Wednesday, June 13, 2012

Hutasiantar Panyabungan


Hutasiantar Panyabungan

BAB III
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Buta akan sejarah adalah hal yang harus dihindari karena, kenal sejarah adalah tanda mengenal bangsa. Kelurahan Kota Siantar memiliki peran penting di dalam sejarah Mandailing Godang. Mandailing Natal atau disebut Mandailing Godang memiliki sejarah panjang yang beragam dari berbagai pihak dan daerah, antara lain:

1. Versi Melayu
Nasution yang pertama kiranya adalah putera dari Raja Iskandar Muda dari Pagar Ruyung (pusat dari kerjaan Minangkabau kuno), yang pada gilirannya adalah cucu dari Sultan Iskandar, nama bagi Alexander de Grote (the Great) dalam cerita-cerita Indonesia.
Dalam perjalanan menjelajahi pulau Sumatra, Iskandar Muda sampai berhubungan dengan seorang gadis bunian, yang melahirkan seorang anak lelaki untuknya." Anak tersebutlah kemudiannya ditemukan Sutan Pulungan di tengah hutan sedang ia berburu.

2. Versi Batak
Dari segala Marga-marga tersebut, yang pertama menduduki tanah Batak selatan adalah kelompok Marga Lubis. Sudah sejak lebih 60 generasi meninggalkan Danau Toba. Orang-orang Marga Lubis semula bertempat tinggal di Toba dekat ke Balige yang sekarang dan di Uluan dekat ke Narumonda yang sekarang. Orang-orang Marga lubis yang merantau hanyalah minoritas dan yang tinggal adalah mayoritas. Akan tetapi, pada tahun 1818 orang-orang marga Lubis di Toba diperangi dengan pedang oleh tentara Paderi. Sejak itulah orang-orang Marga Lubis di Toba menjadi minoritas dan orang-orang Marga Lubis yang merantau ke Mandailing menjadi mayoritas.

Sebelum orang-orang Marga Lubis datang migrasi dari Toba dan memasuki daerah Mandailing sambil membakari hutan-hutan, di Natal dan Singkuang sudah ada sekelompok masyarakat yang berbahasa Minangkabau/dialek Pesisir. Kelompok masyarakat itu terdiri dari beberapa populasi dan warna kulit dari dalam dan luar kepulauan Indonesia, seperti: Persi, Arab, India, Tiongkok, Aceh, Minangkabau, bugis dan lain-lain.

Di bawah pimpinan orang-orang Bugis, kelompok masyarakat itu bergerak sepanjang sungai Batang Gadis untuk membendung malapetaka di pedalaman akibat perbuatan Marga Lubis yang terus membakari hutan untuk dijadikan sebagai lahan pertanian. Mereka melalui jalan yang telah dilewati oleh Marga Lubis tapi belum dilalui oleh Marga Harahap.

Kelompok tersebut banyak kawin dengan anak-anak gadis Marga Lubis dan Harahap. Para pemuka dan tokoh dalam Marga Harahap menjelaskan kepada mereka, bahwa mereka harus tunduk kepada adat Batak, supaya dapat secara sopan kawin dengan gadis Marga Harahap dan Lubis. Kelompok di Mandailing tersebut terpaksa belajar adat Batak. Untuk mengajari penduduk di daerah tersebut maka didatangkanlah Datu Nasangti Si Bagot Ni Pohan, dia sangat banyak menguasai White Magic dan Black Magic. Datu Nasangti menikah dengan wanita dari Marga Lubis dan mengadakan pesta dengan menyembelih 7 ekor kerbau. Pada saat pesta itulah Datu Nasangti membentuk Marga Nasangtion (Nasution) dengan memukul canang (=gong).[1]

3. Versi Mandailing
Alkisah tersebutlah suatu riwayat, pada suatu hari, pergilah Sutan Pulungan Raja Huta Bargot yang tersebut berburu rusa, dengan beberapa pengiringnya. Takdir Allah menyalaklah anjingnya yang bernama Sampaga-Tua, maka berebutlah segala pengiringnya mengejar perburuan itu, tiba-tiba dilihat mereka itu kiranya seorang anak laki-laki yang disalak anjing itu terletak di atas batu yang dibungkus dengan kain sutera pelangi di bawah pohon kayu beringin.

Maka anak itupun diambil oranglah dan dibawa kepada Sutan Pulungan, lalu dibawa pulang ke kampung dan diberikan kepada seorang budak perempuan namanya Sauwa, maka dipiaranyalah anak itu dengan sepertinya.

Kata setengah riwayat, sebab si Sauwa tiada mempunyai air susu, maka di susukannyalah anak itu kepada seekor anjing yang sedang menyusukan anaknya, tempat itu di namai (baroar), sebab itulah anak itu dinamai Baroar, tetapi setengah riwayat Baroar itu diambil dari pada nama seorang laki-laki yang dijadikan pengasuhnya anak itu, maka Baroarpun semakin hari semakin besar.

Kata sahibulhikayat, Sutan Pulungan ada mempunyai seorang anak laki- laki yang sama besar dan serupa dengan Baroar, bagai pinang dibelah dua, sebab itulah acap kali orang kampung dan hamba-hambanya sesat memberi hormat dan memberi makan, oleh kerena itulah mendatangkan cemburu kepada Sutan Pulungan dan isterinya.
Hatta pada suatu hari, waktu Sutan Pulungan hendak menegakkan istana, maka diperintahkannya, supaya Baroar dijadikan alas tiang di bosur (tiang tua) istana itu, dan diberi tanda dengan coreng sadah dikening Baroar. Takdir Allah anak Sutan Pulungan mencoreng keningnya pula dengan sadah, seperti coreng kening Baroar.
Setelah Si Sauwa mendengar kabar behwa Baroar akan dijadikan alas tiang tua istana, maka dengan segera dibawanya lari anak itu dan bersembunyi pada sebuah dangau sawah yang tinggal, yang sudah dibalut oleh akar-akar.

Jadi ditangkap oranglah anak Sutan Pulungan lalu dialaskannyalah ke tapakan tiang istana hingga mati. Waktu hendak makan, ributlah orang mencari anak Sutan Pulungan itu, maka tatkala ketahuan bahwa yang dialaskan itu anak Sutan Pulungan, maka orang carilah Baroar, tatkala mereka itu sampai hampir dangau tadi, maka barbunyilah burung ketitiren di atas pintu (bubungan) dangau itu, jadi pada persangkaan orang itu, tentu tiada orang di situ, bila ada orang, nyatalah ketitiren itu, tiada berani hinggap di situ, maka kembalilah mereka itu, sebab itulah segala keturunan Baroar marsabang (berpantang) makan burung ketitiren sampai kepada masa ini.

Baroarpun dibawa lari oleh si Sauwa ke seberang Aek Godang (Batang Gadis) sehingga damai porumahan itu “parbagasan babiat soboun”, itulah tempat perumahan istana Panyabungan Tonga yang sekarang.

Di situlah Baroar di gelar Sutan di Aru, dan merajai dua kampung yang dinamai anak ni Dolok anak ni Lombang. Tempat itulah pertengahan pada segenap kampung yang berkeliling di sana, maka orang perbuatlah tempat itu tempat perjudian sabung ayam, sebab itulah tempat itu orang namakan Panyabungan sampai kepada masa sekarang. Lama kelamaan tempat itu mendjadi ramai dan lagi Sutan di Aru, sangat dicintai oleh anak buah, kerena budinya sangat baik dan amat ditakuti orang, sebab persangkaan orang Sutan di Aru adalah anak dewa.

