Begu Ganjang dan Realitas Masyarakat Batak
Setelah sekian lama disibukkan dengan tugas-tugas kuliah dan kesibukan di kampus, akhirnya aku punya waktu senggang untuk sekedar membuka internet dan mencari-cari berita seputar bona pasogit Tarutung. Alangkah terkejutnya aku, saat mengunjungi sebuah blog salah satu wartawan di Sumut, dan membaca beberapa artikel yang mengulas tentang isu begu ganjang di bona pasogit. Saya mendapatkan informasi bahwa beberapa waktu yang lalu telah terjadi penganiayaan terhadap seorang warga di Sipoholon karena dituduh memelihara begu ganjang. Sementara itu yang lebih mengusik adalah berita tentang tewasnya tiga orang yang masih satu keluarga di Muara Tapanuli Utara, karena dibakar hidup-hidup oleh massa dengan kasus yang sama, yakni dituduh memelihara begu ganjang.
Harus ku akui, bahwa sejak aku merantau ke Semarang tiga tahun yang lalu, isu begu ganjang sudah sangat jarang aku dengar. Paling aku memanggil temanku seorang keturunan India yang tingginya mencapai 189cm dengan sebutan begu ganjang. Namun hal yang berkaitan dengan isu begu ganjang yang sesungguhnya, sudah sangat jarang aku dengar, bahkan tidak pernah aku dengar lagi.
Berbicara masalah begu ganjang, aku teringat dengan masa kecilku sekitar tahun 1998 sampai tahun 2000. Dimana pergolakan politik di Indonesia masih belum stabil, sementara itu keadaan ekonomi masih dalam tahap pemulihan setelah dihantam krisis ekonomi era lengsernya dinasti orde baru. Di kampung kelahiran ku kota kecil Tarutung, dalam kurun waktu tahun 1998-2000 isu begu ganjang terdengar di mana-mana. Hampir di setiap desa ditemukan kasus begu ganjang. Dan tidak tanggung-tanggung, aksi massa pun terjadi dalam jumlah yang sangat besar. Tidak jarang orang yang dicurigai memelihara begu ganjang rumahnya dirusak dan diusir dari kampong.
Sedikit mengulas tentang begu ganjang dalam masyarakat Batak, bahwa begu ganjang sudah menjadi bagian dari cerita yang hidup di dalam masyarakat Batak sejak lama. Begu ganjang itu sendiri dapat disamakan dengan santet di tempat lain. Secara harfiah saya tidak dapat menjelaskan mengenai begu ganjang, tapi saya akan bercerita sedikit informasi yang saya ketahui mengenai begu ganjang ini.
Di dalam masyarakat Batak, orang yang memelihara begu ganjang di sebut “parula-ula”, dan di tempat lain ada yang menyebut ”pangarasun., Bahkan ketika isu begu ganjang mulai mencuat ke permukaan pada tahun 2000, muncul sebuatan baru bagi begu ganjang. Menurut masyarakat, menyebut begu ganjang adalah sesuatu yang tabu, maka begu ganjang di sebut sebagai ”sigumoang” dan hingga sekarang saya tidak mengetahui defenisi asli dari sigumoang ini dari bahasa apa serta siapa yang pertama sekali mengatakannya. Dan ada kepercayaan warga saat itu dengan menuliskan di pintu rumah atau menyebutkan kata “muntul sigumoang” diyakini mampu menolak begu ganjang.
Menurut cerita orang tua, bahwa sosok begu ganjang itu adalah mahkluk gaib sejenis iblis yang warnanya hitam, mungkin kalau di Jawa dikenal dengan Genderuwo, atau mungkin mereka masih bersaudara. Kenapa dikatakan begu ganjang? Karena menurut orang-orang tua, bahwa begu ganjang ini jika dilihat maka akan semakin tinggi dan semakin tinggi dan akhirnya bisa mencekik leher orang yang melihatnya. Diyakini juga bahwa begu ganjang ini adalah mahkluk jadi-jadian yang sengaja dibuat oleh para dukun ilmu hitam untuk memperkaya si pemiliknya, selain itu juga dapat disuruh untuk membunuh seseorang. Hampir sama dengan “Pangulubalang”, yaitu sejenis santet juga di dalam masyarakat Batak. Pangulubalang juga disebut dengan Polosit, yaitu hantu jadi-jadian yang dapat disuruh untuk membunuh seseorang.
Menurut cerita orang tua, begu ganjang itu adalah arwah dari bayi yang meninggal. Sebelum genap tujuh hari, seorang dukun ilmu hitam akan mencuri organ tubuh bayi tersebut dan ditempa menjadi begu ganjang, untuk pastinya saya tidak mengetahui. Berbeda dengan Pangulubalang atau polosit, dari buku yang pernah saya baca, bahwa Pangulubalang itu dulu sangat banyak digunakan ketika masyarakat batak masih pagan, atau dinamisme. Pangulubalang diciptakan oleh dukun ilmu hitam dengan cara, mengubur si calon korban hingga sebatas leher, kemudian dibiarkan kehausan. Setelah orang tersebut kehausan, kemudian diberikan meminum tembaga cair hingga meninggal. Kemudian tubuh orang tersebut seluruhnya di bakar hingga menjadi abu, ditambahkan dengan ramuan-ramuan dan mantra-mantra, abu tersebut diletakkan di depan rumah calon korban. Dan ketika malam tiba maka pangulubalang tersebut akan bekerja dan membunuh orang yang menjadi target.
