Friday, March 23, 2012

TORTOR BATAK: Ekspresi Seni Budaya, Hiburan, dan Komoditi Wisata


TORTOR BATAK: Ekspresi Seni Budaya, Hiburan, dan Komoditi Wisata
Oleh : Melani Butarbutar

KabarIndonesia - Bila mendengar istilah "Tortor Batak" maka yang terbayangkan adalah sekelompok orang (Batak Toba) yang menari (manortor) diiringi seperangkat alat musik tradisional (gondang sabangunan). Gerak tari yang gembira ria, lenggak-lenggok yang monoton, yang digelar dalam sebuah pesta (suka/duka) di kawasan Tapanuli Dulu, tradisi manortor pada umumnya berlangsung dalam kehidupan masyarakat Batak antara lain wilayah Samosir, wilayah Toba dan sebagian Humbang. Sementara untuk kawasan Silindung setelah masuknya Kristen dikenal budaya "menyanyi" dan tarian "moderen" dan di kawasan Pahae dikenal tumba (tarian gembira dengan lagu berpantun) seperti disebut Pahae do mula ni tumba.

Perkembangan selanjutnya hingga memasuki abad "modern" masyarakat Batak membawa seni budayanya ke tanah perantauan di luar Tapanuli termasuk seni tortor yang pada awalnya menggunakan musik rekaman (kaset) hingga akhirnya seperangkat alat gondang sabangunan dibawa hijrah yang kemudian kelompok musik tradisionalnya melayani masyarakat Batak sekaligus mata pencaharian atau bisnis musik. 

Di tahun 1970- hingga 1980-an, hampir semua kegiatan adat masyarakat dilakukan dalam bentuk tortor dan gondang sabangunan, baik dalam pesta adat perkawinan, pesta peresmian rumah parsattian, pesta tugu, pesta membentuk huta/perkampungan juga pesta adat kematian orangtua, bahkan kalangan pemuda menggelar "pesta naposo"sebagai ajang hiburan dan perkenalan (mencari jodoh). Pesta Naposo, di beberapa daerah disebut juga pesta rondang bulan (Samosir), pesta rondang bintang (Simalungun). Tidak ketinggalan Pemerintah Daerah Tapanuli Utara, dalam rangka pelestarian seni budaya Batak Toba selalu menggelar festival tortor menjelang perayaan Hari Kemerdekaan 17 Agustus. Festival ini dilakukan mulai dari tingkat Kecamatan hingga diperoleh utusan dari 5 wilayah (Silindung, Humbang I, Humbang II, Toba dan Samosir) untuk mengikuti Festival Tortor Tingkat Kabupaten, dan selanjutnya juara-juara menjadi peserta pada Festival Tortor di tingkat Propinsi. Setelah otonomi daerah, masing-masing Kabupaten ex Tapanuli Utara juga menggelar festival tortor dalam berbagai kegiatan pesta perayaan hari jadi atau hari-hari besar lainnya juga untuk kegiatan kepariwisataan. 


Seiring dengan perkembangan zaman dan bergulirnya waktu, kehadiran gerak tari yang trend di tahun 1990-an seperti dansa, jojing dsb, simultan dengan munculnya alat musik elektronik (keyboard), di beberapa wilayah Tapanuli, penggunaan tortor dan gondang sabangunan hampir tidak kelihatan lagi, hingga bila masyarakat ingin menyaksikan gondang sabangunan dan tortor Batak harus secara khusus ke daerah wisata yang memang tersedia kelompok seni budaya tradisionalnya seperti Tomok, Simanindo, Pangururan di Samosir, Perkampungan Wisata di Jangga kec.Lumbanjulu Toba, sementara kelompok gondang sabangunan kelihatannya "bubar" atau hijrah ke luar bona pasogit antara lain ke Jakarta atau Jawa, Riau dan sebagainya. 



Kalaupun ada hajatan atau pesta yang menginginkan gondang Batak biasanya dipesan dari wilayah Toba (Balige, Porsea, Laguboti) dan wilayah Samosir, sedang di wilayah Humbang peralatan musik gondang yang digunakan kelihatannya tidak lengkap (hanya ada beberapa buah taganing, ogung dan seruling). 

Hingga memasuki abad 21, alat musik yang dipergunakan merupakan campuran dari alat musik modern (keyboard, drum) dengan alat musik tradisional (taganing, seruling) saja, dan hampir seluruh daerah/wilayah memilikinya dengan menggunakan "lagu/nyanyian" modern yang diciptakan seiring dengan trend lagu yang berkembang. Mungkin bagi orang-orang yang mendalami adat dan seni budaya Batak tradisional, kondisi ini sedikit menimbulkan pertentangan bathin bahkan tidak respek, sementara bagi masyarakat umum tidak mempersoalkannya bahkan menikmatinya. 



Ada ironi yang terjadi dalam penyelenggaraan pesta yang menggunakan musik modern atau campuran sebagaimana disebutkan diatas, yakni ketika penyelenggara (hasuhuton) dan para tetamu, undangan (naniontang) akan manortor, maka dia meminta pemusik untuk menggelar musiknya dengan menyebut "Panggual-Pargonsi, baen hamu ma jo gondang i, asa manortor hami, baen hamu ma gondang mula-mula, gondang somba, gondang simonang-monang, gondang hasahatan sitio-tio". Maka kelompok musik akan menabuh drum dan membunyikan keyboardnya dengan lagu-rythim modern dan tarian yang dipertunjukkan sudah pasti tarian "modern" bukan lagi tortor Batak. 


Kondisi yang demikian tentu akan semakin mempercepat punahnya tortor Batak dan musik tradisional Batak-gondang sabangunan, hal ini sudah menggejala dan kelihatan nyata terutama bagi generasi muda Batak, mereka tidak lagi mengetahui tortor dan musik Batak yang sebenarnya, yang mereka ketahui adalah apa yang mereka lihat selama ini "musik dan tarian modern" yang ddigelar dalam pesta-pesta, itulah tortor dan musik Batak. Timbul pertanyaan, haruskah kita biarkan tortor-musik tradisional Batak ini punah? Bukankah tortor dan musik Batak tersebut adalah identitas budaya Batak dalam keragaman seni budaya Indonesia? 

Tortor, Makna Kehidupan Seni-Budaya Orang Batak
Sebagaimana lazimnya dalam berbagai etnis di dunia, gerak tari sebagai bagian dari seni budaya merupakan refleksi dan perwujudan dari sikap, sifat, perilaku dan perlakuan serta pengalaman hidup masyarakat itu sendiri. Bahasa menunjukkan bangsa, sebut para budayawan, maka tarian/gerak adalah juga bahasa (tubuh) yang menggambarkan bangsa. Dalam tarian tergambar cita rasa, daya cipta dan karsa dari sekelompok orang-orang. Tarian Melayu yang lemah gemulai, tarian Nias atau Papua yang menghentak-hentak, atau tarian Mexico yang cepat-sigap, menggambarkan bahasa hati/jiwa, sikap hidup mereka. 


Akan halnya tortor Batak, tidak jauh berbeda dengan makna yang digambarkannya dalam gerak yang selalu diiringi oleh musik tradisional gondang sabangunan. Tortor Batak juga menggambarkan pengalaman hidup orang Batak dalam kehidupan keseharian, gembira/senang, bermenung, berdoa/menyembah, menangis, bahkan keinginan-cita-cita dan harapan dan lain sebagainya dapat tergambar dalam Tortor Batak. Karenanya, penulis tidak menerima pernyataan sementara orang-orang bahwa Tortor Batak sifatnya "monoton" atau begitu-begitu saja. 


Di era masuknya agama Kristen ke tanah Batak, pernah terjadi di sebuah wilayah bahwa tortor Batak tidak diperbolehkan dipagelarkan dalam pesta atau hajatan lain, karena dianggap bernuansa "animisme" bahkan di zaman inipun justru ada "agama" yang mengharamkan menggunakan ulos,, tortor, gondang sabangunan dan adat Batak dengan alasan bahwa mereka yang menggunakannya bukan orang yang beragama. Kenyataan di dalam masyarakat, ulospun dibakar, mereka yang menggelar gondang dan tortor Batak dikeluarkan dari sekte gereja. 


Dapat digambarkan bahwa tortor Batak memaknai kehidupan seni-budaya Batak, persoalannya apakah bertentangan dengan agama atau tidak tergantung kepada cara pandang dan pemahaman kita. Bahkan akhir-akhir ini, justru dalam kebaktian agama (gereja) tortor dan gondang Batak telah menjadi bagian dan pendukung acara kebaktian (misalnya lakon pengakuan dosa dan mengantar persembahan digambarkan/dikoreografis dengan tortor Batak). Gambaran kehidupan orang Batak sebagaimana direfleksikan dalam tortor Batak tentu akan dapat dipahami melalui urut-urutan dan nama musik gondang yang diminta oleh tetua kelompok (paminta gondang), biasanya didahului dengan Gondang Mula-mula, Gondang Somba, Gondang Mangaliat, Gondang Simonang-monang, Gondang Sibungajambu, Gondang Marhusip, dan seterusnya yang diakhiri dengan Gondang Hasahatan Sitio-tio. Demikian juga tortor/gerakan yang dilakonkan akan berbeda sesuai dengan irama dari gondang yang dibunyikan oleh Pargonsi (Pemusik).


Bagi mereka yang mengetahui, memahami dan menikmati irama gondang dan tortor akan menyadari betul apa yang digambarkan dan dimaknai tortor yang dipagelarkan. Dengan demikian, semua orang Batak dapat manortor tetapi tidak semua disebut panortor (penari) atau "pandai manortor" karena untuk menjadi panortor Batak haruslah memiliki talenta dan latihan yang kontinu.


Hal-hal yang Harus Diperhatikan dalam Tortor (Batak)
Dalam melakonkan Tortor, sudah barang tentu tidak sekedar membuat gerak tangan, kaki atau badan, juga gerak mata (pandangan) dan ekspressi (mimik) tetapi juga musik pengiring yang dipergunakan harus berirama Batak yakni gondang sabangunan yang terdiri ada taganing, ogung (doal, panggora, oloan), sarune, odap gordang dan hesek, sebab gerakan manortor harus mengikuti irama/rytme perangkat musik tersebut. Selain itu, pakaian yang lazim digunakan juga harus sesuai dengan motif Batak, misalnya selendang atau ulos yang dipakai tergantung maksud dan tujuan acara-pesta seperti ulos sibolang, ragi idup, tali-tali, suri-suri dan sebagainya.


Sebagaimana disebutkan di atas bahwa gerak tortor Batak berbeda dalam setiap jenis musik yang diperdengarkan dan berbeda pula gerak tortor laki-laki dan gerak tortor perempuan. Menurut para pemerhati tortor, bahwa tortor yang dilakonkan juga dibedakan antara tortor raja dengan tortor natorop. 


Sementara perangkat lain dalam acara tortor Batak biasanya harus ada orang yang menjadi pemimpin kelompok tortor dan pengatur acara/juru bicara (paminta gondang), untuk yang terakhir ini sangat dibutuhkan kemampuan untuk memahami urutan gondang dan jalinan kata-kata serta umpasa dalam meminta gondang. Bagaimanapun juga, tortor Batak adalah identitas seni budaya masyarakat Batak yang harus dilestarikan dan tidak lenyap oleh perkembangan zaman dan peradaban manusia. Dalam tortor Batak terdapat nilai-nilai etika, moral dan budi pekerti yang perlu ditanamkan kepada generasi muda. 


Jika belakangan ini dilansir bahwa generasi muda Batak kehilangan jati diri ditandai dengan tidak mampu berbahasa Batak, tidak bersikap seperti orang Batak, tidak memahami seluk-beluk adat Batak, maka ke depan hal ini harus menjadi bagian dari perhatian masyarakat Batak dan Pemerintah di Bona Pasogit. 


Selayaknya kita berterima kasih kepada Pemerintah Daerah yang berupaya melestarikan budaya Batak baik melalui penetapan Belajar Aksara Batak menjadi muatan lokal di sekolah SD, (mungkin perlu hingga tingkat SMP dan SMA); tetapi alangkah baiknya bila Pemerintah Daerah juga memberi perhatian terhadap pelestarian adat budaya Batak seperti Festival Marhata Adat, Festival Tortor, Festival Marturi-turian, Lomba Menulis Cerita-Legenda/Sejarah, dan lain sebagainya. (*) 




Sumber:
Blog: http://www.pewarta-kabarindonesia.blogspot.com/
Alamat ratron (surat elektronik): redaksi@kabarindonesia.com
Berita besar hari ini...!!! Kunjungi segera:
http://www.kabarindonesia.com/

Mengenang Uning-uningan

Mengenang Uning-uningan


Zaman telah berubah. Berbagai produk kesenian tradisional pun kian terkikis waktu. Salah satunya adalah Uning-uningan. Untungnya, meskipun bisa dihitung jari, masih ada juga orang-orang teguh mempertahankan seni tradisi ini.


Uning-uningan merupakan kesenian tradisional Batak Toba yang tersisa. Selain digunakan sebagai sarana pendekatan kepada pujaan hati, konon juga bermanfaat sebagai alat komunikasi antara manusia dengan Sang Pencipta (Mula Jadi na Bolon). Kesenian ini terdiri dari unsur musik (musik instrumental) di mana alat musiknya merupakan alat musik tertua dan asli dari masyarakat Batak Toba.

M Hutasoit dalam bukunya, Ende Batak dohot Uning-uningan mengatakan, perkataan uning-uningan berasal dari dua kata un dan ing. Un berarti suara yang rendah (bongor) dan ing berarti suara yang tinggi (sihil). Dengan demikian, pengertian uning-uningan berarti, suara bongor dan sihil yang bersahut-sahutan.


Ada beberapa jenis alat musik yang dipakai dalam uning-uningan, antara lain jenis aerophone (alat musik yang ditiup) terdiri dari sarune na met-met, sulim, sordam, tulila, tataloat, salung dan along-along. Jenis chordophone (alat musik yang dipetik) terdiri dari hasapi, tanggetong atau mengmong dan sidideng. Jenis idiophone (alat musik yang dipukul) terdiri dari garantung, saga-saga, jenggong dan hesek. Kemudian jenis membranophone (alat musik yang terbuat dari kulit binatang) terdiri dari gardap. 


Biasanya, dalam pertunjukan musik tradisional Batak Toba, tidak semua alat musik ini digabung dalam satu ensambel, tetapi dipilih beberapa jenis saja (biasanya tiga sampai enam jenis alat musik dalam satu ensambel). Misalnya, sebuah sarune na met-met, seperangkat garantung, dua buah hasapi (hasapi ende dan hasapi doal), sebuah sulim dan sebuah hesek. Yang penting dalam uning-uningan harus ada paling sedikit satu jenis alat musik yang berfungsi sebagai pembawa melodi dari repertoar yang dimainkan. 



