BAB – VII
KERAJAAN ASAHAN
Laporan John Anderson Utusan Gubernur Penang ketika mengunjungi
Asahan pada Tahun 1823 dalam bukunya "Mission Of The East Coast Of Sumatera"
Laporan John Anderson Utusan Gubernur Penang ketika mengunjungi
Asahan pada Tahun 1823 dalam bukunya "Mission Of The East Coast Of Sumatera"
Menurut
legenda di Tanah Jawa (Simelungun) ada menetap koloni orang Jawa (pada
zaman Majapahit) dan di Batu Kinihir, dekan Aek Silau, dibawah kampung
Bandar Pasir Mandogei, ada batu sebesar 20 meter, yang dibuat oleh orang
Jawa SI LOPAK IPON (gigi putih), pada kenyataannya orang Melayu juga
disebut orang Batak sebagai ‘Orang Jau’.
Sultan
Aceh SULTAN MAHKOTA ALAM ALAUDDINRIAYATSYAH (SYAH JOHAN) juga digelar
AL QAHHAR ingin meminang Puteri Hijau di tanah Deli-Tua (1539-M).
Meskipun usahanya itu tidak berhasil karena Puteri Hijau lolos ke laut,
maka bala tentera Aceh itu harus menyusuri pantai arah ke Selatan.
Sesampainya di sebuah muara sungai besar, sungai Asahan, maka
dimasukilah sungai itu mudik dan ternyata tidak ada ditemui penduduk.
Sesampainya di kampung Tulawan, baru ditemui penduduk Batak yang tidak
tahu bahasa Melayu. Untunglah disitu ada seorang hulubalang bernama
BAYAK LENGGA HARO-HARO, yang tahu berbahasa Melayu, yang mengatakan
bahwa Raja disitu adalah SI MARGOLANG SUKU PARDEMBANAN. Sultan Aceh lalu
menyuruh agar penduduk pindah ke pertemuan sungai Silau dengan sungai
Asahan, dan kemudian lahirlah TANJUNG BALAI.
Terdengarlah
kabar bahwa Raja Pinag Awan (Kotapinang) bernama BATARA SINOMBA (Marhom
Mangkat Di Jambu) dari perkawinannya dengan permaisuri memperoleh 2
orang putera dan seorang puteri bernama SITI ONGGU (Puteri Berinai).
Kemudian ia kawin lagi dengan seorang hambanya dan memperoleh seorang
putera. Wanita hamba ini dapat mempengaruhi Batara Sinomba agar
puteranyalah yang akan menggantikan kelaksebagai raja sehingga kedua
orang putera raja dari Ibu Gahara itu lalu diusir. Akhirnya mereka minta
tolong kepada Sultan Aceh yang balatenteranya lewat di situ. Sultan
Aceh lalu mengirim pasukan dipimpin Raja Muda Pidie. Pasukan Aceh lalu
membunuh Batara Sinomba dekat
sebuah pohon Jambu, dan mengangkat kedua orang putera raja dari ibu
gahara itu sebagai raja disana, tetapi sebagai balas jasa mereka
mengambil Siti Onggu sebagai isteri Sultan Aceh.
Setelah
sekian lama maka rindulah mereka akan adik mereka Siti Onggu itu. Lalu
mereka pergi ke Tanjung Balai dan meminta tolong kepada Bayak Lengga
Haro-Haro agar mau menemani mereka menghadap Sultan Aceh. Sampai di Aceh
didapatinyalah bahwa adiknya SIti Onggu sedang hamil besar. Permohonan
mereka kepada Sultan Aceh agar dapat membawa pulang adik emreka
diperkenankan dengan syarat, bahwa bila lahir anak yang dikandung SIti
Onggu seorang laki-laki, maka ia haru dirajakan di Asahan dan jatuhlah
talaknya kepada Siti Onggu yang bisa dinikahi oleh Bayak Lengga
Haro-Haro nanti. Putera yang lahir dari Siti Onggu itu dijadikan Raja
Asahanpertama bergelar Sultan Abdul Jalil (Marhom Tangkahan Sitarak)
dengan membawa benda pusaka dari Aceh sebuah Bawar dan sebuah Jorong
(tepak sirih) dan sebuah lela (SI Juang nan Hilang), dan Bendahara
Sakmar Diraja (asal Pasai) sebagai Bendahara dan Pemangku.
Kemudian
Bayak Lengga setelah Islam kawin dengan SIti Onggu dan dia diberi gelar
RAJA BOLON. Raja Bolon kawin pulan denganputeri dari Raja Si Margolang
Pardembanan. Keturunannya dari perkawinan dengan Siti Onggu yaitu ABD.
KARIM digelar bangsawan BAHU KANAN atau HARU DALAM, sedangkan turunannya
dari perkawinan dengan puteri Si Margolang yaitu ABD. SAMAT dan ABD.
KAHAR digelar BAHU KIRI atau HARU LUAR. Mereka umumnya dipanggil dengan
gelar sebutan”DATUK MUDA”. Raja Simargolang berhasil merebut
pemerintahan Asahan dan menunjuk Abd. Samat sebagai Raja Kota Bayu dan
Abd. Kahar sebagai Raja Tg. Pati (di atas Sirantau). Sultan Abd. Jalil
terpaksa mengungsi dekat Silau Meraja yang berada dibawah Kuasa Tengku
Ambang (asal Pagarruyung). Dia lalu minta bantuan ke Aceh. Banyak
pasukan Aceh yangmati kena racun. Itulah dia Tanjong Tambun Tulang. Raja
Simargolang akhirnya tunduk juga pada Sultan Abd. Jalil di tempat yang
disebut “Padang Marjanji Aceh”. Abd. Jalil lalu membuat Istana pada
pertemuan Sei Asahan dengan Sei Silau. Itulah kota Tk. Balai sekarang.
