Jejak Dong-Son dalam Ulos dan Kain Sumatera Lainnya
Oleh Irma Hutabarat*
Salah satu misi dan mimpi saya dalam menjalankan Miyara Sumatera
adalah konservasi kain-kain asal Sumatera. Sungguh beruntung saya
mendapatkan kesempatan berkeliling Sumatera, melihat dan mengkaji
beragam kain-kain kuno di pulau yang dahulu disebut Negeri Emas itu.
Ketika mengunjungi Kalianda di Lampung Selatan untuk menelusuri
keberadaan dan makna kain tapis kapal atau Palepai, saya
menemukan bukan hanya kelangkaan penenun kain tapis Lampung, tetapi juga
ada beragam keterkaitan budaya antara Batak dan Lampung, salah satunya
adalah bahwa dua peradaban tersebut memiliki aksara yang serupa.
Lebih dalam lagi ketika mempelajari motif-motif pada kain tapis
kapal, saya pun mulai menyadari bahwa ada kemiripan simbol-simbol pada
kain Ulos maupun Palepai. Hal ini dapat kita lihat dan kaji dari motif kain tapis kapal (Palepai) yang juga banyak memakai corak geometris seperti di Ulos.
Kini, di seantero Kalianda – asal daerah di mana kain tapis kapal
lahir – hanya terdapat satu tempat milik Ibu Yuhana yang masih
memproduksi dan menjual kain tapis dan pernak-pernik budaya khas
Kalianda lainnya. Yang paling menyedihkan adalah kenyataan bahwa tidak
ada lagi penenun Palepai atau kain kapal di Kalianda karena
penenunnya sudah punah sejak 1883 ketika Krakatau meletus. Saya langsung
berpikir bahwa sebetulnya orang Batak masih lebih beruntung karena kita
masih memiliki Partonun (penenun) yang meski sudah tua, tetapi masih berdedikasi meneruskan tradisi menenun Ulos. Seperti “the last Mohican” atau pejuang terakhir di Bona Pasogit.
Ketika kita bicara tentang Bona Pasogit, kebanyakan dari kita mengartikannya secara sempit hanya sebatas pada arti “kampung halaman,” misalnya Bona Pasogit marga Hutabarat adalah Hutabarat, Tarutung. Sebetulnya, pemahaman yang benar dalam istilah Bona Pasogit,
bukan hanya pengertian kampung halaman saja, melainkan juga segala
sesuatu yang diwariskan oleh leluhur, seperti marga, adat, budaya,
sejarah, benda-benda pusaka, dan sebagainya, termasuk Ulos-ulos yang
merupakan simbol dari jiwa Batak yang luhur.
Buku dan literatur tentang peradaban Batak dan kajian Ulos
yang saya baca sebagian besar adalah dalam bahasa Inggris dan ditulis
oleh para antropolog asing, tentu saja juga diterbitkan oleh penerbit di
luar negeri, yang banyak menaruh perhatian besar dan menempatkan Ulos
sebagai kajian yang tak kunjung habis karena keunikan, keagungan, kaya
akan makna, serta menjadi sebuah orisinalitas yang langka dan luar
biasa indahnya.
Stigma dan stereotipe yang diberikan kepada orang Batak sebagai suku
yang kasar dan temperamental sebetulnya pupus, apabila kita semua
memahami sejarah peradaban Batak dan proses bagaimana para Partonun menenun sehelai Ulos yang memerlukan kesabaran, ketekunan, dan jiwa yang halus layaknya orang yang sedang melakukan meditasi atau ibadah suci.
Sama seperti pepatah “Gunung yang terlihat indah karena jauh.” Dari Jakarta di mana saya menetap sekarang, semua yang ada di Bona Pasogit
menjadi semacam sebuat romantisme yang sangat indah dan banyak
pembelajaran tentang akar budaya di sana. Mungkin berbeda dengan
orang-orang Batak yang tinggal di Tano Batak karena hal yang sungguh
menarik bagi saya bisa jadi biasa saja di mata mereka yang hidup di
Tapanuli.
