Wednesday, May 21, 2014

KERAJAAN ASAHAN

BAB – VII
KERAJAAN ASAHAN
Laporan John Anderson Utusan Gubernur Penang ketika mengunjungi
Asahan pada Tahun 1823 dalam bukunya "Mission Of The East Coast Of Sumatera"

                Menurut legenda di Tanah Jawa (Simelungun) ada menetap koloni orang Jawa (pada zaman Majapahit) dan di Batu Kinihir, dekan Aek Silau, dibawah kampung Bandar Pasir Mandogei, ada batu sebesar 20 meter, yang dibuat oleh orang Jawa SI LOPAK IPON (gigi putih), pada kenyataannya orang Melayu juga disebut orang Batak sebagai ‘Orang Jau’.
                Sultan Aceh SULTAN MAHKOTA ALAM ALAUDDINRIAYATSYAH (SYAH JOHAN) juga digelar AL QAHHAR ingin meminang Puteri Hijau di tanah Deli-Tua (1539-M). Meskipun usahanya itu tidak berhasil karena Puteri Hijau lolos ke laut, maka bala tentera Aceh itu harus menyusuri pantai arah ke Selatan. Sesampainya di sebuah muara sungai besar, sungai Asahan, maka dimasukilah sungai itu mudik dan ternyata tidak ada ditemui penduduk. Sesampainya di kampung Tulawan, baru ditemui penduduk Batak yang tidak tahu bahasa Melayu. Untunglah disitu ada seorang hulubalang bernama BAYAK LENGGA HARO-HARO, yang tahu berbahasa Melayu, yang mengatakan bahwa Raja disitu adalah SI MARGOLANG SUKU PARDEMBANAN. Sultan Aceh lalu menyuruh agar penduduk pindah ke pertemuan sungai Silau dengan sungai Asahan, dan kemudian lahirlah TANJUNG BALAI.
                Terdengarlah kabar bahwa Raja Pinag Awan (Kotapinang) bernama BATARA SINOMBA (Marhom Mangkat Di Jambu) dari perkawinannya dengan permaisuri memperoleh 2 orang putera dan seorang puteri bernama SITI ONGGU (Puteri Berinai). Kemudian ia kawin lagi dengan seorang hambanya dan memperoleh seorang putera. Wanita hamba ini dapat mempengaruhi Batara Sinomba agar puteranyalah yang akan menggantikan kelaksebagai raja sehingga kedua orang putera raja dari Ibu Gahara itu lalu diusir. Akhirnya mereka minta tolong kepada Sultan Aceh yang balatenteranya lewat di situ. Sultan Aceh lalu mengirim pasukan dipimpin Raja Muda Pidie. Pasukan Aceh lalu membunuh Batara  Sinomba dekat sebuah pohon Jambu, dan mengangkat kedua orang putera raja dari ibu gahara itu sebagai raja disana, tetapi sebagai balas jasa mereka mengambil Siti Onggu sebagai isteri Sultan Aceh.
                Setelah sekian lama maka rindulah mereka akan adik mereka Siti Onggu itu. Lalu mereka pergi ke Tanjung Balai dan meminta tolong kepada Bayak Lengga Haro-Haro agar mau menemani mereka menghadap Sultan Aceh. Sampai di Aceh didapatinyalah bahwa adiknya SIti Onggu sedang hamil besar. Permohonan mereka kepada Sultan Aceh agar dapat membawa pulang adik emreka diperkenankan dengan syarat, bahwa bila lahir anak yang dikandung SIti Onggu seorang laki-laki, maka ia haru dirajakan di Asahan dan jatuhlah talaknya kepada Siti Onggu yang bisa dinikahi oleh Bayak Lengga Haro-Haro nanti. Putera yang lahir dari Siti Onggu itu dijadikan Raja Asahanpertama bergelar Sultan Abdul Jalil (Marhom Tangkahan Sitarak) dengan membawa benda pusaka dari Aceh sebuah Bawar dan sebuah Jorong (tepak sirih) dan sebuah lela (SI Juang nan Hilang), dan Bendahara Sakmar Diraja (asal Pasai) sebagai Bendahara dan Pemangku.
                Kemudian Bayak Lengga setelah Islam kawin dengan SIti Onggu dan dia diberi gelar RAJA BOLON. Raja Bolon kawin pulan denganputeri dari Raja Si Margolang Pardembanan. Keturunannya dari perkawinan dengan Siti Onggu yaitu ABD. KARIM digelar bangsawan BAHU KANAN atau HARU DALAM, sedangkan turunannya dari perkawinan dengan puteri Si Margolang yaitu ABD. SAMAT dan ABD. KAHAR digelar BAHU KIRI atau HARU LUAR. Mereka umumnya dipanggil dengan gelar sebutan”DATUK MUDA”. Raja Simargolang berhasil merebut pemerintahan Asahan dan menunjuk Abd. Samat sebagai Raja Kota Bayu dan Abd. Kahar sebagai Raja Tg. Pati (di atas Sirantau). Sultan Abd. Jalil terpaksa mengungsi dekat Silau Meraja yang berada dibawah Kuasa Tengku Ambang (asal Pagarruyung). Dia lalu minta bantuan ke Aceh. Banyak pasukan Aceh yangmati kena racun. Itulah dia Tanjong Tambun Tulang. Raja Simargolang akhirnya tunduk juga pada Sultan Abd. Jalil di tempat yang disebut “Padang Marjanji Aceh”. Abd. Jalil lalu membuat Istana pada pertemuan Sei Asahan dengan Sei Silau. Itulah kota Tk. Balai sekarang. Dari Panai, Baginda mendapat alat kebesaran tombak “Panca Roba”. Baginda kawin dengan puteri Raja Batak ompu Liang.