Pendapat lain dikemukakan Arthur Simon dalam bukunya, Gondang Toba Instrumental Music of the Toba-Batak. Ia mengatakan uning-uningan selalu terdiri dari sarune na met-met, hasapi dan hesek. Sebagai pelengkapnya boleh ditambahkan garantung dan tanggetong. Sistem penggarapan melodi atau ritem dan repertoar pada uning-uningan mempunyai kemiripan dengan gondang sabangunan, seperti Gondang Sampur Marmeme, Gondang Si Unte Manis, Gondang Mula-mula dan lain sebagainya. Dengan kata lain uning-uningan merupakan bentuk imitasi dari gondang sabangunan. 

Fungsi Uning-uningan
Selain berfungsi sebagai alat untuk memanggil roh, fungsi lain dari Uning-uningan adalah sebagai alat komunikasi antara manusia dengan Sang Pencipta (Mula Jadi na Bolon).
Dalam hal pemanggilan roh, beberapa persyaratan harus dipenuhi yang diminta oleh Datu (dukun) sebelum upacara dimulai, seperti menyediakan sesajen, membatasi orang yang hadir dan lain sebagainya. Setelah seluruh persyaratan terpenuhi, Uning-uningan pun dimainkan. Si dukun kemudian menari mengikuti irama musik dan biasanya kemasukan roh orang yang sudah mati (trance) yang sengaja diundang.


Fungsi lainnya, uning-uningan digunakan sebagai pelengkap pembacaan doa bagi kesembuhan orang sakit. Malah, dimanfaatkan sebagai pengantar doa permohonan untuk mendapatkan keturunan. Saat upacara berlangsung, biasanya dilengkapi beberapa umpasa (umpama) yang dibacakan penatua kampung. Isiumpasa tersebut disesuaikan dengan keadaan orang yang akan didoakan. Contohnya, Bintang na rumiris, ombun na sumorop; Anak pe antong riris, boru pe antong torop (Bintang yang bertabur, embun yang berserakan; Anak laki-laki pun banyak, anak perempuan pun banyak). Hadirin spontan menyahuti umpama tersebut dengan seruan,”Ima tutu” (semoga benarlah adanya). 


Untuk fungsi secara pribadi, beberapa perangkat uning-uningan bisa dimainkan sendiri-sendiri. Seorang ibu hamil, bisa memainkan garantung agar kelak anaknya lahir dalam keadaan sehat. Seorang kakek juga sering memainkan hasapi begitu mendengar kabar kelahiran cucunya. Sedangkan sordam dimainkan para orangtua yang sedang bersedih hati pada malam ketika suasana sudah benar-benar sepi.


Kini, uning-uningan sudah semakin jarang dimainkan. Agaknya, generasi muda sekarang takut dicap kolot bila memainkannya. Mereka lebih memilih untuk memainkan atau mendengarkan musik yang lagi tren.Belum lagi larangan gereja kepada jemaatnya untuk melakukan upacara yang berhubungan dengan kekuatan gaib. Akibatnya, tak usah heran uning-uningan akan hilang suatu saat nanti.




Sumber : (Abraham Sitompul) Harian Global 


Sumber:
http://www.silaban.net/2006/11/05/mengenang-uning-uningan/

Perubahan Gondang Hasapi: Studi Kasus Pada Masyarakat Batak Toba di Jakarta

Perubahan Gondang Hasapi: Studi Kasus Pada Masyarakat Batak Toba di Jakarta
(Oleh: Andi Sirait)

Masyarakat Batak Toba memiliki dua jenis ensambel musik, yaitu Gondang Sabangunan dan Gondang Hasapi. Kedua ensambel ini berfungsi sebagai pengiring upacara adat Batak, dan disajikan secara instrumentalia. Gondang Sabangunan, yang terdiri dari instrumen Sarune Bolon, Taganing, Ogung, dan Hesek, merupakan ensambel pertama yang dimiliki masyarakat Batak Toba, dan hanya digunakan dalam upacara-upacara ritual Batak, sehingga menimbulkan kesan sakral pada masyarakat. Sementara Gondang Hasapi yang terdiri dari Sarune Etek, Hasapi Ende, Hasapi Doal, dan Hesek tidak dipandang sakral karena instrumen-instrumen tersebut awalnya dimainkan secara independen (solo). Keempat instrumen dalam Gondang Hasapi ini digabungkan sehingga menyerupai peran dan fungsi instrumen dalam Gondang Sabangunan. Oleh sebab itu, Gondang Sabangunan merupakan embrio Gondang Hasapi. 

Pada masa berikutnya kemudian ditemukan penggabungan instrumen Garantung dan Sulim dalam Gondang Hasapi, sehingga secara keseluruhan menjadi enam instrumen.Masuknya para missionaris Kristen ke Tanah Batak, kemudian melarang seluruh aktivitas masyarakat yang bersifat animisme, termasuk Gondang. Gondang Sabangunan yang hanya digunakan pada upacara ritual Batak (di luar rumah), sangat terancam eksistensinya saat itu. Ini menyebabkan masyarakat Batak Toba lebih sering menggunakan Gondang Hasapi dalam upacara ritualnya, karena ensambel ini memiliki kualitas suara yang cukup lembut sehingga cocok digunakan di dalam rumah. Namun karena para penjajah juga mempekerjakan masyarakat lokal, yang juga berperan sebagai mata-mata, maka aktivitas masyarakat yang secara diam-diam masih menggunakan Gondang Hasapi dalam upacara ritualnya pun turut terancam. 


Para seniman tetap berusaha mempertahankan miliknya dengan menggunakannya sebagai sarana hiburan, hingga muncul Opera Batak. Opera ini merupakan gabungan dari berbagai macam seni pertunjukan, seperti musik, drama, dan tari. Kemunculannya disambut baik oleh masyarakat Batak, sampai akhirnya pindah ke Jakarta. Inilah awal mula masuknya Gondang Hasapi ke Jakarta, yang hingga saat ini masih tetap digunakan meski fungsinya hanya sebagai hiburan semata pada acara pesta pernikahan masyarakat Batak Toba. 


Perubahan juga terjadi pada instrumen yang digunakan, yaitu dengan digabungkannya instrumen yang terdapat pada Gondang Sabangunan dengan instrumen musik barat seperti keyboard, saxophone, trompet, biola, dan lain-lain, termasuk vokal. Penggabungan ini didasari karena nada-nada Gondang Hasapi memiliki jangkauan nada seperti musik barat, sehingga ensambel ini cocok digabungkan dengan berbagai instrumen yang memiliki tangga nada diatonis.
Kata kunci: ritual, perubahan, instrumentasi. 




Sumber:
http://dpbudaya.blogspot.com/2009/10/perubahan-gondang-hasapi-studi-kasus.html

UPAYA PELESTARIAN GONDANG SABANGUNAN

UPAYA PELESTARIAN GONDANG SABANGUNAN

Pendahuluan

Indonesia dikenal sebagai bangsa yang memiliki kekayaan beranekaragam budaya. Masing suku bangsa memiliki warisan budaya yang tidak ternilai harganya dan telah dikenal di seantero dunia. Namun beberapa tahun belakangan ini kebangaan terhadap kekayaan keanekaragaman budaya cukup terusik dengan banyaknya kasus pengakuan dari pihak luar terhadap kekayaan budaya Indonesia. Sebut saja sebagai contoh dibajaknya lagu rasa sayange dari Maluku sebagai suara latar website promosi pariwisata Malaysia (walaupun syairnya telah diganti sedemikian rupa), diakuinya tari Reog Ponorogo sebagai budaya Malaysia (walaupun telah berganti rupa baik nama maupun jalan cerita tari tersebut), dan terakhir adalah telah dipatenkannya motif kerajinan perak Bali oleh para pengusaha asing.


Kasus-kasus pengakuan budaya Indonesia oleh pihak asing tentunya menimbulkan reaksi yang beragam dari masyarakat Indonesia. Ada yang marah dan melakukan unjuk rasa pada pihak terkait seperti kedutaan asing maupun lembaga pemerintahan seperti DPRD dan Gubernur. Ada pula yang menyalahkan lamban dan tidak tanggapnya pemerintah dalam menangani kasuskasus tersebut, dan tidak sedikit pula yang menganggap bahwa kasus pengakuan kekayaan budaya bangsa Indonesia oleh pihak luar terkait dengan tidak pedulinya bangsa ini terhadap budaya sendiri. 

Adanya pendapat bahwa ketidakpedulian bangsa Indonesia terhadap budayanya sendiri terkait dengan makin ditinggalkannya budaya asli Indonesia terutama oleh generasi muda. Masyarakat lebih bangga mengunakan budaya asing diberbagai sektor kehidupan masyarakat dibanding budaya asli Indonesia. Mulai dari makanan, permainan, hiburan sampai pola perilaku meniru budaya asing. Tidak mengherankan jika anak-anak sekarang lebih mengenal Dora, Sinchan, Power ranger dibandingkan kancil, Timun mas. 


Terjadinya ketidakpedulian terhadap budaya bangsa, menurut Edi Sedyawati 



1] hal ini terjadi karena ; a. tidak pernah dipahami lagi teknik dan kaidah-kaidah estetiknya, b. semata-mata dianggap kuno atau tidak patut lagi, atau tidak ngetren, dan, c. sengaja dihindari karena asosiasinya dengan system kepercayaan lama yang dianggap tidak cocok lagi dengan tata kehidupan masa kini.

Untuk mencegah makin banyaknya kasus pengakuan pihak asing terhadap kekayaan budaya Indonesia diperlukan beberapa tindakan pencegahan, salah satunya yang terpenting adalah dengan melakukan pelestarian budaya.


Pelestarian merupakan upaya keseluruhan dalam rangka menjaga eksistensi suatu kebudayaan. Berdasarkan kalimat tersebut, maka yang dilestarikan adalah eksistensi kebudayaan tersebut dan bukan ungkapan-ungkapan yang menyertainya. Dengan demikian upaya pelestarian menjadi suatu usaha yang dinamis. 


Dalam pengertian pelestarian tercakup tiga rincian tindakan yaitu; perlindungan, pengembangan dan pemanfaatan. Perlindungan kebudayaan merupakan segala upaya pencegahan dan penanggulangan gejala yang dapat menimbulkan kerusakan, kerugian atau kemusnahan bagi manfaat dan keutuhan sistem gagasan, sistem perilaku, dan atau benda budaya akibat perbuatan manusia ataupun proses alam. Termasuk kedalam upaya perlindungan ini adalah perlindungan terhadap kerusakan/kepunahan dan perlindungan terhadap penggunaan yang tidak patut, tidak adil, atau tanpa hak (mis appropriation).


Pengembangan kebudayaan adalah upaya perluasan dan pendalaman perwujudan budaya, serta peningkatanmutu dengan memanfaatkan berbagai sumber dan potensi. Sedangkan pemanfaatan kebudayaan adalah upaya penggunaan perwujudan budaya untuk kepentingan pendidikan, agama, ekonomi, ilmu pengetahuan, dan lain-lain. 



Dalam kaitannya dengan pemanfaatan kebudayaan ini diperlukan suatu undang-undang yang melindungi kekayaan kebudayaan Indonesia khususnya terkait dengan “Pengetahuan tradisional” (traditional Knowledge) dan “ekspresi budaya tradisional /tradisi folklore ( Traditional Cultural Expression/Expressions of Folklore). Keduanya akan menjadi undang-udang sui generis untuk mendampingi Undang-Undang Hak Cipta yang telah ada sehingga tidak adalagi kasus kekayaan budaya Indonesia yang dapat di miliki hak ciptanya oleh orang asing.2]


Upaya pelestarian kebudayaan saat ini harus perpacu dengan perubahan yang terjadi pada masyarakat. Sebagai kebiasaan suatu masyarakat yang bermanfaat untuk mempertahankan dan mengembangkan cara hidupnya, maka kebudayaan harus membawa masyarakat kearah lebih sejahtera dan atau lebih bahagia.


Berdasarkan pemahaman tersebut, kebudayaan dapat didefinisikan sebagai Keseluruhan kebiasaan manusia yang tercermin dalam pengetahuan, tindakan dan hasil karyanya sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk memahami lingkungannya dan yang menjadi pedoman tingkah lakunya untuk mencapai kedamaian dan atau kesejahteraan hidupnya. Kebudayaan harus dapat menjadikan masyarakatnya lebih damai dan lebih sejahtera, bukan sebaliknya menjadi beban masyarakatnya. Oleh karena itu semua kebudayaan yang tidak bermanfaat untuk kedamaian (kebahagiaan) dan kesejahteraan manusia akan ditinggalkan.

Perubahan orientasi nilai budaya yang dimiliki masyarakat pendukungnya, menjadikan suatu kebudayaan semakin ditinggalkan masyarakat pendukungnya tersebut. 


Gondang Sabangunan
Dalam pengertian masyarakat luar, kata gondang diartikan sebagai kesenian gendang atau perkusi khas masyarakat Batak. Sedangkan menurut tradisi Batak, kata gondang memiliki arti yang berbeda-beda sesuai dengan maksud dan tujuannya. Gondang dapat diartikan sebagai seperangkat alat musik, ensambel musik, komposisi lagu
3]. Gondang dapat juga diartikan sebagai (1) menunjukkan satu bagian dari kelompok kekerabatan, tingkat usia; atau orang-orang dalam tingkatan status sosial tertentu yang sedang menari (manotor) pada saat upacara berlangsung[4) 


Sebagai perangkat alat musik, gondang sering disebut sebagai gondang Batak. Menurut Irfan[5] Gondang Batak sering diidentikkan dengan gondang sabangunan atau ogling sabangunan dan kadang-kadang juga diidentikkan dengan taganing ( salah satu alat musik yang terdapat di dalam gondang sabangunan). Dari pengertian itu, alat musik batak lain yang disebut gondang hasapi atau yang dikenal sebagai uning-uningan dianggap sebagai bukan gondang Batak. Padahal alat tersebut juga termasuk gondang Batak. Gondang sabangunan dan gondang hasapi digunakan dalam upacara yang berkaitan dengan religi, adat maupun upacara seremonial lainnya. 


Gondang sabangunan yang oleh orang Batak juga disebut sebagai „parhohas na ualu“ terdiri dari delapan jenis instrument tradisional Batak Toba yaitu ;
1. Taganing
Dari segi teknis, instrumen taganing memiliki tanggung jawab dalam penguasaan repertoar dan memainkan melodi bersama-sama dengan sarune. Walaupun tidak seluruh repetoar berfungsi sebagai pembawa melodi, namun pada setiap penyajian gondang, taganing berfungsi sebagai "pengaba" atau "dirigen" (pemain group gondang) dengan isyarat- isyarat ritme yang harus dipatuhi oleh seluruh anggota ensambel dan pemberi semangat kepada pemain lainnya.
2. Gordang
Gordang ini berfungsi sebagai instrumen ritme variabel, yaitu memainkan iringan musik lagu yang bervariasi.
3. Sarune
Sarune berfungsi sebagai alat untuk memainkan melodi lagu yang dibawakan oleh taganing.
4. Ogung Oloan (pemiapin atau Yang Harus Dituruti)


Ogung Oloan mempunyai fungsi sebagai instrumen ritme konstan, yaitu memainkan iringan irama lagu dengan model yang tetap. Fungsi agung oloan ini umumnya sama dengan fungsi agung ihutan, agung panggora dan agung doal dan sedikit sekali perbedaannya. agung doal memperdengarkan bunyinya tepat di tengah-tengah dari dua pukulan hesek dan menimbulkan suatu efek synkopis nampaknya merupakan suatu ciri khas dari gondang sabangunan.

