Sunday, July 26, 2020

Mitos Si Raja Batak dari Pusuk Buhit Dikenalkan Sarjana Teologi

Minggu, 01 Mar 2020 11:13 WIB • Dilihat 1,049 kali • https://mdn.biz.id/o/102008/ Mitos Si Raja Batak dari Pusuk Buhit Dikenalkan Sarjana Teologi Antropolog dari Unimed, Erond Damanik (topi) dalam sebuah diskusi di Literacy Coffee, belum lama ini. (jones gultom) Medanbisnisdaily.com-Medan. Antropolog dari Universitas Negeri Medan (Unimed) Erond Damanik menyebut, yang mengenalkan mitos Si Raja Batak di Pusuk Buhit adalah para sarjana teologi di Sumatra Utara (Sumut). Mitos itu dikenalkan di Toba, Simalungun, Angkola dan sebagian Karo. "Harusnya mereka berbicara sesuai profesi keagamaannya, bahwa asal manusia adalah Adam dan Hawa. Sialnya hal itu dianggap kebenaran absolut. Suatu paradoks keilmuan," kata Erond kepada medanbisnisdaily.com, Sabtu malam (29/2/2020). Dikatakan Erond, WM Hutagalung mengkonstruksi Si Raja Batak tahun 1926 dalam rangka sayembara Van Hollenhoven. Penulisan ini terkait sengketa Batak dan bukan Batak antara Mandailing dan Angkola soal kuburan sei mati 1922-1925. Tahun 1928, Abdullah Lubis menolak Mandailing disebut Batak dan menulis leluhurnya dari Etnik Loeboes di dekat Riau yang berasal dari Sumbar dan Turki. Dijelaskan Erond, konsep identitas Batak, tidak bisa dipisahkan dengan konsep identitas Melayu. Kedua pelabelan itu merupakan polarisasi yang dilakukan kolonial. Konsep Melayu disematkan kepada masyarakat pesisir yang dominan Islam, sedangkan Batak kepada masyarakat pegunungan yang masih menganut paganisme (untuk kemudian memeluk Kristen-red) BACA JUGA: Pernyataan Soal 6 Etnik di Kawasan Danau Toba Bukan Batak Bertendensi Politik Identitas "Melayunisasi dan Batakisasi adalah penegasan kolonial selama era kolonialisme. Kedua konsep itu diambil dari catatan pengelana asing sejak abad 13. Yang pagan di gunung disebut Batak dan dipisahkan berbeda dengan yang Islam di pesisir. Kedua konsep ini masuk dalam literatur di Indonesia serta dibuat pada ensiklopedia Indonesia," ujar Erond. Sedangkan hibriditas keduanya, sambung Erond, baru terjadi pasca kolonialisme. Sebelumnya tidak ada. Politik kolonial nyata membuat polarisasi. Karo di gunung dan di Jehe (Medan, Binjai dan Langkat) dipisah karena agama pagan di gunung dan Islam di Jehe. Boang di Pakpak digabung ke Aceh Selatan dan dipisah dari Boang di Barus. Semuanya dipertegas dengan menarik batas-batas etnik dipertegas geografi yang diisi oleh atribut agama. Semua terjadi dan bagian dari politik kolonial untuk segregasi. Reporter JONES GULTOM Editor SASLI PRANOTO SIMARMATA Sumber: https://medanbisnisdaily.com/news/online/read/2020/03/01/102008/mitos_si_raja_batak_dari_pusuk_buhit_dikenalkan_sarjana_teologi/

Friday, July 24, 2020

BATAK MUSLIM

BATAK MUSLIM Oleh; Shohibul Anshor Siregar … Gugatan terhadap Batak muncul dari hamper semua tak terkecuali orang Toba sendiri meski jumlah yang disebut terakhir ini jauh lebih kecil. Penulis Edward Simanungkalit berusaha membongkar sejumlah mitos yang dibangun tentang Batak berdasarkan fakta Iptek. Bagaimana membantah hasil pemeriksaan DNA yang menunjukkan hasil yang berbeda dari yang dipahami selama ini? Ini antara lain pokok pikiran dia ajukan. Kita ketahui semangat dari sebagian orang Batak untuk menjadi bagian dari keturunan Jahudi juga diruntuhkan. … Selanjutnya: Dapat dibaca di koran WASPADA, 27 Maret 2017 https://issuu.com/waspada/docs/waspada__senin_27_maret_2017/17