                Pada tahun 1641 sebuah galyun dari Jepara membawa garam minta surat pas kepada VOC di Melaka untuk pergi ke Asahan (Dagregister VOC di Melaka, 14-6-1641). Setelah Sultan Abdul Jalin berturut-turut menjadi Raja Asahan dengan memakai gelar “ YANG DIPERTUAN” (YAMTUAN) yaitu:
I.                    SULTAN SYAIDI SYAH (Marhom Simpang Toba)
II.                  SULTAN RAJA MOHAMAD RUMSYAH (Marhom Sei Banitan/Marhom Gagap)
III.                SULTAN ABDUL JALIL SYAH-II (MarhomSei Raja), memerintah 1760-1765.
IV.                SULTAN RAJA DEWA SYAH (Marhom Pasir Putih) mangkat 1805.
V.                  SULTAN RAJA MUSA (MARHOM RANTAU PANJANG) mangkat 1808.
VI.                SULTAN RAJA ALI (Marhom Sirantau) mangkat 1813.
VII.              SULTAN RAJA HUSIN SYAH-I (Marhom Kampong Mesjid)
VIII.            SULTAN AHMAD SYAH (memerintah 1853-1865 kemudian 1866-1888)
IX.                SULTAN MOHAMAD HUSIN SYAH (mangkat 7 Juli 1915)
X.                  SULTAN SAIBUN ABDUL JALIL RAHMAT SYAH (dihapuskan ketika Revolusi Sosial 3 Maret 1946)
Sultan Rumsyah (No.III) kawin dengan puteri Bendahara (Encik Samidah) dan menetap di Sei Banitan. Ia berputera 3 orang: Abd. Jalil Syah, Raja Paduka dan Raja Kecil Besar. Sultan Raja Dewa Syah (No.V) kawin dengan puteri pedagang Cina Melaka dan memperoleh putera Raja Musa dan Raja Ali. Kawin lagi dengan Encik Jauh juga dari Melaka, diperoleh putera Raja Laut. Baginda berperang dengan Raja Graha Barut dari Buntu Panei. Pada masa pemerintahan Sultan Abdul Jalil Syah (No.IV) yang membantu Raja Alam Siak kemudian (1763) berbalik melawan VOC Belanda. Yamtuam Riau, RAJA HAJI, kawin dengan puteri Sultan Asahan dan sebagai mas kawinnya dihadiahkan kapal penjajap “Bulang Linggi” yang jadi kapal komando Raja Haji menyerang VOC (1756) di Melaka. Penduduk Batubara turut dalam pasukan Raja Haji menyerang VOC di Melaka dan tanggal 4 Februari 1857 membakar pinggiran benteng VOC di Melaka.
Baginda kawin dengan Incek Selamah, puteri dari Bendahara dan berputera Raja Dewa Syah (No.V), dan pada tahun 1800 Baginda mangkat. Dengan kerajaan Tanah Jawa membantunya, maka terjadilah perdamaian dengan Kerajaan Buntu Panei yang waktu itu sangat kuat (kini menjadi bahagian dari Kerajaan Asahan). Masa itu yang dihadapi adalah Kerajaan Haboko dan Gunung (kemudian sudah menjadi bagian dari Asahan). Sultan Raja Musa (No.IV) hanya singkatmemerintah dengan istrinya Incek Fatimah (puteri Bendahara) yang mengandungkan puteranya Raja Mohamad Ishak yang lahir 2 bulan setelah Baginda mangkat. Naiklah tahta adiknya, Raja Ali yang kawin dengan Tengku Puan (asal Selangor) dimana lahir Raja Husin dan adiknya Tengku Siti (kawin dengan Sultan Osman Deli, lihat sejarah Bedagai).
Setelah Sultan Raja Ali mangkat tahun 1813 terjadilah perang saudara, TengkuTua, abang Tengku Puan bersama Tengku Biung Kecil mengangkat Raja Husin sebagai Sultan, sedangkang Bendahara Megat Gunung, mendukung Raja Ishak. Sultan Husin (No.VIII) kawin dengan puteri dari Tengku Tua dan juga kawin dengan puteri Raja Trus Buntu Panei. Pada tahun 1828 Baginda berperang dengan Bilah.