Fungsi dari ogung panggora ditujukan pada dua bagian. Di satu bagian, ia berbunyi berbarengan dengan tiap pukulan yang kedua, sedang di bagian lain sekali ia berbunyi berbarengan dengan agung ihutan dan sekali lagi berbarengan dengan agung oloan. Oleh karena itu musik dari gondang sabangunan ini pada umumnya dimainkan dalam tempo yang cepat, maka para penari maupun pendengar hanya berpegang pada bunyi agung oloan dan ihutan saja.


Berdasarkan hal tersebut, maka ogling oloan yang berbunyi lebih rendah itu berarti "pemimpin" atau "Yang harus di turuti" , sedang ogling ihutan yang berbunyi lebih tinggi, itu "Yang menjawab" atau "Yang menuruti". Maka dapat disimpulkan bahwa peranan dan fungsi yang berlangsung antara ogling dan ihutan dianggap oleh orang Batak Toba sebagai suatu permainan "tanya jawab"
5. Ogung Ihutan atau Ogung pangalusi (Yang menjawab atau yang menuruti).
6. Ogling panggora atau Ogung Panonggahi (Yang berseru atau yang membuat orang terkejut).
7. Ogung Doal (Tidak mempunyai arti tertentu)
8. Hesek


Hesek ini berfungsi menuntun instrumen lain secara bersama-sama dimainkan. Tanpa hesek, permainan musik instrumen akan terasa kurang lengkap. Walaupun alat dan suaranya sederhana saja, namun peranannya penting dan menentukan.



Kedelapan instrument tradisional ini merupakan lambang dari delapan mata angin (desa na ualu) yang kemudian oleh para pemain gondang sabangunan kedelapan instrument tersebut disebut Raja Na Ualu ( Raja Nan Delapan). [6]

Pada awalnya masing-masing instrument tersebut dimainkan oleh satu orang, namun karena perkembangan jaman dan semakin sulitnya mencari pemain, maka beberapa instrument dimainkan oleh seorang pemain musik seperti ogling oloan dan ogling ihutan dimainkan oleh seorang pemain. Odap sudah tidak digunakan lagi,kadang-kadang hesek juga dirangkap dimainkan oleh pemain taganing. Oleh sebab itu saat ini jumlah pemain gondang sabangunan bervariasi antar kelompok.


Para pemain gondang sabangunan oleh masyarakat Batak disebut pargonsi, sedangkan kegiatan memainkan musik gondang sabangunan itu sendiri disebut margondang (memainkan gondang).
Sebagai sebuah komposisi instrumen musik gondang sabangunan memiliki istilah yang berbeda-beda walaupun pada dasarnya memiliki arti yang sama. Menurut masyarakat Batak (terutama kaum tua), gondang sabangunan dipercaya memiliki kekuatan supranatural. 


Apabila dimainkan, maka suaranya akan kedengaran sampai ke langit dan semua penari yang mengikuti alunan suara gondang sabangunan tersebut akan melompat-lompat seperti kesurupan di atas tanah atau dalam istilah orang batak disebut na tondol di tano. Sedangkan bagi pendengar lainnya suara yang keluar dari gondang dapat membuat perasaan mereka dimainkan dan terhanyut oleh suasana saat itu baik bersuka cita, sedih, dan merasa bersatu di dalam suasana kekeluargaan.


Adanya kepercayaan dari masyarakat Batak yang menganggap musik gondang sabangunan memiliki nilai yang snagat sakral, maka tidak mengherankan jika penghormatan mereka terhadap para pemusik gondang sabangunan (pargonsi) juga begitu tinggi. Para pargonsi dianggap memiliki ketrampilan khusus yang mereka dapat berdasarkan sabala dari Mulajadi Na Bolon. Selain itu juga para pargonsi dianggap mempunyai pengetahuan tentang ruhut-ruhut ni adat (aturan-aturan adat). Penghormatan masyarakat terhadap para pargonsi ini terlihat dari sebutan mereka terhadap para pargonsi. Para pemain taganing oleh masyarakat disebut dengan Batara Guru Hundul ( Dewa Batara Guru yang duduk) dan Batara Guru Manguntar untuk pemain serune. Mereka berdua dianggap sejajar dengan dewa. Masyarakat percaya dengan perantara para pargonsilah melalui suara gondang sabangunan, pujian dan permohonan yang disampaikan pada Mulajadi Na Bolon dan para dewa bawahannya didengar.


Namun seiring dengan berjalannya waktu, penghormatan masyarakat terhadap para pargonsi lambat laun mulai berkurang, terutama dengan hadirnya musik modern. Kelompok pemusik yang mengunakan alat-alat musik modern (Brass Band) lambat laun mengantikan kedudukan para pargonsi. Bahkan ada diantara masyarakat yang menyebut para pemusik modern tersebut dengan sebutan pargonsi walaupun berbeda nilainya.


Upaya Pelestarian Gondang Sabangunan
Seperti yang telah disebutkan di atas, pelestarian kekayaan budaya di Indonesia perlu segera dilakukan karena kita berlomba dengan perubahan yang ada di masyarakat. Kesenian musik Gondang Sabangunan harus bersaing dengan kehadiran alat musik modern yang lebih murah dan praktis. Selain itu juga eksistensi kesenian gondang sabangunan harus berpacu dengan semakin langkanya para pargonsi. Perlu diketahui bahwa untuk menjadi pargonsi membutuhkan persyaratan-persyaratan khusus, yaitu :
1. Harus memiliki kepandaian khusus dalam memainkan alat musik gondang sabangunan. Kepandaian ini bukanhanya didapat melalui belajar musik tetapi didapat karena bakat sejak dalam kandungan. Menurut masyarakat Batak Toba, para pargonsi harus mendapat sahala dari Mulajadi Na Bolon (Sang Pencipta) sejak ia berada dalam kandungan. Dengan kata lain para pargonsi adalah orang-orang pilihan Mulajadi Na Bolon.
2. Setelah seseorang diketahui mendapat Sahala dari Mulajadi Na Bolon (Sang pencipta), orang tersebut haruslah belajar dengan tekun terutama dari para pargonsi senior.
3.Selain pandai memainkan music, orang yang ingin menjadi pargonsi haruslah mempunyai pengetahuan tentang aturan-aturan adat ( Ruhut-ruhut ni adat). Mereka harus paham struktur adat masyarakat Batak Toba yakni Dalihan Na Tolu dan penerapannya di masyarakat.
4. Orang yang ingin menjadi pargonsi haruslah laki-laki, karena laki-laki merupakan hasil ciptaan dan pilihan pertama Mulajadi Na Bolon (Sang pencipta). Selain itu juga laki-laki dianggap lebih bebas untuk dtang kemanapun diundang.
5.Orang yang menjadi pargonsi haruslah orang dewasa. [7]


Dari persyaratan untuk menjadi pargonsi seperti yang telah diuaraikan di atas, terlihat bahwa betapa susahnya untuk menjadi pargonsi terutama adanya syarat harus memiliki atau mendapat sahala dari Mulajadi Na Bolon (sang Pencipta) yang tentunya tidak semua orang mendapatkannya. 



Langkah awal untuk melakukan pelestarian Gondang Sabangunan adalah dengan melakukan pendataan yang akurat melalui penelitian yang mendalam mengenai Gondang Sabangunan, baik makna dan nilai, pelaku atau pemain Gondang sabangunan yang masih ada sampai tingkat apresiasi masyarakat terhadap gondang sabangunan. Dengan adanya data yang akurat, maka rencana pelestarian dapat dilakukan seefektif mungkin, baik perlindungan, pengembangan maupun pemanfaatanya. 

Perlindungan terhadap gondang sabangunan perlu dilakukan oleh pemerintah terutama pemerintah daerah. Upaya perlindungan dapat dilakukan melalui bantuan pembinaan /finansial terhadap kelompok-kelompok pargonsi gondang sabangunan sehingga mereka dapat bersaing dengan kelompok kesenian lainnya. Selain itu juga melakukan mendorong para pejabat pemda terutama yang berasal dari Batak Toba untuk memakai atau mengunakan gondang sabangunan dalam pelaksanaan upacara adat di keluarga/kerabat masing-masing. 


Pengembangan terhadap gondang sabangunan perlu dilakukan untuk mempertahankan eksistensi kesenian tersebut, diantaranya adalah dengan melakukan pelatihan atau memasukan kesenian gondang sabangunan ke dalam kurikulum sekolah sebagai muatan lokal. Usaha ini tentunya akan bertentangan dengan persyaratan untuk menjadi pargonsi yang harus mendapat Sahala dari Mulajadi Na Bolon yang berarti pula menurunkan keskaralannya. 


Untuk benturan tersebut pemda beserta masyarakat perlu memikirkan untuk membagi Gondang Sabangunan menjadi beberapa jenis sebagaimana yang dilakukan masyarakat Bali. Dalam mengembangkan keseniannya. Masyarakat Bali membagi keseniannya menjadi 3 (tiga) yaitu ; kesenian tradisional yang sangat sakral dan hanya dilaksanakan pada tempat dan saat tertentu saja,,kesenian tradisional Bali yang telah mendapat sentuhan modern sehingga dapat dilaksanakan diberbagai tempat dan terakhir kesenian tradisional Bali yang telah dimodifikasi sesuai dengan tuntutan pasar pariwisata. Kesenian yang pada awalnya berlangsung selama dua jam, diringkas menjadi 30 menit untuk dipentaskan dihadapan wisatawan.


Dengan membagi gondang sabangunan menjadi beberpa jenis menjadikan keaslian gondang sabangunan tetap terpelihara dan disisi lain pelestarian dan pewarisan kesenian gendang sabangunan terus berjalan sehingga kesenian tersebut tetap eksis. Pemanfaatan gondang sabangunan dapat diupayakan melalui jalur pendidikan, ilmu pengetahuan dan juga pariwisata. Pemanfaatan gondang sabangunan sebagai bagian dari atraksi budaya menjadi hal yang sangat menarik dan menjadi daya tarik wisata dimana kesenian tersebut memiliki nilai keunikan tersendiri dan tidak ditemui di daerah lain.


Penutup
Upaya pelestarian kekayaan budaya bukanlah semata-mata tugas dari pemerintah tetapi juga tugas seluruh bangsa, karena kebudayaan merupakan penuntun masyarakat dalam berprilaku dan melaksanakan kehidupan. Usaha pelestarian kebudayaan sangat tergantung dari apresiasi masyarakat terhadap kesenian tersebut. Dengan adanya apresiasi yang tinggi terhadap kebudayaannya, maka dengan sendirinya upaya pelestarian kebudayaan akan mudah dilaksanakan. Sebaliknya semakin rendah apresiasi masyarakat terhadap kebudayaannya, maka semakin sulitlah usaha pelestarian kebudayaan tersebut. Dengan demikian usaha yang paling penting dalam upaya pelestarian suatu kebudayaan adalah meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap kebudayaannya dan ini tentunya merupakan usaha yang cukup berat apa bila dilaksanakan sendiri-sendiri. Namun jika usaha membangkitkan dilakukan secara bersama-sama dan terkoordinasi, bukan tidak mungkin usaha pelestarian berbagai kebudayaan Indonesia tidak menemui kendala berarti. 


1Sedyawati,Edi, Pengertian-Pengertian Dasar: Sebuah Saran, Makalah Semiloka Preservasi dan Konservasi Seni Budaya Nusantara, Direktorat Akademik, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional, Yogjakarta, 11-13 Mei 2007, hal2
2]
3]Pasaribu, AnalisisMusik Indonesia, Jakarta, Pantja Simpati, 1987
4]Irwansyah Hutasuhut, Analisis Komperatif bentuk (pengarapan) dan teknik permainan dari sebuah Gondang (komposisi lagu) yang disajikan oleh tujuh partaganing , Skripsi, tidak diterbitkan, Medan, Fakultas Sastra Jurusan Etnomusikologi USU, 1990
5. Irfan, Makna dan arti yang terdapat pada sistem peralatan gondang dan fase-fase dalam upacara kematian pada Batak Toba, http://library.usu.ac.id/download/fe/Irfan.pdf, 2004
6Ibid, Pasaribu
7Ibid, pasaribu
Diposkan oleh Iskandar_epri di 16:30


Sumber:
http://rakaiskandar.blogspot.com/2008/10/upaya-pelestarian-gondang-sabangunan.html

Paham Harmoni Ketigaan dan Gondang Sabangunan

Paham Harmoni Ketigaan dan Gondang Sabangunan

Tulisan ini pernah dimuat di Harian SIB Online pada tahun 2000 penulisnya adalah Amanta Norton G Manullang, dituliskan kembali pada blog Habinsaran semata-mata untuk bertujuan untuk menambah pehaman kita pada Paham Harmoni Ketigaan dan Gondang Sabagunan semoga berguna ,