Dari Panai, Baginda mendapat alat kebesaran tombak “Panca Roba”. Baginda
kawin dengan puteri Raja Batak ompu Liang.
Pada tahun 1641 sebuah galyun dari Jepara membawa garam minta surat pas kepada VOC di Melaka untuk pergi ke Asahan (Dagregister VOC
di Melaka, 14-6-1641). Setelah Sultan Abdul Jalin berturut-turut
menjadi Raja Asahan dengan memakai gelar “ YANG DIPERTUAN” (YAMTUAN)
yaitu:
I. SULTAN SYAIDI SYAH (Marhom Simpang Toba)
II. SULTAN RAJA MOHAMAD RUMSYAH (Marhom Sei Banitan/Marhom Gagap)
III. SULTAN ABDUL JALIL SYAH-II (MarhomSei Raja), memerintah 1760-1765.
IV. SULTAN RAJA DEWA SYAH (Marhom Pasir Putih) mangkat 1805.
V. SULTAN RAJA MUSA (MARHOM RANTAU PANJANG) mangkat 1808.
VI. SULTAN RAJA ALI (Marhom Sirantau) mangkat 1813.
VII. SULTAN RAJA HUSIN SYAH-I (Marhom Kampong Mesjid)
VIII. SULTAN AHMAD SYAH (memerintah 1853-1865 kemudian 1866-1888)
IX. SULTAN MOHAMAD HUSIN SYAH (mangkat 7 Juli 1915)
X. SULTAN SAIBUN ABDUL JALIL RAHMAT SYAH (dihapuskan ketika Revolusi Sosial 3 Maret 1946)
Sultan
Rumsyah (No.III) kawin dengan puteri Bendahara (Encik Samidah) dan
menetap di Sei Banitan. Ia berputera 3 orang: Abd. Jalil Syah, Raja
Paduka dan Raja Kecil Besar. Sultan Raja Dewa Syah (No.V) kawin dengan
puteri pedagang Cina Melaka dan memperoleh putera Raja Musa dan Raja
Ali. Kawin lagi dengan Encik Jauh juga dari Melaka, diperoleh putera
Raja Laut. Baginda berperang dengan Raja Graha Barut dari Buntu Panei.
Pada masa pemerintahan Sultan Abdul Jalil Syah (No.IV) yang membantu
Raja Alam Siak kemudian (1763) berbalik melawan VOC Belanda. Yamtuam
Riau, RAJA HAJI, kawin dengan puteri Sultan Asahan dan sebagai mas
kawinnya dihadiahkan kapal penjajap “Bulang Linggi” yang jadi kapal
komando Raja Haji menyerang VOC (1756) di Melaka. Penduduk Batubara
turut dalam pasukan Raja Haji menyerang VOC di Melaka dan tanggal 4
Februari 1857 membakar pinggiran benteng VOC di Melaka.
Baginda
kawin dengan Incek Selamah, puteri dari Bendahara dan berputera Raja
Dewa Syah (No.V), dan pada tahun 1800 Baginda mangkat. Dengan kerajaan
Tanah Jawa membantunya, maka terjadilah perdamaian dengan Kerajaan Buntu
Panei yang waktu itu sangat kuat (kini menjadi bahagian dari Kerajaan
Asahan). Masa itu yang dihadapi adalah Kerajaan Haboko dan Gunung
(kemudian sudah menjadi bagian dari Asahan). Sultan Raja Musa (No.IV)
hanya singkatmemerintah dengan istrinya Incek Fatimah (puteri Bendahara)
yang mengandungkan puteranya Raja Mohamad Ishak yang lahir 2 bulan
setelah Baginda mangkat. Naiklah tahta adiknya, Raja Ali yang kawin
dengan Tengku Puan (asal Selangor) dimana lahir Raja Husin dan adiknya
Tengku Siti (kawin dengan Sultan Osman Deli, lihat sejarah Bedagai).
Setelah
Sultan Raja Ali mangkat tahun 1813 terjadilah perang saudara,
TengkuTua, abang Tengku Puan bersama Tengku Biung Kecil mengangkat Raja
Husin sebagai Sultan, sedangkang Bendahara Megat Gunung, mendukung Raja
Ishak. Sultan Husin (No.VIII) kawin dengan puteri dari Tengku Tua dan
juga kawin dengan puteri Raja Trus Buntu Panei. Pada tahun 1828 Baginda
berperang dengan Bilah.