Saya merasa bahwa segala sesuatu yang berasal dari kampung halaman
saya begitu indah dan sarat makna. Sejak kecil, Papa selalu menyanyikan
lagu yang sampai saat ini tetap kuingat dan selalu kudendangkan dalam
hati “... Molo huingot rura silindung na jolo” oleh Gordon Tobing.
Sebagai pecinta kain, khususnya Ulos, sungguh sedih ketika dihadapkan pada realita bahwa ternyata tidaklah mudah mendapatkan Ulos
yang asli dengan pewarna alami di Tapanuli. Saya pikir sama sulitnya
untuk mendapatkan perhiasan Batak. Saya pernah minta tolong seorang Itoku
untuk mencari dan membeli perhiasan tradisional dari Tapanuli untukku,
namun setelah bertahun-tahun, belum tercapai juga keinginan saya itu
untuk memiliki perhiasan asli Batak. Memang ternyata lebih banyak dan
lebih mudah mendapatkannya di galeri-galeri kelas atas di Jakarta, Bali,
bahkan di luar negeri. Batinku berkata, mungkin gunung yang indah
dari kejauhan, tidak terlihat dan terasa sama keindahannya bagi
orang-orang yang tinggal di gunung sana.
Dengan membeli dan membaca banyak literatur tentang sejarah, budaya, dan kain Batak,tumbuh kecintaanku kepada Bona Pasogit
terutama ulos. Saya pun menemukan sesuatu yang penting dalam
penelusuran saya tentang sejarah dan budaya Batak, bahwa selama ini
banyak orang yang salah paham bahwa nenek moyang kita berasal dari
Cina. Ternyata yang bermigrasi ke Tano Batak bukan-lah orang Cina,
tetapi suku bangsa Austronesia yang berasal dari Siam atau sekarang
disebut Vietnam, sang empunya peradaban Dong-Son.
Banyak ahli sejarah berpendapat bahwa pendukung kebudayaan Dong-Son
adalah bangsa Austronesia yang dahulu bermukim di kawasan Siam yang
terletak disepanjang aliran sungai Merah yang berbatasan langsung
dengan Yunan, Cina Selatan. Mereka datang ke Sumatera melalui dua
gelombong. Gelombang pertama pada Zaman Batu Baru (Neolitikum) yang
diperkirakan terjadi pada 4000 tahun yang lampau. Dilanjutkan pada
gelombang kedua, datang kira-kira pada 500 tahun Sebelum Masehi, dan
mereka inilah yang menjadi nenek moyang bangsa Indonesia sekarang.
Bangsa Austronesia yang berbahasa Mongol Selatan sudah menjadi
masyarakat Agrikultur yang sebagian menetap di Filipina dan sebagian di
Indonesia bagian barat mereka yang datang pada gelombang pertama
disebut sebagai bangsa Proto Melayu (Melayu Tua), yang sekarang
berkembang menjadi suku bangsa Batak, Toraja, Nias, Mentawai, Dayak,
dan lainnya. Sedangkan mereka yang datang pada masa gelombang kedua
disebut Deutero Melayu (Melayu Muda), yang berkembang menjadi suku
bangsa Minangkabau, Jawa, Makasar, Bugis, dan suku bangsa lainnya.
Para ahli sejarah juga menemukan bahwa pada zaman pra-sejarah dari abad ke-8 hingga ke-1 SM adalah masa perunggu (Bronze Age)
sebagai bagian peradaban Dong-Son. Mereka hidup di pesisir Sungai
Merah yang membelah Cina dan Vietnam. Peradaban inilah yang banyak
mempengaruhi kebudayaan Nusantara, termasuk Batak karena Dong-Son
menjadi peradaban yang pertama kali memberikan ide pada peralatan
perunggu berupa nekara, juga drum, alat-alat pertanian, perhiasan, dan
banyak lagi. Mereka juga memperkenalkan teknologi lilin (wax)
untuk membuat beragam peralatan perunggu, yang kemudian mencetuskan
banyak teknik lokal, seperti pembuatan keris Jawa dan proses membatik
dengan lilin.