Paham harmoni ketigaan yang penulis maksudkan ialah pemahaman masyarakat Batak Toba mengenai bilangan tiga. Bilangan tiga mengambil peranan sentral dalam pandangan hidup kebatakan, karena menyangkut keyakinan dan kepercayaan mereka. (Rudolf Pasaribu, 1988; 122; bdk. Basyral Hamidy Harahap dan Hotman M Siahaan, 1987 : 64-66). Paham harmoni ketigaan demikian juga terkait erat dengan penyajian musik tradisional Batak Toba, gondang sabangunan. Namun sebelum paham ketigaan dalam masyarakat Batak Toba dipaparkan, penulis akan lebih dahulu menguraikan pemahanan dan keyakinan masyarakat Batak Toba mengenai makna bilangan ganjil dan bilangan genap. Dalam hal ini bilangan ganjillah yang lebih disukai oleh orang Batak Toba, karena bilangan tersebut melambangkan kehidupan dan kerap diasosiasikan dengan hal-hal yang tidak kelihatan (na so niida). Maka tidaklah mengherankan bahwa bilangan ganjil mempengaruhi kehidupan harian dan budaya kebatakan.
Untuk mengerti bilangan ganjil sebagai bilangan yang paling disukai oleh masyarakat Batak Toba dalam hidup harian dan budayanya, bilangan genap juga mesti diketahui. Alasannya ialah masyarakat Batak Toba telah mengamati bahwa dalam diri semua makhluk hidup pada umumnya dan manusia dan hewan pada khususnya ditemukan bilangan genap. Manusia mempunyai dua tangan, dua telinga, dua mata, dua kaki, dua lobang hidung dan seterusnya. Hewan-hewan pun mempunyai organ-organ tubuh yang berjumlah genap. Lagi, semua makhluk hidup yang memakai bilangan genap tersebut hidupnya susah, sakit, menderita dan mati. Oleh karena itu, mereka menarik kesimpulan bahwa bilangan genap berarti selalu terasosiasi dengan penderitaan dan kematian. Maka, sedapat mungkin masyarakat Batak Toba dalam praktek hidup hariannya, atau dalam adat dan budayanya berusaha menghindari bilangan genap.
Namun demikian tidak semua jenis bilangan ganjil menjadi bilangan na marhadohoan (yang punya makna khusus) dalam hidup orang Batak Toba. Hanya bilangan-bilangan tertentu saja yang mempunyai makna simbolik dan sering dipakai. Bilangan-bilangan tersebut ialah bilangan tiga, lima, dan tujuh. Pemakaian bilangan ganjil ini tampak juga pada jumlah tangga rumah, jumlah warna, jumlah dunia (banua), aturan-aturan ni panortoran dan lain-lain.
Bilangan tiga mempunyai arti yang sangat khusus bagi orang Batak Toba. Itulah sebabnya bilangan ini mempengaruhi kehidupan dan cara berpikir masyarakat Batak Toba. Hal ini dapat diamati dalam mite kosmologi, antropogoni, kosmogoni dan etika hidup Batak Toba. Paham ketigaan juga tampak dalam upacara gondang sabangunan, sistem kemasyarakat Dalihan Na Tolu dan Debata Na Tolu. Untuk memahami bilangan tiga dalam fenomena ketigaan tersebut konsep yang tidak boleh tidak harus ada ialah konsep totalitas dan representasi (Ph. L. Tobing, 1965; 20-22).
Fenomena Ketigaan Dalam Masyarakat Batak Toba
Bilangan tiga seperti telah dikatakan di atas mempunyai makna yang sangat penting dan khusus bagi masyarakat Batak Toba bahari. Implikasinya pun mempengaruhi kehidupan dan cara berpikir orang Batak Toba seperti keyakinan tentang Debata Na Tolu (Debata Batara Guru, Debata Balasori, Debata Mangalabulan), Banua Na Tolu (Banua Ginjang, Banua Tonga, dan Banua Toru) dan Dalihan Na Tolu (Hula-hula, Dongan Tubu dan Boru). Dalam paham kebangsaan, fenomena ketigaan juga ditemukan yakni Bangso Batak, Adat Batak (Patik dohot Uhum) dan Habatahon. Hal yang sama terdapat pada adat tarombo yang terdiri dari tiga bagian, yakni : Adat Pusaka Arta atau Barang, Adat Patik dan Adat Uhum. Simbol bendera Batak juga berwarna tiga yaitu : warna hitam di bagian depan, warna putih di sebelah kanan dan warna merah di sebelah kiri. Adat Batak Toba juga mengenal hadebataon (keilahian), hajolmaon (kemanusiaan) dan habatahon (kebatakan) (Raja Patik Tampubolon, 2002; 111-112).
Sedemikian melekatnya paham harmoni ketigaan dengan hidup orang Batak Toba hingga paham tersebut juga dikenakan pada eksistensi manusia. Agar manusia dapat hidup, dalam dirinya harus ada tiga unsur yakni hosa (nyawa), mudar (darah), dan sibuk (daging). Sementara untuk dapat bertahan hidup di bumi kepada manusia juga diberikan kekuatan oleh Mulajadi Na Bolon, yakni tondi (roh), saudara (kemuliaan) dan sahala (wibawa). Dengan demikian fenomena ketigaan merasuki seluruh sendi kehidupan masyarakat Batak Toba, baik hidup sekular maupun hidup religiusnya.
Fenomena ketigaan di atas menurut pandangan orang Batak Toba mesti dipahami baik secara kuantitatif maupun secara kualitatif (“isi” yang hendak dikomunikasikan kuantitas bilangan itu). Pemahaman semacam ini biasanya bersifat totalistis, bukan parsialistis. Pemahaman ini tampak dengan jelas melalui ungkapan “Sitolu sada ihot songon pat ni langgatan….Ndang boi hurang sian tolu, jala dang boi lobi sian tolu, ingkon pas do sitolu sada songon pat ni langgatan” (triade seikatan seperti kaki altar…tidak boleh kurang dari tiga, dan tidak boleh lebih dari tiga. Jumlahnya harus tiga seikat laksana kaki altar (Ibid). Sitolu sada ihot berarti bahwa yang satu tidak bisa terlepas dari yang lain. Meskipun ketiga tiang langgatan berbeda dan berdiri sendiri, namun ketiganya merupakan satu kesatuan utuh yang tak terpisahkan. Hal ini terjadi karena cara berpikir orang-orang Batak Toba bahari-sama seperti bangsa-bangsa sederhana yang lain-bersifat sintetis, bukan analitis. Konsekuensi cara berpikir sintetis ialah bahwa segala hal; kosmos, komunitas, individu, dan lain-lain dialami sebagai totalitas. Eliminasi terhadap salah satu dari ketigaan berarti annihilasi ketiganya.
Oleh karena itu, adanya yang satu terjadi karena adanya yang lain, dan masing-masing mewujudkan diri ke dalam satu kesatuan yang utuh. Adaan yang satu mengandaikan adaan yang lain. Debata Batara Guru tidak dapat berdiri sendiri tanpa Debata Balasori dan Mangalabulan. Meskipun Hula-hula mempunyai kedudukan yang lebih tinggi, tetapi kedudukan tersebut harus didukung oleh Dongan Tubu dan Boru. Demikian juga ketigaan yang lain. Totalitas ketiganya merupakan keseimbangan yang bersifat mutlak. Harmoni dan kesatuan dalam keterpisahan dan keberbedaan, entah itu dalam konteks mikrokosmos atau makrokosmos, tercapai apabila keseimbangan ketiga unsurnya terjamin. Artinya, sesuai dengan pandangan Ph L Tobing, keterpisahan dan keberbedaannya hanya dapat dipahami sejauh berkaitan dengan mentalitas sintetis yang tercermin di dalam keyakinan totalitas ketiga unsur yang berbeda.
Debata na tolu dan gondang sabangunan
Mulajadi Na Bolon ialah pencipta segala yang ada. Dia digelari sebagai “Allah yang tidak berawal, yang datang dari yang tak berawal, yang tidak berakhir”. Dialah awal dan yang menciptakan dan menjadikan langit dan tanah, air dan segala isinya. Menurut mite penciptaan, Dialah yang menciptakan alam semesta termasuk Debata Na Tolu dan manusia. Debata Na Tolu diciptakan oleh-Nya melalui Manukmanuk Hulambujati dari tiga butir telur raksasa. Ketiga makhluk itu dinamai oleh Mulajadi Na Bolon sebagai “manusia”, meskipun dalam diri mereka ada keilahian. Mereka bukanlah manusia biasa. Karena keilahian itu juga mereka disebut Debata Na Tolu yakni Debata Batara Guru, Debata Balasori dan Debata Mangalabulan.
Totalitas Debata Na Tolu ialah Debata Mulajadi Na Bolon. Pada-Nya harmoni Debata Na Tolu, penguasa Banua Na Tolu, mewujud. Dengan kata lain, Debata Na Tolu menjadi representasi Mulajadi Na Bolon di Banua Na Tolu. Totalitas tersebut tercermin dalam ungkapan Batak Toba; Debata Na Tolu, sitolu suhu sitolu harajaon (Ilah yang tiga, yang tiga jenis tiga kerajaan).
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Debata Na Tolu merupakan penguasa yang menciptakan dan mengatur ketertiban makrokosmos (Banua Na tolu). Ketertiban itu termanifestasi secara nyata dalam diri manusia sebagai mikrokosmos (Dalihan Na Tolu). Oleh karena itu, memanggil dan memuja Debata Na Tolu dalam setiap upacara adat atau upacara religius-magis identik dengan memanggil dan memuja Debata Mulajadi Na Bolon itu sendiri.
Struktur umum penyajian gondang sabangunan terdiri dari tiga bagian. Bagian pertama ialah apa yang disebut gondang mula-mula, bagian kedua ialah gondang pinta parsaoran dan bagian terakhir yaitu gondang panutup. Korelasi gondang sabangunan dengan Debata Na Tolu secara jelas dapat dipahami melalui bagian gondang pembukaan, karena di dalamnya dikisahkan korelasi antara manusia dengan Mulajadi Na Bolon atau Debata Na Tolu. Jenis lagu gondang yang secara khusus diperuntukkan bagi Debata Na Tolu ialah Gondang mula-mula dan gondang somba-somba.
Gondang somba-somba dimaksudkan sebagai sembah sujud kepada Mulajadi Na Bolon atau Debata Na Tolu yang telah menciptakan dan memelihara hidup manusia. Sikap menyembah tersebut secara etis hendak mengungkapkan bahwa Yang Ilahi, Sang Penyelenggara hidup manusia itu pantas disembah-sujudi. Tujuan gondang ini ialah agar upacara pesta atau upacara gondang yang hendak dilaksanakan kiranya direstui oleh Debata Na Tolu, sehingga suhut yang mengadakan pesta memperoleh pasu-pasu yakni anak na marsangap dohot boru na martua. Maka, melalui gondang sabangunan ditampilkan totalitas Debata Na Tolu yang mengayomi Banua Na Tolu dan termanifestasikan secara representatif dalam diri Dalihan Na Tolu.
Banua Na Tolu dan gondang sabangunan
Dalam mitologi penciptaan dunia kebatakan terbagi atas tiga bagian, yakni dunia atas (Banua Ginjang), dunia tengah (Banua Tonga) dan dunia bawah (Banua Toru). Banua Na Tolu dalam pandangan orang Batak Toba tidak dalam arti spasial-temporal, melainkan ruang kosmik yang dialami sebagai totalitas Banua Ginjang, Banua Tonga dan Banua Toru. Banua Tonga memiliki peran sentral dalam menjaga keseimbangan dan harmoni eksistensi Banua Na Tolu (Paul B Pedersen, 1975; 19-20). Banua Ginjang adalah banua yang pertama kali diciptakan oleh Mulajadi Na Bolon sebagai tempat kediaman Debata Na Tolu, para parhalado-Nya (pelayan-Nya) dan para sombaon. Banua Tonga ialah bagian dari totalitas kosmos yang berfungsi mengatur kerjasama antara Banua Ginjang dan Banua Toru. Bila kerja sama ketiganya tercipta dengan baik maka harmoni dalam jagad raya akan tercipta. Banua Tonga diciptakan oleh Mulajadi Na Bolon sebagai tempat kediaman manusia dan segala makhluk hidup untuk beraktivitas (A. B. Sinaga, 1981; 11). Banua Toru adalah tempat tinggal begu dan orang-orang yang telah meninggal dunia. Banua Na Tolu dihuni oleh masing-masing Debata Na Tolu; Debata Bataraguru mengayomi Banua Ginjang, Debata Balasori mengayomi Banua Tonga dan Debata Balabulan mengayomi Banua Toru. Untuk menjaga relasi yang harmonis dengan penghuni Banua Na Tolu, masyarakat Batak Toba bahari kerap mengadakan ritual dengan menyertakan gondang sabangunan. Alat musik tradisionil itu membantu komunikasi manusia dengan penghuni Banua Na Tolu. Selain itu, gondang sabangunan pun tetap terkait secara tidak langsung dengan Banua Na Tolu melalui wujud simboliknya.
Dalihan Na tolu dan gondang sabangunan
Dalihan Na Tolu merupakan landasan dan dasar kehidupan masyarakat Batak Toba. Istilah Dalihan Na Tolu yang terdiri dari Hula-hula, Dongan Tubu dan Boru menyatakan unitas dan totalitas hubungan kekerabatan dalam masyarakat Batak Toba. Unsur unitas dan totalitas menjadi ciri khas yang menonjol karena Dalihan Na Tolu tidak dapat dipandang atau dipahami secara parsial. Ketiganya harus utuh dan harmonis sehingga hidup sejahtera dalam kekerabatan masyarakat Batak Toba terwujud.
Pemahaman atas Dalihan Na Tolu tidak terlepas dari konsep unitas, totalitas dan representasi sebagaimana telah diuraikan di atas. Sudah sejak jaman dahulu hingga sekarang orang Batak Toba menyakini bahwa Dalihan Na Tolu bertautan erat dengan Mulajadi Na Bolon, Debata Na Tolu dan Banua Na Tolu. Apabila Dalihan Na Tolu dilepaskan dari Mulajadi Na Bolon, Debata Na Tolu dan Banua Na Tolu maka Dalihan Na Tolu tidak mempunyai makna dan nilai apa pun. Ketidakbernilaian ini terjadi karena Dalihan Na Tolu merupakan wujud pancaran kuasa Mulajadi Na Bolon secara konkrit-nyata dalam kehidupan manusia di Banua Tonga (Dj Gultom Radjamarpodang, 1992;55). Dalihan Na Tolu merupakan representasi dari Debata Na Tolu yang berkuasa atas Banua Na Tolu. Hal ini tampak melalui kehadiran debata Batara Guru dalam diri Hula-hula, Balasori dalam diri Dongan Tubu dan Balabulan dalam diri Boru. Dalam Debata Na Tolu, kuasa kemisterian, kuasa kesucian, dan kuasa kekuatan dari Mulajadi Na Bolon termanifestasikan. Ketiga kuasa ini secara sempurna menata kesejahteraan kehidupan manusia di bumi (Raja Patik Tampubolon, 2002;54-55). Melalui Dalihan Na Tolu, Mulajadi Na Bolon dan Debata Na Tolu berkarya di Banua Tonga.
Karena Dalihan Na Tolu merupakan refleksi kuasa Debata Na Tolu-dengan demikian juga menjadi wujud pancaran kuasa Mulajadi Na Bolon-maka segala sesuatu yang berkaitan dengan kehidupan orang Batak Toba akan terlaksana dengan baik apabila upacara atau kegiatan adat itu sesuai dengan prinsip Dalihan Na Tolu (Ibid). Dalam konteks ini segala aktivitas seremonial baik yang bersifat religius maupun non religius yang disertai dengan musik gondang sabangunan juga akan membawa pasu-pasu bagi suhut apabila pelaksanaannya sesuai dengan prinsip Dalihan Na Tolu. Bentuk pelaksanaan itu tampak pada saat adanya kesepahaman, kebulatan pendapat dan relasi yang harmonis di antara Hula-hula, Dongan Tubu dan Boru untuk margondang.
Aspek lain yang mempertautkan gondang sabangunan dengan Dalihan Na Tolu ialah bahwa perangkat alat-alat musik gondang sabangunan itu sendiri merupakan simbolisasi dari Dalihan Na Tolu. Taganing melambangkan Dongan Tubu, ogung melambangkan Boru dan sarune melambangkan Hula-hula. Selain itu, pada Dalihan Na Tolu perlu juga ditambah satu unsur lagi, yakni sihal-sihal, dan itu dihubungkan dengan hesek sebagai simbolisasi Dongan Huta. Jadi, perangkat alat musik gondang sabangunan sarat dengan makna simbolik. Gondang Sabangunan mempunyai kaitan dengan keyakinan orang Batak Toba akan Debata Na Tolu dan konsep kekerabatan Dalihan Na Tolu. Sesuai dengan paham ketigaan dalam teogoni Batak Toba, alat musik gondang sabangunan dikelompokkan menjadi tiga bagian, yaitu : sarune, ogung dan taganing.
Dalam permainan gondang sabangunan, taganing-lah yang pertama berbunyi lalu diikuti secara berurutan oleh ogung oloan dan ogung ihutan. Ogung panggora juga langsung mengikuti sebagai pengatur derap ritme dan kemudian disusul oleh ogung doal serta hesek untuk meramaikan suasana. Ketika semua alat musik telah berbunyi dengan baik dan pas pada posisi masing-masing sesuai aturannya ditiuplah sarune.
Pada gondang dalihan na tolu, suhut dan kerabatnya meminta gondang struktur tiga serangkai, yakni gondang mula-mula, gondang pasu-pasuan atau pinta parsaoran dan gondang hasahatan/sitiotio kepada pargonsi agar hasuhutan dan kaum kerabatnya manortor. Dalam acara manortor, Hula-hula memberi pasu-pasu kepada Boru-nya dengan menumpangkan tangan di atas kepala pihak Boru, sedangkan Boru menerima pasu-pasu itu dengan cara maniuk (menyentuh dengan tangan terbungkus ulos) dagu dari Hula-hula-nya. Tujuan gondang kekerabatan atau gondang dalihan na tolu ialah untuk mengekspresikan solidaritas kekerabatan dan mempererat hubungan kekeluargaan. (Penulis adalah peminat budaya Batak Toba, redaktur majalah “Menjemaat”, Medan/z2)
Sumber:
http://habinsaran.wordpress.com/2007/11/13/paham-harmoni-ketigaan-dan-gondang-sabangunan/