Sultan Husin kawin dengan Tengku Sulong Panai dan mempunyai anak: Sultan Ahmad Syah, TengkuPangeran Besar Muda dan Tengku Adil dan puteri-puteri: Tengku Tengah (kawin dengan Yamtuam Kaluh), Tengku Sonet (kawin dengan Sutan Panai), Tengku Kecil (kawin dengan Pangeran Deli) dan dari isterinya puteri Tuan Trus lahir seorang puteri Tengku Sulong Toba yang kawin dengan Sayed Damat Pulau Pinang. Kemudian dari isteri lain lahir lagi Raja Mohd. Syarif dan Raja M. Bakir. Setelah mengangkat SULTAN RAJA ALI (No.VII) pada tahun 1813, terjadilah perang saudara di Asahan, karena ketika Baginda mangkat anakanda baginda Raja Husin naik tahta ditantang oleh Raja Mohamad Ishak, putera dari Sultan Raja Musa (No.VI), yang didukung oleh pamannya Bendahara Megat Gunung. Masa inilah utusan Inggris dari Pulau Pinang, John Anderson pada tahun 1823 menemui situasi itu di Asahan.
LAPORAN JOHN ANDERSON UTUSAN GUBERNUR PENANG KETIKA MENGUNJUNGI ASAHAN PADA TAHUN 1823 DALAM BUKUNYA “MISSION TO THE EASTCOAST OF SUMATERA”:

Tanggal 26 Februari:
Pada hari kami berada di Sungai Silau, Sungai Asahan. Bersiap-siap untuk mengadakan perjalanan 3 hari dan kami memasuki Sungai Asahan dengan perahu bermuatan 26 orang, jam 9 pagi. Tiba di Kampong Balai jam 2 siang. Tempat ini kumpulan beberapa buah pondok didekat muara sungai. Tanahnya rendah dan berawa-rawa selalu tergenang air kalu air pasang. Ada titi dari nibung antara satu rumah dengan rumah yang lain. Tempat ini sering ditinggalkan karena penduduk lebih senang tinggal agak ke hulu sungai dimana tanah datar dan tanaman mereka ada disitu. Ketika Raja Siak menaklukkan negeri ini, beberapa tahun yang lalu. Ia memerintahkan agar didiamin untuk menghindari perompak laut tinggal di sungai itu yang bisa mengganggu para pedagang.  Penduduknya terdiri dari orang Melayu, hamba orang Batak, dan beberapa orang CIna yang kelihatan sakit dan sengsara, yang penghasilannya hanya menjual madat dan penjudi. Bendahara Batubara tinggal di perahu dekat kami berhenti. Saya menemuinya. Ia sudah tua dengan hidung besar dan sakit dan ia hamper saja buta. Berlainan dengan keponakannya dan para Pembesar Batubara yang berpakaian bersih dan berbenang emas, ia ini erpakaian lusuh. Diceritakannya ia datang ke Asahan untuk membereskan perselisihanm antara Raja (Sultan Husin) dengan Raja Muda, ia menceritakan bahwa ia setuju dengan hasil perundingan yang dibuat oleh para Pembesar Daerah di Batubara dengan John Anderson selama ia tidak hadir disana. Shahbandar Kampong Balai dan adik dari Bendahara dating menemui saya dan menyatakan bahwa Raja Asahan masih berada di pedalaman, di daerah Batak, karena sedang berperang dengan kepala-kepala daerah Batak disana dan bahwa Raja Muda dan Bendahara juga berada di hulu sungai, 4-5 hari perjalanan. Mereka lalu menyediakan pondok di daratan untuk saya.
Tanggal 28 Februari:
Seorang anak Batak dibawa ke depan saya. Gadis kecil ini berasal dari pedalaman Pane. Di dekat rumah Shahbandar, saya lihat ada orang yang dirantai. Ia adalah seorang hamba orang Toba yang sudah di-Islamkan. Beberapa tahun yang lalu, ia melarikan diri dan dapat ditangkap kembali. Ia dirantai sampai ia bisa dijual nanti seharga $.15. Kampong Balai yang kecil itu nampak seperti ditinggalkan ketika kami tiba karena orang sibuk menanam padi. Ketika waktuu panen, hasil padi mereka dijual ke perahu-perahu dari Batubara atau tempat lain yang datang. Lada diekspor 1 koyan setahun ini yang merupakan mutu yang baik.
Tanggal 1 Maret:
Masih menunggu kedatangan para Pembesar dari pedalaman. Saya membeli beberapa buah tikar karena tempat ini terkenal akan kebersihan dan kebaikan mutunya. Pada sore hari hari Shahbandar Sirantau dating membawa undangan dari Raja Muda. Saya sampai pada malam hari dan disambut dengan 7 tembakan kemhormatan dimana Sultan Muda itu membawa saya ke Rumah Bicara, balai tamu yang baru didirikan. Ia membuka surat teruntuk Raja atau yang dipertuankan dan minta saya ikut besok menemui Raja. Sultan Muda itu tampan dan kuat perawakannya. Ia sangat menjaga kebiasaannya, makan sedikit dan tidak menghisap candu.Raja masih berperang di pedalaman dan jika perselisihan diantara Raja dengan Raja Muda dan Bendahara sudah didamaika, maka mereka akan memulai lagi peperangan dengan orang Batak. Di tepi sungai saya melihat ada meriam dan benteng untuk menembak musuh yang melintasi sungai. Dimana saja saya dating ada peperangan. Sangat disayangkan adanya semangat berperang itu dalam negeri yang elok ini, disebabkan negeri-negeri itu terdiri dari banyak bahagian kecil-kecil dan begitu banyak pembesar-pembesar kecil. Pada malam harinya, kami disuguhi tarian Batak. Seorang Pardembanan menari dengan penuh semangat. Seorang gadis Batak dan Bilah juga menari. Dimana-mana orang suka musik. Para Pembesar gemar mempertunjukkan anak-anak mereka dalam pakaian elok penuh permata dan saya memberikan hadiah kecil untuk mereka yang memuaskan orang melayu itu. Begitu banyak tabiat orang Melayu yang baik, antara lain kehangatan dan kemesraan mereka kepada keturunannya.