Sultan
Husin kawin dengan Tengku Sulong Panai dan mempunyai anak: Sultan Ahmad
Syah, TengkuPangeran Besar Muda dan Tengku Adil dan puteri-puteri:
Tengku Tengah (kawin dengan Yamtuam Kaluh), Tengku Sonet (kawin dengan
Sutan Panai), Tengku Kecil (kawin dengan Pangeran Deli) dan dari
isterinya puteri Tuan Trus lahir seorang puteri Tengku Sulong Toba yang
kawin dengan Sayed Damat Pulau Pinang. Kemudian dari isteri lain lahir
lagi Raja Mohd. Syarif dan Raja M. Bakir. Setelah mengangkat SULTAN RAJA
ALI (No.VII) pada tahun 1813, terjadilah perang saudara di Asahan,
karena ketika Baginda mangkat anakanda baginda Raja Husin naik tahta
ditantang oleh Raja Mohamad Ishak, putera dari Sultan Raja Musa (No.VI),
yang didukung oleh pamannya Bendahara Megat Gunung. Masa inilah utusan
Inggris dari Pulau Pinang, John Anderson pada tahun 1823 menemui situasi itu di Asahan.
LAPORAN JOHN ANDERSON UTUSAN GUBERNUR PENANG KETIKA MENGUNJUNGI ASAHAN PADA TAHUN 1823 DALAM BUKUNYA “MISSION TO THE EASTCOAST OF SUMATERA”:
Tanggal 26 Februari:
Pada
hari kami berada di Sungai Silau, Sungai Asahan. Bersiap-siap untuk
mengadakan perjalanan 3 hari dan kami memasuki Sungai Asahan dengan
perahu bermuatan 26 orang, jam 9 pagi. Tiba di Kampong Balai jam 2
siang. Tempat ini kumpulan beberapa buah pondok didekat muara sungai.
Tanahnya rendah dan berawa-rawa selalu tergenang air kalu air pasang.
Ada titi dari nibung antara satu rumah dengan rumah yang lain. Tempat
ini sering ditinggalkan karena penduduk lebih senang tinggal agak ke
hulu sungai dimana tanah datar dan tanaman mereka ada disitu. Ketika
Raja Siak menaklukkan negeri ini, beberapa tahun yang lalu. Ia
memerintahkan agar didiamin untuk menghindari perompak laut tinggal di
sungai itu yang bisa mengganggu para pedagang. Penduduknya
terdiri dari orang Melayu, hamba orang Batak, dan beberapa orang CIna
yang kelihatan sakit dan sengsara, yang penghasilannya hanya menjual
madat dan penjudi. Bendahara Batubara tinggal di perahu dekat kami
berhenti. Saya menemuinya. Ia sudah tua dengan hidung besar dan sakit
dan ia hamper saja buta. Berlainan dengan keponakannya dan para Pembesar
Batubara yang berpakaian bersih dan berbenang emas, ia ini erpakaian
lusuh. Diceritakannya ia datang ke Asahan untuk membereskan
perselisihanm antara Raja (Sultan Husin) dengan Raja Muda, ia
menceritakan bahwa ia setuju dengan hasil perundingan yang dibuat oleh
para Pembesar Daerah di Batubara dengan John Anderson
selama ia tidak hadir disana. Shahbandar Kampong Balai dan adik dari
Bendahara dating menemui saya dan menyatakan bahwa Raja Asahan masih
berada di pedalaman, di daerah Batak, karena sedang berperang dengan
kepala-kepala daerah Batak disana dan bahwa Raja Muda dan Bendahara juga
berada di hulu sungai, 4-5 hari perjalanan. Mereka lalu menyediakan
pondok di daratan untuk saya.
Tanggal 28 Februari:
Seorang
anak Batak dibawa ke depan saya. Gadis kecil ini berasal dari pedalaman
Pane. Di dekat rumah Shahbandar, saya lihat ada orang yang dirantai. Ia
adalah seorang hamba orang Toba yang sudah di-Islamkan. Beberapa tahun
yang lalu, ia melarikan diri dan dapat ditangkap kembali. Ia dirantai
sampai ia bisa dijual nanti seharga $.15. Kampong Balai yang kecil itu
nampak seperti ditinggalkan ketika kami tiba karena orang sibuk menanam
padi. Ketika waktuu panen, hasil padi mereka dijual ke perahu-perahu
dari Batubara atau tempat lain yang datang. Lada diekspor 1 koyan
setahun ini yang merupakan mutu yang baik.
Tanggal 1 Maret:
Masih
menunggu kedatangan para Pembesar dari pedalaman. Saya membeli beberapa
buah tikar karena tempat ini terkenal akan kebersihan dan kebaikan
mutunya. Pada sore hari hari Shahbandar Sirantau dating membawa undangan
dari Raja Muda. Saya sampai pada malam hari dan disambut dengan 7
tembakan kemhormatan dimana Sultan Muda itu membawa saya ke Rumah
Bicara, balai tamu yang baru didirikan. Ia membuka surat teruntuk Raja
atau yang dipertuankan dan minta saya ikut besok menemui Raja. Sultan
Muda itu tampan dan kuat perawakannya. Ia sangat menjaga kebiasaannya,
makan sedikit dan tidak menghisap candu.Raja masih berperang di
pedalaman dan jika perselisihan diantara Raja dengan Raja Muda dan
Bendahara sudah didamaika, maka mereka akan memulai lagi peperangan
dengan orang Batak. Di tepi sungai saya melihat ada meriam dan benteng
untuk menembak musuh yang melintasi sungai. Dimana saja saya dating ada
peperangan. Sangat disayangkan adanya semangat berperang itu dalam
negeri yang elok ini, disebabkan negeri-negeri itu terdiri dari banyak
bahagian kecil-kecil dan begitu banyak pembesar-pembesar kecil. Pada
malam harinya, kami disuguhi tarian Batak. Seorang Pardembanan menari
dengan penuh semangat. Seorang gadis Batak dan Bilah juga menari.
