Thursday, April 26, 2012

BATAK ANGKOLA


BATAK ANGKOLA


Angkola Adalah Nama daerah Di Sumatera Utara tepatnya di Tapanuli Bagian Selatan.
Batak Angkola adalah orang Batak yang secara geografis bermukim di antara wilayah Batak Toba dan wilayah Mandailing. Orang Batak Toba bermukim di sekitar Danau Toba, sedangkan orang Batak Mandailing berada di perbatasan Sumatera Utara dengan Sumatera Barat.


Masyarakat Angkola bermukim di daerah Tapanuli Selatan yaitu di Sipirok, Padangsidempuan, Batangtoru, dan sekitarnya. Pada saat ini, daerah sebaran orang Batak Angkola, telah menjadi Kabupaten tersendiri, yaitu Kabupaten Sipirok Angkola dengan ibu kota Kabupaten (Pasar) Sipirok.
Di luar daerah ini, dalam jumlah yang cukup significant etnis Angkola banyak ditemukan bermukim di daerah Tapanuli Tengah.

Angkola merupakan salah satu bahagian dari etnis Batak, selain Batak Toba, Batak Mandailing, Batak Karo, Batak Simalungun, Batak Pakpak, dll. Karena wilayah Batak Angkola secara geografis terletak di antara wilayah Batak Toba dan wilayah Mandailing, maka adat, budaya, dan dialek bahasa Angkola mempunyai karakter sendiri yang unik. Seolah menjadi bentuk peralihan di antara kedua jenis budaya Batak ini.

Asal usul Masayarakat Batak Angkola

Masyarakat Angkola dahulunya berasal dari Kerajaan Batak yang diperkirakan berdiri pada 1305 M di Kampung Sianjur Mula-mula, daerah Pusuk Buhit di sekitar Danau Toba. Ditemukannya banyak kesamaan marga diantara keduanya mengindikasikan dugaan adanya kesamaan asal usul leluhur kedua suku ini.

Sekilas Legenda Angkola

Minimnya fakta sejarah kuno tertulis dan peninggalan bersejarah mengakibatkan kaburnya alur penyebaran nenek moyang orang Angkola dari Tanah asalnya. Cerita rakyat yang berkembang dalam masyarakat dan dipadukan dengan data sejarah penaklukan kerajaan Batak kuno pada masa yang bersamaan dapat dijadikan acuan sejarah yang bersifat semi legenda.

Konon pada masa dahulu tidak dikenal adanya nama Angkola. Menurut legenda, kampung yang ada pertama kali di daerah ini adalah Sitamiang, yang didirikan oleh oppu Jolak Maribu yang bermarga Dalimunthe. Beliau kemudian memberi nama daerah-daerah di Angkola sekarang seperti :
- Pargarutan (tempatnya mengasah pedang),
- Tanggal (tempatnya menanggalkan hari/tempat kalender Batak) Sitamiang,
- dll.
Selanjutnya dikisahkan mereka kemudian kembali ke Toba meninggalkan daerah Angkola sekarang dengan alasan tertentu yang tidak jelas dari sisi sejarah.

Nama ``Angkola `` berasal dari Sungai Batang Angkola yang diberi nama sesuai nama seorang penguasa yang berasal dari Hindia (India) Belakang yang bernama Rajendra Koladewa (Angkola / yang dipertuan Kola). (Kerajaan Colamandala ini juga yang menurut catatan sejarah pernah menghancurkan kejayaan Kerajaan Sriwilaya). Diperkirakan mereka masuk tanah Angkola melalui Padang Lawas menuju ke arah pedalaman ke Utara. Selanjutnya kemudian berkuasa di sana untuk waktu yang cukup lama. Oleh mereka daerah di sebelah Selatan Batang Angkola diberi nama Angkola Jae (hilir) dan di sebelah Utara Sungai Batang Angkola diberi nama Angkola Julu (hulu).