Tanggal 2 Maret:
Kami tinggal di Sirantau sore hari menuju kediaman Raja di Bandar Pasir di Mandogei, ke Hulu sungai. Sirantau adalah kampung yang besar di kiri dan kanan sungai. Di depan setiap rumah ada tempat sempit untuk mandi dan keperluan lain-lain. Tempat pemandian itu dipagari dengan kuat menghindari serangan buaya. Sultan Muda meminta agar saya memperkenalkan diri kepada khalayak yang berdiri dipinggir sungai yang keheranan. Perjalanan kami lambat karena Sultan Muda berhenti ditiap tempat untuk mengambil sirih, atau gambir dan di tempat lalu mengambil buah kelapa dan lain-lain. Di pinggir sungai penuh dengan tanaman padi, tembakau, tebu, sirih, dan lain-lain, enau, kelapa, pohon buah-buahan. Pada waktu maghrib, kami berhenti di Kampung Mengkuang, dimana kami memasak nasi. Kami berada dalam tempat sempit di perahu. Sultan Muda bertubuh gemuk.
Tanggal 3 Maret:
Kami berlayar lagi subuh hari, arus mulai deras dan sungai makin sempit, dan kita selalu kena cabang-cabang pohon. Tanahnya sangat baik untuk tanaman lada. Lebar sungai mulai menyempit sehingga perahu kami menggeser tebing di kiri kanan sungai. Ketika seekor gajah dibunuh, maka Raja mendapat sebuah gading. Sore harinya kami melewati sebuah Kampong Batak kecil yang dinamakan Durian, karena banyak durian disitu. Di sungai ini banyak cabangnya dan kami sampai di kampong Kisaran. Dekat kampong ini kami dengar gemuruhnya suara gajah. Sultan Muda terkejut dan meminta kita segera berangkat. Ketika bulan terang, kami bermalam di kampong Pasir Putih.
Tanggal 4 Maret:
Kepala kampong ini adalah ipar Sultan bernama Raja Laut. Disini banyak kuda kecil yang cantik, lembu, kerbau, kambing dan yang ternak lainnya, dan diantara pohon-pohon yang besar ada sekawanan gajah, dimana ia minta kami membantunya menyerang binatang itu, tapi kami tidak paham mengenai hal ini dan lebih baik tetap berada di tempat. Saya membeli dari Raja Batak disini, pedang yang sangat elok yang dibuat sendiri disebut Kalapan, gagangnya terbuat dari gading gajah. Kami meninggalkan Pasir Putih dan tiba di Kampung Pematang Air, kampong yang kecil, disebut karena beberapa abad yang lalu orang Jawa (Majapahit?) membuat layar disini. Ketika kami mendekati Tanjung Alam, tanah mulai meninggi. Tengah hari kami berhenti di kampong Sejurai. Ada 50 orang yang berperawakan garang menemui kami ketika kami mendarat. Kami pergi ke rumah mereka yang disambut mereka dengan mesra. Wanita bertenun kain disini. Orang Batak sangat takut pada Orang Melayu diseberang sungai ini, karena selalu merampas anak-anak mereka dan menjualnya sebagai hamba.
Tanggal 5 Maret:
Kami melewati pondok-pondok orang Batak diatas bukit. Kami berpapasan dengan beberapa perahu penuh dengan garam. Penduduk dalam perahu itu membawa serta anak isterinya. Utusan Sultan Tiba menyatakan bahwa Raja tidak bisa dating karena masih berperang dengan orang Batak. Kami melewati 2 buah batu yang ganjil pada masing-masing sisi sungai yang tingginya 200 meter. Kemudian kami melewati 2 buah batu besar yang disebut Batu Dikikir, yang seakan-akan mau menutupi sungai itu, dan kami seakan-akan mau memasuki terowongan. Saya mendapat tahu bahwa batu ini sememangnya dikikir oleh para Portugis beberapa abad yang lalu, ketika bangsa itu menguasai Melaka dan mempunyai perkampungan diatas sungai Asahan. Laut masa itu sampai di Sirantau. Kami sampai di sebuah kampung kecil Bandar Pasir Mandogei setinggi 50 kaki dari atas sungai. Itu merupakan kumpulan berbagai pondok yang kumuh. Raja Bunto Panai, menyambut kami dengan upacara. Ia berusia setengah abad, berkulit cerah, dan penghisap candu yang kuat. Dihadiahkannya pada sebuah Tirjing, pisau bergagang perak, digunakan untuk memotong daging manusia, Raja sedang menyerang kubu-kubu orang Batak dengan laskar 500 orang sekira perjalanan 1 hari. Sultan Muda segera pergi menemuinya. Di perbukitan dibelakang tempat ini banyak sekali benteng orang batak dibawah perintah Raja Bunto Panai. Di sekitar Pasir Mandogei ada 50  kampung dari benteng orang Batak, yang berpenduduk 300-1000 orang. Empat jam dari sini ada kampung Munto Meragi. Pinang Meratus, Sendi, Kasingino, Katuburka, Padang Nangali, Sungai Pulia, kesemuanya dilewati Sultan Muda untuk mendatangi Raja.