Gondang Batak Dan Pemahamannya

Gondang Batak Dan Pemahamannya

Gondang batak, salah satu karya seni musik batak yang sangat kaya dan menjadi kekaguman bagi dunia. Repertoarnya yang beragam memenuhi segala kebutuhan seni yang digunakan untuk beragam kegiatan seperti pada upacara keagamaan, adat dan hiburan.

Modernisasi telah menggempur sendi kebesaran Gondang Batak. Kita hanya bisa melihat alat kesenian itu dimainkan dengan versi modern, repertoar gondang batak yang asli sudah jarang dimunculkan. 

Pargonsi, pemain gondang batak muda tidak lagi mementingkan penguasaan ragam gondang batak, karena pada umumnya masyarakat batak lebih menginginkan irama modern seperti nyanyian bahkan dangdut. 


Seniman tua gondang batak saat ini di toba pun sudah jarang memunculkan ragam gondang batak itu karena ketidakmampuan masyarakat mengenalinya. 


Saat dimulai pendokumentasian gondang batak, sebagian yang masih diingat nama gondang itu dilakukan pengkajian makna dan pengertian judulnya. Walau agak sulit, akhirnya dapat direka pengertiannya ketika gondang itu dari awal tercipta, dimainkan, diminta dan diaplikasikan pada saat manortor. 


Beberapa gondang yang dapat saya simpulkan atas kerjasama dengan para pargonsi, tersusun menjadi narasi singkat untuk memudahkan pemahaman kita akan makna dasar dari gondang itu dibuat dan digunakan. 


RAGAM-RAGAM GONDANG BATAK
GONDANG MULA MULA
Semula Dia sudah ada, dan Dia memulai ada. Ada dunia, jagad raya beserta isinya, Ada bumi dengan manusia bersama mahluk pendampingnya. Dia Mula Jadi, Mula Tempah, mula dari segala sesuatunya yang semuanya harus tunduk kepadaNya.
(Gondang ini umumnya dimainkan saat mengawali acara “mamuhai ulaon” oleh hasuhuton. Sebelum “hasuhuton meminta Mula-Mula, pargonsi lebih dulu memainkan uantaian 7 gondang secara medley yang disebut “sipitulili”)
MULA MULA II (Paidua ni mula2)
Dia diberi anugerah oleh Mula Jadi. Dia diberi kewenangan mengelola bumi untuk pemenuhan kalangsungan hidupnya. Dia memulai karya dan usaha. Dia yang pintar menuturkan sembah “Deak Marujar”. Dia yang pintar menuturkan ilmu pengetahuan “Deak boto-botoan”. Dia yang pertama menghadapi tantangan, kegelisahan, tangis dan gembira. Dia mengajarkan cinta sesama. Dia yang pertama memohon ampun kepada penciptanya. Dia yang pertama menuturkan sembah sujud kepada yang empu-nya, Mula Jadi yang maha besar.
(Deak Parujar adalah Dewi pertama yang menjadi manusia pertama menghuni bumi, begitulah kepercayaan batak dulunya. Dialah yang memohon dan mengkreasi planet earth ini diantara planet-planet yang sudah ada menjadi huniannya setelah memutuskan mmenisah diri dari dunia dewata. Dia adalah memulai selanjutnya untuk kreasi hidup di planet yang dihuni manusia ini)
SIHARUNGGUAN
Jadilah manusia yang dicinta, pintar, bijak dan bestari. Yang memberi pencerahan hingga didekati, yang memberi kehidupan hingga ditemani. Yang memberi tuntunan hingga diikuti. Yang melakukan pembelaan dengan keadilan hingga percayai. Dibelakang, dia ditunggu, didepan dia dikejar, ditengan dia dikerumuni.
(Harungguan, adalah tempat berkumpul. Pekan disebut juga harungguan. Siharungguan artinya yang dikerumuni. Ini merupakan idealismenya pemimpin batak)
SIDABU PETEK
Demokrasi baru muncul di tanah batak. Pemimpin yang dulunya muncul berdasarkan karakter harajaon, pemimpin alam, berobah dengan menjagokan diri dan siap untuk dilakukan voting.
Petek, merupakan koin suara yang dimasukkan kedalam kotak suara dan selanjutnya dihitung. Mulai muncul rasa cemas, menang atau kalah. Butuh kesiapan mental, menerima kedua resiko.
Kalah, harus diterima menjadi kewajaran, walau tidak dapat dipungkiri akan muncul rasa kecewa. Hanya yang berjiwa besar yang dapat menerima kekalahan dan mengakui kemenangan kepada saingannya.
(Berdasarkan pengalaman Panuhari, seorang pargonsi yang ikut pemilihan kepala kampung di salah satu wilayah di Samosir. Dia menggambarkan gejolak antara semangat dan kecemasan mengawali penyertaannya. Fakta, dia harus menerima kekalahan dengan berlapang dada walau diawali dengan rasa kecewa.)
SIBUNGKA PINGKIRAN
Kegagalan akan menimbulkan kekecewaan. Kehilangan akan menimbulkan kesedihan. Larut dalam duka akan menenggelamkan semangat perjuangan.
Selagi masih dapat berpikir, mari memulai. Selagi masih memiliki kaki, mari berdiri. Ayunkan selangkah hingga kamu dapat berlari.
(Sibungka Pingkiran, adalah mengajak manusia untuk tidak tenggelam dalam kegagalan. Mengajak bergerak dinamis dengan mengutamakan kecerdasan, mampu menganalisa dan tepat membuat keputusan.)
HOTANG MULAKULAK
Hidup adalah perjalanan. Ke depan adalah tujuan. Namun dalam menempuh perjalanan itu tak pelak kadang harus melewati awal keberangkatan, meninggalkan, berkeliling. Tanpa disadari, tanpa dilakukan penghitungan, manusia sudah melakukan perjalanan menuju kedepan namun berulang melintasi titik keberangkatan.
(Hotang, adalah rotan yang tumbuh menjalar melalui tanah, ranting pohon lain, membelit berkeliling hingga melilit batang awalnya. Perjalanan jauh kemungkinan besar akan kembali ke asalanya. Hati yang menjauh juga diharapkan akan kembali kepada untaian kasih yang sempat tertinggal dan terabaikan)
ALIT-ALIT
Hidup bagaikan melintasi hutan belantara. Setiap persimpangan harus diingat dan dibuat tanda arah ke tujuan yang akan dicapai. Kelengahan membaca dan mengingat pertanda menentukan arah akan menyesatkan perjalanan, menghabiskan waktu dan melelahkan.
(Alit-alit, diciptakan Aman Jabatan seorang pargonsi dari Samosir berdasarkan pengalamannya yang tersesat dalam perjalanan. Yang seogianya ditempuh dalam 2 jam, dia tersesat selama satu hari.)
BINTANG SIPARIAMA
Bintang Sipariama sudah muncul. Masa panen pun menjelang. Semangat semakin bergelora, dibarengi kesibukan berbagai persiapan. Kebersamaan pun digalang untuk melakukan panen bersama, “siadap ari” bergantian memetik padi. Tidak ada guna rebutan jadwal, karena kematangan padi yang menentukan. Kegentingan hidup selama “haleon” pacekelik mencair, seraya mengucap syukur kepada Maha Kasih.
(Bintang Pari, adalah pertanda dalam hitungan bulan batak “sipahatolu”. Pada saat itu musim panen mulai marak di Toba. Bila tidak memiliki hasil panen pada bulan ini disebutkan kelaparan di musim panen “anturaparon di sipahatolu, atau anturaparon di sipariama. Biasanya dilontarkan kepada yang malas bekerja dan selalu mengemis menyambung hidup.)
BINTANG NAPURASA
Gemerlap cahaya bintang napurasa akan memerikan keindahan dalam hiasan langit malam. Gemerlap bintang adalah kodratnya yang hanya bisa dilihat di saat kelam. Gemerlap Bintang Napurasa tidak abadi setiap malam. Bila gemerlap datang dan menghilang ingatlah kepada bintang dilangit. Tak selamanya keinginan menjadi kebutuhan. Tak selamanya kebutuhan diukur dengan gemerlap.
(Bintang Napurasa adalah yang nampah jelas menjelang pagi hari. Kecemerlangan seseorang diibaratkan seperti bintang bersinar terang. Kecemerlangan adalah idaman setiap orang, namun ada sebagian masih dalam harapan sehingga lebih sering menjadi pengagum kecemerlangan orang lain)
HATA SO PISIK
Memikul muatan berat, bila lelah, istirahat adalah kesempatan pemulihan tenaga. Bila beban itu ada dalam pemikiran, adalah mustahil dapat diringankan dengan istirahat fisik, karena akan selalu muncul tak beraturan menjadi beban dalam pemikiran.
Seorang pemimpin kadang harus menyimpan rahasia yang tidak dipublikasikan kepada masyarakat untuk mencegah konflik.
(Gondang ini terinspirasi oleh Sisingamangaraja I ketika menerima amanah dari Raja Uti untuk tidak menyebutkan wujud fisik beliau. Tanda dari perjanjian itu kepada Sisingamangaraja I diberi tabutabu siratapullang, sian i ro tusi sumuang molo diose padan. Di tengah perjalanan saat Sisingamangaraja istirahat, beliau terkenang dan dalam hati menyebut wujud dari raja Uti. Beliau terkejut, dan tabutabu sitarapullang pun menghilang. Gondang ini lajim dipinta oleh para Raja untuk mengenang beban tugas mereka dan banyaknya rahasia yang harus dipendam namun harus diselesaikan dengan bijaksana. Irama gondang ini sangat beda dengan gondang “Marhusip” yang sering disebut selama ini Hata So Pisik.)
ALING-ALING SAHALA
Para Raja di kalangan Batak tempo dulu sangat menjaga etika moral, hukum dan adat istiadat. Kapasitasnya dalam menegakkan kebenaran di masyarakat adalah wujud dari kehormatan (hasangapon) dan menjunjung kewibawaan (sahala) pada diri mereka.
Bila nilai tak dapat dipertahankan maka “sahala” (karisma) akan ambruk. Ibarat tanduk yang tercabut dari kepala. Penyesalan tiada guna.
Para Raja Batak dulu mengalami degradasi dengan masuknya peradaban modern melalui penjajahan dan missi agama. Kewibawaan mereka dicabut, perilaku mereka dipandang sesat. Keturunan mereka satu persatu mulai menjauh.
Duka dihatinya tak ditangiskan. Keterpurukan wibawanya bukan karena kesalahan. Sahala mereka mulai menjauh. Mereka berseru melalui gerakan tari diiringi irama; “Mengapa ini harus terjadi?.
(Aling-aling Sahala, diartikan sebagai mengenang/memanggil kembali karisma diri mereka yang hilang dan permohonan maaf kepada Pencipta yang memberikan derajat kehormatan itu (dulu) kepada mereka.)
RAMBU PINUNGU
Kehidupan penuh dengan keanekaragaman. Manusia memiliki pahala masing-masing dan sifat berbeda dalam menjalankan kehidupannya. Bagi seorang pemimpin adalah pekerjaan penuh kecermatan dalam mempersatukan masing-masing perbedaan karakter manusia. Mereka butuh kebijaksanaan dan ilmu pengetahuan untuk mampu mengemban tugas mulia, mempersatukan derap langkah masyarakat dalam kedamaian, kerukunan dan ketaatan dalam hukum.
(Rambu, adalah untaian pada ujung ulos. Pinungu, artinya dihimpun. Para raja dikalangan batak biasanya menggunakan “talitali” ikat kepala lambang kebesaran yang disebut “tumtuman”. Dari kain hitam yang kedua diujungnya ada rambu warna merah.)
BINDU MATOGA
Aku tanpa kamu tidak berarti. Kamu tanpa aku apakah ada arti? Kamu, aku dan dia adalah kita. Kita bersama memadu pikir demi kepentingan kita dan mereka. Hidup kita bangun, semangat kita galang, setiap sisi kita hempang dari serangan. Selamatkan jiwa dari tindakan buruk orang yang tidak sejalan. Lindungi diri dari serangan penyakit yang membahayakan. Lakukan kajian dimana sisi lemah yang dapat menghancurkan.
