Selamat Ginting, Marhaenis Dari Tanah Karo
Sabtu, 3 November 2012 | 10:02 WIB ·
Tanah Karo, sebagai wilayah yang menjadi basis kekuatan politik Marhaenis, pernah melahirkan seorang tokoh yang konsisten memperjuangkan ideologi Marhaenisme dalam tiap langkah perjuangannya. Sejak era kolonial Belanda hingga zaman de-Soekarnoisasi Orde Baru, tokoh yang satu ini tetap teguh berjuang dibawah ‘panji’ Marhaenis. Selamat Ginting, nama tokoh ini, yang juga dikenal dengan nama Kilap Sumagan.
Lahir pada 22 April 1923, Selamat Ginting telah memiliki concern yang besar terhadap dunia pergerakan nasional ketika masih berusia remaja. Ketika beliau sedang menempuh pendidikan menengah di zaman kolonial (HIS), ia telah mengamati kiprah berbagai organisasi pergerakan yang bertendensi nasionalis kerakyatan, seperti Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo), Partai Indonesia (Partindo), dan Gabungan Politik Indonesia (GAPI).
Setamatnya dari HIS, Selamat meneruskan pendidikan di Sekolah Ekonomi Kayutanam, Sumatera Barat. Pada saat yang bersamaan, sekolah tersebut tengah dipimpin oleh S.M. Latief yang juga merupakan pemimpin surat kabar Resensi. Surat kabar ini terkenal karena memuat berbagai tulisan resensi yang dibuat oleh tokoh-tokoh pergerakan terkemuka saat itu, antara lain Bung Hatta.
Selamat, yang memang telah memiliki minat besar pada dunia politik, turut pula menyumbangkan satu tulisan yang mengulas buku politik karya Roestam Effendi: Van Moscow naar Tiflis pada surat kabar tersebut. Buku tersebut ia akui sebagai buku politik pertama yang dibacanya.
Setelah tuntas mengenyam pendidikan di Sekolah Ekonomi Kayutanam, Selamat pulang ke
tanah Karo. Tak lama kemudian, Perang Pasifik meletus dan Jepang menginvasi Indonesia. Hal itu menandai berakhirnya era penjajahan kolonialis Belanda dan dimulainya masa pendudukan Jepang di nusantara, termasuk Tanah Karo.
Selamat pun memutuskan untuk turut berjuang menghadapi penjajah baru dari Asia Timur tersebut, dengan bergabung ke partai yang dibentuk oleh Bung Hatta, Partai Pendidikan Nasional Indonesia. Namun, pemerintah Jepang yang memang melarang segala kegiatan berbau politik segera membubarkan partai tersebut. Setelah pembubaran itu, Selamat dan kawan-kawan pun membentuk Pusat Ekonomi Rakyat (Pusra) guna membantu menggerakan perekonomian rakyat pada masa itu.
Pasca proklamasi kemerdekaan, bangsa Indonesia masih harus menghadapi fase perang kemerdekaan, ketika Belanda berusaha menduduki kembali nusantara termasuk Tanah Karo. Selamat kembali terpanggil untuk berjuang bagi kemerdekaan penuh republik ini. Ia masuk tentara keamanan rakyat dan diangkat menjadi Komandan Sektor III Subteritorium VII Komando Sumatera yang meliputi wilayah Dairi, Tanah Karo, Aceh Tenggara dan Langkat.
Semasa era revolusi, pasukan Selamat dijuluki dengan sebutan “pasukan halilitar” yang dikenal garang dalam setiap pertempuran melawan Belanda. Pasukan Selamat juga dikenal tidak pernah kompromi dengan musuh karena Selamat memiliki prinsip daripada mundur, lebih baik maju mengejar musuh.
Setelah perang kemerdekaan selesai, Selamat memutuskan untuk berkecimpung di dunia politik melalui partai yang dibentuk Bung Karno pada masa kolonial, Partai Nasional Indonesia (PNI). Melalui partai yang berazaskan Marhaenisme ajaran Bung Karno ini, ia sempat menduduki jabatan tertinggi di dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD) Sumatera Utara pada tahun 1950. Dalam struktur partai sendiri Selamat dipercaya sebagai Pimpinan Daerah PNIwPendidikan Sumatera Utara ditahun 1954.
Kiprah politiknya di daerah menimbulkan keinginan dari pengurus pusat partai untuk ‘menarik’ Selamat ke Jakarta. Selamat pun diberikan amanat untuk menjabat Ketua Departemen Organisasi DPP PNI pada tahun 1955, hampir berbarengan dengan penyelenggaraan pemilu pertama sejak Indonesia merdeka. Pada pemilu itu juga, Selamat berhasil meraih satu kursi di dewan perwakilan rakyat (DPR) mewakili PNI sejak tahun 1956.