Tanggal 6 Maret:
Perahu yang megikuti kami tiba. Pagi hari banyak orang Batak Toba turun sampai ke pinggir sungai. Mereka dating dari danau yang besar. Jualan mereka terdiri dari kain yang dibuat sendiri, gagang pedang dan di tempat mereka harga 100 gantang padi $.1 : garam 3-4 gantang per dollar. Warna kulit mereka agak kehitaman seperti orang Burma. Semuanya baru buat mereka termasuk cermin kecil. Saya hadiahkan beberapa buah dan mereka sangat gembira melihat muka mereka. Orang Batak itu menyebut orang Eropah “Melayu dengan gigi putih”. Salah seorang kepala suku membawa 4 wanita dan 2 orang anak kepada Raja Bunto Panei. Saya diserahkan beberapa orang hamba, tetapi saya tak mau menerimanya. Raja sangat sibuk untuk mengepung 8 buah benteng, yang berada dibawah kekuasaan Raja Tinding dari Terdolo. Di beberapa buah benteng saya lihat banyak tengkorak yang dipunyainya. Kawan-kawan dari yang sudah terbunuh jika sudah ada perdamaian, membeli kembali tengkorak kerabatnya seharga 30-40 dollar. Ibunda dari raja Asahan member orang yang membawa tengkorak kepada saya $.10.- Pakaian wanita Bata dililit kain hingga kelutut, tetapi buah dada mereka terbuka. Di kampung-kampung yang lain, gadis kecil berumur 10-12 tahun sama sekali telanjang bulat. Rumah Raja yang masih muda itu penuh dengan wanita beberapa diantaranya cantik putih. Jika seorang Raja Batak menolak memberikan padanya salah seorang puteri, ia berperang denganya dan merampasnya dengan paksa. Raja Bunto Panai membantunya dengan tenaga manusia dan membagi rampasan dan rakyatnya membuat pesta terhadap orang yang ditawan. Sebagian puteri dari kepala suku Perdambanan ini bekulit cerah, sedangkan orang Toba berkulit kehitaman. Pada jam 2, Yang Dipertuan Sultan tiba dengan rombongannya dan memberikan tembakan kehormatan dengan senapan. Saya berada dengan Raja beberapa jam  dan ia minta agar saya meneruskan perjalanan bersamanya, tetapi saya haru kembali ke Hilir. Ia menyediakan bekalan saya, ubi, ayam, kambing, babi, dan lain-lain. Para kepala suku itu senang dengan barang-barang Eropah terutama kain merah.
Tanggal 7 Maret:
Pedagang orang Toba dari kampung Janji Maria dating menukar babi, padi dan lain-lain dengan beberapa buah barang-barang kecil buatan Inggris. Raja Bunto Panai banyak bergaul dengan orang Melayu, lebih berbudaya dalam tingkah lakunya sehingga saya bisa bicara dengannya. Ia menyatakan tidak makan daging manusia, tetapi ia tidak bisa melarang rakyatnya dari cara tradisional dahuli kala itu. Ia memesan 2 ekor anjing untuk menangkap rusa dan menulis memo itu pada sebuah batang bamboo dalam bahasa dan aksaranya dan juga angka 1-10.
Tanggal 8 Maret:
Kemaren malamketika berlayar menghilir, kami mendengar suara di tepi sungai, Sultan merasa mereka adalah bandit yang selalu mengintai dari tepi sungai dan menangkap orang-orang dari perahu yang lewat. Kami sampai di Pasir Putih jam 10 dan tiba di Sirantau pada jam 5 sore menghilir ke Tg. Balai jam 8 malam. Saya bertemu bendahara yang Nampak sakit-sakitan. Ia menyuruh saya menemui Raja Muda, tetapi karena kelelahan kami tak bisa lagi melanjutkan perjalanan.
Tanggal 9 Maret:
Meninggalkan Tg. Balai menuju kapal kami. Bendahara Shahbandar Mubin dan Raja Laut mengiringkan kami ke kapal dan kami beri hadiah. Ketika di Tg. Balai seorang dari Bilah memberitahukan saya bahwa Sultan panai dan Tajamuda Bilah pergi ke Siak, sehingga tidak perlu saya singgah kesana. Pada senja hari kami pun bertolak menuju Siak. Akhirnya terdapat perdamaian, Raja Mohamad Ishak dijadikan Raja Muda Asahan dan ketika terjadi perang dengan Bilah, maka negeri Kualuh dan Leidong yang diperintah oleh Raja Batak, RAJA HULUBALAN, dapat ditaklukkan dan negeri-negeri itu diserahkan kepada Raja Muda Ishak.