Kisah penyebaran bangsa Austronesia ribuan tahun lampau, berlanjut
ketika Cina menginvasi Siam. Dalam masa penjajahan itu, banyak tekanan
yang ditimbulkan, sehingga menyebabkan bangsa Dong-Son kemudian
melakukan migrasi panjang. Mereka melewati – dan kemungkinan juga
singgah di – Filipina terlebih dulu, hingga akhirnya sampai dan menetap
di Pulau Sumatera. Tak heran bila kita memiliki banyak kesamaan budaya
dengan Filipina, seperti bahasa Tagalog. Di Sumatera, bangsa Siam
sampai di Tano Batak, sebagian terus menjelajah ke Ranau Komering
Bengkulu hingga ke ujung pulau di Lampung. Motif-motif pada Ulos, Kain Pasemah, dan kain tapis kapal atau Palepai
menjadi bukti yang menunjukkan adanya kesamaan akar budaya. Aplikasi
motif-motif Dong-Son kemudian muncul di hampir seluruh kain-kain
Sumatera, bahkan di luar Sumatera.
Saat ini, sekitar ratusan peninggalan perunggu Dong-Son bisa
ditemukan di Indonesia, terutama di kawasan Sumatera. Tidak hanya
berbentuk nekara, tetapi ada pula produk turunannya, berupa alat
gendang, instrumen musik, dan motif pada nekara perunggu tersebut yang
dipakai pada tenunan dan ukiran yang bercorak simetris dan geometris
serupa simbol-simbol Dong-Son.
Pada zaman pra-sejarah (Sebelum Masehi), suku bangsa Batak dan
Lampung telah memintal kapas menjadi benang. Baru kemudian pada abad
ke-6 hingga ke-13 Masehi, masuk pengaruh Budha dari India dan Cina,
Sumatera memasuki era kejayaan Sriwijaya. Saat itu, Sumatera dikenal
sebagai kawasan penghasil emas, dan merupakan jalur perdagangan yang
sangat penting dalam rute Cina dan India.Sumatera menjadi pusat
pendidikan para Biksu dan sentral penyebaran agama Budha dan Sriwijaya
merupakan salah satu kerajaan terkaya yang mengekspor emas paling
banyak sepanjang sejarah dunia. Sumatera pun mulai mengenal sutra dan
benang emas sebagai dampak dari pengaruh Jalur Sutra pada masa Dinasti
Han, demikian pula teknik menenun songket yang banyak menggunakan benang
emas.
Namun, hanya Ulos-lah yang secara tradisional tidak begitu terpengaruh dengan pemakaian benang emas, sedangkan tenun Songket termasuk yang banyak terpengaruh dengan kreasi benang emasnya. Di Tarutung, kombinasi dari pengaruh Songket ini melahirkan teknik baru tambahan dalam pembuatan Ulos Ragi Idup yang lebih rumit proses tenunanya dan mendapat tempat yang paling tinggi dalam adat Batak.
Tak dapat dipungkiri bahwa sejarah peradaban Dong-Son yang memulai
abad perunggu, sangat besar pengaruhnya bagi peradaban dan budaya Batak
sejak berabad-abad lalu. Migrasi besar-besaran Bangsa Austronesia dari
Siam tersebut menyebabkan inkulturasi Dong-Son yang kemudian melebur dan
disesuaikan dengan kondisi dan masyarakat Batak sehingga melahirkan
peradaban baru yang unik, sarat makna, indah, dan hanya ada
satu-satunya di dunia.
Motif pada perunggu Dong-Son bukan hanya menjadi cikal-bakal kehadiran motif-motif Ulos di Tapanuli, tetapi juga menjadi aplikasi pada banyak ukiran Batak, seperti Gorga dan kayu pada Gondang atau Uning-uningan, Naga Marsarang (tempat obat radisional terbuat dari tanduk kerbau dan kayu yang di ukir) dan beragam benda seni dan budaya Batak lainnya.