Kita adalah sama. Karena bersama kita tegar “toga”. Dalan semua sudut, sisi, waktu, kita catat dalam “bindu” halaman kerja, apa yang sudah kita buat dan apa yang masih perlu dilakukan tindakan. Semua demi keutuhan dan kebersamaan.
(Bindu Matoga. Digambarkan dengan garis segi empat bertajuk delapan sesuai dengan mata angin. Digambarkan sebagai penguasaan semua system alam dengan mencegah hal buruk yang dapat merusak keutuhan dan kesehatan. Nujum bindu matoga sering dilakukan peramal untuk mengetahui dari mana kemungkinan datangnya musuh, penyakit apa yang mungkin muncul. Tindakan apa yang harus dilakukan mengatasi masalah demi kesejahteraan masyarakat.)
SIDOLI NATIHAL
Masa muda bagi seorang pria penuh dengan gairah. Mulai memasuki area kompetisi menunjukkan eksistensi seorang perjaka. Mereka berekspresi penuh dengan tingkah polah untuk mendapat perhatian publik dan lawan jenisnya. Dengan dorongan sifat dinamis untuk mendapat pengakuan. Kadang, mereka salah dalam tingkah laku kemudaannya.
(Biasanya diperdengarkan saat Gondang Naposo dimana para pria menari menunjukkan kebolehannya penuh dengan gaya.)
TANDUK NI HORBO PAUNG
Seseorang yang memiliki kehormatan, adalah yang memegang teguh etika moral dan taat hukum. Dia terkontrol oleh penghormatan kepada dirinya itu dalam semua sikap dan perilakunya. Rambu ini membatasi kebebasan dirinya dalam setiap kesempatan, ibarat kerbau yang bertanduk panjang menjalani lorong sempit. Lolos dalam perjalanan yang penuh tantangan dan godaan adalah kemenangan baginya.
(Nama gondang ini dulunya disebut juga PARDALAN NI HORBO SISAPANG NAUALU. Seekor kerbau yang bentang tanduknya panjang sekitar satu meter. Lorong sempit yang disebut balubu atau bahal adalah lintasan segala ternak ke perkampungan. Kerbau itu kadang kesulitan akibat sempitnya lorong atau adanya dahan yang menjorok ke bahal.)
LILIT TU METER
Kecerdasan dan intelektual Batak sudah teruji sejak jaman dahulu kala. Pertanda dari kecerdasan mereka itu dapat kita lihat dengan bangunan rumah adat, gorga dan ulos. Mereka melakukan pengukuran dengan istilah “suhat” untuk panjang dan tinggi “lilit” untuk mengukur lingkaran.
Dengan datangnya alat ukur “meter” mereka semakin terbekali dan mendapatkan keseragaman ukuran. Ketika meter kayu digunakan, mereka kebingungan saat mengukur diameter karena tidak dapat melilit seperti kebiasaan mereka. Hingga mereka melakukan ukuran kepada tali kemudian mereka melakukan pengukuran dengan melilit.
Apa yang mereka hasilkan hanya dengan pengukuran “suhat” dan “lilit”? Apa perbedaan setelah menggunakan meter? Semua konstruksi, petakan sawah, saluran irigasi, planologi perkampungan yang mereka ciptakan sebelum mengenal meter saat ini masih abadi.
(Pendidikan modern hanya penambahan bekal intelektual mereka. Ini membuktikan bahwa mereka mampu beradaptasi dengan perkembangan tanpa harus menyebut mereka “bodoh, tertinggal, primitive” sebelum pendidikan formal hadir.)
TUKTUK HOLING
Beragam lambang kebanggaan manusia sejak muda hingga tua. Orang tua batak biasanya makan sirih. Bila gigi sudah makin lemah hati mengeluh, mereka butuh alat penumbuk sirih. Alat penumbuk dikenal setelah datangnya logam yang dibuat khusus menumbuk sirih. Kadang alat penumbuk itu dibuat beragam variasi yang indah dengan material tembaga dan perak. Ada juga yang menempahkan dengan lilitan penghias dari emas. Mereka membanggakan peralatan itu layaknya seperti perhiasan.
Alat penumbuknya dibuat dari besi tembaga keras yang kelak menghentak keras bagaikan patukan burung berparuh besi.
(Tutuk Holing, adalah nama burung yang berparuh keras yang dapat melobangi batang kayu keras untuk membuat sarang dan dan mencari makanan.)
PARSOLUBOLON
Hidup adalah perjuangan. Perjuangan tidak luput dari tantangan. Kebersamaan adalah pengumpulan kekuatan. Kesepahaman adalah akselerasi keragaman potensi diri dalam menjalankan misi bersama untuk sampai di tujuan.
(Solubolon, adalah sampan besar yang muat sekitar 12 orang. Parsolubolon adalah mereka yang sedang mengarungi perairan dengan sampan besar itu. Mereka memiliki pedoman dasar “masihilalaan” tenggang rasa. Bila pengendali kemudi tidak pintar, pengayuh akan kewalahan. Sebaliknya bila pengayuh tidak pintar, maka pengayuh lainnya akan kelelahan dan pengemudi akan repot. Akselerasi potensi “parsolubolon” akan mampu menghindari bahaya dari serangan ombak.)
SAPADANG NAUSE
Panganan utama orang batak adalah nasi yang terbuat dari beras berasal dari padi. Bila hasil panen mencukupi bekal satu tahun maka kekhawatiran pun sirna.
Bila bekal padi tidak mencukupi maka sapadang yang tumbuh liar di ladang pun dipetik.
Tidak ada kata kelaparan bila bijak mengolah hidup. Tidak ada yang hina bila kenyang makan tanpa beras. Ubi dan Sapadang adalah jalan keluar dari kemelut ketersediaan bekal beras yang terbatas.
(Sapadang adalah tumbuhan mirip gandum biasanya tanamn liar. Sapadang Nause adalah bijian yang bernas dan tua yang memberikan semangat bagi yang menemukannya. Sapadang diolah dengan telaten dan dimasak hingga nikmat dimakan sebagai pengganti nasi yang terbuat dari beras. Nause tidak mengandung pengertian “tumpah, berhamburan” tapi “sesak, padat, bernas, keluar dari” dalam kulitnya.)
SEKKIAN TALI MERA
Judi kadang membahagiakan, namun lebih banyak berdampak kesusahan. Senang saat permainan dijalankan, tapi kerugian bila menuai kekalahan. Mereka menghayal akan menang, mengharap mendapat giliran “ceki” penentu kemenangan. Bila kartu penentu warna merah muncul, hentakan kegembiraan muncul.
Pengalaman para penjudi selalu menyimpulkan, lebih besar kesusahan daripada kebahagiaan dari permainan judi. Badan tersiksa, pekerjaan terlantar, harta benda tergadai.
(Bedasarkan pengalaman penjudi kalangan masyarakat Batak jaman dulu yang selalu menghimbau agar terhindar dari ketagihan permainan itu dan bekerja dengan giat adalah yang terbaik.)
TORTOR
Tortor adalah gerakan tubuh mengiringi atau diiringi irama gondang. Pemahaman makna gondang dan untaian irama bagi yang pandai menggerakkan tubuh akan menghasilkan tortor yang indah.
Tortor batak sangat individual, merupakan ritual kehidupan menjadi persembahan kepada publik, lingkungan dan penciptanya. Jelas bukan merupakan hiburan.
Dari gerakan tortor, seseorang dapat melakukan komunikasi dengan publik, misalnya bila seseorang mengangkat tangan dan menunjukkan satu jari tangan kanan dan mengepal jari tangan kiri, artinya dia hanya memiliki seorang putra. Bila seorang penari meletakkan tangan keduanya diatas pundak, artinya semua anaknya dan perilaku anaknya serta kehidupannya masih menjadi beban dan tanggungjawab yang masih dipikul. Bila seorang penari menyilangkan tangan di dada, artinya dia sering menjadi sasaran cemohan, sering mendapat hambatan dan permasalahan lainnya. Bila seorang penari meletakkan kedua telapak tangan diatas kepala, artinya dia mohon perlindungan, belas kasihan dari manusia dan penciptanya.
Bila kedua tangan dirapatkan dipinggang dan telapak tangan dikepal mengarah kebelakan, artinya masih banyak rahasia hidupnya yang belum duberitahukan kepada orang lain.
Bila seseorang penari merentangkan tangan kekiri dan kekanan dengan telapak tangan terbuka kesamping artinya anak-anaknya semua atau sebagian besar sudah sudah mandiri dan menempati ruang yang luas di penjuru desa.
Bila seseorang merentangkan tangan kedepan dengan telapak tangan terbuka dan tangan kiri ditutupkan diperut, artinya menghimbau datangnya rejeki atau bantuan kerjasama untuk keberuntungan kepadanya. Bila tangan kiri rapat didada dan telapak tangan terbuka artinya dia menghimbau dengan tebuka menciptakan persahabatan dan kerukunan.
Bila tangan kanan dijulurkan kedepan dan telapak tangan duarakan juga kedepan serta tangan kiri ditutupkan di dada artinya mohon dihentikan segala perbuatan yang mencemari merugikan kepada dirinya.
Bila kedua tangan diarahkan kedepan dan telapak tangan terbuka keatas serta sering dilipat menutup artinya ajakan mari bersama-sama ajakan kepada semua untuk menari bersama, menjalin persahabatan dan mempererat persaudaraan.
Ini baru sebagian dari apa yang dipahami para ibu tua yang memahami tortor batak.
Pakem tortor batak dan pemaknaannya akan kita ulas kemudian setelah penelitian yang lebih dalam.
KREASI TORTOR DAN GONDANG
Ketika tortor telah menjadi hiburan, para penari dalam pesta adat pun tidak karuan lagi menunjukkan lenggak lenggoknya. Kadang melampaui tata krama tradisi adat batak, tentang kesopanan, kesantunan dan kehormatan. Setelah maraknya musik eropah mengiringi tortor pada pesta adat batak, pakem pun menjadi hilang, pemahaman gondang yang sebenarnya tidak lagi berkembang, bahkan sebaliknya yang terjadi.
Kreasi tortor untuk hiburan diupayakan keseragaman gerak. Ini memang menjadi bagian dalam seni pertunjukan. Generesi muda cenderung hanya melihat tortor hiburan dan tidak pernah lagi menyaksikan tortor yang sebenarnya yang dilakonkan para panortor yang sebenarnya.
Manortor dengan benar kadang dituding kesurupan. Kebodohan menjadi peluru peluru penumpas kebenaran. Tortor batak semakin erosi, seiring dengan hilangnya pemaknaan gondang batak itu.
Pernah (bahkan sampai saat ini) Gondang batak dirtuding sebagai ensambel untuk pemujaan berhala. Alat untuk memanggil roh orang meninggal. Panortor yang sering kesurupan.
Pada jaman Belanda, atas rekomendasi mission, gondang batak dilarang. Kemudian diberi kelonggaran untuk pesta adat dengan perijinan yang ketat. Penerapan ijin ini sempat berlangsung lama hingga masuknya musik barat. Musik barat untuk pesta adat tidak perlu mendapatkan ijin. Pada jaman kemerdekaan, gondang batak justru tersudut karena melanjutkan perlakuan ijin dalam kurun waktu lama.
Begitu dalamnya penistaan terhadap gondang batak, seiring itu pula keengganan orang batak untuk melakukan aksi penggalian nilai gondang batak itu. Banyak yang melakukan penelitian sebatas untuk tesis keilmuan, tapi belum banyak yang menemukan “roh”nya karena dilatarbelakangi refrensi keberhalaan gondang batak itu.(monang naipospos)
Sumber:
http://www.halakhita.com/culture/gondang-batak-dan-pemahamannya/