Dimana-mana orang suka musik. Para Pembesar gemar mempertunjukkan
anak-anak mereka dalam pakaian elok penuh permata dan saya memberikan
hadiah kecil untuk mereka yang memuaskan orang melayu itu. Begitu banyak
tabiat orang Melayu yang baik, antara lain kehangatan dan kemesraan
mereka kepada keturunannya.
Tanggal 2 Maret:
Kami
tinggal di Sirantau sore hari menuju kediaman Raja di Bandar Pasir di
Mandogei, ke Hulu sungai. Sirantau adalah kampung yang besar di kiri dan
kanan sungai. Di depan setiap rumah ada tempat sempit untuk mandi dan
keperluan lain-lain. Tempat pemandian itu dipagari dengan kuat
menghindari serangan buaya. Sultan Muda meminta agar saya memperkenalkan
diri kepada khalayak yang berdiri dipinggir sungai yang keheranan.
Perjalanan kami lambat karena Sultan Muda berhenti ditiap tempat untuk
mengambil sirih, atau gambir dan di tempat lalu mengambil buah kelapa
dan lain-lain. Di pinggir sungai penuh dengan tanaman padi, tembakau,
tebu, sirih, dan lain-lain, enau, kelapa, pohon buah-buahan. Pada waktu
maghrib, kami berhenti di Kampung Mengkuang, dimana kami memasak nasi.
Kami berada dalam tempat sempit di perahu. Sultan Muda bertubuh gemuk.
Tanggal 3 Maret:
Kami
berlayar lagi subuh hari, arus mulai deras dan sungai makin sempit, dan
kita selalu kena cabang-cabang pohon. Tanahnya sangat baik untuk
tanaman lada. Lebar sungai mulai menyempit sehingga perahu kami
menggeser tebing di kiri kanan sungai. Ketika seekor gajah dibunuh, maka
Raja mendapat sebuah gading. Sore harinya kami melewati sebuah Kampong
Batak kecil yang dinamakan Durian, karena banyak durian disitu. Di
sungai ini banyak cabangnya dan kami sampai di kampong Kisaran. Dekat
kampong ini kami dengar gemuruhnya suara gajah. Sultan Muda terkejut dan
meminta kita segera berangkat. Ketika bulan terang, kami bermalam di
kampong Pasir Putih.
Tanggal 4 Maret:
Kepala
kampong ini adalah ipar Sultan bernama Raja Laut. Disini banyak kuda
kecil yang cantik, lembu, kerbau, kambing dan yang ternak lainnya, dan
diantara pohon-pohon yang besar ada sekawanan gajah, dimana ia minta
kami membantunya menyerang binatang itu, tapi kami tidak paham mengenai
hal ini dan lebih baik tetap berada di tempat. Saya membeli dari Raja
Batak disini, pedang yang sangat elok yang dibuat sendiri disebut
Kalapan, gagangnya terbuat dari gading gajah. Kami meninggalkan Pasir
Putih dan tiba di Kampung Pematang Air, kampong yang kecil, disebut
karena beberapa abad yang lalu orang Jawa (Majapahit?) membuat layar
disini. Ketika kami mendekati Tanjung Alam, tanah mulai meninggi. Tengah
hari kami berhenti di kampong Sejurai. Ada 50 orang yang berperawakan
garang menemui kami ketika kami mendarat. Kami pergi ke rumah mereka
yang disambut mereka dengan mesra. Wanita bertenun kain disini. Orang
Batak sangat takut pada Orang Melayu diseberang sungai ini, karena
selalu merampas anak-anak mereka dan menjualnya sebagai hamba.
Tanggal 5 Maret:
Kami
melewati pondok-pondok orang Batak diatas bukit. Kami berpapasan dengan
beberapa perahu penuh dengan garam. Penduduk dalam perahu itu membawa
serta anak isterinya. Utusan Sultan Tiba menyatakan bahwa Raja tidak
bisa dating karena masih berperang dengan orang Batak. Kami melewati 2
buah batu yang ganjil pada masing-masing sisi sungai yang tingginya 200
meter. Kemudian kami melewati 2 buah batu besar yang disebut Batu
Dikikir, yang seakan-akan mau menutupi sungai itu, dan kami seakan-akan
mau memasuki terowongan. Saya mendapat tahu bahwa batu ini sememangnya
dikikir oleh para Portugis beberapa abad yang lalu, ketika bangsa itu
menguasai Melaka dan mempunyai perkampungan diatas sungai Asahan. Laut
masa itu sampai di Sirantau. Kami sampai di sebuah kampung kecil Bandar
Pasir Mandogei setinggi 50 kaki dari atas sungai. Itu merupakan kumpulan
berbagai pondok yang kumuh. Raja Bunto Panai, menyambut kami dengan
upacara. Ia berusia setengah abad, berkulit cerah, dan penghisap candu
yang kuat. Dihadiahkannya pada sebuah Tirjing, pisau bergagang perak,
digunakan untuk memotong daging manusia, Raja sedang menyerang kubu-kubu
orang Batak dengan laskar 500 orang sekira perjalanan 1 hari. Sultan
Muda segera pergi menemuinya. Di perbukitan dibelakang tempat ini banyak
sekali benteng orang batak dibawah perintah Raja Bunto Panai. Di
sekitar Pasir Mandogei ada 50 kampung
dari benteng orang Batak, yang berpenduduk 300-1000 orang. Empat jam
dari sini ada kampung Munto Meragi. Pinang Meratus, Sendi, Kasingino,
Katuburka, Padang Nangali, Sungai Pulia, kesemuanya dilewati Sultan Muda
untuk mendatangi Raja.