Meskipun, Ulos masih ada dalam kehidupan dan keseharian
orang Batak, sayangnya, tidak banyak orang Batak yang paham asal-usul
serta sejarahnya. Saya berfikir alangkah baiknya bila sekolah-sekolah
di Tapanuli dapat mengajarkan sejarah, peradaban, dan kebudayaan Batak
sejak dini seperti yang telah dilakukan oleh Cina dan sekolah-sekolah
di Jawa.
Tak kenal maka tak sayang, dengan mengenal dan memahami sejarah dan makna serta keagungan Ulos maka pemahaman dan apresiasi terhadap Bona Pasogit
dapat ditingkatkan, sehingga kelak, konservasi budaya Batak bisa
mendapat tempat yang lebih baik di Tano Batak maupun di hati
orang-orang Batak sebagai pemilik dan pelestari warisan yang agung.
*Irma Hutabarat adalah pendiri dan ketua Miyara Sumatera Foundation.
Tulisan ini telah disampaikan pada seminar Ulos Vaganza di ITB,
Bandung pada 8 November 2011 dan diterbitkan dalam Harian Sinar
Indonesia Baru edisi Minggu, 13 November 2011.
Sumber Tulisan:
Gittinger, Mattiebelle (1990) Splendid Symbols: Textiles and Tradition in Indonesia. Oxford, New York: Oxford University Press.
Holmgren, Robert J. dan Spertus, Anita E. (1989) Early Indonesian Textiles. New York: The Metropolitan Museum of Art.
Niessen, Sandra A. (1993) Batak Cloth and Clothing: A Dynamic Indonesian Tradition. Oxford, New York: Oxford University Press.
Sarumpaet, J.A. (1995) Kamus Batak-Indonesia. Jakarta: Erlangga.
Sibeth, Achim (1991) The Batak: Peoples of the Island of Sumatra. London: Thames and Hudson.
http://www.miyarasumatera.org/index.php?option=com_content&view=article&id=67:jejak-dong-son-dalam-ulos-dan-kain-sumatera-lainnya&catid=29:news&Itemid=18
ya
Oleh Irma Hutabarat*
Salah satu misi dan mimpi saya dalam menjalankan Miyara Sumatera
adalah konservasi kain-kain asal Sumatera. Sungguh beruntung saya
mendapatkan kesempatan berkeliling Sumatera, melihat dan mengkaji
beragam kain-kain kuno di pulau yang dahulu disebut Negeri Emas itu.
Ketika mengunjungi Kalianda di Lampung Selatan untuk menelusuri
keberadaan dan makna kain tapis kapal atau Palepai, saya
menemukan bukan hanya kelangkaan penenun kain tapis Lampung, tetapi juga
ada beragam keterkaitan budaya antara Batak dan Lampung, salah satunya
adalah bahwa dua peradaban tersebut memiliki aksara yang serupa.
Lebih dalam lagi ketika mempelajari motif-motif pada kain tapis
kapal, saya pun mulai menyadari bahwa ada kemiripan simbol-simbol pada
kain Ulos maupun Palepai. Hal ini dapat kita lihat dan kaji dari motif kain tapis kapal (Palepai) yang juga banyak memakai corak geometris seperti di Ulos.
Kini, di seantero Kalianda – asal daerah di mana kain tapis kapal
lahir – hanya terdapat satu tempat milik Ibu Yuhana yang masih
memproduksi dan menjual kain tapis dan pernak-pernik budaya khas
Kalianda lainnya. Yang paling menyedihkan adalah kenyataan bahwa tidak
ada lagi penenun Palepai atau kain kapal di Kalianda karena
penenunnya sudah punah sejak 1883 ketika Krakatau meletus. Saya langsung
berpikir bahwa sebetulnya orang Batak masih lebih beruntung karena kita
masih memiliki Partonun (penenun) yang meski sudah tua, tetapi masih berdedikasi meneruskan tradisi menenun Ulos. Seperti “the last Mohican” atau pejuang terakhir di Bona Pasogit.
