Sunday, April 22, 2012

Buku "GREGET TUANKU RAO" dan Kontroversi Tuanku Tambusai

Buku "GREGET TUANKU RAO" dan Kontroversi Tuanku Tambusai
Ditulis ulang : Muhammad Ilham
Kompas
(Kamis, 16/10/2008) memberitakan hasil diskusi tentang versi Bahasa

Indonesia terbitan kedua (yang pertama 1992 oleh INIS) buku Christine
Dobbin yang sudah cukup klasik: Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam dan Perang Padri (Jakarta
: Komunitas Bambu, 2008). Buku
itu juga didiskusikan lagi di Padang tanggal 18 Oktober ini. Diskusi
buku itu adalah semacam kelanjutan dari polemik tentang Perang Paderi
(1803-1837) yang telah berlangsung sejak tahun lalu. Salah seorang
penggagas polemik itu adalah Basyral Hamidi Harahap (BHH), penulis buku
Greget Tuanku Rao (Jakarta: Komunitas Bambu,
September 2007). Dalam buku itu penulisnya antara lain mengeritik
Tuanku Tambusai (1784-1882), Pahlawan Nasional pertama asal Riau
berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 071/TK/Tahun 1995.

Polemik
mengenai Perang Paderi yang mencuat lagi, dengan BHH sebagai salah
seorang motor penggeraknya yang utama, pada awalnya dipicu oleh
republikasi buku M.O. Parlindungan, Pongkinangolngolan Sinamabela gelar Tuanku Rao: Teror Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak, 1816-1833 (Yogyakarta:
LKiS, 2006) yang edisi pertamanya (1964) telah dikritisi Hamka (1974).
Bersamaan dengan itu muncul pula petisi yang menggugat gelar
kepahlawanan Tuanku Imam Bonjol yang dituduh melanggar HAM karena
pasukan Paderi menginvasi Tanah Batak (1816-1833) yang menewaskan
“jutaan” orang di daerah itu (lihat: http://www.petitiononline.com/bonjol/petition.html). Kini tampaknya polemik itu maju selangkah lagi: judul laporan dalam Kompas
tanggal 16 Oktober 2008 itu cukup kontroversial: “Korban Perang Paderi
Minta Pelurusan Sejarah”. Dengan demikian, tersurat klaim dari anak
cucu korban perang yang terjadi hampir duaratus tahun yang lalu itu
bahwa sejarah Perang Paderi yang sudah diketahui umum selama ini “belum
lurus” untuk tidak mengatakan tidak benar.

Tulisan singkat ini mengulas sedikit pandangan BHH dalam Greget Tuanku Rao
(GTR) mengenai kepahlawanan Tuanku Tambusai, yang dapat ditarik benang
merahnya dengan diskusi yang berlangsung di Medan seperti yang
diberitakan Kompas itu. Walaupun isi buku ini ‘menjalar’ ke
sana-sini, kurang terarah, dan lemah dari segi teori dan metodologi,
tapi isinya yang memang penuh greget itu jelas berfokus kepada kritik
terhadap kekejaman dan kebrutalan Kaum Paderi ketika mereka melakukan
invasi ke Tanah Batak. Invasi itu telah ikut menyengsarakan nenek
moyang BHH sendiri. Dalam GTR BHH mempertanyakan patriotisme dan
kepahlawanan Tuanku Tambusai dan Tuanku Imam Bonjol (hlm.106-7). Tak
dapat dimungkiri bahwa Perang Paderi telah meninggalkan kenangan heroik
sekaligus traumatis kepada masyarakat di tiga daerah: Sumatera Barat,
Sumatera Utara (Tapanuli dan sekitarnya), dan Riau (Rokan dan
sekitarnya). Selama sekitar 20 tahun pertama perang itu (1803-1821)
praktis yang saling berbunuhan adalah sesama orang Minangkabau dan
saudara-saudaranya dari Tanah Batak. Mulai bulan April 1821 Kompeni
melibatkan diri dalam perang itu karena “diundang” kaum Adat.
Selanjutnya perang itu adalah perlawanan mengusir penjajah Belanda.
Kepahlawanan Tuanku Tambusai lebih dihubungkan dengan episode akhir
Perang Paderi. Setelah Benteng Bonjol jatuh pada 17 Agustus 1837 (lihat
Teitler 2004), medan perang beralih ke daerah Rokan Hulu dan sekitarnya
dengan pusatnya di Benteng Dalu-dalu. Tuanku Tambusai, rekan
seperjuangan Tuanku Imam Bonjol, ternyata tidak mau menyerah kepada
Belanda. Ini menandakan bahwa sistem organisasi Gerakan Paderi bukan mengenal hirarki kepemimpinan dan rantai komando.