                Masa pemerintahan Sultan Husin (No.VIII) adalah masa perkembangan dan perluasan pengaruh Asahan. Baginda kawin dengan puteri Raja Tuan Terus dari Buntu Panei, sehingga menjadi negeri taklukan dalam menghadapi Kerajaan Tanah Jawa. Pada tahun 1845 kerajaan Siak menyerang Asan dan pertahanan dibuat di Sirantau. Akhirnya terdapat perdamaian dengan Siak diberi 100 gantang padi dan $1.000.- dan pasukan Siak meninggalkan Asahan. Hal ini berkat diplomasi dari Batubara. Pada tahun 1848 Asahan membantu Sultan Panei yang mengungsi ke Asahan diserang Kota Pinang. Juga pengaruh Asaha ke Batubara meningkat dan Sultan Husin juga menghapus gelar dan jabatan Laksemana, Temenggung dan lain-lain. Beberapa tahun setelah Baginda turun tahta karena tua (1853), maka Baginda mangkat oada tahun 1854.
                Dibawah pemerintahan puteranya Sultan Ahmad Syah (No.IX), Asahan berada pada puncak kejayaannya. Berdasarkan Kontrak Siak-Belanda tanggal 1 Februari 1858, maka Siak memohon bantuan Belanda untuk menertibkan negeri-negeri yang dianggapnya jajahan dari rongrongan Aceh yaitu dari Temiang sampai ke Pasir Ayam Denak (Rokan).
                Pemerintah Hindia Belanda mengirim misi dipimpin Residen Riau. Netscher ke Asahan. Tetapi Sultan Ahmad Syahmenyatakan tidak pernah mengakui tunduk kepada Siakdan mengusir utusan Belanda Raja Burhanuddin. Menurut adat Siak, Sultan Asahn lebih tinggi derajatnya dari Sultan Deli, Langkat dan Serdang. Ia setingkat dengan Raja Muda Siak.
                Akhirnya Pemerintah Batavia mengirim ekspedisi Militer yang besar, yang disebut Expeditie tegen Serdang en Asahan dan mendarat di kampong Boga (Batubara) tanggal 10-9-1865. Setelah menduduki Lima Laras Datuk Laksemana Lima Laras pun berlindung ke Serdang, maka pasukan Belanda melalui daratan Batubara serta melalui pendaratan dari laut, memasuki Tg. Balai.
                Pada tanggal 20 September Sirantau dapat direbut dan rombongan Sultan Ahmad Syah lalu undur ke pedalaman dan mengadakan konperensi dengan Raja-Raja Batak di Huta Huru dan Panglima perlawanan gerilya diserahkan kepada Pak Netek untuk melanjutkan Gerilya jika Sultan tertangkap.
                Pada tanggal 30 September 1865, karena ultimatum untuk menyerah tidak dipenuhi, Belanda memproklamirkan “memecat” Sultan Ahmad Syah dari Tahta Kesultanan Asahan dan menyerahkan pimpinan Kerajaan sementara kepada Raja Muda Naamatullah, ia putera dari Raja Ishak.
                Meningkatnya penyerangan Gerilya dan sabotase di kota Tg. Balai, maka Residen Netscher mengundang Sultan Ahmad Syah, Pangeran Adil dan Tengku Pangeran Besar Muda yang bermarkas di Kampong Sarang Alang, agar mau berunding di kapal perang Dassoon.
                Sementara itu Netscher yang gentar juga minta agar kapal perang Sindoro dan Delzfjil dikirim ke Tg. Balai segera. Sultan Ahmad Syah mengungsi ke pedalaman dan bergerilya dibantu oleh pak Netek.
                Perang gerilya dan sabotase rakyat di Asahan dan khususnya di Tg. Balai makin menjadi-jadi dan dibantu pula oleh pedagang Cina. Sultan Raja Dewa Syah pernah beristerikan wanita Cina dan Raja Muda Naamatullah ibunya adalah wanita Cina, sehingga hubungan masyarakat Cina dengan Raja-Raja Asahan sangat erat. Karena tidak tahan menghadapi perlawanan dibawah tanah Orang Asahan, maka Raja Muda Naamatullah dicopot oleh Belanda dan dijadikan Raja (Yang Dipertuan) Kualuh-Leidong, dan akhirnya dapat tertangkap Sultan Ahmad Syah dan saudaranya Pangeran Muda dan dibuang ke Ambon berdasarkan keputusan Kerapatan Siak tanggal 7-10-1867, sehingga pimpinan Pemerintahan Asahan dipegang Kontelir Van den Bor. Menurut kisah dari Netscher: pada tanggal 29 Oktober 1865 tibalah rombongan Sultan Ahmadsyah, Pangeran Adil dan Tengku Pangeran Besar Muda ke atas kapal berunding dengan Netscher dan bersamaan dengan jam 4 sore itu juga 2 kapal perang Belanda yang dipanggil juga segera merapat.
                Didalam laporannya kepada Gubernur Jenderal di Betawi Netscher melaporkan dalam suratnya tanggal 18 Oktober 1865 antara lain menyatakan sebagai berikut: “Sultan Ahmad Syah berwajah menarik dan nampaknya Intelegent meskipun Nampak agak curiga dan ketakutan, demikian juga adiknya Tengku Adil yang juga Nampak biasa-biasa saja. Tapi lain halnya dengan Tengku Pangeran Besar Muda, yang bertabiat kurang ajar dan garang nampaknya, dan mengambil sikap tidak peduli dan menantang, bahkan ia tidak mau berusaha agar berpakaian sempurna, sehingga ia lebih Nampak sebagai Orang Batak yang biadab (onbechaafden Batakker) daripada sebagai seorang bangsawan Melayu yang sebenarnya sudah selalu berhubungan dengan orang Eropah.