Maka oleh kerena saktinyalah Baroar itu disebut orang suku Nasution. Adapun Sutan di Aru itu mempunyai seorang anak yang amat berbahagia ialah Baginda Mangaraja Enda, Baginda inilah jang mengembangkan dan memasyhurkan kerajaan Panyabungan.[2]

Menurut cerita rakyat Mandailing, suatu masa ditemukan sebuah keris di tengah rawa-rawa (Desa Gunung Tua sekarang), orang menganggap keris itu turun dari langit dan telah banyak orang mencoba untuk mengambilnya tapi tidak ada yang bisa mencabutnya dari tanah dan yang berhasil mencabut keris itu adalah Sutan di Aru. Begitu juga ketika orang Hutasiantar menemukan sebuah canang di rawa-rawa dekat Padang Mardia (Hutasiantar), yang sanggup mengambil dan membawanya pulang hanyalah Sutan di Aru atau Baroar. Karena kesaktiannya itulah dia dan keturunannya disebut Nasution Sibaroar.[3]

Selain dari pada marga Nasution, di Mandailing masih ada setengah lusin marga-marga yang kecil-kecil, yang juga bukan berketurunan Batak dan bukan pula berketurunan Minangkabau. Antara lain marga Rangkuti di kampung Ronding, yang pada tahun 1581 di situ dibentuk oleh orang-orang Jawa/Singosari. Mereka mengungsi dari kerajaan Pagaruyung, pada waktu itu berkuasa Yang Dipertuan Raja Alam Pagaruyung yang semula beragama Hindu / Jawa, kemudian masuk Islam /madzhab Syi’ah dengan nama Sultan Alif.[4]

Usai perang Paderi pada tahun 1840 dibentuklah Asisten Residensi Mandailing Angkola beribukota di Panyabungan sebagai bagian dari wilayah Residensi Air Bangis. Ketika Residensi Tapanuli dibentuk pada 1843 yang beribukota di Sibolga, maka Residensi Air Bangis pun dibubarkan. Air Bangis dan Rao menjadi Afdeeling dari Residensi Padang.
Kota Panyabungan menjadi Ibukota Asisten Residensi Mandailing Angkola selama 33 tahun, 1840-1873. pada Tahun 1873 Ibukota pindah ke Padangsidempuan. Menjelang akhir abad XIX sampai awal abad XX Kotanopan dijadikan Ibukota Onder Afdeeling sedangkan Panyabungan Ibukota Onder District.

Setelah proklamasi kemerdekaan wilayah Tapanuli Selatan dikepalai oleh Binanga Siregar sebagai Kepala Luhak Besar. Kemudian pada perkembangan berikutnya sesudah agresi Belanda II dibentuklah tiga Kabupaten, ialah: Padang Lawas, Angkola sipirok dan Batang Gadis. Kabupaten Batang Gadis meliputi wilayah Mandailing dan Natal yang dikepalai oleh Bupati Raja Jungjungan Lubis yang kemudian diganti oleh Fachruddin Nasution dengan Ibukotanya Kotanopan. Karena Kotanopan tidak layak sebagai Ibukota Kabupaten Batanggadis maka ibukota Dipindahkan ke Panyabungan. Ketika kabupaten Mandailing Natal dibentuk pada tahun 1998, kota Panyabungan kembali ditetapkan sebagai Ibukota Kabupaten Mandailing Natal.

Sejarah Tamaddun, peradaban mencatat bahwa sungai adalah sarana peradaban yang tinggi. Sarana itu dimiliki oleh Kota Panyabungan yaitu beberapa sungai: Batang Gadis, Aek Pohon, Aek Mata dan Aek Rantopuran yang mengairi areal persawahan yang sangat luas di bagian barat Panyabungan. Keadaan alam inilah yang menempatkan Panyabaungan sebagai pemasok utama bahan pangan di wilayah Mandailing Natal bahkan sampai ke luar daerah itu.

Panyabungan menjadi pusat kebudayaan tradisional. Keturunan cikal bakal Marga Nasution Sibaroar, bukan hanya menjadi raja-raja di sekitar panyabungan. Mereka juga menjadi raja-raja di Maga dan Muara Botung di Mandailing Julu (Kotanopan sebelum pemekaran) dan di Muarasoma, Muara Parlampungan dan Aek Nangali di wilayah Batang Natal, Lumban Dolok dan Sihepeng di Kecamatan Siabu. Semua raja-raja itu adalah anggota rapat adat yang berpusat di Panyabungan Tonga.[5]
Kabupaten Mandaililng Natal diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri Syarwan Hamid pada tanggal 9 Maret 1999 di Kantor Gubernur Sumatera Utara di Medan. Sedangkan sementara Kantor Bupati Mandaililng Natal di Panyabungan diresmikan oleh Gubernur Sumatera Utara , Tengku Rizal Nurdin pada tanggal 11 maret 1999.

Sejumlah Undang-undang dan Peraturan Daerah dijadikan dasar pembentukan Kabupaten Mandaililng Natal, sbb:
1. UU No 12 Tahun 1998 Tanggal 23 Nov 1998 Tentang Pembentukan Kabupatan Toba Samosir dan Kabupaten Mandailing Natal.

2. UU No 2 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah dan Petunjuk Pelaksanaannya.

3. UU No 25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah, dan Petunjuk Pelaksanaannya.

4. Peraturan Daerah No 40 Tahun 2000 Tentang Motto dan Lambang Daerah.

5. Peraturan Daerah No 8 Tahun 2001 Tentang Rencana Strategis.

6. Peraturan Daerah No 15 Tahun 2001 Tentang Pola Dasar Pambangunan Daerah dan Program Pembangunan Daerah Kabupaten Mandailing Natal Tahun 2001-2005.

7. Peraturan Daerah No 1,2,3 Tahun 2000 Tentang Sekretariat Daerah, Dinas Daerah dan Lembaga Teknis Daerah.[6]

Kabupaten Mandailing Natal secara geografis terletak antara 00.10'- 01' 50' Lintang Utara dan 98 0 50' - 100 0 10' Bujur Timur. Wilayah administrasi Mandailing Natal dibagi atas 17 kecamatan dan 375 desa/kelurahan yang ditetapkan oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan Undang-Undang No. 12 Tahun 1998 pada tanggal 23 November 1998. Pada Tanggal 15 Februari 2007 Kabupaten Mandailing Natal mengeluarkan Perda No 10 Tahun 2007 tentang pembentukan kecamatan di Kabupaten Mandailing Natal, Kecamatan Ranto Baek, Kecamatan Huta Bargot, Kecamatan Puncak Sorik Marapi, Kecamatan Pakantan, dan Kecamatan Sinunukan. Kemudian pada tanggal 7 Desember 2007, Kecamatan Naga Juang dibentuk dengan Perda No. 46 Tahun 2007. Dengan demikian Kabupaten Mandailing Natal kini memiliki 23 Kecamatan dengan jumlah desa sebanyak 353 dan Kelurahan sebanyak 32 kelurahan.

Daerah Kabupaten Mandailing Natal secara geografis terletak paling selatan dari propinsi Sumatera Utara dengan batas-batas sebagai berikut :
1. Sebelah Utara dengan Kabupaten Padang Lawas
2. Sebelah Selatan dengan Propinsi Sumatera Barat.
3. Sebelah Timur dengan Propinsi Sumatera Barat
4. Sebelah Barat dengan Samudera Indonesia .

Kabupaten Mandailing Natal mempunyai luas daerah sebesar 662.070 Ha atau 9,24 persen dari wilayah propinsi Sumatera Utara. Wilayah yang terluas adalah Kecamatan Muara Batang Gadis yakni 143.502 Ha (21,67%) dan terkecil yaitu Kecamatan Lembah Sorik Marapi sebesar 3.472,57 Ha (3,46%) pada tahun 2006.
Jumlah penduduk Kabupaten Mandailing Natal tahun 2007 yakni 417.590 jiwa. Laki-laki 204.788 orang dan perempuan 212.802 orang. Dengan sex ratio yaitu 96,23 dan banyak rumah tangga 94.477.KK dengan rata-rata anggota rumah tangga yakni 4. Laju pertumbuhan penduduk Mandailing Natal tahun 2007 sebesar 0,93 % .[7]
A. Letak Geografis Kelurahan Kotasiantar

Daerah ini pada masa dahulu memiliki beberapa kampung yang dihuni oleh manusia, dua kampung di sebelah timur, yaitu: Padang Mardia dan kampung Borotan, dua kampung di sebelah barat, yaitu: Lumban Sibaguri dan kampung Bargot, di tengah-tengahnya adalah Bagas Godang atau istana raja Borotan. Daerah ini dikuasai oleh raja-raja marga Borotan, dalam tambo keturunannya mencatat bahwa raja pertama dalam daerah ini adalah Raja Balintang.[8]

Alkisah, waktu putus waris raja di Lumban Sibaguri, dijemput oranglah Sang Yang Dipertuan menjadi raja di Lumban Sibaguri, maka diantarlah ia ke sana dengan segala adat kebesaran, sebab itulah Lumban Sibaguri ditukar namanya dengan Hutasiantar, sebab rajanya yang diantar ke sana.[9] Tersebutlah dari pihak keturunan marga Borotan dengan Raja Mananti atau Mananti Raja sebab, merekalah yang menyambut Sutan Kumala Sang Yang Dipertuan Anak dari Mangaraja Enda atau cucu dari Sutan di Aru (Si Baroar). Sebab itu juga seluruh harta kekayaan Bagas Godang (istana) serta tanah wilayah menjadi tanggung jawabnya.