Orang Mandailing Adalah Etnis Batak


Orang Mandailing Adalah Etnis Batak

WILAYAH dalam pandangan antropologi dilihat sebagai suatu kesatuan daerah yang didiami oleh sebentuk komunitas atau suku, sehingga dalam suatu wilayah bisa terdapat hanya satu komunitas atau suku maupun satu wilayah yang didiami oleh beberapa komunitas atau suku.

Konsep wilayah dalam pandangan antropologi pertama kali dikemukakan oleh antropolog Amerika , M.J. Herskovits[2] Kemudian konsep wilayah kebudayaan dikenal dengan istilah culture area, Antropolog G.P. Murdock menyusun suatu
sistem terhadap daerah-daerah kebudayaan di Afrika serta mengklasifikasikan daerah-daerah kebudayaan tersebut melalui unsur perbedaan bahasa dan perbedaan sistem kekerabatan.
Melalui konsep culture area yang hendak didapatkan adalah untuk menarik satu garis merah yang menjadi persamaan bagi penduduk suku-suku bangsa yang mendiami wilayah tersebut.
Tulisan ini ditujukan untuk turut memberikan jawaban atas satu pertanyaan yang “menggelitik”, yaitu : Mandailing Tidak Sama Dengan Batak, Ditujukan kepada sebagian orang yang beranggapan bahwa Mandailing tidak sama dengan Batak,
Sebelumnya definisi tentang suku Batak[3] adalah terdiri dari enam sub-group, yaitu Toba, Simalungun, Karo, Pakpak, Mandailing dan Angkola. Keenam sub-group tersebut terdistribusi di sekeliling Danau Toba, kecuali Mandailing dan Angkola yang hidup relatif jauh dari daerah Danau Toba; dekat ke perbatasan Sumatera Barat,
Di dalam kehidupan sehari-hari banyak orang mengasosiasikan kata “Batak” dengan ‘orang Batak Toba’. Sebaliknya grup yang lain lebih memilih menggunakan nama sub-grupnya seperti Karo, Pakpak, Simalungun, Mandailing dan Angkola.
Alasan perbedaan agama
ANGGGAPAN bahwa Mandailing bukan Batak didasarkan keadaan dilapangan bahwa pada umumnya etnis Mandailing memiliki agama yang berbeda dengan etnis Batak, Dalam hal ini agama Islam dan Kristen–baik Protestan maupun
Katolik. Apabila anggapan tersebut yang menjadi dasar anggapan maka telah terjadi pengkerdilan terhadap proses berfikir secara kritis . Karena sebagaimana diketahui, agama muncul setelah kebudayaan muncul dari suatu masyarakat,
dan diadopsi dalam kehidupan masyarakat tersebut,
Dalam kebudayaan Mandailing maupun Batak secara keseluruhan, kedua agama tersebut muncul dan dianut setelah mengalami proses yang lama, Konsep agama pada dahulunya didasarkan pada dinamisme dan animisme. Perkembangan masyarakat Sipirok di Tapanuli Selatan diperkirakan baru muncul lebih kurang sembilan abad setelah pengaruh Islam mulai berkembang di Barus atau pantai barat Tapanuli Tengah[4]. Secara geografis Tapanuli Selatan merupakan basis daerah Mandailing dan hal ini dipertegas dengan pernyataan bahwa sejak sekitar abad ke-16 pengaruh agama Islam belum masuk kedaerah Tapanuli Selatan[5]
Hal ini kemudian didukung dengan tulisan oleh Parlindungan[6] yang menyatakan bahwa penyerbuan laskar Paderi dari Sumatera Barat ke Sipirok terjadi sekitar tahun 1816. Sebelum laskar Paderi memasuki kawasan Sipirok, mereka lebih
dulu menaklukkan seluruh daerah Mandailing, Angkola dan Padang Lawas.
Berdasarkan hal itu dapat disimpulkan : daerah Mandailing Tapanuli Selatan telah ada sebelum pengaruh Islam, karena sampai sekarang tidak ditemukan bukti-bukti peninggalan sejarah yang menunjukkan adanya perkembangan Islam yang meluas baik di Tapanuli Tengah maupun di Tapanuli Selatan sejak abad ke-7[7], Sedangkan agama Kristen masuk ke daerah Sumatera Utara dimulai dengan masuknya para misionaris yang ikut dengan rombongan penjajah Belanda. Salah satunya adalah Nomensen. Dari apa yang telah dipaparkan, pupus sudah anggapan yang menyatakan bahwa Mandailing bukan Batak karena faktor agama.
Alasan perbedaan bahasa
HAL lain yang menganggap bahwa Mandailing bukan Batak didasarkan karena Mandaling memiliki perbedaan bahasa dengan bahasa Batak, Anggapan ini runtuh dengan jawaban bahwa bahasa atau linguistik pada awalnya sama namun karena dipengaruhi faktor lingkungan, kebiasaan dan hal lain maka terjadi pergeseran dari bahasa semula. Namun pergeseran ini tidak menimbulkan perbedaan yang berarti,
Sebagai bahan acuan adalah adanya perbandingan antara beberapa kosa kata bahasa Sipirok dan bahasa Sansekerta [8], Dalam perbandingan tersebut kata “huta” yang dalam bahasa Sansekerta “kota” yang memiliki arti sebagai kampong dan kosa kata ini juga digunakan dalam masyarakat Batak, Kosa kata lainnya adalah “debata” yang dalam bahasa Sansekerta “devta” memiliki arti dewata, dalam masyarakat Batak dalam hal ini Toba menyatakan Tuhan atau yang
memiliki Kuasa dengan kata “debata”, Tuhan atau “debata” digunakan dalam “Somba Debata” yang berarti sembah/sujud kepada Tuhan atau pencipta alam.
Faktor bahasa yang menjadi pembeda antara Mandailing dan Batak juga bukanlah faktor yang memiliki perbedaan signifikan antara Mandailing dan Batak.
Perbedaan-perbedaan yang menjadi landasan anggapan bahwa Mandailing dan Batak hilang dengan sendirinya apabila dikaji secara mendalam, Usaha-usaha pembedaan yang mengarah pada pemisahan antara Mandailing dan Batak
merupakan taktik strategi bangsa penjajah (Belanda) untuk memecah persatuan dan keutuhan Nusantara. Sampai saat ini masih ada orang, kelompok yang mempertahankan anggapan bahwa Mandailing bukan bagian dari Batak secara luas.
Klasifikasi Van Vollenhoven dan Koentjaraningrat
DALAM suatu klasifikasi yang dilakukan Van Vollenhoven[9] terhadap wilayah Indonesia yang mengklasifikasi berdasarkan dari aneka warna suku-bangsa di Wilayah Indonesia biasanya masih berdasarkan sistem lingkaran-lingkaran hukum
adat, Dan pengklasifikasian ini, membagi wilayah Indonesia kedalam 19 daerah, yaitu :
1. Aceh 11. Sulawesi Selatan
2. Gayo-Alas dan Batak 12. Ternate
2a. Nias dan Batu 13. Ambon Maluku
3. Minangkabau 13a. Kepulauan Baratdaya
3a. Mentawai 14. Irian
4. Sumatera Selatan 15. Timor
4a. Enggano 16. Bali dan Lombok
5. Melayu 17. Jawa Tengah dan Timur
6. Bangka dan Biliton 18. Surakarta dan Yogyakarta
7. Kalimantan 19. Jawa Barat
8a. Sangir-Talaud
9. Gorontalo
10. Toraja
klasifikasi yang dibuat oleh Van Vollenhoven ini kemudian diadopsi oleh Koentjaraningrat walaupun karya Van Vollenhoven ini masih terdapat keragu-raguan pada daerah Kalimantan, Sulawesi, Indonesia Timur dan Sumatera, Koentjaraningrat menyatakan, lokasi sesuatu suku-bangsa di Indonesia biasanya ada selisih antara berbagai pengarang bahkan untuk menyatakan batas-batas wilayah suku-bangsa Aceh ada enam orang pengarang yang memiliki perbedaan antara satu sama lain[10].
Koentjaraningrat yang merupakan bapak antropologi Indonesia dalam bukunya “Pengantar Antropologi 1, 1980) tidak menyinggung sama sekali tentang perbedaan antara Mandailing dan Batak. Kalaupun ada hanyalah perbedaan batas-
batas wilayah suku-bangsa Aceh.
Batak itu satu, kenapa ingin pisah ?
Anggapan bahwa Mandailing bukan Batak merupakan tindakan “kekonyolan pemikiran” yang kemungkinan menyebabkan destruct knowledge, Menurut hemat penulis keinginan “anggota etnis Mandailing” untuk tidak menyamakan Mandailing dengan Batak– karena Mandailing bukan bagian Batak, merupakan strategi yang didasari rasa superior, primordialisme, dan emosi keagamaan berlebih.
Sejatinya seorang antropolog dilarang memasukkan unsur-unsur superior, primordialisme dan emosi keagamaan berlebih dalam menyikapi satu masalah, Mudah-mudahan tulisan ini dapat membuka cakrawala pemikiran terhadap
pandangan yang ada.
Mandailing masuk kedalam bagian Batak secara luas. Karena Batak secara luas merupakan representasi suku-suku Batak, yang memiliki akar budaya dan wilayah yang sama. Kerugian tidak timbul dari hanya sekedar peletakan Mandailing bagian dari Batak, Pemikiran umum telah terdoktrin stereotipe Batak “kasar”, “kurang beradab”. Namun, hal ini muncul dari pandangan orang-orang yang berada diluar
lingkaran kebudayaan Batak secara luas.
Kata akhir tulisan ini untuk membuka diri terhadap proses perkembangan namun dengan memperhitungkan aspek perkembangan tersebut, marilah kita bersatu dalam Batak secara luas dan tidak mengkotak-kotakkan diri dalam
pemikiran yang sempit.
Daftar Bacaan :
Koentjaraningrat (1980). Pengantar Antropologi 1. Jakarta. Aksara Baru
Koentjaraningrat (1990). Sejarah Teori Antropologi II. Jakarta. UI-Press
Lubis Pangaduan. Z dan Zulkifli Lubis (1998). Sipirok Na Soli Bianglala Kebudayaan Masyarakat Sipirok. Medan. Badan Pengkajian
Pembangunan Sipirok dan USU Press
Purba Mauly (2005). Pluralitas Musik Etnik : Batak-Toba, Mandailing, Melayu, Pakpak-Dairi, Angkola, Karo, Simalungun. Medan. Pusat
Dokumentasi Dan Pengkajian Kebudayaan Batak Universitas HKBP Nomensen
NB : Tulisan ini diutamakan untuk membuka cakrawala terhadap etnis Batak sebagai suatu kesatuan Holistik.
[1] Penulis adalah mahasiswa departemen Antropologi stambuk 2003 dan bagian dari etnis Mandailing secara luas
[2] Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi 1, 1980 : 299
[3] Mauly Purba, Pluralitas Musik Etnik ; Batak-Toba, Mandailing, Melayu, Pakpak-Dairi, Angkola, Karo, Simalungun, 2005 : 50-51
[4] Z. Pangaduan Lubis dan Zulkifli Lubis, Sipirok Na Soli Bianglala Kebudayaan Masyarakat Sipirok, 1998 : 30
[5] Z. Pangaduan Lubis dan Zulkifli Lubis, Sipirok Na Soli Bianglala Kebudayaan Masyarakat Sipirok, 1998 : 31
[6] Dalam Z. Pangaduan Lubis dan Zulkifli Lubis, Sipirok Na Soli Bianglala Kebudayaan Masyarakat Sipirok, 1998 : 31
[7] Z. Pangaduan Lubis dan Zulkifli Lubis, Sipirok Na Soli Bianglala Kebudayaan Masyarakat Sipirok, 1998 : 31
[8] Z. Pangaduan Lubis dan Zulkifli Lubis, Sipirok Na Soli Bianglala Kebudayaan Masyarakat Sipirok, 1998 : 28
[9] Dalam Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi 1, 1980 : 315
[10] Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi, 1980 : 316- 318
Oleh : IBNU AVENA MATONDANG

Pasukan Gajah Mada dikalahkan Pasukan Batak Karo

Pasukan Gajah Mada dikalahkan Pasukan Batak Karo.

Masih Ingat Gajah Mada, Maha Patih Kerajaan Majapahit pada abad 14? Maha Patih yang mengeluarkan Sumpah Yang Sangat Terkenal itu? Sumpah Palapa. Sumpah yang sangat dibanggakan penulis sejarah, karena dianggap mampu menyatukan Nusantara.

Logikanya sesorang bersumpah ketika dia mengalami kekalahan. Atau ketika dia mengalami sebuah kemunduran. Bisa karena ditolak, tidak dipercaya atau pun diragukan kemampuannya atau komitmennya. 

Kalah? Pernah berfikir dimana Gajah Mada kalah sehingga bersumpah? Kalau Anda belum pernah tahu dimaana Gajah Mada Kalah, bacalah baik baik. Ternyata dia kalah di Kuta Buluh, ketika berperang dengan Suku Batak Karo? Gak percaya? Ini bukan mengada ngada kawan. 


Dalam buku Karo Dari Jaman ke Jaman, yang disusun Brahma Putro, terbitan Yayasan Massa, Medan 1981, pada halaman 134 ditulis sebagai berikut :
 

Pada tahun 1339 Masehi lasykar lasykar Mojopahit yang langsung dikomandoi Patih Gajah Mada memulai menyerang dan menduduki Kerajaan Haru/Wampu dan Haru Kuta Buluh . Namun Kerajaan Haru tidak takluk dan tidak terkalahkan oleh Pasukan Gajah Mada, sehingga hal ini menimbulkan kemarahan Patih Gajah Mada dan muncullah sumpahnya yang sangat terkenal itu.
Bagaimana caranya Simbisa orang Karo menghalau pasukan Gajah Mada yang amat kuat itu? Dituliskan di halaman 140 


Panglima Sijagat Kembaren yang merupaken Kalimbubu Raja Kuta Buluh meminta kepada Anak Beru nya Raja Kuta Buluh untuk segera memerintahkan rakyatnya mengambil duri duri ketang (rotan) dan duri duri daun anyaman ke hutan untuk menjadi perumus ranjau ranjau darat, yang dinamakannya Bujang Bujang Sipitu. Bujang Bujang Sipitu ini dicampur dengan racun Ipuh Sipolar. Lalu ditabur disekeling benteng Pasukan Gajah Mada, selain itu dijadikan juga eltep (sumpitan) yang membuat Pasukan Gajah Mada banyak yang tewas, dan sisanya lari terbirit birit ke Laut. 


Ternyata ada sejarah yang amat bernilai di Sumatra paling tidak di dalam pengalaman Batak Karo, penguasa Kerajaan Haru Namun tidak pernah terangkat ke permukaan, menjadi bagian dari Sejarah Nasional. Mengapa? Karena Sumatra memang bukan Jawa. 


Lalu Gajah Mada sendiri, tidak jelas asal usulnya. Tapi menurutku Gajah Mada bukan Suku Jawa, karena sulit dipahami orang Jawa kala itu memberi nama anaknya Gajah yang bukan binatang asli di Pulau Jawa. Lalu penggalan nama belakangnya “Mada”. Saya tidak tahu apakah kata Mada berasal dari kosakata Jawa? Sedangkan dalam bahasa batak karo, mada artinya Hebat, Simada artinya yang hebat.. Gajah Mada dengan demikian mempunyai makna “orang besar seperti gajah yang hebat”. 


Gajah di dekat Berastagi adalah nama sebuah desa. Mungkinkah Gajah Mada anak desa Gajah. Klaim ini bisa saja belum objektif, tapi saya takut jangan jangan dalam Sejarah Nasional kita pun ada Pembohongan. 







 

Sumber:
http://sejarah.kompasiana.com/2011/02/01/pasukan-gajah-mada-dikalahkan-pasukan-batak-karo