Batak Hasil Konstruksi Kolonial

Batak Hasil Konstruksi Kolonial Posted by: Dahlan Batubara (Redaksi) in Berita Sumut 24/10/2017 0 814 Views Para peserta Focus Group Discussion di VIP Restoran Hotel Madani, Senin (23/10/2017) bertajuk Mandailing bukan Batak Focus Group Discussion (FGD) bertajuk Mandailing bukan Batak yang berlangsung di VIP Restoran Hotel Madani, Senin (23/10/2017) diselenggarakan oleh Yayasan Madina Centre mencuatkan kajian-kajian akademik antropologis tentang fakta-fakta tidak adanya etnis Batak di Sumatera Utara. Dari sisi pendekatan antropologis menyimpulkan tidak ditemukannya konsep ‘Batak’ pada manuskrip-manuskrip kuno kepunyaan enam etnis Karo, Simalungun, Pakpak, Mandailing dan Toba. Bahkan, konsep ‘Batak’ tidak dikenal di setiap masyarakat keenam etnis itu sejak prakolonial. Dan justru “batak” dinilai sebagai hasil konstruksi kolonial Belanda dalam memperkuat kepentingan eksistensi kolonisasi. Sehingga “Batak” adalah ahistori. Hadir dalam FGD peneliti dan sejarawan Dr Phil Ichwan Azhari, antropolog Prof Usman Pelly, dan juga peneliti Pussis Universitas Negeri Medan (UNIMED) Erron Damanik serta puluhan peserta dari berbagai kalangan serta kalangan wartawan. Di dalam diskusi itu, sumber ilmiah dicuatkan dalam membedah “Batak” itu, mulai dari catatan-catatan Tiongkok era prakolonial, catatan-catatan Eropa era prakolinial serta hasil-hasil penelitian para sejarahwan dan pakar-pakar antropologi. Kesimpulan Focus Group Discussion itu juga sejalan dengan artikel Edward Simanungkalit, pamerhati sejarah yang meramu berbagai hasil penelitian antropolog dan dimuat di sopopanisioan.blogspot.com. Disebutkan, di tahun 2013, Balai Arkeologi Medan mengadakan survey dan ekskavasi di seluruh Kabupaten Samosir dan mereka menemukan bahwa corak budaya yang dominan di sana adalah peninggalan budaya Dongson dan mereka memperkirakan usianya sekitar 600 – 1.000 tahun atau tidak lebih dari 1.000 tahun. Temuan ini membantahkan Sianjur Mulamula dan Si Raja Batak versi Belanda yang tidak lebih dari 1.000 tahun. Ini menjadi permasalahan, karena situs-situs arkeologi di dekat tanah Karo, Simalungun dan Mandailing sudah lebih dari 1.000 tahun. Pembuktian antroplogis ini menegaskan bahwa Mandailing/Karo/Simalungun jauh lebih tua dibanding umur Si Raja Batak. Kecerobohan konstruksi kolonial Belanda yang menciptakan sosok Si Raja Batak dan Sianjur Mulamula itu dapat dipahami karena pada masa itu kecanggihan ilmu pengetahuan belum tinggi sehingga memaksakan mitos masih mudah diterima kaum yang berada di pegunungan. Dalam penelitiannya di arsip misionaris Jerman di Wuppertal sejak bulan September 2010, Dr. Ichwan Azhari, sejarawan dari Unimed, dalam tulisan hasil penelitiannya berjudul: ”Konstruksi Batak dan Tapanuli di Dalam Ruang Administratif di Sumatera Utara Sejak Abad 19” (2011) menuliskan tentang keraguan para missionaris Kristen menggunakan kata “Batak” untuk kawasan pedalaman Toba. Keraguan para misionaris itu dikarenakan kata “Batak” itu tidak dikenal oleh orang “Toba” ketika para misionaris datang dan melakukan penelitian awal. Tetapi, pada tahun 1878 lembaga kantor pusat missionaris Jerman di Barmen mengeluarkan peta resmi misionaris yang dicetak dan disebarluaskan berbentuk buku berjudul Mission Atlas (1878). Dalam buku ini terdapat delapan peta yang di antaranya berjudul “Die Sudlichen Batta-lander auf Sumatra” (Tanah Batak Selatan di Sumatra). Judul-judul peta “Der Nordlichen Battalander Die Sudlichen Batta-lander” ini merupakan titik awal konstruksi “Batak Utara” dan “Batak Selatan” yang dilakukan para misionaris Jerman yang dipakai pemerintah kolonial Belanda dan konstruksi itu berpengaruh sampai saat ini. Fakta ini menunjukkan, konstruksi muslihat “penciptaan Batak” itu melibatkan para missionaris dari Jerman yang diterapkan oleh kolonial Belanda. Sementara itu, raja-raja Panusunan dari Mandailing Godang dan Mandailing Julu telah pula menerbitkan petisi Mandailing Bukan Batak. Petisi itu ditandatangani di Sopo Godang Kotasiantar, Panyabungan, Mandailing Natal, Sabtu (21/10/2017). Petisi itu akan dikirim kepada pemerintah pusat dan lembaga-lembaga negara. Para Raja-raja Panusunan melahirkan petisi itu sebagai upaya mempertegas jatidiri dan eksistensi bangsa Mandailing yang telah lama memiliki peradaban jauh berabad-abad sebelum kolonial Belanda mengkonstruksi Batak. Editor : Dahlan Batubara Sumber: https://www.mandailingonline.com/batak-hasil-konstruksi-kolonial/