Pihak dari keluarga marga Borotan menjadi marga Nasution maka di Hutasiantar terdapat dua marga Nasution, yaitu; Nasution Borotan sebagai marga asli di Hutasiantar dan Nasution Si Baroar menjadi pengganti raja. Dalam menghuni Hutasiantar dibuatlah satu kebijakan bahwa, Nasution Borotan tinggal di Julu Ni Bagas Godang (sebelah timur istana raja) dan Nasution Si Baroar tinggal di Jae Ni Bagas Godang. Sampai sekarang perbedaan itu masih dapat ditemukan. Dan terdapat juga marga-marga yang kecil, seperti Pulungan, Hasibuan, Mardia, Rangkuti dan Batubara.

Pada masa pemerintahan Sutan Kumala Sang Yang Dipertuan daerah Hutasiantar terdiri dari: sebelah timur berbatasan dengan Gunung Merapi (Kecamatan Lembah Sorik Merapi sekarang), sebelah barat berbatasan dengan Panyabungan Tonga, sebelah selatan sungai Aek Parlampungan dan sebelah utara berbatasan dengan sungai Aek Pohon.[10]

Setelah Indonesia merdeka dan sumatera telah terbagi ke dalam beberapa wilayah propinsi. Maka yang semula adalah daerah Tapian Na Uli bagian selatan di pulau Sumatera dibentuklah menjadi Kabupaten Tapanuli Selatan. Hutasiantar adalah salah satu desa di Kecamatan Panyabungan Kabupaten Tapanuli Selatan, dengan berobahnya sistem pemerintahan maka wilayah Hutasiantarpun menjadi diperkecil, yaitu: sebelah timur berbatasan dengan Desa Siobon, sebelah barat berbatasan dengan Desa Kayujati dan Panyabungan Jae, sebelah selatan berbatasan dengan Desa Sigalapang Julu dan sebelah utara berbatasan dengan Desa Darussalam (Pagaran Sigatal).

Pada tahun 2006 setelah beberapa tahun terbentuk Kabupaten Mandailing Natal maka Desa Hutasiantar dibentuk menjadi Kelurahan Kotasiantar dan yang pertama sekali menjadi Lurah adalah Pauzir Nasution.


B. Kondisi Penduduk Kelurahan Kotasiantar

Baginda Mangaraja Enda, generasi III Dinasti Nasution, mempunyai tiga orang isteri yang melahirkan raja-raja Mandailing. Isteri pertama boru Lubis dari Roburan yang melahirkan putera mahkota Sutan Kumala Sang Yang Dipertuan. Baginda Mangaraja Enda menobatkan Sutan Kumala Sang Yang Dipertuan menjadi raja di Hutasiantar dengan kedudukan yang sama dengan dirinya.

Masa Baginda Mangaraja Enda inilah Sutan Perampuan Padang Garugur dikalahkan perang. Adapun perang ini asalnya, dari seorang budak Baginda Mangaraja Enda bernama ompu ni Mangarung terbunuh di Lumban Kuajan (Surumatinggi Ankola Jae) oleh Raja Bengkas, saudara dari Sutan Perampuan.

Dalam perang ini, adalah 4 raja-raja serikat melawan Baginda; yaitu, Sutan Perampuan Padang Garugur, Sutan Mendeda Huta Bargot, Raja Gumanti Porang Pidoli Dolok, Raja Sordang Nagori Pidoli Lombang, lagi dibantu seorang panglima yang amat berani, Baruang sodang-dangon namanya, orang dari Mura Tais Angkola Jae.
Pada peperangan ini, menanglah Baginda Mengaraja Enda, oleh kerena Baruang Sodang-dangon, panglima yang tersebut di atas berhianat dan juga oleh kerena kegagahan seorang putera Baginda yang bernama Sutan Kumala Sang Yang di Pertuan Raja Hutasiantar. [11]

Sutan Kumala Sang Yang Dipertuan Hutasiantar menobatkan tiga orang puteranya menjadi raja, masing-masing Baginda Soalohon raja di Pidoli Lombang, Batara Guru raja di Gunungtua, dan Mangaraja Mandailing raja di Pidoli Dolok.

Penobatan tiga putera Sutan Kumala Sang Yang Dipertuan Hutasiantar itu dilakukan menyusul pemberontakan yang dilancarkan raja-raja di tiga daerah terhadap Baginda Mangaraja Enda. Sutan Kumala Sang Yang Dipertuan Hutasiantar berhasil memadamkan pemberontakan terhadap ayahandanya itu. Sementara itu raja-raja yang berontak eksodus bersama sebagian rakyatnya ke daerah pantai dan pedalaman Pasaman.

Ada tiga tokoh penting dalam generasi XI Dinasti Nasution. Satu di antaranya adalah Sutan Kumala Sang Yang Dipertuan Hutasiantar, yang biasa disingkat menjadi Yang Dipertuan. Tokoh ini dikenal sebagai raja ulama yang namanya banyak disebutkan oleh Multatuli di dalam karyanya Max Havelaar. Belanda menjulukinya Primaat Mandailing. Yang Dipertuan membantu Compeni melawan pasukan Paderi. Tokoh inilah yang bekerjasama dengan Asisten Residen Mandailing Angkola 1848-1857, Alexander Philippus Godon (1816-1899), merancang dan membangun mega proyek jalan ekonomi dari Panyabungan ke pelabuhan Natal sepanjang 90 kilometer.[12]

Dalam perjalanan sejarah kerajaan di Mandailing, pihak kerajaan Hutasiantar memiliki sifat terbuka dengan pihak luar dalam hal membangun masyarakat banyak. Sutan Kumala Sang yang Dipertuan Inilah yang paling berjasa membangun Hutasiantar dengan berbagai kebijakannya antara lain:

Memberikan tanah untuk tempat tinggal dan bercocok tanam kepada marga-marga lain yang meminta.
Membuat Gadu-gadu ni saba (pematang sawah) dengan ukuran besar sehingga orang dan pedati dapat melewatinya.
Mengatur susunan rumah sehingga tertata rapi sampai sekarang (seperti komplek perumahan di abad modern).
Membuat saluran air di tiap gang dan sampai sekarang masih dapat ditemukan.
Membuat saluran air dari hulu sungai ke Mesjid (Mesjid Raya Darussalam sekarang).
Menetapkan standar pesta pernikahan, hanya dengan menyembelih seekor kerbau agar dibolehkan memakai Ampu dan Bulang (pakaian adat Mandailing Godang), yang sering disebut dengan istilah mangadati.
Sang Yang Dipertuan sangat dicintai oleh rakyat Hutasiantar sehingga rakyatnya sangat mengagumi dan patuh atas perintah dari pihak kerajaan.[13]

Pada saat pemerintahan Desa, susunan rumah-rumah terebut masih tersusun rapi dipimpin oleh seorang Kepala Desa, yang terdiri dalam lima (5) lingkungan dengan dipimpin masing-masing Ketua Banjar (lingkungan) yaitu:

1. Banjar Kayu Ara

2. Banjar Silangit

3. Banjar Borotan

4. Banjar Bolak

5. Banjar Pagur[14]

Namun, setelah diresmikan menjadi Kelurahan Kotasiantar maka pemerintahanpun berobah yang semula dipimpin oleh Kepala Desa dengan cara yang demokratis, dipilih langsung oleh masyarakat Hutasiantar berobah menjadi pimpinan yang dipilih dan ditunjuk oleh Pemerintah Daerah. Namun, sistem jabatan dalam daerah Kelurahanpun diperluas tapi, berbeda dengan daerah kelurahan lain. Pada awalnya terdiri dari lima banjar atau lingkungan menjadi masing-masing lingkungan dibagi dua dan hasilnya menjadi sepuluh lingkungan.