Namun, tak lama kemudian meletus pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera, termasuk Sumatera Utara yang merupakan kampung halaman Selamat. Pemberontakan tersebut bernuansa makar terhadap pemerintahan Bung Karno dan merongrong kedaulatan negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI) karena dibekingi pihak asing. Digerakan oleh loyalitasnya terhadap Bung Karno dan NKRI, Selamat pun menghimpun para prajurit yang pernah menjadi anak buahnya dimasa revolusi untuk turut membantu TNI menumpas pemberontakan.
Loyalitasnya terhadap Bung Karno serta ideologi Marhaenis berlanjut dimasa ketika pertentangan antar kekuatan politik, terutama antara Partai Komunis Indonesia (PKI) dan militer makin meruncing pada tahun 1965. Ketika itu, PNI juga dirundung friksi internal. Banyak elemen-elemen ‘kanan’ yang tidak sejalan dengan haluan politik Bung Karno, turut ‘mewarnai’ dinamika internal PNI. Friksi inilah yang kemudian melahirkan dua kubu PNI pasca tragedi 1965, yakni PNI Ali Sastroamidjojo-Surachman (atau yang dikenal PNI-ASU) dan PNI Osa Maliki-Usep Ranawidjaja (Osa-Usep).
Di saat sulit seperti itu, Selamat dengan tegas berdiri dipihak yang menjunjung tinggi ideologi dan haluan politik Bung Karno. Hal ini sejalan dengan pilihan politik PNI kubu Ali-Surachman. Pilihan politik ini pulalah yang membuat Selamat dipecat dari partainya, ketika kubu Osa-Usep yang pro Orde Baru menguasai struktur kepemimpinan partai dalam Kongres partai diBandung tahun 1966.
Pemecatan tersebut tak membuat semangat perjuangan marhaenis dari tanah Karo ini surut. Bersama beberapa anggota PNI loyalis Bung Karno lainnya, Selamat menghadap Bung Karno untuk memohon izin mendirikan partai baru yang terlepas dari PNI namun masih berlandaskan Marhaenisme ajaran Bung Karno. Hal ini didasari pertimbangan Selamat dan kawan-kawan, bahwa PNI sudah tidak konsisten lagi dengan Marhaenisme serta telah terkontaminasi Orde Baru yang pro-imperialis. Partai yang ingin didirikan oleh Selamat cs itu adalah Partai Rakyat Marhaen (PRM).
Bung Karno pun mendukung, dan berjanji akan meresmikan pendirian partai itu. Tetapi, kenyataan berbicara lain. Bung Karno terjungkal dari kekuasaan sebelum PRM sempat dibentuk.
Namun, Selamat tetap tidak menyerah dan terus berupaya merealisasi niatnya bersama kawan-kawan. Peleburan partai-partai atau fusi yang dilakukan rezim Orde Baru dan menghasilkan penyederhanaan jumlah partai hanya menjadi 2 partai politik dan 1 golongan karya diawal tahun 1970-an tidak pula menyurutkan langkah Selamat. Setelah melewati berbagai rintangan politik dari penguasa, Selamat berhasil membentuk organisasi Gerakan Rakyat Marhaen (GRM) pada tahun 1981.
Hingga akhir hayatnya, Selamat lebih memilih berjuang melalui organisasi GRM ketimbang masuk partai mainstream, termasuk partai yang dianggap ‘reinkarnasi’ PNI sekalipun. Ia tidak bersedia berkecimpung dalam sistem politik yang menurutnya tidak sejalan dengan prinsip-prinsip Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 sejati warisan para founding fathers, terutama Bung Karno. Itulah wujud konsistensi Selamat kepada ideologi Marhaenisme selama hidupnya.
Hiski Darmayana, Aktivis Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI)
Gubsu dan Guruh Soekarnoputra Resmikan Tugu Pejuang Kemerdekaan Mayor (Purn) Selamat Ginting di Medan
Medan (SIB)
Gubsu HT Rizal Nurdin dan Guruh Soekarnoputra mewakili Yayasan Bung Karno meresmikan tugu pejuang kemerdekaan Mayor (Purn) Selamat Ginting (Kilap Sumagan) di Jambur Halilintar Jalan Jamin Ginting Km 11 simpang Selayang Medan, Minggu (7/9). Acara peresmian tugu pejuang asal Tanah Karo itu berlangsung sukses dan dihadiri ribuan masyarakat. Hadir dalam acara tersebut, Wagubsu Drs Rudold Pardede, ketua Fraksi Gabungan DPRD Sumut Sanggam SH Bakara, para veteran serta seperjuangan Mayor (Purn) Selamat Ginting, tokoh masyarakat, ketua pengurus daerah Pemuda Pancamarga Sumut diketuai Drs Juliestas K beserta pasukan Resimen Yudha Putra dan Satgas Marhaen.