Mandailing dan Kebenaran yang Memerdekakan

Mandailing dan Kebenaran yang Memerdekakan Posted by: Dahlan Batubara (Redaksi) in Editorial 15/11/2017 0 710 Views Candi Sipamutung Keluhuran ilmu pengetahuan adalah anugrah yang sangat penting yang diberikan tuhan kepada manusia. Dengan ilmu pengetahuan, kita semakin memahami semua yang ada di sekeliling kita, termasuk sejarah masa lampau. Kebenaran mampu diungkap manusia dengan perangkat-perangkat ilmu pengetahuan itu. Oleh karenanya, wahyu yang diturunkan Allah Swt kepada Rasululah SAW adalah “iqra”. Bacalah. Kebenaran itu memerdekakan. Demikian diungkap Edward Simanungkalit, seorang penggiat penulisan sejarah. Berdasar itu, sejarah masa lalu Mandailing hanya bisa diungkap melalui kajian ilmiah serta penggalian-penggalian dan peneliatian yang bersandar pada ilmu antropolgi, arkeologi, entomusikologi dan disiplin ilmu pengetahuan lainnya. Oleh karenanya, kita sangat menghoramati setiap hasil-hasil penelitian yang dilakukan para akademisi dalam menggali sejarah Mandailing dan etnis lainnya di Sumatera Utara. Hasil-hasil kajian dan penelitian itu akan membawa kita pada kebenaran satu fakta-fakta otentik di masa lalu. Karenanya, pengungkapan fakta-fakta sejarah akan melapaskan kita dari belenggu mitos, asumsi maupun kekeliruan memahami masa lalu. Ketika etnis Mandailing, Karo, Pakpak dan Simalungun menunjukkan jatidirinya secara tegas dan konsisten harus dipahami sebagai bagian dari kemampuan mereka berpijak pada ilmu pengetahuan serta tak tertambat dalam belenggu mitos yang dipaksakan. Tentunya, kita sepakat bahwa belenggu kekeliruan akan berakibat kian menjauhnya kita dari esensi kebenaran. Karena kita akan tersesat memahami peradaban kita masa lalu yang akan berdampak pada kesesatan di masa kini. Karena sejarah adalah rangkaian perjalanan suatu bangsa masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang. Berdasar itu, kita tak boleh keluar dari jalur kebenaran, karena kebenaran itu memerdekakan, merdeka dari kesesatan, agar tak terkurung dalam kegelapan kekeliruan peradaban.*** Sumber: https://www.mandailingonline.com/mandailing-dan-kebenaran-yang-memerdekakan/ Comments