Penduduk Kelurahan Kotasiantar saat ini adalah sebanyak 1.348 kk dengan masing-masing rata-rata per banjar atau lingkungan sebanyak 150 kk dan yang paling sedikit adalah lingkungan Banjar Bolak, kurang dari 150 kk. Kepadatan jumlah penduduk adalah sekitar 6.740 jiwa, hal ini hanya dapat dilihat dari angka-angka pendataan sebelum Pemilu Legislatif 2009 yang lalu.[15]


a. Pendidikan

Tokoh penting dalam Dinasty Nasution Setelah Sutan Kumala Sang Yang Dipertuan Raja Hutasiantar adalah Sati Nasution gelar Sutan Iskandar ialah Willem Iskander, yang lahir di Pidoli Lombang pada bulan Maret 1840 di Pidoli Lombang, Mandailing Godang. Ibunya Si Anggur boru Lubis dari Rao-rao dan ayahnya Raja Tinating, Raja Pidoli Lombang.

Pada usia 13 tahun, 1853, Sati masuk sekolah rendah dua tahun yang didirikan Alexander Philippus Godon di Panyabungan. Begitu lulus, 1855, Sati diangkat menjadi guru di sekolahnya. Barangkali Willem Iskander lah guru formal termuda, 15 tahun, dalam sejarah pendidikan Indonesia. Pada saat yang sama ia juga diangkat oleh Godon menjadi juru tulis bumiputera (adjunct inlandsch schrijfer) di kantor Asisten Residen Mandailing Angkola di Panyabungan. Jabatan guru dan juru tulis itu dijabatnya dua tahun, menggantikan Haji Nawawi yang berasal dari Natal, sampai menjelang keberangkatannya ke Negeri Belanda bersama Godon, Februari 1857.

Nama Sati Nasution gelar Sutan Iskandar adalah nama yang dicantumkan di dalam teks Acte van Bekenheid. Nama Willem Iskander diberikan kepadanya ketika dia masuk Kristen di Arnhem pada tahun 1858, setahun sebelum ia belajar di Oefenschool di Amsterdam. Seterusnya, nama Willem Iskander dipakainya di dalam karyanya, surat-surat, beslit, piagam, surat nikah dll.

Setelah Willem Iskander memperoleh ijazah guru bantu dari Oefenschool pimpinan D. Hekker Jr. di Amsterdam, ia bertolak dari Bandar Amsterdam dengan kapal Petronella Catarina pada tanggal 2 Juli 1861. Setibanya di Batavia pada bulan Desember 1861, Willem Iskander menghadap Gubernur Jenderal, Mr. Ludolf Anne Jan Wilt Baron Sloet van den Beele.

Willem Iskander mengutarakan maksudnya mendirikan sekolah guru di Mandailing, dan memohon bantuan Gubernur Jenderal agar cita-citanya itu terlaksana. Gubernur Jenderal Gubernur Pantai Barat Sumatera ketika itu, Van den Bosche, agar membantu Willem Iskander. Acara pertama Willem Iskander ketika tiba di Padang, adalah menghadap Van den Bosche untuk menyerahkan surat Gubernur Jenderal, sekaligus melaporkan dialognya dengan Gubernur Jenderal di Batavia.

Dalam perjalanan kembali ke Mandailing melalui pelabuhan Natal, Willem Iskander berlayar bersama Asisten Residen Mandailing Angkola ketika itu, Jellinghaus, yang sedang berada di Padang. Mereka singgah dua hari di rumah kerabat Willem Iskander, Tuanku Natal. Setelah Willem Iskander tiba kembali di Mandailing pada awal 1862, ia melakukan persiapan pendirian sekolah guru di Mandailing. Tempat yang ia pilih adalah Tanobato, 526 meter di atas permukaan laut, desa yang ketika itu berhawa sejuk rata-rata 22°C, berada di pinggir jalan ekonomi ke pelabuhan Natal. Bangunan sekolah pun didirikan bersama masyarakat setempat. Bangunan empat ruangan, ialah tiga ruang kelas, satu tempat tinggal Willem Iskander. Bahan bangunan itu terbuat dari kayu, bambu dan atap daun rumbia. Ada dua bangunan lagi di sebelah gedung sekolah ini, ialah Gudang Kopi (Pakhuis) dan Pasanggarahan.

Nama (sesuai EYD) lulusan Kweekschool voor Inlandsche Onderwijzers Tanobato dengan posisi mereka di dalam masyarakat Panyabungan:

1. Jabarani, guru kepala di Panyabungan dan Tanobato.

2. Si Brahim gelar Sutan Mangayang, guru di Panyabungan.

3. Si Dagar, guru di Panyabungan.

Ada sebagian murid-murid Willem Iskander yang berasal dari Keturunan Sutan Kumala Sang Yang Dipertuan Hutasiantar mengikuti jejaknya sebagai pengarang, penerjemah dan penyadur. Nama-nama mereka (sesuai EYD) dan judul karya mereka adalah, sbb.:

1. Raja Laut, Barita Sipaingot – Batavia, 1873.

2. Mangaraja Gunung Pandapotan, On Ma Sada Parsipodaan Toe Parbinotoan Taporan Parsapoeloean – Batavia, 1885.

3. Mangaraja Gunung Pandapotan, Parsipodaan Taringot Toe Parbinotoan Tano On– Batavia, 1884.[16]

Melihat hal peningkatan mutu pendidikan yang dilakukan oleh Willem Iskander di Tanobato maka Sutan Kumala Sang Yang Dipertuan mendirikan sekolah dengan fasilitas yang sangat sederhana dekat kampung Padang Mardia, sistem belajar waktu itu memakai agong (arang kayu) maka sekolah itupun disebut orang dengan sekolah Agong. Berhubung Hutasiantar adalah Kepala Kuria (pusat pemerintahan) maka orang-orang yang berprestasi di bidang pendidikan didatangkan ke Hutasiantar, seperti:

1. Raja Laut, murid Willem Iskander.

2. Raja Gunung, lulusan Kweekschool voor Inlandsche Onderwijzers Tanobato juga.

Pihak Bagas Godang (kerajaan) Hutasiantar belajar dan sekolah di Hutasiantar, Pidoli Lombang, Panyabungan dan Tanobato bagi mereka yang mempunyai dana yang cukup.[17]

Dalam sektor pendidikan dapat ditemukan dari data yang ada pada Kelurahan, tercatat:

1. Sekolah Dasar (SD), 2 unit gedung: SD N XI dan SD Inpres.

2. Satu sekolah Taman Kanak-kanak (TK) Darussalam.

3. Dua sekolah Taman Pendidikan Al-Qur’an

4. Satu Madrasah Diniyah Awaliyah (MDA)

Ada beberapa buku karangan Willem Iskander yang dibaca di sekolah-sekolah rakyat Mandailing pada saat sebelum Proklamasi kemerdekaan, yaitu:

1. Si Hendrik Na Denggan Roa

Buku ini merupakan terjemahan dari De Brave Hendrik, buku bacaan anak-anak yang paling popular di Belanda pada masa itu. Terjemahan ini diterbitkan di Padang pada tahun 1865. Isi buku tentang etika untuk anak-anak dalam pergaulan sehari-hari.

2. Barita Na Marragam

Bacaan anak-anak tentang budi pekerti, merupakan saduran dari karya J.R.P.F. Gongrijp, diterbitkan di Batavia pada tahun 1868 dalam bahasa Mandailing aksara Latin.