                Ia bersandar di pintu dengan tangan yang melintang, seolah-olah ia sedang menonton satu pertunjukkan yang tidak menarik perhatiannya. Muka dan sikapnya cocoklah dengan tingkah lakunya yang kurang ajar ketika menerima utusansaya pada bulan Desember 1964 dulu itu. Kepada Sultan Ahmad Syah, saya beritahukan keputusan pemerintahan Hindia Belanda (“memecatnya”) karena pernah menghina pemerintah Belanda.
                Sementara dengan jaminan Raja Muda ia  boleh tinggal asal jangan bertindak macam-macam kepada Tengku Adil, saya peringatkan jangan mendengarkan hasutan orang dan harus berkelakuan baik jangan sedikitpun salah langkah.
                Saya kemudian berpaling kepada Tengku Pangeran Muda, dan menyatakan bahwa dialah yang jadi biang keladi semua nasib buruk bagi saudara-saudaranya dan dialah yang jadi perantara dengan orang Inggris dan orang Cina di Penang dan yang mengorbankan kebencian terhadap Belanda, malahan bertindak kurang ajar terhadap utusan saya, seorang turunan bangsawan Minangkabau (Raja Burhanuddin) yang lebih tinggi asalnya dari dia sendiri (Raja-Raja Asahan berasal dari Batak: Van Batakschen oorsprong). Dia juga ada bukti umum telah menghina Pemerintahan Hindia Belanda dan berani menantangnya, oleh sebab itu saya tidak berwenang memutuskan mengenai nasibnya, dan dengan tersenyum ia hanya menjawab bahwa ia tidak pernah melakukan seperti yang dituduhkan itu. Bahkan sedikitpun dia tidak minta izin untuk bertemu dengan keluarganya berpisah ketika ia digiring ke kapal perang, bahkan kepada mereka itu ia menggamit menyuruh mereka pergi. Dia ini mustilah seorang manusia yang kasar dan pemberang dan sangat berbahaya jika ia berkesempatan melaksanakan isi hatinya. Semua perbuatannya menunjukkan bahwa ia adalah seorang musuh Pemerintah Hindia Belanda yang gigih yang harus disingkirkan.
                Tengku Pangeran Besar Muda ditangkap dan dibawa dengan kapal perang Delfzjil ke betawi pada tanggal 30 Oktober 1865. Ia kemudian dijatuhi hukuman dibuang ke Ambon. Tiada berapa lama kemudian, karena tertangkap basah berkomplot mengadakan gerakan dibawah tanah terhadap Belanda di Tg. Balai, maka Sultan Ahmad Syah dan Tengku Pangeran Adil juga oleh Belanda dibuang ke Ambon, Raja Muda Naamatullah, yang diam-diam membiarkan saja gerakan itu. Asahan diperintah langsung oleh Kontelir Belanda, yang membuat api perlawanan semakin menyala.
                Tentu saja perlawanan rakyat terhadap Belanda makin menjadi-jadi. Kontelir Belanda itu memujuk raja-raja Batak di Hulu Asahan agar mematuhi adat lama “Asahan bertali ke Hulu” dengan menghadiahkan 6 helai tengkuluk, 6 kabun kain putih halus dan 6 doos cermin kaca, ditambah 6 pedang berukir, 25 ikat kepala kain batik, 4 potong kain merah, 4 kodi kain beludru biru dan hijau, 2 peti gelas. Belanda berniat untuk menjadikan Raja Burhanuddin sebagai Raja  Asahan, tetapi mengingat perlawanan rakyat akhirnya tidak jadi.
                Mula-mula expedisi dipimpin Raja Muda Naamatullah yang diletakkan Belanda bakal pengganti Sultan Asahan, tetapi lasykarnya diobrak abrik rakyat Bandar Pulau, Buntu Pane dan Pasir Mandogei, sehingga terpaksalah tentara Belanda sendiri turun tangan. Oleh karena merasa Raja Muda Naamatullah tidak pernah sukses memerintah di Asahan, maka oleh karena itulah Belanda mencabutnya dari Asahan dan memindahkannya jadi Raja di Kualuh dan Leidong pada tahun 1868, dan Asahan diperintah suatu Dewan Kerajaan terdiri dari 4 orang Pembesar Asahan.
                Ternyata anggota Dewan inipun berkomplot untuk menculik Kontelir Belanda yang duduk sebagai Ketuanya. Terutama keamanan di Asahan tidak eprnah pulih dan memuncak pada tahun 1879 dan penduduk hulu Asahan dibantu orang-orang Simelungun dari Dolok, menyerang pos polisi Belanda.
