Saturday, April 21, 2012

Bebatuan yang Berkisah

Ekspedisi Cincin Api
Bebatuan yang Berkisah
Oleh Ahmad Arif, Amir Sodikin, Indira Permanasari & Mohammad Hilmi Faiq
Rabu, 12 Oktober 2011 | 12:03 WIB

Saat Toba meletus, spesies homo sapiens yang menjadi nenek moyang manusia modern nyaris punah. Migrasi terhenti dan mereka terisolasi di suatu tempat di Afrika.

KOMPAS - Tanah putih nan rapuh tersusun berlapis hingga dua meter. Beberapa lembar daun tercetak di dalamnya. Berserak di pinggir jalan Simbolon-Pangururan di Pulau Samosir, lapisan  itu sesungguhnya endapan ganggang dan fosil dedaunan yang berumur puluhan ribu tahun. Fosil yang menjadi bukti penting denyut magma di bawah Danau Toba.

Bagi warga sekitar, fosil daun dan ganggang yang berada 38 meter dari permukaan air danau itu hanyalah gundukan, yang sering dikira sebagai batuan kapur biasa. "Saya tidak pernah tahu kalau itu fosil ganggang," kata Astri Sinurat (25), warga Pangururan.

Namun, bagi para ahli geologi lapisan tanah itu adalah subyek amatan sangat penting untuk memahami dinamika gunung api raksasa (supervolcano) yang bersemayam di bawah Danau Toba (baca:Kaldera Toba). Tak hanya di Simbolon-Pangururan, fosil ganggang juga ditemui nyaris di seluruh lapisan tanah di Samosir.

"Fosil ganggang menguatkan bukti-bukti tentang pengangkatan Pulau Samosir dari dasar danau," kata Indyo Pratomo, geolog dari Museum Geologi Indonesia, yang menyingkap lapisan ganggang dan fosil itu, Juli 2011.

Keberadaan fosil ini ibarat jejak yang dipahatkan alam di masa silam bahwa permukaan tanah di Pulau Samosir itu dulunya pernah terendam air, karena ganggang hanya bisa hidup di dalam air. Selama puluhan ribu tahun, dasar danau yang berkedalaman hingga 500 meter itu perlahan naik hingga membentuk Pulau Samosir di atas Pulau Sumatera.

Pengangkatan itu, menurut Indyo, terjadi pascaletusan terakhir Gunung Toba (Youngest Toba Tuff/YTT) sekitar 74.000 tahun lalu. Sebelum itu Toba juga pernah meletus sekitar 501.000 tahun lalu (Middle Toba Tuff, MTT) dan sekitar 840.000 tahun lalu (Oldest Toba Tuff, OTT). CA Chesner, geolog dari Eastern Illinois University dan WI Rose, geolog dari Michigan Technology University pada 1991, yang meneliti usia rempah vulkanik di sekitar Toba melalui radioaktif Argon-argon (40Ar/39Ar) menemukan, material bebatuan Samosir berusia sekitar 74.000 tahun lalu, atau seusia letusan YTT.
Setelah meletus hebat, Kaldera Toba tertutup bebatuan beku. Air kemudian mengisi kaldera hingga membentuk danau. Ganggang mulai hidup di dalam danau itu. Di tepiannya, semak dan pepohonan tumbuh menghijau. Beberapa daunnya luruh dan terendapkan di antara lebatnya ganggang di dalam air.

Sebagaimana kehidupan baru yang mulai tumbuh di dalam danau, magma nun jauh di bawah bumi terus menggeliat, mencari jalan keluar ke permukaan bumi. Dapur magma yang sebelumnya terkuras saat letusan YTT, kembali terisi. Magma itu kemudian mendesak bebatuan penyumbatnya ke atas.
Perlahan, sebagian dasar kaldera itu pun terangkat naik mengikuti gaya dorong magma di bawahnya. Dasar danau di bagian tengah yang semula terendam mulai muncul ke permukaan mencipta daratan baru. Ganggang dan dedaunan yang terendapkan di dasar danau juga turut terangkat naik. "Butuh penelitian lanjutan untuk mengetahui apakah proses pengangkatan itu masih terjadi sampai sekarang. Sejauh ini belum ada yang menelitinya," kata Indyo.

Sedemikian kuatkah dorongan magma Toba sehingga mampu mengangkat dasar danau sedalam ratusan meter hingga membentuk pulau?

CA Chesner, geolog dari Eastern Illiois University, menyebutkan, saat meletus pada 74.000 tahun lalu, Toba melontarkan 2.800 kilometer kubik magma, Inilah letusan berskala 8 dalam Volcano Explosivity Index (VEI), terkuat dalam 2 juta tahun terakhir.

Luncuran awan panas letusan YTT mencapai area seluas 20.000 km2. Awan panas itu menimbun nyaris seluruh daratan Sumatera mulai dari Samudera Hindia di sebelah barat hingga Selat Malaka di sebelah timur dengan ketebalan material rata-rata 100 m dan di beberapa area mencapai 400 meter.