3. Buku Basaon

Buku bacaan anak-anak terjemahan dalam bahasa Mandailing dari karya W.C. Thurn. Batavia, 1871 cetak ulang 1884.

4. Si Boeloes Boeloes Si Roemboek-Roemboek: Boekoe Basaon

Naskah Si Bulus-Bulus Si Rumbuk-Rumbuk sudah sampai di Batavia pada tahun 1870. Pemerintah pusat mengeluarkan beslit (besluit), surat keputusan, nomor 27 bertarikh 23 Februari 1871 tentang penerbitan buku ini yang menetapkan tiras buku ini 3.015 dan sebanyak 50 eksemplar di antaranya harus disimpan di lembaga-lembaga dan perpustakaan. Pada tahun 1872 kumpulan prosa dan puisi ini diterbitkan di Batavia oleh ‘s Landsdrukkerij (Percetakan Negara) pada tahun 1872.

Si Bulus-Bulus Si Rumbuk-Rumbuk pernah dilarang beredar pada tahun 1933. Buku ini memberikan pencerahan dalam berpikir, maka muncullah para pemuda intelektual Mandailing seperti, Buyung Siregar, Muhiddin Nasution, dan Abul Kosim. Adam Malik, Abdul Haris Nasution

5. Taringot di ragam-ragam ni parbinotoan dohot sinaloan ni alak Eropa
Buku ini diterjemahkan oleh Willem Iskander kemudian diterbitkan di Batavia pada tahun 1873. Isinya tentang teknologi Eropa pada abad XIX. Pengaruh buku ini sangat besar dalam memperluas cakrawala berpikir agar jangan terkurung bagaikan katak di bawah tempurung.

6. Soerat otoeran ni porkaro toe oehoeman di bagasan ni goebernemen ni Topi Pastima ni Soematara

Buku ini adalah terjemahan dalam bahasa dan aksara Mandailing dari buku Reglement tot regeling van het regwezen in het gouvernement Sumatra’s Westkust, diterbitkan di Batavia, 1873, tebalnya 278 halaman. Isi buku ini tentang peraturan perundang-undangan yang mengatur ketertiban dan keadilan di dalam masyarakat yang berlaku di wilayah Pantai Barat Sumatera.

7. Ponggol 1a dohot Va ni Soerat otoeran toe pangotoeran saro oehoem dohot parenta ni oehoeman di Tano Indi Nederland

Buku ini merupakan terjemahan dalam bahasa dan aksara Mandailing dari buku 1ste en Vde Hoofdstuk van het Reglement op de regterlijke organisatie en het beleid der Justitie tentang administrasi peradilan, termasuk personalianya di tiap daerah. Buku ini diterbitkan di Batavia, 1874, tebalnya 115 halaman. [18]


b. Agama

Zaman sebelum masuknya Islam ke Mandailing, orang Mandailing menyebut zaman itu Na Itom Na Robi, artinya, zaman purba yang hitam atau gelap, yakni Jahiliah. Sebelum Islam, masyarakat Mandailing adalah masyarakat Si Pele Begu, yakni masyarakat yang memuja roh leluhur mereka.

Sampai sekitar awal abad ke-20, sisa-sisa dari agama kuno itu masih tampak bekasnya dalam kehidupan masyarakat Mandailing. meskipun agama Islam telah merata menjadi anutan orang Mandailing. Di beberapa tempat misalnya masih dilakukan orang upacara pemanggilan roh yang disebut Pasusur Begu atau Marsibaso yang sangat dikutuk oleh ulama.

Amalan Si Pele Begu melibatkan upacara meminta pertolongan roh leluhur buat mengatasi misalnya bencana alam seperti musim kemarau panjang yang merusak tanaman padi penduduk. Orang-orang yang pernah menyaksikan upacara itu sulit membantah lantaran turunnya hujan lebat di tengah kemarau panjang setelah selesainya upacara ritual itu dilakukan.

Namun iman orang-orang Mandailing sebagai pemeluk agama Islam menganggap perbuatan itu dosa yang mesti dihindari, mendorong masyarakat Mandailing membuang sama sekali sisa-sisa warisan Si Pele Begu. Alim ulama masyarakat Mandailing telah menyaring amalan dan perbuatan dari zaman Na Itom Na Robi dan mengekalkan amalan dan perbuatan yang tidak bertentangan dengan Islam
Masa masuknya Islam sebelum serbuan Kaum Paderi, disebut oleh orang Mandailing Maso Silom Na Itom (masa Islam yang hitam). Pada masa itu agama Islam dianut orang Mandailing secara bercampur aduk dengan Pele Begu (agama tradisi). Berapa lama keadaan itu berlaku tidak diketahui dengan pasti. Perobahan besar berlaku dengan serbuan Kaum Paderi dari Minangkabau ke Mandailing sekitar 1820 dan membawa apa yang dijuluk oleh orang Mandailing sebagai Silom Bonjol (Islam Bonjol), yakni "satu mazhab Islam yang mencita-citakan kemurnian".

Dengan serbuan Kaum Paderi itu maka bergantilah Maso Silom Na Lom-lom (Islam hitam) dengan apa yang disebut orang Mandailing Maso Silom Na Bontar (masa Islam putih) atau Maso Silom Bonjol (masa Islam Bonjol). Hitam barangkali merujuk kepada warna biru nila (gelap) pakaian penentang-penentang Paderi.[19]

Golongan Paderi yang fanatik berusaha keras tapi gagal untuk memaksakan Islam kepada orang-orang suku Batak dengan menggunakan pedang, menyebabkan negeri itu terbengkalai dan banyak orang mati terbunuh, tetapi tindakan kekerasan ini tidak berhasil memengkan agama Islam. Namun, ketika pemerintah Kolonial Belanda memadamkan peperangan Paderi dan menguasai daerah Batak sebelah selatan, maka Islam mulai berkembang dengan cara damai, terutama berkat usaha da’wah dari pegawai pamong praja yang terdiri dari arang-orang Islam Melayu, tetapi juga melalui pengaruh para pedagang yang diikuti oleh para haji dan guru-guru lainnya.

Adalah suatu kenyataan yang menarik bahwa suku batak yang selama berabad-abad dengan gigih mempertahankan diri untuk tidak terpengaruh oleh islam kendati mereka telah dikelilingi dari segala arah oleh penduduk Islam tang fanatik, Aceh di sebelah utara dan Melayu di sebelah timur dan selatan, akhirnya dalam beberapa tahun belakangan begitu antusias menyambut islam melalui usaha-usaha damai.[20]

Pada masa pemerintahan Sutan Kumala Sang Yang Dipertuan Raja Hutasiantar sampai generasi sesudahnya, para ulama didatangkan dari daerah luar dan raja memberikan tanah untuk tinggal dan bercocok tanam, antara lain:

1. Haji Muhammad Sa’id Nasution, mengajar dibidang Al-Qur’an

2. Syekh Abdul Fatah (w. 1861), mengajar Tariqhat sekaligus menjadi Tabib

3. Haji Muhammad Syarif Rangkuti, mengajar dalam bidang Hadis

4. Haji Muhammad Ya’kub (kampung Bargot), mengajar di bidang akhlaq dan Tasauf.

5. Syekh Abdul Qadir Al-Mandili jika ia datang dari Makkah dan anaknya Tuan Ja’far, mengajar dibidang fiqh atau hukum Islam mazhab Syafi’i.[21]

Dari empat ulama di atas, yang dengan keras menentang kebatilan, khurafat, takhayul dan bid’ah adalah Haji Muhammad Syarif Rangkuti (yang mengajar Hadis) sehingga pengajian yang ia adakan tidak terlalu diminati oleh masyarakat. Setelah beliau meninggal, anak-anak dan murid-muridnyalah yang di kemudian hari bergabung dengan organisasi Muhammadiyah. Karena lebih dahulu muncul bentuk pemahamannya dari pada organisasinya membuat masyarakat menilai itu adalah salah satu bentuk paham dalam Islam di luar mazhab.[22]

Beberapa perguruan pun kelak muncul di beberapa tempat di Mandailing. Perguruan yang paling besar adalah Madrasah Musthofawiyah di Purba Baru yang didirikan oleh Syekh Musthofa Husein pada tahun 1915. Madrasah ini merupakan warisan para ulama yang sangat besar peranannya dalam dakwah Islamiyah. Santrinya kini tidak kurang dari 8.000 orang yang datang dari berbagai penjuru Sumatera Utara, dan tentu saja juga dari Pasaman, bahkan dari Malaysia. Dua orang tokoh nasional, Nuddin Lubis dan Aminuddin Aziz Pulungan, adalah alumni madrasah ini.