Pada akhirnya dikisahkan kemudian banyak pemukim orang-orang India Belakang tersebut memilih keluar dari Angkola di saat wabah lepra menyerang daerah tersebut. Diceritakan pula bahwa dalam kekosongan kekuasaan tersebut, kemudian masuklah suku-suku lain dari segala penjuru ke wilayah Angkola termasuk diantaranya adalah Suku-suku (marga) Batak lainnya dan suku suku lain.

Seterusnya dikisahkan bahwa beberapa waktu kemudian keturunan para pemukim asli dari Sitamiang yang telah kembali dari pengembaraan mereka ke Toba, akhirnya kembali lagi ke ke wilayah Angkola. Akan tetapi setibanya di sana, mereka mendapati bahwa telah banyak bermukim suku suku lain seperti suku India. Begitu juga dengan marga-marga Batak lain seperti Harahap, Daulay, Siregar, dan lainnya. Sehingga akhirnya terjadilah percampuran dan asimilasi diantara mereka.

Saat ini nama Angkola lebih umum disebut sebagai nama tempat atau daerah, sedangkan suku di Angkola adalah Suku-suku Batak dan keturunan campuran suku suku lain yang bermukim di sana selama berabad-abad yang mengusung budaya, adat ,dan bahasa Batak dialek Angkola.

Angkola masih mengakui hubungan kekerabatan sejarah dengan Toba

Umumnya masyarakat Angkola masih mengakui kekerabatan sejarah mereka dengan Toba. Hal ini pernah dibuktikan oleh para tokoh-tokoh mereka saat penggabungan wilayah kewedanan (afdeling) mereka ke dalam wilayah Keresidenan Tapanoeli di akhir abad ke-19 s/d awal abad ke-20.
Berbeda dengan etnis Mandailing dan Pakpak yang tidak mengakui sebutan pengklasifikasian Batak untuk suku mereka. Begitu juga dengan etnis Karo dan Simalungun yang sejak awal memang tidak dimasukkan oleh Belanda ke dalam wilayah Keresidenan Tapanoeli.

Sekitar tahun 1926-1929 perantau etnis Angkola di kota Medan pernah berselisih dengan perantau etnis Mandailing, terkait tidak diizinkannya pemakaman bagi etnis Angkola di pemakaman Muslim Mandailing di areal pekuburan Sungai Mati Medan. Etnis Mandailing tidak mengizinkan etnis Angkola yang juga mayoritas beragama Islam untuk dimakamkan di pekuburan Muslim yang khusus untuk etnis Mandailing. Perselisihan ini akhirnya diselesaikan oleh Kesultanan Deli.

System Kekerabatan Batak Angkola

Seperti halnya suku Batak Toba, penduduk Angkola juga mempunyai sistem kekerabatan yang disebut dengan Dalihan na Tolu (dalihan ‘tungku’, na ‘yang’, tolu ‘tiga’) yang berarti ‘tungku yang tiga’.
Sistem kekerabatan ini mempunyai 3 (tiga) unsur dasar yang pada masyarakat Angkola terdiri atas :
1) Kahanggi yaitu keluarga laki-laki dari garis keturunan orang tua laki-laki,
2) Anak boru yaitu keluarga laki-laki dari suami adik/kakak perempuan yang sudah kawin,
3) Mora yaitu keluarga laki-laki dari saudara isteri.
Ketiga unsur ini memegang peranan penting dalam lingkungan kekeluargaan masyarakat Angkola. Tutur sapa menjadi lancar kalau ketiga unsur ini jelas keberadaannya. Ketiga unsur ini saling memerlukan dan berfungsi sesuai dengan kedudukannya.

Marga-Marga Batak Angkola

Marga-marga yang terdapat dalam masyarakat Batak Angkola adalah :
- Siregar,
- Harahap,
- Pohan,
- Hasibuan,
- Hutasuhut,
- Daulae,
- Rambe,
- Pane,
- Sagala,
- dll.
Masing-masing marga mempunyai peranan, kedudukan, dan fungsi dalam sistem pengaturan bermasyarakat dan berbudaya di daerah itu.


Sumber:

No comments:

Post a Comment