Kajian Antropologi Batak Prof Bas
Bungaran Antonius Simanjuntak
Melihat kayanya studi antropologi Jawa, tebersit rasa cemburu dalam
hati Bungaran Antonius Simanjuntak (66). Itulah yang membuatnya tak
henti membuat kajian antropologi tanah kelahirannya, Tano Batak. Dia
juga menyemangati orang-orang muda untuk meneliti dan menulis kekayaan
budaya Batak.
Kecemburuan itu salah satunya ia tujukan kepada almarhum
Koentjaraningrat yang, menurut dia, njlimet, sangat rinci menggambarkan
Jawa dalam buku Kebudayaan Jawa. Ia juga cemburu pada banyaknya orang
Jawa yang tertarik mengkaji budayanya sendiri.
“Perampok di Jawa saja bisa menjadi kajian yang menarik,” kata Ketua
Program Studi Pascasarjana Antropologi Sosial Universitas Negeri Medan
(Unimed) yang akrab disapa sebagai Prof Bas atau Pak Bas. Kajian yang
dimaksud adalah tulisan Suhartono, Kecu, Sebuah Aspek Budaya Jawa Bawah
Tanah. Nama Prof/Pak “Bas”—singkatan dari Bungaran Antonius
Simanjuntak—adalah inisial yang ia gunakan saat menjadi redaktur harian
Sinar Indonesia Baru, Medan, tahun 1972-1978.
“Banyak publikasi Batak yang telah terbit. Namun, jarang ada
publikasi yang dibuat oleh orang Batak sendiri dalam kajian ilmiah yang
dapat dipertanggungjawabkan. Jika di Jawa ada 500 tulisan, di Batak
baru lima tulisan,” tuturnya.
Kajian-kajian tentang Batak masih dipublikasikan terbatas di kalangan
akademisi. Jarang ada penerbit yang tertarik menerbitkannya sebagai
buku. Maka, sangat sulit menemukan literatur populer tentang Batak di
toko buku.
Tesis yang ia terbitkan tahun lalu, Struktur Sosial dan Sistem
Politik Batak Toba hingga 1945, memperkaya studi tentang Batak.
Terbitnya jurnal Antropologi Sumatera Unimed juga menambah
perbendaharaan kekayaan literatur Batak.
Seperti bertengkar
Menurut Prof Bas, banyak sekali obyek kajian antropologi di Tanah
Batak yang sebenarnya bisa ditulis. Salah satunya, di mata sebagian
orang non-Batak, kalau orang Batak berbicara terkesan seperti orang yang
tengah bertengkar.
Mengutip ungkapan sosiolog Islam Ibnu Khaldun dalam teori sosialnya,
Prof Bas menjelaskan, letak geografis, jenis makanan, dan pola kerja
sehari-hari ikut memengaruhi perilaku masyarakat. Secara geografis,
Tanah Batak di Tapanuli, Sumatera Utara, terletak di kawasan pegunungan,
iklimnya sejuk, dan jarak antarrumah penduduk berjauhan. Jika tak
berteriak, orang tak akan mendengar.
Selain itu, sebagian orang Batak terbiasa minum tuak, sejenis minuman
keras yang memanaskan tubuh. Maka, pembawaan mereka pun terkesan
keras. Di dalam pekerjaan, mereka terbiasa bekerja tuntas dan bila
perlu sampai lembur.
“Ini berbeda dengan orang Jawa yang makanannya tahu dan tempe.
Kedelainya saja dirawat berbulan-bulan. Maka, pembawaan mereka halus.
Kerjanya juga alon-alon waton kelakon, tetapi tekun dan punya target,”
papar Pak Bas seraya menambahkan, ketekunan Jawa jelas berbeda dengan
kerja keras Batak.
Mengapa Pak Bas membandingkan budaya Batak dengan Jawa?
Ia memang bercita-cita membuat kajian atas dua budaya yang berbeda
itu karena sejak usia 16 tahun hingga lulus sarjana (S-1) ia tinggal di
Yogyakarta, kuliah di Universitas Gadjah Mada.