Tanggal 6 Maret:
Perahu
yang megikuti kami tiba. Pagi hari banyak orang Batak Toba turun sampai
ke pinggir sungai. Mereka dating dari danau yang besar. Jualan mereka
terdiri dari kain yang dibuat sendiri, gagang pedang dan di tempat
mereka harga 100 gantang padi $.1 : garam 3-4 gantang per dollar. Warna
kulit mereka agak kehitaman seperti orang Burma. Semuanya baru buat
mereka termasuk cermin kecil. Saya hadiahkan beberapa buah dan mereka
sangat gembira melihat muka mereka. Orang Batak itu menyebut orang
Eropah “Melayu dengan gigi putih”. Salah seorang kepala suku membawa 4
wanita dan 2 orang anak kepada Raja Bunto Panei. Saya diserahkan
beberapa orang hamba, tetapi saya tak mau menerimanya. Raja sangat sibuk
untuk mengepung 8 buah benteng, yang berada dibawah kekuasaan Raja
Tinding dari Terdolo. Di beberapa buah benteng saya lihat banyak
tengkorak yang dipunyainya. Kawan-kawan dari yang sudah terbunuh jika
sudah ada perdamaian, membeli kembali tengkorak kerabatnya seharga 30-40
dollar. Ibunda dari raja Asahan member orang yang membawa tengkorak
kepada saya $.10.- Pakaian wanita Bata dililit kain hingga kelutut,
tetapi buah dada mereka terbuka. Di kampung-kampung yang lain, gadis
kecil berumur 10-12 tahun sama sekali telanjang bulat. Rumah Raja yang
masih muda itu penuh dengan wanita beberapa diantaranya cantik putih.
Jika seorang Raja Batak menolak memberikan padanya salah seorang puteri,
ia berperang denganya dan merampasnya dengan paksa. Raja Bunto Panai
membantunya dengan tenaga manusia dan membagi rampasan dan rakyatnya
membuat pesta terhadap orang yang ditawan. Sebagian puteri dari kepala
suku Perdambanan ini bekulit cerah, sedangkan orang Toba berkulit
kehitaman. Pada jam 2, Yang Dipertuan Sultan tiba dengan rombongannya
dan memberikan tembakan kehormatan dengan senapan. Saya berada dengan
Raja beberapa jam dan ia minta
agar saya meneruskan perjalanan bersamanya, tetapi saya haru kembali ke
Hilir. Ia menyediakan bekalan saya, ubi, ayam, kambing, babi, dan
lain-lain. Para kepala suku itu senang dengan barang-barang Eropah
terutama kain merah.
Tanggal 7 Maret:
Pedagang
orang Toba dari kampung Janji Maria dating menukar babi, padi dan
lain-lain dengan beberapa buah barang-barang kecil buatan Inggris. Raja
Bunto Panai banyak bergaul dengan orang Melayu, lebih berbudaya dalam
tingkah lakunya sehingga saya bisa bicara dengannya. Ia menyatakan tidak
makan daging manusia, tetapi ia tidak bisa melarang rakyatnya dari cara
tradisional dahuli kala itu. Ia memesan 2 ekor anjing untuk menangkap
rusa dan menulis memo itu pada sebuah batang bamboo dalam bahasa dan
aksaranya dan juga angka 1-10.
Tanggal 8 Maret:
Kemaren
malamketika berlayar menghilir, kami mendengar suara di tepi sungai,
Sultan merasa mereka adalah bandit yang selalu mengintai dari tepi
sungai dan menangkap orang-orang dari perahu yang lewat. Kami sampai di
Pasir Putih jam 10 dan tiba di Sirantau pada jam 5 sore menghilir ke Tg.
Balai jam 8 malam. Saya bertemu bendahara yang Nampak sakit-sakitan. Ia
menyuruh saya menemui Raja Muda, tetapi karena kelelahan kami tak bisa
lagi melanjutkan perjalanan.
Tanggal 9 Maret:
Meninggalkan
Tg. Balai menuju kapal kami. Bendahara Shahbandar Mubin dan Raja Laut
mengiringkan kami ke kapal dan kami beri hadiah. Ketika di Tg. Balai
seorang dari Bilah memberitahukan saya bahwa Sultan panai dan Tajamuda
Bilah pergi ke Siak, sehingga tidak perlu saya singgah kesana. Pada
senja hari kami pun bertolak menuju Siak. Akhirnya terdapat perdamaian,
Raja Mohamad Ishak dijadikan Raja Muda Asahan dan ketika terjadi perang
dengan Bilah, maka negeri Kualuh dan Leidong yang diperintah oleh Raja
Batak, RAJA HULUBALAN, dapat ditaklukkan dan negeri-negeri itu
diserahkan kepada Raja Muda Ishak.