BATAK ANGKOLA


BATAK ANGKOLA


Angkola Adalah Nama daerah Di Sumatera Utara tepatnya di Tapanuli Bagian Selatan.
Batak Angkola adalah orang Batak yang secara geografis bermukim di antara wilayah Batak Toba dan wilayah Mandailing. Orang Batak Toba bermukim di sekitar Danau Toba, sedangkan orang Batak Mandailing berada di perbatasan Sumatera Utara dengan Sumatera Barat.
Masyarakat Angkola bermukim di daerah Tapanuli Selatan yaitu di Sipirok, Padangsidempuan, Batangtoru, dan sekitarnya. Pada saat ini, daerah sebaran orang Batak Angkola, telah menjadi Kabupaten tersendiri, yaitu Kabupaten Sipirok Angkola dengan ibu kota Kabupaten (Pasar) Sipirok.
Di luar daerah ini, dalam jumlah yang cukup significant etnis Angkola banyak ditemukan bermukim di daerah Tapanuli Tengah.
Angkola merupakan salah satu bahagian dari etnis Batak, selain Batak Toba, Batak Mandailing, Batak Karo, Batak Simalungun, Batak Pakpak, dll. Karena wilayah Batak Angkola secara geografis terletak di antara wilayah Batak Toba dan wilayah Mandailing, maka adat, budaya, dan dialek bahasa Angkola mempunyai karakter sendiri yang unik. Seolah menjadi bentuk peralihan di antara kedua jenis budaya Batak ini.
Asal usul Masayarakat Batak Angkola
Masyarakat Angkola dahulunya berasal dari Kerajaan Batak yang diperkirakan berdiri pada 1305 M di Kampung Sianjur Mula-mula, daerah Pusuk Buhit di sekitar Danau Toba. Ditemukannya banyak kesamaan marga diantara keduanya mengindikasikan dugaan adanya kesamaan asal usul leluhur kedua suku ini.
Sekilas Legenda Angkola
Minimnya fakta sejarah kuno tertulis dan peninggalan bersejarah mengakibatkan kaburnya alur penyebaran nenek moyang orang Angkola dari Tanah asalnya. Cerita rakyat yang berkembang dalam masyarakat dan dipadukan dengan data sejarah penaklukan kerajaan Batak kuno pada masa yang bersamaan dapat dijadikan acuan sejarah yang bersifat semi legenda.
Konon pada masa dahulu tidak dikenal adanya nama Angkola. Menurut legenda, kampung yang ada pertama kali di daerah ini adalah Sitamiang, yang didirikan oleh oppu Jolak Maribu yang bermarga Dalimunthe. Beliau kemudian memberi nama daerah-daerah di Angkola sekarang seperti :
- Pargarutan (tempatnya mengasah pedang),
- Tanggal (tempatnya menanggalkan hari/tempat kalender Batak) Sitamiang,
- dll.
Selanjutnya dikisahkan mereka kemudian kembali ke Toba meninggalkan daerah Angkola sekarang dengan alasan tertentu yang tidak jelas dari sisi sejarah.
Nama ``Angkola `` berasal dari Sungai Batang Angkola yang diberi nama sesuai nama seorang penguasa yang berasal dari Hindia (India) Belakang yang bernama Rajendra Koladewa (Angkola / yang dipertuan Kola). (Kerajaan Colamandala ini juga yang menurut catatan sejarah pernah menghancurkan kejayaan Kerajaan Sriwilaya). Diperkirakan mereka masuk tanah Angkola melalui Padang Lawas menuju ke arah pedalaman ke Utara. Selanjutnya kemudian berkuasa di sana untuk waktu yang cukup lama. Oleh mereka daerah di sebelah Selatan Batang Angkola diberi nama Angkola Jae (hilir) dan di sebelah Utara Sungai Batang Angkola diberi nama Angkola Julu (hulu).
Pada akhirnya dikisahkan kemudian banyak pemukim orang-orang India Belakang tersebut memilih keluar dari Angkola di saat wabah lepra menyerang daerah tersebut. Diceritakan pula bahwa dalam kekosongan kekuasaan tersebut, kemudian masuklah suku-suku lain dari segala penjuru ke wilayah Angkola termasuk diantaranya adalah Suku-suku (marga) Batak lainnya dan suku suku lain.
Seterusnya dikisahkan bahwa beberapa waktu kemudian keturunan para pemukim asli dari Sitamiang yang telah kembali dari pengembaraan mereka ke Toba, akhirnya kembali lagi ke ke wilayah Angkola. Akan tetapi setibanya di sana, mereka mendapati bahwa telah banyak bermukim suku suku lain seperti suku India. Begitu juga dengan marga-marga Batak lain seperti Harahap, Daulay, Siregar, dan lainnya. Sehingga akhirnya terjadilah percampuran dan asimilasi diantara mereka.
Saat ini nama Angkola lebih umum disebut sebagai nama tempat atau daerah, sedangkan suku di Angkola adalah Suku-suku Batak dan keturunan campuran suku suku lain yang bermukim di sana selama berabad-abad yang mengusung budaya, adat ,dan bahasa Batak dialek Angkola.
Angkola masih mengakui hubungan kekerabatan sejarah dengan Toba
Umumnya masyarakat Angkola masih mengakui kekerabatan sejarah mereka dengan Toba. Hal ini pernah dibuktikan oleh para tokoh-tokoh mereka saat penggabungan wilayah kewedanan (afdeling) mereka ke dalam wilayah Keresidenan Tapanoeli di akhir abad ke-19 s/d awal abad ke-20.
Berbeda dengan etnis Mandailing dan Pakpak yang tidak mengakui sebutan pengklasifikasian Batak untuk suku mereka. Begitu juga dengan etnis Karo dan Simalungun yang sejak awal memang tidak dimasukkan oleh Belanda ke dalam wilayah Keresidenan Tapanoeli.
Sekitar tahun 1926-1929 perantau etnis Angkola di kota Medan pernah berselisih dengan perantau etnis Mandailing, terkait tidak diizinkannya pemakaman bagi etnis Angkola di pemakaman Muslim Mandailing di areal pekuburan Sungai Mati Medan. Etnis Mandailing tidak mengizinkan etnis Angkola yang juga mayoritas beragama Islam untuk dimakamkan di pekuburan Muslim yang khusus untuk etnis Mandailing. Perselisihan ini akhirnya diselesaikan oleh Kesultanan Deli.
System Kekerabatan Batak Angkola
Seperti halnya suku Batak Toba, penduduk Angkola juga mempunyai sistem kekerabatan yang disebut dengan Dalihan na Tolu (dalihan ‘tungku’, na ‘yang’, tolu ‘tiga’) yang berarti ‘tungku yang tiga’.
Sistem kekerabatan ini mempunyai 3 (tiga) unsur dasar yang pada masyarakat Angkola terdiri atas :
1) Kahanggi yaitu keluarga laki-laki dari garis keturunan orang tua laki-laki,
2) Anak boru yaitu keluarga laki-laki dari suami adik/kakak perempuan yang sudah kawin,
3) Mora yaitu keluarga laki-laki dari saudara isteri.
Ketiga unsur ini memegang peranan penting dalam lingkungan kekeluargaan masyarakat Angkola. Tutur sapa menjadi lancar kalau ketiga unsur ini jelas keberadaannya. Ketiga unsur ini saling memerlukan dan berfungsi sesuai dengan kedudukannya.
Marga-Marga Batak Angkola
Marga-marga yang terdapat dalam masyarakat Batak Angkola adalah :
- Siregar,
- Harahap,
- Pohan,
- Hasibuan,
- Hutasuhut,
- Daulae,
- Rambe,
- Pane,
- Sagala,
- dll.
Masing-masing marga mempunyai peranan, kedudukan, dan fungsi dalam sistem pengaturan bermasyarakat dan berbudaya di daerah itu.
Sumber:
http://www.facebook.com/topic.php?uid=87860003317&topic=9935

Perkerabatan Simalungun


Perkerabatan Simalungun

Suku Simalungun adalah salah satu suku asli dari provinsi Sumatera Utara, Indonesia, yang menetap di Kabupaten Simalungun dan sekitarnya. Beberapa sumber menyatakan bahwa leluhur suku ini berasal dari daerah India Selatan. Sepanjang sejarah suku ini terbagi ke dalam beberapa kerajaan. Terdapat 4 marga (nama keluarga) asli suku Simalungun, yaitu Sinaga, Saragih, Damanik dan Purba.

Orang Batak menyebut suku ini sebagai suku "Si Balungu" dari legenda hantu yang menimbulkan wabah penyakit di daerah tersebut, sedangkan orang Karo menyebutnya Timur karena bertempat di sebelah timur mereka. 

Orang Simalungun tidak terlalu mementingkan soal silsilah karena penentu partuturan (perkerabatan) di Simalungun adalah hasusuran (tempat asal nenek moyang) dan tibalni parhundul (kedudukan/peran) dalam horja-horja adat (acara-acara adat).


Hal ini bisa dilihat saat orang Simalungun bertemu, bukan langsung bertanya “aha marga ni ham?” (apa marga anda) tetapi “hunja do hasusuran ni ham (dari mana asal-usul anda)?“
Hal ini dipertegas oleh pepatah Simalungun “Sin Raya, sini Purba, sin Dolog, sini Panei. Na ija pe lang na mubah, asal ma marholong ni atei” (dari Raya, Purba, Dolog, Panei. Yang manapun tak berarti, asal penuh kasih).


Sebagian sumber menuliskan bahwa hal tersebut disebabkan karena seluruh marga raja-raja Simalungun itu diikat oleh persekutuan adat yang erat oleh karena konsep perkawinan antara raja dengan “puang bolon” (permaisuri) yang adalah puteri raja tetangganya.


Seperti raja Tanoh Djawa dengan puang bolon dari Kerajaan Siantar (Damanik), raja Siantar yang puang bolonnya dari Partuanan Silappuyang, Raja Panei dari Putri Raja Siantar, Raja Silau dari Putri Raja Raya, Raja Purba dari Putri Raja Siantar dan Silimakuta dari Putri Raja Raya atau Tongging. 


Adapun Perkerabatan dalam masyarakat Simalungun disebut sebagai partuturan. Partuturan ini menetukan dekat atau jauhnya hubungan kekeluargaan (pardihadihaon), dan dibagi kedalam beberapa kategori sebagai berikut:
1. Tutur Manorus / Langsung
Perkerabatan yang langsung terkait dengan diri sendiri.
2. Tutur Holmouan / Kelompok
Melalui tutur Holmouan ini bisa terlihat bagaimana berjalannya adat Simalungun
3. Tutur Natipak / Kehormatan
Tutur Natipak digunakan sebagai pengganti nama dari orang yang diajak berbicara sebagai tanda hormat. 


Asal Usul
Terdapat berbagai sumber mengenai asal usul Suku Simalungun, tetapi sebagian besar menceritakan bahwa nenek moyang Suku Simalungun berasal dari luar Indonesia.


Kedatangan ini terbagi dalam 2 gelombang :
1. Gelombang pertama (Proto Simalungun), diperkirakan datang dari Nagore (India Selatan) dan pegunungan Assam (India Timur) di sekitar abad ke-5, menyusuri Myanmar, ke Siam dan Malaka untuk selanjutnya menyeberang ke Sumatera Timur dan mendirikan kerajaan Nagur dari Raja dinasti Damanik.
2. Gelombang kedua (Deutero Simalungun), datang dari suku-suku di sekitar Simalungun yang bertetangga dengan suku asli Simalungun. 


Pada gelombang Proto Simalungun di atas, mwnurut versi Tuan Taralamsyah Saragih, menceritakan bahwa rombongan yang terdiri dari keturunan dari 4 Raja-raja besar dari Siam dan India ini bergerak dari Sumatera Timur ke daerah Aceh, Langkat, daerah Bangun Purba, hingga ke Bandar Kalifah sampai Batubara. 


Kemudian mereka didesak oleh suku setempat hingga bergerak ke daerah pinggiran danau Toba dan Samosir. 


Pustaha Parpandanan Na Bolag (pustaka Simalungun kuno) mengisahkan bahwa Parpandanan Na Bolag (cikal bakal daerah Simalungun) merupakan kerajaan tertua di Sumatera Timur yang wilayahnya bermula dari Jayu (pesisir Selat Malaka) hingga ke Toba. Sebagian sumber lain menyebutkan bahwa wilayahnya meliputi Gayo dan Alas di Aceh hingga perbatasan sungai Rokan di Riau. 


Etimologi Kata Simalungun
"Simalungun" dalam bahasa Simalungun memiliki kata dasar "lungun" yang dapat memiliki makna "sunyi" atau "sedih." Karenanya terdapat beberapa versi mengenai asal-usul penamaan suku ini. Yaitu : 


1. Sunyi


Pada zaman kerajaan Nagur, terdapat beberapa panglima (Raja Goraha) yaitu masing-masing bermarga :
* Saragih
* Sinaga
* Purba


Kemudian mereka dijadikan menantu oleh Raja Nagur dan selanjutnya mendirikan kerajaan-kerajaan:
* Silou (Purba Tambak)
* Tanoh Djawa (Sinaga)
* Raya (Saragih)


Selama abad ke-13 hingga ke-15, kerajaan-kerajaan kecil ini mendapatkan serangan dari kerajaan-kerajaan lain seperti Singhasari, Majapahit, Rajendra Chola (India) dan dari Sultan Aceh, Sultan-sultan Melayu hingga Belanda. 

Selama periode ini, tersebutlah cerita "Hattu ni Sapar" yang melukiskan kengerian keadaan saat itu di mana kekacauan diikuti oleh merajalelanya penyakit kolera hingga mereka menyeberangi "Laut Tawar" (sebutan untuk Danau Toba) untuk mengungsi ke pulau yang dinamakan Samosir yang merupakan kependekan dari Sahali Misir (bahasa Simalungun, artinya sekali pergi). 


Saat pengungsi ini kembali ke tanah asalnya (huta hasusuran), mereka menemukan daerah Nagur yang sepi, sehingga dinamakanlah daerah kekuasaan kerajaan Nagur itu sebagai Sima-sima ni Lungun (bahasa Simalungun untuk daerah yang sepi) dan lama kelamaan menjadi Simalungun. (M.D Purba, 1997). 



Beberapa sumber juga menyatakan bahwa nama Simalungun itu diberikan oleh orang luar karena penduduknya sangat jarang dan tempatnya sangat berjauhan antara yang satu dengan yang lain.

2. Sedih


Pada masa kedatangan Belanda, raja-raja di daerah Simalungun mengadakan perlawanan. Raja yang terkenal mengadakan perlawanan diantaranya adalah Raja Rondahaim dari Raya dan Raja Naualuh (Nawaluh) dari Siantar. Karena keterbatasan di bidang persenjataan dan logistik, akhirnya perlawanan raja-raja tersebut dapat diakhiri Belanda dengan penandatanganan Korte Verklaring (Perjanjian Pendek) tahun 1907. 

Akibat penandatanganan perjanjian ini, raja-raja tersebut merasakan perasaan sedih karena terpaksa menandatangani dokumen tersebut padahal tidak bersedia tunduk pada pemerintah Belanda, dan bersepakat mengangkat nama Simalungun sebagai nama yang mewakili perasaan sedih mereka. 


Kata Simalungun sendiri baru digunakan sebagai nama wilayah pemerintahan oleh pemerintahan kolonial Belanda. 


Pakaian Adat Simalungun
Sama seperti suku-suku lain di sekitarnya, pakaian adat suku Simalungun tidak terlepas dari penggunaan kain Ulos (disebut Uis di suku Karo). Kekhasan pada suku Simalungun adalah pada kain khas serupa Ulos yang disebut Hiou dengan berbagai ornamennya. Ulos pada mulanya identik dengan ajimat, dipercaya mengandung “kekuatan” yang bersifat religius magis dan dianggap keramat serta memiliki daya istimewa untuk memberikan perlindungan.


Menurut beberapa penelitian penggunaan ulos oleh Suku bangsa Batak, memperlihatkan kemiripan dengan bangsa Karen wilayahnya terletak di perbatasan Myanmar, Muangthai dan Laos, khususnya pada ikat kepala, kain dan ulosnya. 


Secara legenda ulos dianggap sebagai salah satu dari 3 sumber kehangatan bagi manusia (selain Api dan Matahari), namun dipandang sebagai sumber kehangatan yang paling nyaman karena bisa digunakan kapan saja (tidak seperti matahari, dan tidak dapat membakar (seperti api). Seperti suku lain di rumpun Batak, Simalungun memiliki kebiasaan mangulosi (memberikan ulos) yang salah satunya melambangkan pemberian kehangatan dan kasih sayang kepada penerima ulos. 


Ulos dapat dikenakan dalam berbagai bentuk, sebagai kain penutup kepala, penutup badan bagian bawah, penutup badan bagian atas, penutup punggung dan lain-lain. Ulos dalam berbagai bentuk dan corak/motif memiliki nama dan jenis yang berbeda-beda, misalnya ulos penutup kepala wanita disebut suri-suri, ulos penutup badan bagian bawah bagi wanita disebut ragipane, atau yang digunakan sebagai pakaian sehari-hari yang disebut jabit. Ulos dalam pakaian penganti Simalungun juga melambangkan kekerabatan Simalungun yang disebut Dalihan Natolu, yang terdiri dari tutup kepala (ikat kepala), tutup dada (pakaian) dan tutup bagian bawah (sarung). 


Menurut seorang Budayawan Simalungun yang bernama Muhar Omtatok, awalnya Gotong (Penutup Kepala Pria Simalungun) berbentuk destar dari bahan kain gelap ( Berwarna putih untuk upacara kemalangan, yang disebut Gotong Porsa). Namun kemudian Tuan Bandaralam Purba Tambak dari Dolog Silou juga menggemari trend penutup kepala ala Melayu berbentuk tengkuluk dari bahan batik. Dari kegemaran pemegang Pustaha Bandar Hanopan inilah, kemudian Orang Simalungun dewasa ini suka memakai Gotong berbentuk Tengkuluk Batik. 












Sumber:
http://www.facebook.com/topic.php?uid=87860003317&topic=12184