Jejak letusan
Indyo menghadirkan narasi tentang letusan raksasa Toba itu, melalui jejak bebatuan yang berserak di sekitar Danau Toba. Salah satunya melalui bebatuan di pinggir jalan Kabanjahe-Doloksanggul, sekitar 30 km dari tepi Danau Toba.

Sekalipun bagi mata awam, tebing yang terkelupas karena penambangan itu barangkali hanyalah tanah biasa, namun di mata Indyo, itu adalah bukti-bukti nyata pernah terjadinya letusan raksasa.
Bersama Indyo pada pertengahan Juli 2011 itu, kami menyusuri jejak perjalanan geolog Belanda, Van Bemmelen (1939) yang untuk pertama kali menemukan limpahan material vulkanik yang menutupi seluruh kawasan sekitar Danau Toba. Bemmelen adalah orang yang pertama kali menyimpulkan bahwa danau ini terbentuk dari letusan gunung api.

"Tinggi tebing yang tersusun dari batu apung di kawasan ini bisa mencapai lebih dari 50 meter. Tak adanya pelapisan, menunjukkan material ini dilontarkan seketika saat letusan. Padahal ini belum dasarnya," Indyo menggambarkan kedahsyatan letusan itu.

Letusan itu membentuk awan panas, lalu runtuh dan menimbun kawasan sekitarnya. Kedalaman timbunan awan panas di sekitar Danau Toba, diperkirakan mencapai lebih dari 100 meter. Kombinasi kegiatan volkano-tektonik di kawasan Toba, menurut Indyo, juga memicu terjadinya runtuhan dan pengangkatan lapisan bumi, yang mengakibatkan tersingkapnya batuan dasar dari periode permo-karbon, yaitu sekitar 300 juta tahun yang lalu.

"Kami menyebut bebatuan itu formasi bahorok, karena batu yang sama ditemukan di kawasan Bahorok. Asalnya sebenarnya dari Gondwana, benua raksasa di masa lalu yang berada di belahan bumi selatan," kata Indyo.

Benua raksasa ini terpecah dan mengapung saat mencairnya zaman es dan terbawa hingga ke Sumatera. Batuan itu berwarna hitam, berbentuk pipih, dan berlapis-lapis, dengan noda-noda berwarna kuning. "Batuan ini juga sering disebut sebagai batu sabak yang dipakai untuk buku tulis di masa lalu. Bentuknya pipih dan warnanya hitam. Batu sejenis bisa ditemukan di sekitar Pegunungan Himalaya," kata Indyo.

Letusan Toba, menurut Indyo, sangat kuat dan unik. "Di gunung-gunung lain tak pernah dilihat batuan dasar yang terbongkar akibat letusan. Bahkan letusan Gunung Tambora, yang terkuat di dunia modern, tak pernah ditemukan batuan dasarnya," katanya.

Supervolcano Toba memang gunung super, yang letusannya berdampak global, bahkan dipercaya telah mengubah perjalanan manusia modern (Homo sapiens).  Saat Toba meletus, spesies homo sapiens yang menjadi nenek moyang manusia modern nyaris punah. Migrasi terhenti dan mereka terisolasi di suatu tempat di Afrika, seperti yang terekam dalam kemiripan genetika manusia modern di seluruh penjuru dunia.

Inilah periode population bottlenecks yang mengundang tanda tanya para ahli selama puluhan tahun, yang belakangan sering dihubungkan dengan letusan Gunung Toba. Dengan riwayat yang sedemikian hebat ini, sebagian besar masyarakat di nusantara mengenal Danau Toba lebih karena keindahannya semata dan kekayaan budaya masyarakat yang mendiaminya.

Para pemangku kepentingan, pemandu wisata, para turis asing, bahkan warga yang bertahun-tahun mendiami Kaldera Toba kebanyakan tak paham bahwa di balik keindahan Toba terdapat sejarah mahapenting tentang letusan Supervolcano Toba, yang letusannya telah mengubah dunia.

Kebanyakan warga Samosir tidak mengetahui bahwa daratan yang mereka diami dulunya merupakan dasar danau yang terbentuk dari proses vulkano-tektonik sangat dahsyat. Ifi D Sitanggang (25), warga Samosir, mengatakan, kebanyakan warga memahami Pulau Samosir maupun Danau Toba dari mitos dan dongeng yang dikisahkan orang tua.

Nurlela (40) juga tinggal berpuluh tahun dan hidup dari Kaldera Toba. Perempuan asli Tomok ini sehari-hari berdagang ikan pora-pora, ikan kecil yang banyak terdapat di danau ini. Sedangkan, suaminya bertani. Bagi  Nurlela, air  Danau Toba, batuan, dan tanah Samosir sebatas tempat mencari penghidupan.

Tak pernah terlintas dalam benak Nurlela betapa dahulu di tempatnya hidup itu pernah berdiri gunung yang letusannya mengubah dunia.


http://nasional.kompas.com/read/2011/10/12/12033278/Bebatuan.yang.Berkisah

No comments:

Post a Comment