Monday, May 18, 2020

Resume Seminar Identitas Karo dalam Perspektif Kebhinekaan

Resume Seminar Identitas Karo dalam Perspektif Kebhinekaan

418


Seminar Identitas Karo dalam Persfektif Kebinekaan. (Foto. ASARPUA.com/handover)

ASARPUA.com -Medan – Seminar Identitas Karo dalam Perspektif Kebhinekaan yang digelar atas prakarsa Karo Bukan Batak (KBB) diketuai Iwa Brahmana bekerjasama dengan S1 dan S2 Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara (FIB USU) di Raz Hotel Jalan Dr. Mansur Medan, Selasa 22/01/2019) berlangsung sukses.

Dari lima pemakalah yaitu DR Suprayetno Ketua Jurusan FIB USU, I Ketut dari Bali, Dr Dardanela, Dr Eron Damanik dan Wara Sinuhaji melahirkan beberapa poin resume bernas.

1. Ruang lingkup sosial masyarakat Karo, tidak hanya didaerah pegunungan saja, tetapi juga sampai ke pesisir/ pantai. Tanah Karo tidak hanya kabupaten Karo, tetapi juga meliputi, Aceh tenggara, Deli dan Serdang, Langkat, Binjai, Simalungun dan Kota Medan. Memiliki bahasa dan budaya khas yang berbeda dengan etnis lain yang bertetangga langsung dengan Karo.

2. Berdasarkan asal usul nama Karo, secara historis dapat dikaitkan dgn sebuah nama kerajaa Haru/ Aru. Secara tradisi lisan nama Karo diambil dari panglima perang India Selatan, ini juga diperkuat secara data arkeologis bahwa Karo selalu dikaitkan dengan kehadiran pedagang dari India Selatan. Karenanya eksistensi Karo sudah ada sejak masa pra kesultanan, masa kolonial dan pasca kolonial.

3. Etnis Karo terbentuk sendiri, dengan ruang lingkup sosial budaya sendiri, terbentuk oleh kesepemahaman masyarakatanya, akan tindakan tindakan adat istiadat serta sistem kekerabatan identitas masyarakatanya, secara wilayah maupun kekerabatan. Identitas suk Karo meliputi; Merga dimana setiap orang Karo masuk dalam Merga Silima. Bahasa Karo, memiliki khas, perkembangan dan pertumbuhan tersendiri yg berbeda dgn bahasa etnis sekitarnya. Kesenian Karo dengan segala alat musik dan juga ornamen pakaiannya yg berciri khas dan berkarakter khas, begitu juga tarian dan nyanyiannya. Serta adat istiadat Karo yang khas pemberlakuan adat dan budayanya yg diaplikasikan didalam pelaksanaan saat kelahiran, perkawinan dan kematian. Serta memiliki DNA yang dekat dengan suku Gayo.

4. Suku Karo merupakan masyarakat yang sudah melalui berbagai “gelombang” budaya, hingga kolonialisme. Sedari dulu masyarakat Karo dihadapakan dengan pilihan “primordial” mengutamakan kelompoknya sendiri, namun tidak tergoda. Ini terlihat sejak masyarakat Karo dataran rendah menganut islam, kekerabatan dengan Karo dataran tinggi tetap berjalan dengan baik, hingga masa kolonial. Bahkan suku Karo lah yang mempelopori pembubaran NST (Negara Sumatera Timur), karena bagi orang Karo, kekerabatan dalam kemajemukan itu lebih baik diharmoniskan dengan tetap saling menghormati tanpa harus mengecilkan salah satunya. Ini juga sekaligus membuktikan bahwa kedinamisan suku Karo ketika berdampingan dengan etnis2 lain dapat terjalin dengan baik.