Ketika kita bicara tentang Bona Pasogit, kebanyakan dari kita mengartikannya secara sempit hanya sebatas pada arti “kampung halaman,” misalnya Bona Pasogit marga Hutabarat adalah Hutabarat, Tarutung. Sebetulnya, pemahaman yang benar dalam istilah Bona Pasogit,
bukan hanya pengertian kampung halaman saja, melainkan juga segala
sesuatu yang diwariskan oleh leluhur, seperti marga, adat, budaya,
sejarah, benda-benda pusaka, dan sebagainya, termasuk Ulos-ulos yang
merupakan simbol dari jiwa Batak yang luhur.
Buku dan literatur tentang peradaban Batak dan kajian Ulos
yang saya baca sebagian besar adalah dalam bahasa Inggris dan ditulis
oleh para antropolog asing, tentu saja juga diterbitkan oleh penerbit di
luar negeri, yang banyak menaruh perhatian besar dan menempatkan Ulos
sebagai kajian yang tak kunjung habis karena keunikan, keagungan, kaya
akan makna, serta menjadi sebuah orisinalitas yang langka dan luar
biasa indahnya.
Stigma dan stereotipe yang diberikan kepada orang Batak sebagai suku
yang kasar dan temperamental sebetulnya pupus, apabila kita semua
memahami sejarah peradaban Batak dan proses bagaimana para Partonun menenun sehelai Ulos yang memerlukan kesabaran, ketekunan, dan jiwa yang halus layaknya orang yang sedang melakukan meditasi atau ibadah suci.
Sama seperti pepatah “Gunung yang terlihat indah karena jauh.” Dari Jakarta di mana saya menetap sekarang, semua yang ada di Bona Pasogit
menjadi semacam sebuat romantisme yang sangat indah dan banyak
pembelajaran tentang akar budaya di sana. Mungkin berbeda dengan
orang-orang Batak yang tinggal di Tano Batak karena hal yang sungguh
menarik bagi saya bisa jadi biasa saja di mata mereka yang hidup di
Tapanuli.
Saya merasa bahwa segala sesuatu yang berasal dari kampung halaman
saya begitu indah dan sarat makna. Sejak kecil, Papa selalu menyanyikan
lagu yang sampai saat ini tetap kuingat dan selalu kudendangkan dalam
hati “... Molo huingot rura silindung na jolo” oleh Gordon Tobing.
Sebagai pecinta kain, khususnya Ulos, sungguh sedih ketika dihadapkan pada realita bahwa ternyata tidaklah mudah mendapatkan Ulos
yang asli dengan pewarna alami di Tapanuli. Saya pikir sama sulitnya
untuk mendapatkan perhiasan Batak. Saya pernah minta tolong seorang Itoku
untuk mencari dan membeli perhiasan tradisional dari Tapanuli untukku,
namun setelah bertahun-tahun, belum tercapai juga keinginan saya itu
untuk memiliki perhiasan asli Batak. Memang ternyata lebih banyak dan
lebih mudah mendapatkannya di galeri-galeri kelas atas di Jakarta, Bali,
bahkan di luar negeri. Batinku berkata, mungkin gunung yang indah
dari kejauhan, tidak terlihat dan terasa sama keindahannya bagi
orang-orang yang tinggal di gunung sana.
Dengan membeli dan membaca banyak literatur tentang sejarah, budaya, dan kain Batak,tumbuh kecintaanku kepada Bona Pasogit
terutama ulos. Saya pun menemukan sesuatu yang penting dalam
penelusuran saya tentang sejarah dan budaya Batak, bahwa selama ini
banyak orang yang salah paham bahwa nenek moyang kita berasal dari
Cina. Ternyata yang bermigrasi ke Tano Batak bukan-lah orang Cina,
tetapi suku bangsa Austronesia yang berasal dari Siam atau sekarang
disebut Vietnam, sang empunya peradaban Dong-Son.