Belakangan
muncul kontroversi mengenai kepahlawanan Tuanku Tambusai setelah BHH
menulis dalam GTR bahwa dalam mengembangkan ajaran Wahabi di daerah
Rokan dan Mandailing dan sekitarnya, panglima Paderi itu bersama para
pengikutnya telah membunuhi banyak orang, tak terkecuali para pengikut
Datu Bange dari Simanabun. Datu Bange adalah salah seorang kepala suku
di Mandailing yang gigih melawan Tuanku Tambusai (GTR, hlm. 54-76). BHH
menilai Tuanku Tambusai dan Tuanku Imam Bonjol tidak patriotis. Orang
yang tidak patriotis tentu tidak pantas menjadi pahlawan nasional.
Menurutnya, Tuanku Imam Bonjol mengatur sendiri penyerahan dirinya
kepada Belanda (ini berdasarkan tafsirannya terhadap Naskah Tuanku Imam Bonjol
[lihat Sjafnir Aboe Nain, 2004]). Tuanku Tambusai yang melarikan diri
ke Malaysia, meninggalkan para pengikutnya, karena takut ditawan atau
dibunuh Belanda, juga dianggap pengecut.


Kita
bertanya di manakah jiwa kepahlawanan seorang yang telah banyak
membunuh, menculik kaum perempuan untuk dijual sebagai budak atau
dijadikan gundik di kalangan bangsa sendiri?
[...] Apakah seorang yang [...] tidak [mampu] mempertahankan tanah tumpah darah sampai titik darah penghabisan [...] dan menginjak-injak harkat dan martabat bangsa sendiri pantas menjadi pahlawan? [...] Seorang patriot sejati, sekalipun terpojok pastilah tetap berjuang mempertahankan bumi persada sampai titik darah penghabisan“, tulis BHH dalam GTR (hlm.106).
BHH
adalah salah seorang keturunan Datu Bange. Faktor genealogi inilah yang
melatari kritiknya yang penuh emosi (yang mewakili kaumnya) terhadap
Tuanku Tambusai dalam GTR. “
Pertanyaan ini diajukan oleh orang yang
leluhurnya adalah korban kekejaman Tuanku Tambusai, ialah Datu Bange,
Raja Hurlang, Bandaro dan seluruh kerabat dan rakyat Simanabun
“, tulisnya dalam GTR (hlm. 107). Kalimat-kalimat subjektif dan emotif seperti itu segera menghilangkan kesan ilmiah GTR.
Setidaknya ada dua hal penting yang dapat disimak dari polemik ini: pertama, soal pengaruh etnisitas dalam penulisan sejarah (di) Indonesia; kedua,
munculnya kritik terhadap prosedur dan mekanisme pencalonan dan
pengangkatan seseorang menjadi pahlawan nasional. Narasi “buku sejarah”
GTR merefleksikan perasaan kedaerahan (regionalisme) yang kuat, karena
itu menimbulkan bias yang kentara. Ini sulitnya — tapi bukan tidak bisa
dihindari — menjadi seorang yang menulis sejarah satu daerah sekaligus
menjadi warga etnis daerah itu sendiri. Inilah dilema BHH yang orang
Mandailing dan juga menulis sejarah tentang Mandailing. Tentu saja
sejarawan yang mendalami ilmu dan metode penelitian sejarah tidak akan
terpeleset ke dalam subjektifisme seperti dalam penulisan GTR. Memang
tak mungkin menggunakan otak semata-mata dalam penulisan sejarah. Akan
tetapi kesadaran penuh atas konvensi ilmiah ilmu sejarah akan mencegah
seseorang jatuh ke dalam subjektifisme tanpa ambang batas dalam menulis
buku sejarah.