Sebelum Gubsu dan Guruh Soekarnoputra menandatangani prasasti dan melepaskan Burung Merpati, diadakan upacara nasional dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya dan hening cipta. Isi prasasti yang ditandatangani bertuliskan "Dengan jiwa semangat nilai-nilai 45 telah berdiri patung Mayor (Purn) Selamat Ginting komandan Sektor III KO Sumatera, diresmikan 7 September 2003 oleh Gubsu dan Guruh".
Kedatangan Guruh Soekarnoputra dan Gubsu langsung disambut keluarga besar Mayor (Purn) Selamat Ginting dengan mengalungkan bunga dan mengenakan topi terbuat dari ulos karo. Mayor (Purn) Selamat Ginting (Kilap Sumagan) kelahiran 22 April 1922 di Kuta Bangun Tanah Karo semasa hidupnya walaupun tinggal di kota Medan selalu melakukan hubungan dengan pejuang-pejuang di Tanah Karo. Mayor (Purn) Selamat Ginting menikah tahun 1944 dengan Piah Malem Rondangena Br Manik.
Drs Tampak Kita Tuah Ginting selaku anak almarhum sekaligus mewakili keluarga mengucapkan banyak terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Gubsu dan Guruh Soekarnoputra atas kesediaannya meresmikan tugu pejuang kemerdekaan Mayor (Purn) Selamat Ginting. Sebab kedatangannya merupakan suatu kehormatan dan kebanggaan bagi keluarga almarhum Selamat Ginting. Tugu ini diresmikan bertujuan untuk mengingatkan kembali tentang pentingnya peranan perjuangan 45 dan pelestarian nilai-nilai semangat pejuang negara RI untuk mencapai adil dan makmur.
Menurut teman seperjuangan Mayor (Purn) Selamat Ginting, Letkol (Purn) Eben Ezer bahwa di Sumut Selamat Ginting sudah terkenal walaupun tidak mengenal langsung orangnya. Sebab di kampung halamannya Tanah Karo, ia sangat berjasa karena telah membangkitkan jiwa dan semangat masyarakat. Selama berjuang Selamat Ginting tidak pernah kompromi dengan musuh karena ia berprinsip "Daripada mundur, lebih baik maju mengejar musuh".
Gubsu dalam sambutannya mengatakan, peresmian tugu pejuang Mayor (Purn) Selamat Ginting merupakan salah satu upaya pelestarian nilai-nilai keperintisan di Sumut serta perwujudan rasa hormat dan penghargaan kepada para pahlawan dan pejuang yang berjasa dalam menegakkan serta mempertahankan negara RI.
Dalam kesempatan itu juga Guruh Soekarnoputra mengatakan bahwa sampai detik ini "revolusi belum selesai" untuk itu harus diperjuangkan rumah kita yang belum selesai. Sebab Bangsa Indonesia masih merasakan masalah-masalah yang harus diselesaikan termasuk bidang politik, ekonomi khususnya kebudayaan. Kebudayaan dikaitkan dengan kesenian dan adat istiadat. Bangsa Indonesia sedang mengalami krisis moral baik itu di kalangan wong cilik maupun di Marhaen termasuk kaum pemimpin-pemimpin yang duduk di atas yang selalu mementingkan pribadi maupun kelompok.
Guruh mewakili Yayasan Bung Karno menginginkan, mengusulkan, menyarankan dan mendorong pemerintah untuk dapat memberikan penghargaan Pahlawan Nasional kepada Mayor (Purn) Selamat Ginting. Guruh juga minta kepada pemerintahan Sumut supaya ikut mengusulkan.
Ketua Fraksi Gabungan DPRD Sumut Sanggam SH Bakkara secara khusus ketika SIB minta pendapat mengenai usulan Guruh Soekarnoputra mendukung sepenuhnya supaya Mayor (Purn) Selamat Ginting menjadi Pahlawan Nasional. (RHS/r)
Sumber:
https://groups.yahoo.com/neo/groups/permata-gbkp/conversations/topics/4763
No comments:
Post a Comment