Ia bahkan pernah ikut menjalani tirakat saat Jumat Kliwon, menelusuri
tempat-tempat petilasan di lereng Gunung Merapi hingga goa-goa di
Gunung Kidul. Ia juga banyak tahu soal sekar Macapat dan gending jawa.
Kekaguman pada budaya suku lain itu membuatnya justru makin mencintai
budaya Batak.
Saat bercakap pun ia menggunakan banyak idiom Jawa. Ketika salah
seorang staf minta izin, dengan ringan dia berkata “mangga”. Dia sering
disebut “baja” alias Batak Jawa.
“Spiritual recharge saya ada di Yogya, sementara cultural recharge saya di Batak,” ungkapnya.
Dia juga dikenal keras kepada mahasiswa. Nilai tertinggi yang dia
berikan kepada mahasiswa biasanya B. Jika ada A, berarti mahasiswa itu
istimewa di matanya. Para pegawai universitas sudah biasa menemukan
dirinya berjam-jam duduk di kursi kerjanya, tekun membaca dan menulis
hingga kantor sepi.
Kepada para mahasiswa, ia menyarankan membaca banyak buku tentang
Jawa sebelum membuat kajian tentang Batak. Dengan begitu bisa
dipelajari metode yang dilakukan para antropolog Jawa dalam
menganalisis budayanya. Namun, ia juga mengkritik penyederhanaan
tentang Jawa sebagai sesuatu yang “satu”, padahal sebenarnya
berbeda-beda.
Bidang hukum
Sebagai bahan kajian, dia menyebutkan contoh, apakah orang Batak bisa
menjadi diplomat? Mengapa orang Batak lebih senang bekerja di bidang
hukum, seperti pengacara, hakim, atau jaksa? Itu demi membela kebenaran
atau karena bisa mendukung eksistensinya sebagai orang Batak?
Dalam tradisi Batak, ada tiga kata yang secara eksistensial saling
mendukung: hamoraon (kekayaan) hagabeon (keturunan), dan hasangapon
(kehormatan). Metode pencapaiannya diatur dalam struktur sosial dalihan
na tolu atau tungku dengan tiga batu, lambang struktur sosial
masyarakat Batak: hula-hula (kelompok pemberi istri), boru (kelompok
penerima istri), dan dongan sabutuha (kelompok satu marga).
Relasi unsur-unsur itu banyak menentukan kehidupan sosial orang
Batak. Sayangnya, kata Prof Bas, saat ini muncul kecenderungan konflik
internal di kalangan masyarakat Batak untuk mempertahankan kehormatan.
Kehormatan masih dipandang secara individual sehingga melahirkan budaya
destruktif. Kehormatan bersama belum sepenuhnya disadari banyak orang
Batak.
“Saat pengeboman gereja di Medan tahun 2000, perang antar-agama
hampir pecah. Perang itu tak terjadi karena struktur sosial dalihan na
tolu,” kata Prof Bas. Akan tetapi, sekarang ini banyak orang Batak
berkonflik demi memperebutkan kekayaan dan kehormatan.
Semua kajian itu ada dalam disertasi doktoral Prof Bas, salah satu
pendiri Fakultas Ilmu Sosial dan Politik di Universitas Sumatera Utara
(USU) dan Jurusan Antropologi di Fakultas Sastra USU. Disertasi berjudul
Konflik Status dan Kekuasaan Orang Batak Toba itu akan terbit tahun
ini, dilengkapi kajian-kajian konflik Batak terbaru.
Seperti yang dilakukan gurunya, Prof Dr HJM Claesen, dari Instituut
voor Culturele Anthropologie Rijks Universiteit, Leiden, dan Prof
Soedjito Sosrodiharjo SH MA di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Pak
Bas juga mengajak para murid mencintai budaya sendiri, di antaranya
juga mempelajari budaya lain yang ada di Indonesia.
Sumber : (Aufrida Wismi Warastri) Harian Kompas
http://www.silaban.net/2007/05/03/kajian-antropologi-batak-prof-bas/
No comments:
Post a Comment