Masa
pemerintahan Sultan Husin (No.VIII) adalah masa perkembangan dan
perluasan pengaruh Asahan. Baginda kawin dengan puteri Raja Tuan Terus
dari Buntu Panei, sehingga menjadi negeri taklukan dalam menghadapi
Kerajaan Tanah Jawa. Pada tahun 1845 kerajaan Siak menyerang Asan dan
pertahanan dibuat di Sirantau. Akhirnya terdapat perdamaian dengan Siak
diberi 100 gantang padi dan $1.000.- dan pasukan Siak meninggalkan
Asahan. Hal ini berkat diplomasi dari Batubara. Pada tahun 1848 Asahan
membantu Sultan Panei yang mengungsi ke Asahan diserang Kota Pinang.
Juga pengaruh Asaha ke Batubara meningkat dan Sultan Husin juga
menghapus gelar dan jabatan Laksemana, Temenggung dan lain-lain.
Beberapa tahun setelah Baginda turun tahta karena tua (1853), maka
Baginda mangkat oada tahun 1854.
Dibawah
pemerintahan puteranya Sultan Ahmad Syah (No.IX), Asahan berada pada
puncak kejayaannya. Berdasarkan Kontrak Siak-Belanda tanggal 1 Februari
1858, maka Siak memohon bantuan Belanda untuk menertibkan negeri-negeri
yang dianggapnya jajahan dari rongrongan Aceh yaitu dari Temiang sampai
ke Pasir Ayam Denak (Rokan).
Pemerintah Hindia Belanda mengirim misi dipimpin Residen Riau. Netscher ke
Asahan. Tetapi Sultan Ahmad Syahmenyatakan tidak pernah mengakui tunduk
kepada Siakdan mengusir utusan Belanda Raja Burhanuddin. Menurut adat
Siak, Sultan Asahn lebih tinggi derajatnya dari Sultan Deli, Langkat dan
Serdang. Ia setingkat dengan Raja Muda Siak.
Akhirnya Pemerintah Batavia mengirim ekspedisi Militer yang besar, yang disebut Expeditie tegen Serdang en Asahan
dan mendarat di kampong Boga (Batubara) tanggal 10-9-1865. Setelah
menduduki Lima Laras Datuk Laksemana Lima Laras pun berlindung ke
Serdang, maka pasukan Belanda melalui daratan Batubara serta melalui
pendaratan dari laut, memasuki Tg. Balai.
Pada
tanggal 20 September Sirantau dapat direbut dan rombongan Sultan Ahmad
Syah lalu undur ke pedalaman dan mengadakan konperensi dengan Raja-Raja
Batak di Huta Huru dan Panglima perlawanan gerilya diserahkan kepada Pak
Netek untuk melanjutkan Gerilya jika Sultan tertangkap.
Pada
tanggal 30 September 1865, karena ultimatum untuk menyerah tidak
dipenuhi, Belanda memproklamirkan “memecat” Sultan Ahmad Syah dari Tahta
Kesultanan Asahan dan menyerahkan pimpinan Kerajaan sementara kepada
Raja Muda Naamatullah, ia putera dari Raja Ishak.
Meningkatnya penyerangan Gerilya dan sabotase di kota Tg. Balai, maka Residen Netscher
mengundang Sultan Ahmad Syah, Pangeran Adil dan Tengku Pangeran Besar
Muda yang bermarkas di Kampong Sarang Alang, agar mau berunding di kapal
perang Dassoon.
Sementara itu Netscher yang gentar juga minta agar kapal perang Sindoro dan Delzfjil dikirim ke Tg. Balai segera. Sultan Ahmad Syah mengungsi ke pedalaman dan bergerilya dibantu oleh pak Netek.
Perang
gerilya dan sabotase rakyat di Asahan dan khususnya di Tg. Balai makin
menjadi-jadi dan dibantu pula oleh pedagang Cina. Sultan Raja Dewa Syah
pernah beristerikan wanita Cina dan Raja Muda Naamatullah ibunya adalah
wanita Cina, sehingga hubungan masyarakat Cina dengan Raja-Raja Asahan
sangat erat. Karena tidak tahan menghadapi perlawanan dibawah tanah
Orang Asahan, maka Raja Muda Naamatullah dicopot oleh Belanda dan
dijadikan Raja (Yang Dipertuan) Kualuh-Leidong, dan akhirnya dapat
tertangkap Sultan Ahmad Syah dan saudaranya Pangeran Muda dan dibuang ke
Ambon berdasarkan keputusan Kerapatan Siak tanggal 7-10-1867, sehingga
pimpinan Pemerintahan Asahan dipegang Kontelir Van den Bor. Menurut kisah dari Netscher: pada
tanggal 29 Oktober 1865 tibalah rombongan Sultan Ahmadsyah, Pangeran
Adil dan Tengku Pangeran Besar Muda ke atas kapal berunding dengan Netscher dan bersamaan dengan jam 4 sore itu juga 2 kapal perang Belanda yang dipanggil juga segera merapat.
Didalam laporannya kepada Gubernur Jenderal di Betawi Netscher
melaporkan dalam suratnya tanggal 18 Oktober 1865 antara lain
menyatakan sebagai berikut: “Sultan Ahmad Syah berwajah menarik dan
nampaknya Intelegent meskipun
Nampak agak curiga dan ketakutan, demikian juga adiknya Tengku Adil
yang juga Nampak biasa-biasa saja. Tapi lain halnya dengan Tengku
Pangeran Besar Muda, yang bertabiat kurang ajar dan garang nampaknya,
dan mengambil sikap tidak peduli dan menantang, bahkan ia tidak mau
berusaha agar berpakaian sempurna, sehingga ia lebih Nampak sebagai
Orang Batak yang biadab (onbechaafden Batakker) daripada sebagai seorang bangsawan Melayu yang sebenarnya sudah selalu berhubungan dengan orang Eropah.
