pohon/bulan, dengan biaya per bibit pohon adalah Rp 2.500, hal ini berlangsung sampai tahun 1992. Namun setelah teknologi kloning ditemukan, dia mampu memproduksi bibit eucalyptus hanya dengan biaya Rp 250/pohon. Di kebun pembibitan seluas 14 hektar (7 hektar untuk kebun bibit, 6 hektar untuk memproduksi bibit) dapat diproduksi 760 ribu bibit/bulan atau sekitar 24 juta bibit pohon/tahun. Tidak heran kalau setiap hari, di kebun itu akan terlihat sejumlah perempuan yang asyik membuat kloning tanaman ini. Artinya, sepanjang tahun kebun pembibitan ini memproduksi benih eucalyptus. Kloning itu dilakukan dengan memotong batang dari perdu eucalyptus yang dibiarkan tumbuh di kebun, perdu itu sendiri ditanam dari stek pohon induk. Dari batang itu kemudian dibuat stek pucuk yang ditanam di media gambut bercampur pasir. Selama periode ini, bibit hasil kloning itu disimpan di rumah kaca (green house) selama 45 hari, dengan pengontrolan suhu dan kelembaban. Bahkan, dari penelitian yang mereka lakukan, Makmur dan kawan-kawannya telah berhasil mengembangkan sendiri bentuk-bentuk rumah kaca yang cocok untuk tanaman tersebut dengan biaya lebih murah. ”Green house hasil modifikasi kami jauh lebih murah dan efisien, bahkan bisa mengurangi jumlah kematian bibit yang busuk karena terkena tetesan air,” jelasnya.

Menguntungkan
Menurut data FAO, di dunia ada lebih dari 600 jenis eucalyptus (yang hampir semua bisa tumbuh di Indonesia karena iklim tropisnya) dan ada empat jenis yang asli dari Indonesia. Bahkan jenis eucalyptus terbaik di dunia ada di Timor Leste yakni jenis europhylla. Karena banyaknya jenis tananam ini, Makmur berani membuktikan kepada mereka yang menilai tanaman ini rakus air atau beracun dan tidak cocok dengan daerah seputar Danau Toba. ”Kalau eucalyptus rakus air, itu jenis yang mana, juga kalau beracun itu juga jenis yang mana? Jadi tidak bisa dipukul rata,” jelasnya. Salah satu penelitian yang dilakukan timnya antara lain mencoba menanam tumbuhan tumpang sari di antara eucalyptus untuk membuktikan tumbuhan yang ditanam di dataran tinggi Danau Toba memang tidak beracun. ”Dan terbukti tanaman tumpang sari itu tumbuh dengan baik,” ujarnya. Namun, bukan berarti tidak ada kritikan terhadap eucalyptus ini. Karena di beberapa lokasi HTI milik perusahaan itu ternyata banyak ditemukan eucalyptus usia 6-7 tahun yang kurus-kurus, bengkok-bengkok, namun ada juga yang besar. Atas kritik ini, dia menjelaskan ketika pihaknya mulai menanam eucalyptus di kawasan HTI pada periode 1987-1990, itu semua hanya dilakukan dengan coba-coba yakni dengan menanam biji tanpa mengenal asal-usul genetis tananam. Yang dituai adalah kegagalan hasil karena ada eucalyptus yang besar ada yang kecil, tidak seragam. ”Ini yang menimbulkan olok-olok, eucalyptus yang kami tanam hanya sebesar betis. Namun keuntungannya, dari situ kami berhasil menemukan eucalyptus berkualitas unggul, dan itu yang sekarang kami kembangkan,” jelas Makmur. Sukses dengan kloning ini, Makmur berani memprediksikan bahwa mengembangkan HTI eucalyptus sebagai bahan baku pulp akan sangat menguntungkan. Dia memberi gambaran, selama ini pulp yang dihasilkan perusahaannya dapat dikategorikan bermutu terbaik dengan biaya produksi hanya US$ 300/ton. ” Dengan asumsi harga pulp dunia terus turun hingga hanya US$ 350/ton, kami masih bisa mendapat marjin keuntungan karena memakai eucalyptus,” ujarnya. Bahkan dia bermimpi Indonesia akan menjadi negara penghasil pulp terbesar di dunia karena kita mempunyai lahan cukup luas yakni sampai 2 juta km persegi, sumber daya manusia cukup besar, terletak di kawasan tropis sehingga tanaman apa saja bisa tumbuh, dan bisa dipanen sepanjang tahun. ”Kalau saja semua rakyat melakukan PIR eucalyptus maka mereka akan kaya,” ujarnya, setengah berseloroh. Dalam perhitungannya, dengan bibit hasil kloning, kini satu hektar lahan bisa ditanami 1.111 pohon.

Perusahaannya juga menerapkan program PIR dengan pola inti-plasma sejak 1991. Peserta program HTI pola PIR mencapai areal seluas 8.966,27 hektar dengan melibatkan 3.022 KK plasma. Dan sebenarnya sejak tahun lalu HTI pola PIR, dari benih biji, sudah bisa pada areal seluas 1.947 hektar atau setara dengan 160.000 ton kayu. Kalau dibuat pulp setara dengan 32.000 ton pulp. Kalau saja 1 metrik ton eucalyptus dihargai Rp 35.000, maka sebagian masyarakat peserta HTI pola PIR itu sudah mendapat Rp 5,6 miliar, atau kalau dipukul rata, satu KK bisa mendapat sekitar Rp 8 juta. Namun karena pabrik masih tutup tanaman itu belum ditebang dan masyarakat peserta belum bisa menikmati keuntungan dari tanaman ini.

Kembali ke Makmur, di kebun pembibitannya, kini tersimpan berbagai jenis unggul tanaman tersebut, yang siap dikembangkan untuk HTI atau penghijauan di mana saja, disesuaikan dengan kondisi lahan di berbagai daerah di Nusantara.

Satu hal yang kini akan dikembangkan Makmur, bekerja sama dengan Asosiasi Perhutanan Indonesia Reformasi, adalah mencoba mengkloning berbagai tanaman hutan tropis lain yang ada di Indonesia. Sehingga dia optimis dengan teknologi ini, hutan-hutan kita yang gundul bisa dihijaukan kembali secara cepat, berkualitas dan menguntungkan. (xha)


Sumber:

No comments:

Post a Comment