Penulis
GTR agak cuai terhadap konteks sosio-historis daerah Mandailing pada
paruh pertama abad ke-19. Peran Belanda, rivalitas dan sentimen antar
suku, pengaruh Aceh, penghijrahan orang Minangkabau yang sudah begitu
lama terjadi di sepanjang pantai barat Sumatera (lihat misalnya kisah
Nakhoda Muda [Drewes, 1961] dan biografi Muhammad Saleh Dt. Rangkayo
Basa, 1965) dan suku pendatang lainnya di kawasan itu agak luput dari
perhatian BHH. Sangat mungkin bahwa penerimaan dan penolakan ajaran
yang dibawa Tuanku Tambusai di daerah Mandailing dan sekitarnya ikut
dipengaruhi faktor-faktor tersebut di atas. Gerth van Wijk dalam
pengantarnya terhadap Kaba Puti Balukih (Hikayat Putri Balkis) (1881) mengatakan bahwa Kaum Paderi juga berusaha mengganti sastra pagan
seperti cerita mambang, peri, dan dewa-dewa dengan sastra yang
bernuansa Islami. Bukan tidak mungkin faktor ini ikut menentukan
pertikaian keras antara Tuanku Tambusai yang menganut Islam puritan
dengan marga Babiat yang dipimpin Datu Bange yang menyembah totem
harimau (hlm.13-48).

Sebaliknya,
pengusulan Tuanku Tambusai menjadi pahlawan nasional juga sarat dengan
kebanggan regionalisme. Pemrakarsa utamanya adalah anak keturunan
Tuanku Tambusai sendiri. Salah satu di antara pemrakarsa utama adalah H
Saleh Djasit, SH seorang anak keturunan Tambusai yang pernah menjadi
Bupati Kabupaten Kampar. (http://www.riaumandiri.co.id/berita/380).
Mereka menekankan nilai perjuangan Tuanku Tambusai yang bertahun-tahun
memerangi kolonialis Belanda (1830-1839) dan tidak pernah menyerah dan
tidak mau berdamai dengan Belanda (lihat: Ekmal Rusdy, Riau Pos,
30-11-2007). Sama halnya dengan cara penulisan buku “sejarah” GTR yang
sangat subjektif itu, kontroversi kepahlawanan Tuanku Tambusai memberi
pelajaran kepada kita bahwa di masa datang perlu studi sejarah yang
lebih komprehensif terhadap seseorang yang akan diajukan sebagai
pahlawan nasional, yang melibatkan tokoh akademis yang kredibel dan
lintasetnis. Satu hal yang perlu dicatat dari polemik ini adalah bahwa
rupanya wacana “pelurusan sejarah” sekarang meluber kemana-mana. Pada
mulanya wacana itu hanya menyangkut “pelurusan sejarah” Revolusi 1965.
Sekarang wacana itu melebar ke sejarah lokal seperti Perang Paderi.
Pada level ini sebenarnya hubungan etnisitas ikut dipertaruhkan. Bangsa
ini masih kuat tradisi lisannya. Isu apapun potensial ditelan
mentah-mentah atau dijadikan komoditi politik oleh pihak-pihak
tertentu. Mudah-mudahan polemik “pelurusan sejarah Perang Paderi” tidak
membuat keruh hubungan antaretnis di negara multietnis ini.

(c) Suryadi, Dosen dan Peneliti pada Opleding Talen en Culturen van Indonesiƫ, Faculteit der Letteren Universiteit Leiden, Belanda

Diposkan oleh

IFA dan MALIKA ILHAM



Sumber:

http://ulama-minang.blogspot.com/2010/08/buku-greget-tuanku-rao.html

No comments:

Post a Comment