                Januari 1883 orang-orang Nadolok menyerang pula pos Belanda di Si Alang Kelong dekat Bandar Pulau. Setelah dating bantuan militer dari Tg. Balai, gerilyawan Nadolok itu sudah menyingkir dan sulit bagi Belanda untuk mengejarnya karena wilayah yang sukar dilalui. Lalu kekuatan bersenjata di pos Bandar Pulau ditambah satu datasemen yaitu 25 orang polisi bersenjata,  dan 5 pos observasi dibangun di sekitar Bandar Manis (Kualuh). Oleh karena kemanan Asana tidak pulih dan berbagai tuntutan rakyat agar Sultan dikembalikan, maka mau tak mau Belanda mengembalikan Sultan Ahmadsyah dan keluarganya ke Asahan pada tahun 1886.
                Baginda Sultan Ahmadsyah mangkat tanggal 27 Juni 1888 dan karena tiada beranak lalu digantikan kemanakan baginda TENGKU NGAH BIN TENGKU PANGERAN ADIL menjadi Sultan Asahan ke-10 bergelar SULTAN MUHAMAD HUSIN SYAH-II. Daerah-daerah Maranti, Suana dan Parduaan, kesemuanya dalam wilayah Habinsaran, mengadakan pernyataan tunduk kepada Sultan Asahan dengan mengikat perjanjian “patik” dan peristiwa ini disaksikan sendiri oleh Kontelir Belanda di Asahan.
                Pada tahun 1990 kembali ada kerusuhan soal Si Singamangaraja, kini di Hulu Kaluh. Seorang Melayu bernama Guru Ali, mengaku menjadi utusan resmi Si Singamangaraja XII dan menghasut rakyat agar berontak. Pasukan militer dikirim kesana dan Guru Ali serta beberapa pengikutnya dapat ditangkap. Pada tahun 1902 kembali seorang bernama Si Tangkol mengaku utusan si Si Singamangaraja dan menyebarkan ajaran Parmalim dan membuat jalan antara Asahan dengan Tanah Toba menjadi tidak aman buat Belanda.
                Akhirnya Belanda dapat memasang perangkap dan menangkapnya ketika ia berada di Bandar Pulau pada November 1902. Pada tahun 1905 ditetapkanlah sungai Silau Tua sebagai watas antara Asahan dengan Kabupaten Simalungun yang baru dibentuk.
                Di Hulu sungai ada negeri Aek bontar dan Silo Bosar yang diklaim Asahan tetapi  dimasukkan Belanda menjadi bahagian kerajaan Tanah Jawa (Simelungun), tetapi karena kepala-kepala rakyat disana memprotes, maka Belanda menekan Sultan Husinsyah agar membuat surat resmi mematuhi keputusan Residen Belanda itu.
                Di dalam Politik Kontrak yang baru pada tahun 1907, Belanda mengurangi banyak wilayah di Hulu Asahan yang tidak didiami suku Melayu. Hanyalah negeri Buntu Pane, Gunung dan Haboko saja yang diakui Belanda masuk Asahan.negeri Silo JAwa, Ujung Sipinggan dan Tangga Bongbongan misalnya dicabut daari Asahan. Sultan Husinsyah protes besar, sehingga pada tahun 1908 dibentuk oleh Residen Sumatera Timur dan Residen Tapanuli suatu komisi bersama membicarakan soal ini mengingat bahwa daerah Habinsaran sudah pula dapat dikuasai Belanda dari arah tapanuli.
                Akhirnya diputuskan: Silo Jawa dan Ujung Sipinggan tetap dikuasai oleh Sultan Asahan, tetapi Aek Bontar dan Silo Bosar dimasukkan kedalam kerajaan Tanah Jawa (Simelungun) dan Tangga Bongbongan dimasukkan ke Habinsaran (Tapanuli). Begitu juga di negeri-negeri Hulu Kualuh yang dihuni suku Nadolok yang menentang berada dibawah Raja Kualuh, daerah mereka dimasukkan ke Habinsaran (Tapanuli). Hal ini sesuai dengan Beslit Gubernemen tanggal 27 September1913 No. 24 definitiplah ditetapkan garis perbatasan kerajaan Asahan, Simelungun dan Batubara. Di hulu Asahan penduduknya disebut suku “Perdambanan” du hulu Kualuh suku “Nadolok”.
                Sejak dahulu negeri-negeri Buntu Pane, Gunung dan Haboko yang didiami suku Perdambanan itu sudah masuk ke kerajaan Asahan yang rajanya berasal dari dinasti Sultan Alaiddin Al Qahhar (Aceh) itu. Pada tanggal 7 Juni 1915 Sultan Husinsyah mangkat. Tengku Besar Amir, puteranya yang tertua, meninggal terlebih dahulu, sehingga diangkat puteranya yang lain, yaitu TENGKU SAIBUN yang masih dibawah umur sebagai pengganti. Semasa belum dewasa, baginda dipangku oleh TENGKU REGENT ALANG YAHYA. Menurut laporan Belanda, penduduk Asahan 40.000 jiwa ¾ asal Batak yaitu suku Perdambanan ataupun Toru Dolok yang dibatasi Sungai Silau. Penduduk Cina di Tg. Balai yang mendanai pembangunan Mesjid Raya Tg. Balai zaman Sultan Raja Dewa Syah yang beristeri wanita Cina itu. Kebon kopi Sukaraja kepunyaan Sultan menghasilkan 456.000 kg kopi Liberia.
 
Sumber:
http://fsilaturrahmi.blogspot.com/2012/01/sejarah-kota-melayu.html
 

No comments:

Post a Comment