Ia
bersandar di pintu dengan tangan yang melintang, seolah-olah ia sedang
menonton satu pertunjukkan yang tidak menarik perhatiannya. Muka dan
sikapnya cocoklah dengan tingkah lakunya yang kurang ajar ketika
menerima utusansaya pada bulan Desember 1964 dulu itu. Kepada Sultan
Ahmad Syah, saya beritahukan keputusan pemerintahan Hindia Belanda
(“memecatnya”) karena pernah menghina pemerintah Belanda.
Sementara dengan jaminan Raja Muda ia boleh
tinggal asal jangan bertindak macam-macam kepada Tengku Adil, saya
peringatkan jangan mendengarkan hasutan orang dan harus berkelakuan baik
jangan sedikitpun salah langkah.
Saya
kemudian berpaling kepada Tengku Pangeran Muda, dan menyatakan bahwa
dialah yang jadi biang keladi semua nasib buruk bagi saudara-saudaranya
dan dialah yang jadi perantara dengan orang Inggris dan orang Cina di
Penang dan yang mengorbankan kebencian terhadap Belanda, malahan
bertindak kurang ajar terhadap utusan saya, seorang turunan bangsawan
Minangkabau (Raja Burhanuddin) yang lebih tinggi asalnya dari dia
sendiri (Raja-Raja Asahan berasal dari Batak: Van Batakschen oorsprong).
Dia juga ada bukti umum telah menghina Pemerintahan Hindia Belanda dan
berani menantangnya, oleh sebab itu saya tidak berwenang memutuskan
mengenai nasibnya, dan dengan tersenyum ia hanya menjawab bahwa ia tidak
pernah melakukan seperti yang dituduhkan itu. Bahkan sedikitpun dia
tidak minta izin untuk bertemu dengan keluarganya berpisah ketika ia
digiring ke kapal perang, bahkan kepada mereka itu ia menggamit menyuruh
mereka pergi. Dia ini mustilah seorang manusia yang kasar dan pemberang
dan sangat berbahaya jika ia berkesempatan melaksanakan isi hatinya.
Semua perbuatannya menunjukkan bahwa ia adalah seorang musuh Pemerintah
Hindia Belanda yang gigih yang harus disingkirkan.
Tengku Pangeran Besar Muda ditangkap dan dibawa dengan kapal perang Delfzjil
ke betawi pada tanggal 30 Oktober 1865. Ia kemudian dijatuhi hukuman
dibuang ke Ambon. Tiada berapa lama kemudian, karena tertangkap basah
berkomplot mengadakan gerakan dibawah tanah terhadap Belanda di Tg.
Balai, maka Sultan Ahmad Syah dan Tengku Pangeran Adil juga oleh Belanda
dibuang ke Ambon, Raja Muda Naamatullah, yang diam-diam membiarkan saja
gerakan itu. Asahan diperintah langsung oleh Kontelir Belanda, yang
membuat api perlawanan semakin menyala.
Tentu
saja perlawanan rakyat terhadap Belanda makin menjadi-jadi. Kontelir
Belanda itu memujuk raja-raja Batak di Hulu Asahan agar mematuhi adat
lama “Asahan bertali ke Hulu” dengan menghadiahkan 6 helai tengkuluk, 6
kabun kain putih halus dan 6 doos cermin kaca, ditambah 6 pedang
berukir, 25 ikat kepala kain batik, 4 potong kain merah, 4 kodi kain
beludru biru dan hijau, 2 peti gelas. Belanda berniat untuk menjadikan
Raja Burhanuddin sebagai Raja Asahan, tetapi mengingat perlawanan rakyat akhirnya tidak jadi.
Mula-mula expedisi dipimpin
Raja Muda Naamatullah yang diletakkan Belanda bakal pengganti Sultan
Asahan, tetapi lasykarnya diobrak abrik rakyat Bandar Pulau, Buntu Pane
dan Pasir Mandogei, sehingga terpaksalah tentara Belanda sendiri turun
tangan. Oleh karena merasa Raja Muda Naamatullah tidak pernah sukses
memerintah di Asahan, maka oleh karena itulah Belanda mencabutnya dari
Asahan dan memindahkannya jadi Raja di Kualuh dan Leidong pada tahun
1868, dan Asahan diperintah suatu Dewan Kerajaan terdiri dari 4 orang
Pembesar Asahan.
Ternyata
anggota Dewan inipun berkomplot untuk menculik Kontelir Belanda yang
duduk sebagai Ketuanya. Terutama keamanan di Asahan tidak eprnah pulih
dan memuncak pada tahun 1879 dan penduduk hulu Asahan dibantu
orang-orang Simelungun dari Dolok, menyerang pos polisi Belanda.