BEGU GANJANG DAN KESENJANGAN SOSIAL DI MASYARAKAT
Tidak bisa saya pungkiri, berdasarkan apa yang saya liat pada tahun 1998 sampai tahun 2000, bahwa orang yang dituduh memelihara begu ganjang adalah orang yang dari segi ekonomi dapat dikatakan menengah ke atas. Dalam artian termasuk sebagai orang yang mapan dibandingkan dengan masyarakat di sekitarnya.
Hal inilah yang sering kali dijadikan alasan seseorang dituduh memelihara begu ganjang. Masyarakat berkeyakinan bahwa kekayaan yang diperolehnya bukan dari hasil kerja kerasnya, melainkan dari persekutuan sesat dengan ilmu hitam yang dalam hal ini disebut begu ganjang. Saya sering mencoba menghubungkan realitas yang ada, memang benar orang yang telah terbukti memelihara begu ganjang tergolong orang yang cukup mapan, tapi bukan berarti orang yang biasa-biasa saja tidak boleh memelihara begu ganjang.
Ada sebuah realitas yang menurut saya cukup unik pada masa itu. Bahwa hampir sebagian besar orang yang dituduh memelihara begu ganjang adalah boru Hutabarat (mohon maaf bagi Dongan Tubu Hutabarat). Saya sebagai marga Hutabarat, saat itu menggap hal ini adalah sebuah kebetulan yang sangat memalukan.
Seperti yang sudah saya katakan di awal, memang praktek begu ganjang sudah ada dalam masyarakat tradisional Batak, namun isu ini mencuat ke atas lagi pada tahun 1998, dimana negeri ini dilanda krisis ekonomi. Menurut pendapat saya, keadaan masa itu yang serba sulit membuat kesenjangan social di dalam masyarakat cukup mencolok. Oleh karena perbedaan ini juga tidak jarang orang saling mendengki, memusuhi dan saling menjatuhkan. Dan hal ini bisa menjadi pemicu rasa saling iri. Harus kita akui, bahwa masih banyak masyarakat di kampong yang masih memendam empat sifat buruk manusia, yaitu Hosom, Teal, Elat, Late (HOTEL). Sehingga mereka dapat dengan mudah disulut kemarahannya oleh pihak-pihak yang berkepentingan, tanpa menggunakan akal sehat, langsung main hakim sendiri.
Disinilah diharapkan peranan penting dari para pemuka adat dan pemuka agama. Terlebih bagi para pemuka agama, tidak selayaknya umat yang mengaku dirinya ber Tuhan dan beragama melakukan tindakan-tindakan konyol seperti ini. Apalagi segala bentuk praktek perdukunan adalah sesuatu yang sangat dilarang oleh agama manapun. Dan hendaknya sesama manusia kita saling mengasihi, apalagi kita hidup di dalam masyarakat yang saling membutuhkan.
PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PRAKTEK BEGU GANJANG
Begu ganjang digolongkan dalam praktek ilmu hitam (black magic), sementara di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana tidak ada pasal yang mengatur mengenai praktek ilmu hitam ini. Sering di temui kasus tentang praktek ilmu hitam ini, misalnya, seorang melakukan pembunuhan, menurut pengakuannya dia mendapat perintah dari suara yang menyuruhnya membunuh orang tertentu. Atau juga ada orang yang dilaporkan melakukan pembunuhan dengan santet. Kasus-kasus yang seperti ini tidak jarang membuat para penegak hukum kebingungan dan kewalahan dalam mengorek informasi.
Jujur saja, ilmu hitam (black magic) adalah sesuatu hal yang metafisik. Dan tidak semua orang mempercayai keberadaan ilmu hitam ini. Dalam pembuktiannya sendiri, juga selalu menemui kebuntuan, karena alat-alat bukti yang mendukung sama sekali tidak ada. Seperti pembunuhan misalnya, untuk pembunuhan normalnya alat bukti berupa pisau, kayu atau yang terkait dengan ini, tetapi untuk kasus yang ini berbicara masalah sesuatu yang tidak berwujud. Sehingga sering sekali pelaku black magic tidak dipidana dengan pidana pembunuhan dan sebagainya, melainkan dengan pasal meresahkan masyarakat.
Tetapi hal ini dapat memicu warga melakukan tindakan anarki. Karena mereka menganggap bahwa kepolisian tidak dapat menangani kasus ini, sehingga mereka main hakim sendiri. Saya sendiri tidak setuju dengan sikap main hakim sendiri dari masyarakat terhadap orang yang dicurigai memelihari begu ganjang, sekalipun orang itu sendiri telah terbukti melakukan praktek begu ganjang.
Sama halnya dengan kasus yang di Muara, awalnya hanya berdasarkan kata dukun, bukan berdasarkan pembuktian langsung terhadap orang yang bersangkutan. Coba anda bayangkan, sudah tiga nyawa yang melayang dengan cara yang tidak manuasiawi padahal ketiga orang tersebut belum tentu terbukti memelihara begu ganjang. Ketakutan saya, hal ini kelak akan dimanfaatkan oleh orang-orang yang berkepentingan. Misalnya, saat seseorang tidak senang dengan orang lain, dengan mudah saja dia memprovokasi warga dengan menuduhnya sebagai Parula-ula.
Pendapat saya untuk kasus yang seperti ini perlu dilakukan penelitian yang lebih intensif lagi. Coba bayangkan, jika kasus black magic disidangkan di pengadilan, siapakah saksi ahlinya? Mungkinkah seorang paranormal. Saya lebih setuju kasus yang seperti ini diselesaikan dengan jalan mediasi (Alternative Dispute Resolusition).
Sumber:
No comments:
Post a Comment