DANAU TOBA & JEPANG
Danau Toba termasuk tasik yang beruntung di dunia. Dipuja dan dipuji pujangga-pujangga Batak menjadi karya-karya estetik yang memperkaya jiwa, danau besar ini ikut membentuk karakter dan temperamen orang Batak.
Sungguh tak terbayangkan budaya Batak tanpa bentangan Danau Toba, sama tak terbayangkannya budaya Arab tanpa hamparan gurun pasir. Yang terkenal adalah wajah Danau Toba nan rupawan, hasil olah geologis bunda pertiwi ribuan tahun, menjadi sajian wisata modern yang memberi penghidupan. Karena kalah infrastruktur dan fasilitas sajalah maka Toba tak secemerlang Bali dalam kinerja parawisatanya.
Secara inteligensia orang Batak paling banyak berutang kepada ekologi Kawasan Danau Toba (KDT). Berjenis-jenis ikan dan biota danau beserta 123 sungai yang mengairinya, telah sejak purba memberi protein cukup bagi pertumbuhan otak manusia Batak. Meski belum tersandingkan dengan otak Yahudi yang kuyup dengan Hadiah Nobel, paling tidak di kawasan Nusantara, otak Batak tidaklah sampai memalukan.
Adalah otak jenius seorang Bisuk Siahaan di awal 1960-an yang sedasawarsa kemudian dipadu dengan otak Jepang bersama kapital akbar negeri Nippon itu yang mengubah energi potensial Danau Toba yang 900 meter di atas permukaan laut itu — di stasiun PLTA Tangga dan Sigura-gura — menjadi setrum sebesar 480 MW. Sesungguhnya di sepanjang Sungai Asahan bisa dibangun tujuh PLTA, memproduksi hingga 1.500 MW listrik nirpolusi, dan amat cukup buat seluruh Sumatera Utara.
Sejak beroperasi pada 1982, listrik hasil penerjunan 3 miliar ton setahun tirta Danau Toba itu hampir seluruhnya dipakai untuk melebur serbuk alumina menjadi batangan aluminium (ingot) di Kuala Tanjung oleh PT Inalum, sebesar 250.000 ton setahun. Kini sekitar 625 juta dollar AS nilainya.
Horas buat Jepang :
Tetapi pada 2013, saat total produksi ingot diperkirakan mencapai sekitar 6 juta ton, Jepang sebagai pemilik utama PT Inalum (kini masih 58 % lebih sahamnya), bolehlah pulang kampung dengan terhormat – penuh ucapan terimakasih dari Bisuk Siahaan beserta seluruh masyarakat Danau Toba – bila sahamnya itu dibeli Pemerintah Indonesia, sesuai bunyi perjanjian induk usaha kongsi itu di awalnya (1976).
Berarti hampir 40 tahun Jepang menjadi sensei industri bagi Indonesia. Eloklah kepulangan Jepang dielu-elukan dengan sayonara penuh perkawanan disertai tortor horas yang meriah: tanda Indonesia telah lulus dengan baik. Dan pasca 2013, Indonesia sudah harus mumpuni meneruskan industri itu, bahkan lebih hebat lagi, ke hulu dan ke hilir.
Ke hulu, bakal bergairah lagi industri pengolahan alumina dari bauksit yang terdapat banyak di Bintan dan Kalimantan. Dengan kebutuhan PT Inalum saja, 600 ribu ton setahun, dapat dibayangkan nikmat ekonomi ke berbagai jurusan karena alumina itu diimpor saja dari Australia selama ini, sudah sekitar 30 tahun.
Ke hilir, industri nasional yang berkomponen aluminium pastilah bersukacita karena ketersediaan lokal bakal melimpah.
Karena zaman lingkungan belum tiba saat pembangunannya dimulai, maka dalam seluruh konsep ekonomi-industri yang mencakup PLTA Asahan di tengah dan PT Inalum di hilir, belum memperhitungkan sumbangan riil KDT di hulu secara proporsional. Padahal KDT inilah sumber primordial kue listrik dan roti aluminium itu.
Belakangan, KDT ditetesi juga dengan dana tanggungjawab sosial korporat ala kadarnya yang antara lain disalurkan lewat Otorita Asahan. Dana ini – dari namanya saja pun – bukanlah bentuk kepedulian yang serius terhadap kelestarian KDT: terutama hutan-hutannya, sungai-sungainya, permukaan danau itu sendiri, beserta Pulau Samosir.
Namun, sekarang kesadaran lingkungan sudah lanjut. Tibalah saatnya kita merawat KDT dengan hasilnya sendiri: yakni Sungai Asahan yang berdebit rata-rata 100 ton per detik atau lebih dari 3 miliar ton per tahun, yang nilai komersialnya gampang dihitung.
Sederhananya, PT Inalum pasca 2013 harus membayar setrum PLTA Asahan sesuai dengan tarif dasar listrik yang berlaku, dan selanjutnya PLTA Asahan harus membayar tirta Danau Toba sesuai dengan harga air baku yang berlaku, seperti lazim dibeli PDAM dari sumber air lokal. Dan dari penghasilannya inilah KDT dirawat dengan baik.
Otorita Danau Toba :
Sekaligus hendak ditegaskan: era sungai gratis untuk industri komersial sudah harus diakhiri, karena sungguh tidak adil terhadap alam, dan tidak sesuai lagi dengan roh zaman yang rawati terhadap ekologi. Untuk itulah Otorita Asahan, yang demi hukum juga berakhir masa kerjanya pada 2013, perlu ditransformasikan menjadi Otorita Danau Toba.
Dalam konsep baru ini, Otorita Danau Toba bertugas melaksanakan manajemen lingkungan komprehensif atas seluruh KDT, DAS Asahan, hingga ke Selat Malaka. Dengan demikian maka seluruh KDT dapat bagus dikelola secara terpadu pada ketiga matra utamanya: ekologi, ekonomi, dan sosiokultural.
Tantangannya: bagaimana pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan KDT bisa bekerjasama mengolah semua hal di atas demi keberlanjutan sinergistis kawasan itu bagi sebesar-besarnya kemaslahatan bangsa.
JANSEN SINAMO Penulis buku Mengubah Pasir Menjadi Mutiara; Mantan Sekjen Yayasan Pencinta Danau Toba; Tinggal di Jakarta.
No comments:
Post a Comment