Januari
1883 orang-orang Nadolok menyerang pula pos Belanda di Si Alang Kelong
dekat Bandar Pulau. Setelah dating bantuan militer dari Tg. Balai,
gerilyawan Nadolok itu sudah menyingkir dan sulit bagi Belanda untuk
mengejarnya karena wilayah yang sukar dilalui. Lalu kekuatan bersenjata
di pos Bandar Pulau ditambah satu datasemen yaitu 25 orang polisi
bersenjata, dan 5 pos observasi
dibangun di sekitar Bandar Manis (Kualuh). Oleh karena kemanan Asana
tidak pulih dan berbagai tuntutan rakyat agar Sultan dikembalikan, maka
mau tak mau Belanda mengembalikan Sultan Ahmadsyah dan keluarganya ke
Asahan pada tahun 1886.
Baginda
Sultan Ahmadsyah mangkat tanggal 27 Juni 1888 dan karena tiada beranak
lalu digantikan kemanakan baginda TENGKU NGAH BIN TENGKU PANGERAN ADIL
menjadi Sultan Asahan ke-10 bergelar SULTAN MUHAMAD HUSIN SYAH-II.
Daerah-daerah Maranti, Suana dan Parduaan, kesemuanya dalam wilayah
Habinsaran, mengadakan pernyataan tunduk kepada Sultan Asahan dengan
mengikat perjanjian “patik” dan peristiwa ini disaksikan sendiri oleh
Kontelir Belanda di Asahan.
Pada
tahun 1990 kembali ada kerusuhan soal Si Singamangaraja, kini di Hulu
Kaluh. Seorang Melayu bernama Guru Ali, mengaku menjadi utusan resmi Si
Singamangaraja XII dan menghasut rakyat agar berontak. Pasukan militer
dikirim kesana dan Guru Ali serta beberapa pengikutnya dapat ditangkap.
Pada tahun 1902 kembali seorang bernama Si Tangkol mengaku utusan si Si
Singamangaraja dan menyebarkan ajaran Parmalim dan membuat jalan antara
Asahan dengan Tanah Toba menjadi tidak aman buat Belanda.
Akhirnya
Belanda dapat memasang perangkap dan menangkapnya ketika ia berada di
Bandar Pulau pada November 1902. Pada tahun 1905 ditetapkanlah sungai
Silau Tua sebagai watas antara Asahan dengan Kabupaten Simalungun yang
baru dibentuk.
Di Hulu sungai ada negeri Aek bontar dan Silo Bosar yang diklaim Asahan tetapi dimasukkan
Belanda menjadi bahagian kerajaan Tanah Jawa (Simelungun), tetapi
karena kepala-kepala rakyat disana memprotes, maka Belanda menekan
Sultan Husinsyah agar membuat surat resmi mematuhi keputusan Residen
Belanda itu.
Di
dalam Politik Kontrak yang baru pada tahun 1907, Belanda mengurangi
banyak wilayah di Hulu Asahan yang tidak didiami suku Melayu. Hanyalah
negeri Buntu Pane, Gunung dan Haboko saja yang diakui Belanda masuk
Asahan.negeri Silo JAwa, Ujung Sipinggan dan Tangga Bongbongan misalnya
dicabut daari Asahan. Sultan Husinsyah protes besar, sehingga pada tahun
1908 dibentuk oleh Residen Sumatera Timur dan Residen Tapanuli suatu
komisi bersama membicarakan soal ini mengingat bahwa daerah Habinsaran
sudah pula dapat dikuasai Belanda dari arah tapanuli.
Akhirnya
diputuskan: Silo Jawa dan Ujung Sipinggan tetap dikuasai oleh Sultan
Asahan, tetapi Aek Bontar dan Silo Bosar dimasukkan kedalam kerajaan
Tanah Jawa (Simelungun) dan Tangga Bongbongan dimasukkan ke Habinsaran
(Tapanuli). Begitu juga di negeri-negeri Hulu Kualuh yang dihuni suku
Nadolok yang menentang berada dibawah Raja Kualuh, daerah mereka
dimasukkan ke Habinsaran (Tapanuli). Hal ini sesuai dengan Beslit
Gubernemen tanggal 27 September1913 No. 24 definitiplah ditetapkan garis
perbatasan kerajaan Asahan, Simelungun dan Batubara. Di hulu Asahan
penduduknya disebut suku “Perdambanan” du hulu Kualuh suku “Nadolok”.
Sejak
dahulu negeri-negeri Buntu Pane, Gunung dan Haboko yang didiami suku
Perdambanan itu sudah masuk ke kerajaan Asahan yang rajanya berasal dari
dinasti Sultan Alaiddin Al Qahhar (Aceh) itu. Pada tanggal 7 Juni 1915
Sultan Husinsyah mangkat. Tengku Besar Amir, puteranya yang tertua,
meninggal terlebih dahulu, sehingga diangkat puteranya yang lain, yaitu
TENGKU SAIBUN yang masih dibawah umur sebagai pengganti. Semasa belum
dewasa, baginda dipangku oleh TENGKU REGENT ALANG YAHYA. Menurut laporan
Belanda, penduduk Asahan 40.000 jiwa ¾ asal Batak yaitu suku
Perdambanan ataupun Toru Dolok yang dibatasi Sungai Silau. Penduduk Cina
di Tg. Balai yang mendanai pembangunan Mesjid Raya Tg. Balai zaman
Sultan Raja Dewa Syah yang beristeri wanita Cina itu. Kebon kopi
Sukaraja kepunyaan Sultan menghasilkan 456.000 kg kopi Liberia.
Sumber:
http://fsilaturrahmi.blogspot.com/2012/01/sejarah-kota-melayu.html
No comments:
Post a Comment