Banyak ahli sejarah berpendapat bahwa pendukung kebudayaan Dong-Son
adalah bangsa Austronesia yang dahulu bermukim di kawasan Siam yang
terletak disepanjang aliran sungai Merah yang berbatasan langsung
dengan Yunan, Cina Selatan. Mereka datang ke Sumatera melalui dua
gelombong. Gelombang pertama pada Zaman Batu Baru (Neolitikum) yang
diperkirakan terjadi pada 4000 tahun yang lampau. Dilanjutkan pada
gelombang kedua, datang kira-kira pada 500 tahun Sebelum Masehi, dan
mereka inilah yang menjadi nenek moyang bangsa Indonesia sekarang.
Bangsa Austronesia yang berbahasa Mongol Selatan sudah menjadi
masyarakat Agrikultur yang sebagian menetap di Filipina dan sebagian di
Indonesia bagian barat mereka yang datang pada gelombang pertama
disebut sebagai bangsa Proto Melayu (Melayu Tua), yang sekarang
berkembang menjadi suku bangsa Batak, Toraja, Nias, Mentawai, Dayak,
dan lainnya. Sedangkan mereka yang datang pada masa gelombang kedua
disebut Deutero Melayu (Melayu Muda), yang berkembang menjadi suku
bangsa Minangkabau, Jawa, Makasar, Bugis, dan suku bangsa lainnya.
Para ahli sejarah juga menemukan bahwa pada zaman pra-sejarah dari abad ke-8 hingga ke-1 SM adalah masa perunggu (Bronze Age)
sebagai bagian peradaban Dong-Son. Mereka hidup di pesisir Sungai
Merah yang membelah Cina dan Vietnam. Peradaban inilah yang banyak
mempengaruhi kebudayaan Nusantara, termasuk Batak karena Dong-Son
menjadi peradaban yang pertama kali memberikan ide pada peralatan
perunggu berupa nekara, juga drum, alat-alat pertanian, perhiasan, dan
banyak lagi. Mereka juga memperkenalkan teknologi lilin (wax)
untuk membuat beragam peralatan perunggu, yang kemudian mencetuskan
banyak teknik lokal, seperti pembuatan keris Jawa dan proses membatik
dengan lilin.
Kisah penyebaran bangsa Austronesia ribuan tahun lampau, berlanjut
ketika Cina menginvasi Siam. Dalam masa penjajahan itu, banyak tekanan
yang ditimbulkan, sehingga menyebabkan bangsa Dong-Son kemudian
melakukan migrasi panjang. Mereka melewati – dan kemungkinan juga
singgah di – Filipina terlebih dulu, hingga akhirnya sampai dan menetap
di Pulau Sumatera. Tak heran bila kita memiliki banyak kesamaan budaya
dengan Filipina, seperti bahasa Tagalog. Di Sumatera, bangsa Siam
sampai di Tano Batak, sebagian terus menjelajah ke Ranau Komering
Bengkulu hingga ke ujung pulau di Lampung. Motif-motif pada Ulos, Kain Pasemah, dan kain tapis kapal atau Palepai
menjadi bukti yang menunjukkan adanya kesamaan akar budaya. Aplikasi
motif-motif Dong-Son kemudian muncul di hampir seluruh kain-kain
Sumatera, bahkan di luar Sumatera.
Saat ini, sekitar ratusan peninggalan perunggu Dong-Son bisa
ditemukan di Indonesia, terutama di kawasan Sumatera. Tidak hanya
berbentuk nekara, tetapi ada pula produk turunannya, berupa alat
gendang, instrumen musik, dan motif pada nekara perunggu tersebut yang
dipakai pada tenunan dan ukiran yang bercorak simetris dan geometris
serupa simbol-simbol Dong-Son.
Pada zaman pra-sejarah (Sebelum Masehi), suku bangsa Batak dan
Lampung telah memintal kapas menjadi benang. Baru kemudian pada abad
ke-6 hingga ke-13 Masehi, masuk pengaruh Budha dari India dan Cina,
Sumatera memasuki era kejayaan Sriwijaya. Saat itu, Sumatera dikenal
sebagai kawasan penghasil emas, dan merupakan jalur perdagangan yang
sangat penting dalam rute Cina dan India.Sumatera menjadi pusat
pendidikan para Biksu dan sentral penyebaran agama Budha dan Sriwijaya
merupakan salah satu kerajaan terkaya yang mengekspor emas paling
banyak sepanjang sejarah dunia. Sumatera pun mulai mengenal sutra dan
benang emas sebagai dampak dari pengaruh Jalur Sutra pada masa Dinasti
Han, demikian pula teknik menenun songket yang banyak menggunakan benang
emas.