Pemandangan yang menakjubkan dapat disaksikan pada menjelang subuh di Purba Baru, ketika ribuan santri berbondong-bondong menuju masjid untuk menunaikan shalat subuh berjamaah. Pemandangan seperti ini sukar dicari tandingannya di Sumatera Utara, bahkan mungkin di Sumatera. Kini ada puluhan pesantren di seluruh Mandailing, ditambah lagi dengan Sekolah Tinggi Agama Islam Madina (STAIM) dan madrasah mulai dari tingkat Ibtidaiyah, Tsanawiyah sampai tingkat Aliyah baik negeri maupun swasta.

Dalam setiap Banjar atau lingkungan memiliki kelompok wirid pengajian dengan mendatangkan seorang guru atau Al-Ustadz yang mengajar di Musthafawiyah atau lulusan Musthafawiyah Purba Baru. Masyarakat Kotasiantarpun sering membanding-bandingkan pendapat dengan pendapat para ulama terdahulu yang pernah hidup di zaman dahulu.


c. Sosial Ekonomi

Menurut cerita orang-orang tua dahulu, kampung tertua di daerah Mandailing adalah Huta Bargot dan Ranto Natas, kedua daerah itu adalah di atas bukit. Orang yang hidup pada zaman dahulu hanya dapat bertahan hidup di atas bukit dengan penghidupan bercocok tanam, seperti, pisang, jagung, ubi, dll. Persawahan baru muncul ketika orang-orang cina dengan membuat parit-parit kecil untuk mengairi lahan mereka.[23] Populasi Cina semakin bertambah adalah pada tahun 1416 ketika Laksamana Haji Sam Po Bo medirikan Pelabuhan Sing Kwang (=Tanah Baru= Singkuang sekarang), maka orang-orang cinapun banyak mendarat di Muara Batang Gadis.[24] Dengan mengetahui hal itu masyarakat yang di bukit-bukitpun turun ke dataran untuk bersawah. Orang-orang marga Rangkuti turunlah dari Ranto Natas ke kampung Pagur dan dari Pagur ke kampung Bargot atau Kota Siantar sekarang. Tempat tinggal mereka menumpuk dalam satu lingkungan yang disebut Banjar Pagur.[25]

Menjadi petani dengan menggarap sawah adalah mata pencarian masyarakat Kota Siantar dari zaman dahulu sampai sekarang. Pada masa sebelum merdeka dan beberapa tahun setelah merdeka, gabah yang dihasilkan dari tiapa panen tidak dijual kepada orang lain. Gabah itulah yang diolah menjadi makanan selama setahun.

Di samping itu, masyarakat secara turun temurun juga telah mencari duit dengan menderes pohon karet (mangguris hapea). Di zaman susah dahulu juga dapat dimanfaatkan menjadi minyak lampu. Namun, ketika minyak tanah sudah mudah didapat maka hasil pohon karetpun dijual kepada orang lain (toke). Kedua usaha inilah yang menjadi mata pencarian pokok masyarakat di Kota Siantar.

Pada masa pemerintahan Sutan Kumala Sang Yang Dipertuan raja Hutasiantar, di sekitar balai rapat adat adalah pusat tempay keramaian atau yang disebut halaman bolak (tanah lapang). Namun, setelah proklamasi tanah tersebut dijadikan pasar tradisional tempat transaksi penjualan sayur-sayuran dan perlengkapan rumah tangga lainnya yang buka dan mulai rami adalah pada pagi hari atau sekitar jam 06:00 WIB (pagi hari) dan berakhir pada siang hari. Namun, ketika pemerintahan desa berobah menjadi Kelurahan maka pasar tradisional terebut dipindahkan ke samping tanah adat di depan kantor Lurah Kota Siantar sampai sekarang.

Dengan pindahnya pasar tersebut, maka barang yang diperjual belikan menjadi lebih lengkap dengan datangnya penduduk luar daerah berjualan ke pasar terebut. Setiap pedagang yang berjualan di pasar ini diwajibkan membayar uang ongkos kepada pihak bagas godang atau keturunan raja-raja yang hidup masa sekarang. Pasar ini jugalah, masyarakat berpaham Muhammadiyah dilarang berjualan.

d. Adat

Istana raja yang dinamakan Sopo Sio Dalam Mangadong atau Bagas Godang dan balai sidang adat yang dinamakan Sopo Sio Rancang Magodang atau Sopo Godang.
Kedua bangunan adat tersebut bukan hanya penting bagi masyarakat Mandailing dari segi penggunaan praktisnya saja. Tetapi juga dari keberadaannya sebagai lambang status untuk menunjukkan kehormatan, kemuliaan dan kebesaran kelompok masyarakat atau komunitas di tempat kedua bangunan itu berada. Artinya jika di satu tempat terdapat bangunan Bagas Godang dan Sopo Godang, itu menandakan bahwa tempat tersebut merupakan pusat pemerintahan Huta atua Banua, yang sekaligus berarti bahwa di tempat tersebut telah diakui berdirinya satu kerajaan dengan pemerintahan yang otonom.

Bagian depan dan bagian belakang dari atap kedua bangunan tersebut yang dinamakan bindu matoga-matogu atau tutup ari dihiasi dengan ornamen tiga warna (putih, merah dan hitam) yang disebut bolang. Setiap bagian dari ornamen tersebut mengandung makna perlambang. Misalnya bagiannya yang berupa garis-garis tegak lurus yang disebut bona bulu melambangkan bahwa di tempat tersebut berdiri satu kerajaan yang marrungga soit marranting. Yaitu kerajaan yang telah mempunyai kesatuan wilayah kekuasaan atau kesatuan teritorial, mempunyai lembaga pemerintahan Namora Natoras, mempunyai Datu, Sibaso dan Ulu Balang serta raja yang mengepalai pemerintahan.

Bagian dari ornamen yang berbentuk tiga segi yang disebut bindu atau pusuk robung, melambangkan sistem sosial Dalian Natolu yang dianut oleh masyarakat setempat.
Ornamen yang diterangkan pada tutup ari bagas godang dan sopo godang berupa garis-garis geometris (garis lurus) kecuali yang menggambarkan benda-benda alam, seperti matahari, bulan dan bintang serta bunga. Fungsi utama dari ornamen tersebut bukan sekadar sebagai hiasan, tetapi berfungsi simbolik untuk menunjukkan banyak hal yang berkaitan dengan nilai budaya dan pandangan hidup masyarakat Mandailing.
Bagian-bagian dari bangunan bagas godang diberi nama juga mengandung makna simbolik. Misalnya tangga bagas godang dinamakan tangga sibingkang bayo, yang artinya ialah tangga sipengangkat orang. Maknanya ialah bahwa orang yang menaiki tangga istana raja akan bertambah kemuliaannya. Pintu bagas godang dinamakan pintu gaja manyongkir, yang artinya ialah pintu gajah menjerit. Maknanya ialah bahwa pintu istana raja senantiasa terbuka untuk dimasuki oleh rakyat.

Bangunan sopo godang (balai sidang adat) tidak berdinding. Keadaannya yang demikian itu melambangkan pemerintahan yang harus dijalankan secara demokratis. Penduduk atau rakyat harus dapat dengan bebas dan langsung menyaksikan persidangan yang dilakukan oleh Namora Natoras dan raja di balai sidang tersebut dan sekaligus dapat pula mendengar apa yang mereka bicarakan dalam persidangan.
Tiang-tiang sopo godang yang terbuat dari berbentuk segi delapan yang disebut tarah salapan. Keadaannya yang demikian itu menandakan bahwa pembangunan sopo godang sebagai balai sidang adat dikerjakan secara gotong royong oleh penduduk dari delapan penjuru mata angin.