5. Sejarah Karo, bisa ditelusuri dari ruang lingkup budaya, ekonomi, dan jg politik masa lalu, jejak arkeologi, lingusitik dan juga geneologi, memetakan bahwa Karo sangat dekat dengan etnis etnis diluar sumut seperti Simalungun, Alas dan Gayo. Kedekatan yang tdk hanya lisan, namun juga dibuktikan pada saat bekerjasama melawan kolonialisme. Sistem budaya kekerabatan Karo justru sangat menerima kebinekaan. Budaya ertutur, sangkep nggeluh dan runggu adalah budaya membangun jaringan atau koneksitas. Dan tujuan semua itu adalah untuk harmonitas atau dalam bahasa Karo disebut dengan berbagai kosa kata; erlayas, erturih, erorat, erlikas, erluhu, yang maksudnya semua mengarah kepada harmonisasi dalam berbagai hal. Oleh karenanya kebhinekaan sudah sejak dahulu kala dipraktekkan oleh masyarakat Karo. Sehingga selogan BHINEKA TUNGGAL IKA sangat bisa diterima oleh masyarakat budaya Suku Karo. Orang Karo menerima orang luar menjadi kerabat dalam pernikahan atau pengangkatan sebagai anak menjadi bagian Karo. Falsafah Karo ketika berjuang; Tuah, Sangap dan Mejuah juah. Secara pergaulan filosofinya adalah surat ukat (give and take), memberi lalu menerima.

6. Bahwa dengan mengenal serta memahami identitas dan ciri khas Karo secara lengkap dan utuh, berdasarkan kajian kajian ilmiah kesejarahan, arkeologi, linguistik, budaya dan antropologi. Maka masyarakat umum baik nasional maupun internasional, bahkan masyarakat Karo itu sendiri, akan mengerti bahwa konsep Karo, sebagai masyarakat budaya mandiri, etnis berbahasa sendiri, suku dengan sistem sosial tersendiri dan kolektifitas sendiri menunjukkan bahwa etnis Karo itu berbeda dgn etnis2 lainnya disamping beberepa kesamaan. Namun justru perbedaan itulah yang menjadikan Karo berciri dan patut dilestarikan serta dijaga heritage nya agar tidak terjajah, punah atau bahkan tergantikan dengan “jargon jargon” yang justru menyimpang dari pemahaman akan pengenalan masyarakat Suku Karo itu sendiri.

7. Semoga kesadaran generasi penerus masyarakat Karo, dapat kembali dikonstruksikan kearah yg lebih jelas dan benar. Sehingga tidak mengalami pengkaburan identitas, melemahnya rasa cinta akan pelestarian budaya Karo, yang mengakibatkan masyarakatanya justru semakin bertindak dan bersikap individualistis. Namun diharapkan, kembali seperti semangat para nenek moyang yg sudah mewariskan budaya baik pada suku Karo, tetap bekerjasama dalam membangun serta pemberdayaan masyarakat suku Karo, agar suku Karo tetap menjadi warisan dunia, yang anti rasialis namun tetap mengikuti telaah ilmiah akademis. 8. Karo adalah; adat istiadat seni dan budaya Karo. Identitasnya adalah suku Karo, bukan sub suku batak, akan tetapi suku Karo bangsa Indonesia.

Rekomendasi;
A. Walaupun kita secara perspektif flesibel menerima banyak hal, kita harus memperkuat dan mempertahankan identitas serta ciri khas kita sebagai masyarakat suku Karo agar tetap bisa mengikuti dinamika globalisasi, lestari dan ikut mewarnai kebinekaan nusantara juga menjadi warisan dunia. Sehingga diskusi2 kecil maupun pertemuan2 lanjutan yg berkaitan, perlu diadakan setelah seminar ini.

B. Agar para generasi penerus, dan juga para ilmuwan serta para pemerhati budaya memiliki referensi yg patut mengenai “Identitas Karo dalan perspektif Kebinekaan”, serta mengingat betapa antusianya masyarakat. Maka perlu dibuat sebuah buku yg mengkaji dan menulis secara holistik ttg hal itu. Untuk kemudian menjadi kepustakaan yg mampu memberi pengertian dan pemahaman semestinya terhadap masyarakat suku Karo, yang adalah bagian dari kebinekaan Nusantara. (as-01)

Sumber:

https://asarpua.com/resume-seminar-identitas-karo-dalam-persfektif-kebhinekaan/