Namun, hanya Ulos-lah yang secara tradisional tidak begitu terpengaruh dengan pemakaian benang emas, sedangkan tenun Songket termasuk yang banyak terpengaruh dengan kreasi benang emasnya. Di Tarutung, kombinasi dari pengaruh Songket ini melahirkan teknik baru tambahan dalam pembuatan Ulos Ragi Idup yang lebih rumit proses tenunanya dan mendapat tempat yang paling tinggi dalam adat Batak.
Tak dapat dipungkiri bahwa sejarah peradaban Dong-Son yang memulai
abad perunggu, sangat besar pengaruhnya bagi peradaban dan budaya Batak
sejak berabad-abad lalu. Migrasi besar-besaran Bangsa Austronesia dari
Siam tersebut menyebabkan inkulturasi Dong-Son yang kemudian melebur dan
disesuaikan dengan kondisi dan masyarakat Batak sehingga melahirkan
peradaban baru yang unik, sarat makna, indah, dan hanya ada
satu-satunya di dunia.
Motif pada perunggu Dong-Son bukan hanya menjadi cikal-bakal kehadiran motif-motif Ulos di Tapanuli, tetapi juga menjadi aplikasi pada banyak ukiran Batak, seperti Gorga dan kayu pada Gondang atau Uning-uningan, Naga Marsarang (tempat obat radisional terbuat dari tanduk kerbau dan kayu yang di ukir) dan beragam benda seni dan budaya Batak lainnya.
Meskipun, Ulos masih ada dalam kehidupan dan keseharian
orang Batak, sayangnya, tidak banyak orang Batak yang paham asal-usul
serta sejarahnya. Saya berfikir alangkah baiknya bila sekolah-sekolah
di Tapanuli dapat mengajarkan sejarah, peradaban, dan kebudayaan Batak
sejak dini seperti yang telah dilakukan oleh Cina dan sekolah-sekolah
di Jawa.
Tak kenal maka tak sayang, dengan mengenal dan memahami sejarah dan makna serta keagungan Ulos maka pemahaman dan apresiasi terhadap Bona Pasogit
dapat ditingkatkan, sehingga kelak, konservasi budaya Batak bisa
mendapat tempat yang lebih baik di Tano Batak maupun di hati
orang-orang Batak sebagai pemilik dan pelestari warisan yang agung.
*Irma Hutabarat adalah pendiri dan ketua Miyara Sumatera Foundation.
Tulisan ini telah disampaikan pada seminar Ulos Vaganza di ITB,
Bandung pada 8 November 2011 dan diterbitkan dalam Harian Sinar
Indonesia Baru edisi Minggu, 13 November 2011.
Sumber Tulisan:
Gittinger, Mattiebelle (1990) Splendid Symbols: Textiles and Tradition in Indonesia. Oxford, New York: Oxford University Press.
Holmgren, Robert J. dan Spertus, Anita E. (1989) Early Indonesian Textiles. New York: The Metropolitan Museum of Art.
Niessen, Sandra A. (1993) Batak Cloth and Clothing: A Dynamic Indonesian Tradition. Oxford, New York: Oxford University Press.
Sarumpaet, J.A. (1995) Kamus Batak-Indonesia. Jakarta: Erlangga.
Sibeth, Achim (1991) The Batak: Peoples of the Island of Sumatra. London: Thames and Hudson.
http://www.miyarasumatera.org/index.php?option=com_content&view=article&id=67:jejak-dong-son-dalam-ulos-dan-kain-sumatera-lainnya&catid=29:news&Itemid=18
No comments:
Post a Comment