Aspek arsitektur tradisional Mandailing juga digunakan untuk menunjukkan atau melambangkan status sosial warga masyarakat. Contohnya ialah jumlah anak tangga rumah tempat tinggal penduduk. Jika anak tangga rumah jumlahnya genap, keadaan itu menandakan bahwa penghuni rumah yang bersangkutan adalah golongan hamba. Demikian pula halnya dengan rumah yang daun jendelanya dibuka arah keluar. Bentuk atap rumah juga menunjukkan status sosial orang yang menempatinya. Rumah yang atapnya menggunakan gaya yang disebut saro cino, menandakan bahwa penghuni rumah tersebut punya hubungan keluarga dengan raja dan termasuk dalam golongan bangsawan atau namora-mora. Rumah-rumah tempat tinggal yang bagian depan dan bagian belakang atapnya dihiasi dengan ornamen yang dinamakan bolang, menandakan bahwa penghuni rumah tersebut adalah kerabat dekat dari raja dan termasuk golongan bangsawan.

Bangunan bagas godang, sopo godang dan rumah penduduk di Mandailing berbentuk rumah panggung dengan menggunakan banyak tiang. Tiang-tiang bangunan yang terbuat dari kayu biasanya ditegakkan di atas batu ceper berukuran relatif besar. Penggunaan batu sebagai landasan tiang-tiang bangunan merupakan bagian dari teknik arsitektuk tradisional yang digunakan oleh orang Mandailing untuk anti goncangan gempa yang dapat meruntuhkan bangunan.
Kalau misalnya terjadi gempa, goncangannya yang kuat tidak mudah merubuhkan bangunan karena tiang-tiangnya tidak langsung tercecah atau terbenam ke tanah. Batu-batu ceper yang digunakan sebagai landasan tiang-tiang bangunan sampai batas tertentu dapat meredam sebagian goncangan gempa dan menyelamatkan bangunan dari keruntuhan yang tiba-tiba.[26]

Masyarakat Mandailing diatur dengan menggunakan sistem sosial Dalian Na Tolu (Tumpuan Yang Tiga) - merujuk kepada aturan kekerabatan marga - yang diikat menerusi perkawinan dan prinsip Olong Dohot Domu (Kasih Sayang dan Keakraban). Sistem pemerintahan Mandailing demokratis dan egalitar. Lembaga pemerintahan Na Mora Na Toras (Yang Dimuliakan dan Dituakan) memastikan keadilan dan kepemimpinan yang dinamis. Gordang Sambilan adalah gendang adat yang terdiri dari sembilan buah gendang yang relatif besar dan panjang, dan digunakan dalam upacara perkawinan, penabalan dan kematian. Sabe-Sabe Selendang Istiadat dipakai untuk upacara adat dan untuk tarian adat yang disebut Tor-Tor.[27]

Horja adalah puncak aktualisasi rasa holong yang diungkapkan dengan kata-kata dan perbuatan. Horja secara harfiah adalah kerja. Namun konsep secara hermenetik, lebih bermakna daripada pengertian harfiah kerja. Horja diartikan secara lahir dan batin. Aktivitas horja adalah aktivitas di mana sedang berlangsung suatu upacara pesta karena ada anugerah hidup. Perkawinan adalah horja, kelahiran anak adalah horja, membangun dan menempati rumah baru adalah horja, kerja gotong royong adalah horja. Seluruh tatanan Dalihan Na Tolu mengambil bagian dalam horja. Menyukseskan horja adalah hak sekaligus kewajiban. Bahkan warga masyarakat yang tidak diikut sertakan di dalam menyukseskan horja akan menuntut haknya untuk ikut, meskipun keikutsertaan itu sesungguhnya merupakan pengorbanan. Namun pengorbanan dalam menyukseskan horja adalah pengorbanan yang tulus ikhlas (Harahap, 1987b:6). Jadi, peristiwa horja adalah peluang untuk berdakwah yang paling efektif.[28]

Setiap Huta mempunyai sebidang tanah perkuburan. Kebiasaannya letaknya di luar Huta, tapi masih mudah didatangi. Selain daripada tanah perkuburan, di sekitar Huta biasanya terdapat pula tanah perkuburan makam-makam leluhur yang mula-mula membuka Huta tertentu. Pada masa lampau, walaupun tidak dengan cara-cara yang khusus dan istimewa, tempat makam leluhur dihormati oleh penduduk Huta. Meskipun tidak merupakan suatu tradisi yang mengikut, tetapi kalau Raja atau anggota keluarga Raja meninggal dunia, mereka dikebumikan di pemakaman leluhur.

Di tanah-tanah perkuburan kuno yang dipanggil lobu atau huta lobu banyak terdapat patung batu. Dalam bahasa Mandailing, patung ini disebut batu tagor, yang menurut kepercayaan, dapat memberi tanda (isyarat) dengan suara gemuruh apabila akan terjadi sesuatu hal kepada keluarga raja. Selain batu tagor terdapat patung yang dinamakan batu pangulu balang yang biasanya terdapat di sudut desa, yang menurut kepercayaan, menjaga desa dan akan memberi pertanda apabila ada sesuatu yang akan menganggu penduduk. Patung-patung batu tagor dan batu panghulu balang, yang diakui oleh orang-orang Mandailing sebagai warisan nenek moyang mereka kelihatannya sama sekali berbeda dari patung-patung peninggalan zaman Hindu dan Buddha.

Tempat yang bernama Padang Mardia (Kota Siantar sekarang), terletak lebih kurang 2 km dari pasar Panyabungan, dahulunya terdapat banyak patung-patung batu dan kuburan kuno. Patung batu yang dahulunya banyak terdapat di tempat tersebut lama-kelamaan menjadi punah kerana dirusakkan oleh penduduk sekitarnya yang anti "berhala". Kini yang masih tersisa hanya beberapa kuburan kuno dan pecahan-pecahan patung batu.[29]

Sekalipun, adat istiadat Hutasiantar telah banyak hilang dan telah banyak pula berobah, namun posisi sebagai pemangku adat tetap pungsi, seperti penjualan tanah wilayah kerajaan kepada pihak luar, pesta pernikahan, aturan tentang bermasyarakat. Salah satu contoh aturan yang dikeluarkannya terakhir ini adalah aturan tentang mengucilkan masyarakat yang bergabung dalam organisasi Muhammadiyah. Aturan itu adalah, putusnya hubungan kekerabatan dalam adat mandailing Marmora, Markahanggi dan Maranak Boru, yang telah ditananmkan oleh nenek moyang dahulu.

BACAAN RUJUKAN

Hamka, Antara Fakta dan Khayal "Tuanku Rao": Bantahan terhadap tulisan-tulisan Ir. Mangaraja Onggang Parlindungan dalam bukunya "Tuanku Rao". Jakarta : Bulan Bintang,1974– 363 hal.


Basyral Hamidy Harahap dan Hotman M. Siahaan. Orientasi Nilai-Nilai Budaya Batak : Suatu Pendekatan Terhadap Perilaku Batak Toba dan Mandailing, Jakarta : Sanggar Willem Iskander, 1987– xiv, 241 p. – ISBN 979-8067-00-9

Basyral Hamidy Harahap, Horja: Adat Istiadat Dalihan Na Tolu, Jakarta, Sanggar Willem Iskander, 1993. xxxiii, 598 [60] hal. – (ISBN 979.8447-00-X).

Makalah pada Seminar Sehari Gerakan Kependidikan Willem Iskander, diselenggarakan oleh Kanwil Depdikbud Provinsi Sumatera Utara, Medan, 18 Januari 1996."Adat istiadat Mandailing: Pengaruh dan tantangan dalam gerakan kependidikan Willem Iskander.


Daoed Joesoef, "Willem Iskander: Guru yang Terlempar Jauh ke Masa Depannya". – Dalam: Nalar dan Naluri: 70 Tahun Daoed Joesoef. – Jakarta : CSIS. 1996– hal. 185-227 (ISBN 979-8026-44-6).


