Wednesday, May 21, 2014

Ketua DPRD Persoalkan Pakaian Adat Pesisir Sibolga

Ketua DPRD Persoalkan Pakaian Adat Pesisir Sibolga

(Analisa/yudi arisandi nasution) SARUNG LEHER: Walikota HM Syarfi Hutauruk, Wakil Walikota Marudut Situmorang bersama sejumlah anggota DPRD Sibolga dan undangan memasuki gedung dewan mengikuti sidang paripurna istimewa Hari Jadi Sibolga ke-314 tahun, Rabu (2/4) mengenakan pakaian adat pesisir dengan sarung di leher. Ketua DPRD Sibolga Syahlul U Situmeang enggan memimpin dan memulai sidang meminta agar sarung dikenakan di pinggang.

Sibolga, (Analisa). Walikota HM Syarfi Hutauruk akhirnya meminta digelar seminar budaya pesisir supaya diperoleh kejelasan dan kepastian budaya adat istiadat pesisir terutama tentang pemakaian pakaian adat pesisir Sibolga.

Demikian ditegaskan Syarfi Hutauruk pada sidang paripurna istimewa Hari Jadi Kota Sibolga ke -314 di gedung dewan Sibolga, Rabu (2/4). Hal ini buntut terjadinya selisih pendapat terkait pakaian adat pesisir mengenakan sarung di leher dinilai tak mencerminkan budaya asli pesisir.

Akibatnya, Ketua DPRD Sibolga Syahlul U Situmeang enggan memulai sidang paripurna, dan meminta hadirin memakai pakaian adat pesisir mengenakan sarung yang sebelumnya di leher agar dikenakan di pinggang. Bila tidak, Syahlul enggan memimpin sekaligus membuka sidang paripurna istimewa. Setelah beberapa jam hadirin selesai mengenakan sarung di pinggang, akhirnya Ketua DPRD Sibolga memulai sidang paripurna istimewa Hari Jadi Sibolga itu.

“Dari kejadian awal persidangan, pemakaian sarung ada dua, di atas atau di bawah. Ya, ini memang merupakan bagian dari pengayaan budaya pesisir dari tokoh–tokoh adat pesisir. Tapi ini perlu ada seminar supaya jelas dan pasti dimana pernak pernik dan ornamen – ornamen itu dipakai, apakah di atas atau dibawah,” kata Walikota Syarfi Hutauruk dalam sambutannya.

Sehingga ke depan, kata Syarfi, tidak ada lagi yang diperdebatkan tentang mana sesungguhnya etnis pesisir. Kemudian tidak menjadi sebuah insiden dan catatan kepastian dari sebuah budaya.

“Ini kami serahkan kepada pemerhati dan tokoh–tokoh adat daerah. Sebab ini ada yang menggugat. Kenapa, karena Sibolga dihuni kurang lebih sebanyak 15 etnis mulai dari Pesisir, Batak, Mandailing, Nias, Tionghoa dan lain sebagainya. Sehingga ada yang melihat itu bukan pakaian adat Sibolga, tapi Batak, Mandailing, Nias dan lainnya,” paparnya.

Terkait Hari Jadi Sibolga ke-314 tahun ini, Syarfi mengajak seluruh lapisan masyarakat untuk tidak melupakan sejarah masa lampau. Karena bila dilupakan, maka akan mengalami pergeseran budaya asal dan berujung kehancuran. Apalagi dikemajuan ilmu dan teknologi dapat menimbulkan kehancuran, bila tidak dibarengi etika dan iman kepada Tuhan Yang Maha Esa.

“Kita bangga, masyarakat Kota Sibolga masih punya peradaban yang baik, sopan dan santun, harga menghargai, tolong menolong dan hidup damai walau berbeda. Mari kita tingkatkan dan lestarikan sehingga gejolak negatif tak terjadi di Kota Sibolga,” ucapnya.

Ketua Lembaga Budaya Pesisir Pantai Barat Sumatera Utara (LBPBSU) Sahat Simatupang saat ditanya perihal perdebatan yang dipertontonkan saat sidang paripurna istimewa tersebut, menilai seminar budaya pesisir sangat perlu dilakukan, sehingga menemukan kepastian. “Perlu. Itu makanya ada kesepakatan untuk melakukan itu,” ucapnya.

Sesuaikan
Sejatinya, sambung Sahat, pemakaian pakaian dan adat itu tergantung waktu dan tempat. Orang terkadang salah dan menyamakan pemakaiannya di setiap kegiatan apapun. Padahal, pakaian adat itu dipakai sesuai bentuk adat yang dilaksanakan. Sementara budaya pesisir, merupakan pengayaan budaya dan penyatuan dari berbagai budaya etnis daerah yang dilaksanakan dalam satu kondisi yang sama.

“Seharusnya juga, sebagaimana kebiasaan adat, pemangku adat negeri ini (Kota Sibolga-red) adalah kepala daerah yakni walikota. Sehingga pelaksanaan dan penegakan peraturan yang berkenaan adat daerah, dapat dijalankan pemangku adat negeri ini. Misalnya, bila sesuatu hal terjadi yang melanggar adat daerah, maka pemangku adat negeri ini yang mengambil keputusan sesuai hukum adat,” jelas Sahat.

Disinggung mengenai adanya gugatan hak cipta Rumah Adat Pesisir Sibolga, Sahat mengatakan, rumah adat pesisir Sibolga adalah pengembangan khasanah kekayaan kebudayaan. Tidak ada satupun orang yang bisa mengklaim bahwa itu ciptaannya, karena sudah ada sejak leluhur.

“Cuma yang menjadi masalah, mungkin orang tersebut mengangkat kembali budaya lama yang sudah terpendam atau menginovasi kembali yang sudah ada dan menjadikannya hak cipta. Padahal bukan menjadi hak cipta, karena hak cipta itu menciptakan yang tidak ada menjadi ada,” tambahnya.
Sidang paripurna istimewa Hari Jadi Sibolga ini dihadiri Assisten III Pemprovsu Arsad Lubis, Bupati Kabupaten Samosir Mangindar Simbolon, Wakil Bupati Tapanuli Tengah H Syukran J Tanjung, mewakili Ketua DPRDSU Ahmad Aswad, mewakili Bupati Langkat Rasmi Sitepu, Direktur Bank Sumut Ester Ginting.

Kemudian mewakili Walikota Binjai, mewakili Walikota Tanjung Balai, mewakili Bupati Pakpak Barat, Danrem, Dirjen Kementerian Pariwisata, Muspida Sibolga, Para ahli waris pendiri Sibolga Tuanku Dorong Hutagalung, Mantan Walikota Sibolga dan Wakil Walikota, mantan Ketua DPRD Sibolga dan undangan lainnya. (yan)


Sumber: analisadaily.com

No comments:

Post a Comment