Makalah pada Sarasehan Masyarakat Mandailing di Jakarta, 12 Juli 1997, "Orientasi Pembangunan Mandailing: pelajaran dari sejarah, Jakarta : Pengurus HIKMA. 1997.


Pemkab Madina, Pemerintah Kabupaten Madina membangun masyarakat yang madani: suatu studi perbandingan. – Cet. 1. – Panyabungan : Pemkab Madina. 2004 – 424 [62] hal. – (ISBN 979-98376-0-X).


Dinas Pendidikan Madina, Fakta dan angka: Statistik pendidikan Kabupaten Mandailing Natal 2005. – Panyabungan : Dinas Pendidikan Madina. 2005 – xii, 88 hal. – (ISBN 979-99704-0-7).


Pemkab Madina, Rakyat mendaulat Taman Nasional Batang Gadis, Panyabungan: Pemkab Madina. 2005 – xvi [16], 132 hal. – (ISBN 979-98376-1-8).


“Ulama dan Perubahan Sosial”. – Makalah pada peluncuran Tafsir Al Ahkam karya Syekh Abdul Halim Hasan Binjai, di Hotel Garuda Plaza, Medan, 17 Juni 2006. – 12 hal. 2006b


Basyral Hamidy Harahap, Greget Tuanku Rao. – Jakarta : Komunitas Bambu. 2007 – xiii, 303 hal. – ISBN 978-979-3731-16-2


Willem Iskander, Si Boeloes-Boeloes Si Roemboek-Roemboek. – Batavia : Landsdrukkerij. 1872


Basyral Hamidy Harahap. Si Bulus-Bulus Si Rumbuk-Rumbuk: sebuah buku bacaan / yang ditulis oleh Willem Iskander ; diterjemahkan dari bahasa Mandailing ke dalam bahasa Indonesia, Jakarta : Campusiana. Cet. 1. – 1977 – 107 hal.


Basyral Hamidy Harahap, Si Bulus-Bulus Si Rumbuk-Rumbuk : dwi bahasa / dengan pengantar dan terjemahan. Jakarta : Penrebit Puisi Indonesia. – Cet. 2. – 1987 – viii, 113 hal. – (Terbitan ke-44).


Basyral Hamidy Harahap, Si Bulus-Bulus Si Rumbuk-Rumbuk : dwi bahasa / pengantar dan terjemahan, Jakarta : Sanggar Willem Iskander. oleh– Cet. 3. –2002 – xi, 109 hal. – (ISBN 979-8067-01-0).


Mangaraja Onggang Parlindungan, Pongkinangolngolan Sinambela gelar Tuanku Rao: Terror Agama Islam di Tanah Batak 1816-1833. – Djakarta : Tandjung Pengharapan. 1964 – 691 hal.


[1] Mangaradja Onggang Parlindungan, Pongkinangolngolan Sinambela Gelar Tuanku Rao Terror Agama Islam Mazhab Hanbali di Tanah Batak , (Yogyakarta: LKIS, 2007), h 33-35.

[2]Dja Endar Muda, Tambo Radja-Radja Mandailing, (http:// www.mandailing.org/ ind/ isi.html, 17-12-2009, 20:40:12). Hikayat ini juga dibenarkan oleh para tokoh adat yang bermarga Nasution Borotan di Kota Siantar.
[3] Syahbuddin Pulungan (82 tahun), Wawancara, Kota Siantar, 14 Desember 2009.


[4] Mangaradja Onggang Parlindungan, Pongkinangolngolan Sinambela Gelar Tuanku Rao Terror Agama Islam Mazhab Hanbali di Tanah Batak , (Yogyakarta: LKIS, 2007), h 36.

[5] Basyral Hamidy Harahap, Madina Membangun Masyarakat Yang Madani,(Jakarta: Metro Pos, 2004), h 82-83.

[6] Basyral Hamidy Harahap, Madina Membangun Masyarakat Yang Madani,(Jakarta: Metro Pos, 2004), h 13.

[7] Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Mandailing Natal, 2009.


[8] Juned Nasution Borotan, Tokoh Adat Kotasiantar, Wawancara, Kotasiantar, 9 Desember 2009.


[9] Dja Endar Muda, Tambo Radja-Radja Mandailing, (http://www.mandailing.org/ind/isi. html, 17-12-2009, 20:40:12).

[10] Syahbuddin Pulungan, Tokoh Adat Kotasiantar, Wawancara, Kotasiantar, 14 Desember 2009.

[11] Dja Endar Muda, Tambo Radja-Radja Mandailing, (http://www.mandailing.org/ind/isi. html, 17-12-2009, 20:40:12).

[12] Basyral Hamidy Harahap, Willem Iskander (1840-1876): Pelopor Pendidikan dari Sumatera Utara, (http://basyral-hamidy-harahap.com Blog of Basyral Hamidy Harahap basyralharahap@centrin.net.id, Tanggal 17 Desembeer 2009, 20:23:12)

[13] H. Abdul Hakim Nasution (76 Tahun), Tokoh Masyarakat, Wawancara, Kota Siantar, 13-14 Desember 2009.


[14] H. Fachri Nasution (72 Tahun), Mantan Kepala Desa Hutasiantar, Wawancara, Kota Siantar, 12 Desember 2009.

[15] Erwin Nasution (30 Tahun), Lurah Kotasiantar, Wawancara, Kota Siantar, 10 Desember 2009.

[16] Basyral Hamidy Harahap, Willem Iskander (1840-1876): Pelopor Pendidikan dari Sumatera Utara, (http://basyral-hamidy-harahap.com Blog of Basyral Hamidy Harahap basyralharahap@centrin.net.id, Tanggal 17 Desembeer 2009, 20:23:12)


[17] Syahbuddin Pulungan, op. cit.

[18] Basyral Hamidy Harahap, Willem Iskander (1840-1876): Pelopor Pendidikan dari Sumatera Utara, (http://basyral-hamidy-harahap.com Blog of Basyral Hamidy Harahap basyralharahap@centrin.net.id, Tanggal 17 Desembeer 2009, 20:23:12)

[19] Bsral Hamidy, Na Itam Na Robi, (http://www.mandailing.org/ind/isi.html, 17-12-2009, 20:15:34 WIB).
[20] Thomas W. Arnold, Sejarah Dakwah Islam, (Jakarta: Widjaya, 1979), h 322-323.

[21] Dari berbagai sumber dan tokoh.


[22] H. Abdul Hakim Nasution (78 Tahun), Tokoh Masyarakat, Wawancara, Kota Siantar, 13-14 Desember 2009. Juga dibenarkan oleh anak dan murid-muridnya yang masih hidup di Kota Siantar.

[23] H. Ali Maat Rangkuti (76 Tahun), Tokoh Masyarakat, Wawancara, Kota Siantar, 12 Desember 2009.


[24] Mangaradja Onggang Parlindungan, Pongkinangolngolan Sinambela Gelar Tuanku Rao Terror Agama Islam Mazhab Hanbali di Tanah Batak , (Yogyakarta: LKIS, 2007), h 35.


[25] H. Ali Maat Rangkuti, op. cit.

[26] Pengaduan Lubis, Pelestarian Warisan Budaya Mandailing, (http://www.mandailing. org/ind/rencana 17.html, Tanggal 17 Desember 2009, 20:19:43)

[27] Basyral Hamidy, Pengenalan, (http://www.mandailing.org/ind/isi.html, 17-12-2009, 19:35:34 WIB).

[28] Basyral Hamidy Harahap dan Hotman M. Siahaan, Orientasi Nilai-Nilai Budaya Batak:Suatu Pendekatan Terhadap Perilaku Batak Toba dan Mandailing, (Jakarta : Sanggar Willem Iskander, 1987), h 6.

[29] Basyral Hamidy, Perkuburan & Lobu, ((http://www.mandailing.org/ind/isi.html, 17-12-2009, 20:15:34 WIB).


Sumber:
http://endihasan305131.blogspot.com/2010/01/hutasiantar-panyabungan.html

No comments:

Post a Comment