Haru Biru Tenun Batak
Minggu, 30 Maret 2014 | 13:32 WIB
Oleh:
KOMPAS.com - Kain tenun Batak secara pukul rata kerap disebut sebagai ulos. Padahal, ada nama-nama berbeda sesuai sub-etnis Batak yang menaunginya. Kain uis di Karo, oles di Pakpak-Dairi, hiou di Simalungun, serta ulos bagi sub-etnis Batak Toba dan Batak Angkola-Mandailing. Kain-kain pengikat kasih ini diam-diam menyimpan keresahan.
Suasana duka menyelimuti ritual adat kematian di Jambur Lige, balai perhelatan acara adat di kota Kabanjahe, Tanah Karo, Sumatera Utara, akhir Februari lalu. Para perempuan dan laki-laki menari landek perlahan dalam iringan musik sarunai yang menyayat. Beberapa kaum lelaki mengenakan kain tenun uis beka buluh di bahu, sementara perempuan berkain uis nipes dan tudung berbentuk segitiga. Begitulah tenun uis dikenakan. Keberadaan uis mengiringi kehidupan orang Karo di mana pun berada, sejak kelahiran hingga kematian. Uis adalah identitas Karo.
Namun, di manakah uis Karo ditenun? Ironisnya, kain tenun penanda identitas orang Karo ini tak lagi ditenun oleh orang Karo sendiri, tetapi sub-etnis Batak lainnya, di antaranya sub-etnis Batak Toba. ”Mana ada orang Karo bikin tenun? Orang Karo tinggal pakai saja,” celoteh Remiati Sinaga (50), penjual sekaligus petenun uis Karo asal Samosir.
Di sekitarnya, kain uis bertumpuk-tumpuk, didominasi warna merah dan motif dari benang emas. Sambil mengunyah sirih, tangannya menghitung lembaran uang yang diperolehnya siang itu. Remiati berjualan di Pasar Kabanjahe setiap hari pekan (hari pasar) yang jatuh di hari Senin.
Sebagian besar kebutuhan uis masyarakat Karo—terkadang enggan dianggap bagian dari etnis Batak—memang dipenuhi oleh sub-etnis Batak dari wilayah lain, seperti di Samosir. Antropolog berkebangsaan Kanada, Sandra Niessen, yang 35 tahun meneliti ulos, punya catatan relevan terkait hal itu. Dalam bukunya Legacy in Cloth: Batak Textiles of Indonesia (2009) dan Batak Cloth and Clothing: A Dynamic Indonesian Tradition (1993) disebutkan, setidaknya sudah seratus tahun orang Karo berhenti menenun uis.
Ditinggalkan
Pemicu fenomena itu tak lain adalah pembangunan yang dimulai sejak zaman kolonial pada awal tahun 1900-an, yakni ketika Belanda membangun jalan yang menghubungkan kawasan pesisir ke tanah Karo dan memperkenalkan pertanian kentang di Berastagi. Suburnya tanah Karo berkat keberadaan gunung berapi, seperti Sinabung, membuat pertanian di Karo lebih menjadi penopang hidup rakyat. Akses jalan makin mempermudah distribusi hasil pertanian yang kian beragam.
Masyarakat Karo pun sejak itu dikenal makmur berkat pertanian. Aktivitas menenun uis pun ditinggalkan. Meski begitu, fenomena itu menjadi peluang rezeki bagi wilayah lain, yang alternatif sumber nafkahnya tak selegit di tanah Karo. Daya beli orang Karo yang kuat menjadi rezeki bagi para penenun dari sub-etnis lainnya, yakni etnis Batak Toba di Toba Samosir dan Pulau Samosir, yang berkenan untuk juga menenun uis Karo.
Meski begitu, masih ada orang Karo yang bertekad merevitalisasi uis. Kita bisa menemuinya di usaha tenun uis Trias Tambun milik Sahat Tambun (59), di Jalan Sudirman, Kabanjahe. Trias Tambun seolah berusaha merebut identitas uis sebagai kain adat yang sungguhan ditenun di tanah Karo. Siapa penenunnya? Sebagian besar dari 10 penenun di bengkel Trias Tambun justru bukan orang Karo, melainkan berasal dari beragam etnis, mulai dari Nias, Padang, hingga Jawa. Semuanya perempuan dengan usia relatif muda, antara 20 dan 30-an tahun.
”Orang Karo memang lebih senang urus pertanian, uis tinggal beli saja,” kata Sahat, lulusan Institut Teknologi Tekstil Bandung.
Sahat mengaku resah dengan fenomena itu. Berbekal ilmu tekstil yang dimilikinya, dia membuka usaha uis Karo sejak tahun 1997. Sahat lalu memelopori produksi uis dengan alat tenun bukan mesin (ATBM). Sementara sebagian besar uis selama ini dibuat dengan alat tenun tradisional gedogan. Dengan ATBM, produksi uis lebih cepat dan produktif.
Saat ini ada delapan ATBM di bengkel kerjanya. Meski begitu, hingga kini kebutuhan bahan baku, seperti benang dan pewarna, masih bergantung dari Jawa, yang juga hasil impor dari Tiongkok dan India. Produksi uis di Trias Tambun hanya 300-an uis per bulan. Sahat memperkirakan, volume produksi uis itu hanya kurang dari 10 persen dari kebutuhan uis di Tanah Karo.
”Yang paling mengkhawatirkan saya sekarang ini, siapa nanti yang akan meneruskan uis Karo ini setelah saya,” ujar Sahat yang belum yakin anak-anaknya bersedia meneruskan usaha tenun uis.
Putaran ulos
Lain lagi cerita ulos dari Kota Balige, Toba Samosir. Para pemilik usaha ulos dengan alat tenun mesin dibuat pusing kepala oleh Perusahaan Listrik Negara (PLN). Bagaimana tidak, listrik yang kerap mati di Sumut sejak tahun 2013 membuat produksi ulos kerap terhenti.
”Listrik tiap hari bisa mati sampai tujuh jam. Padahal, jam kerja pegawai ada batasnya. Produksi ulos saya sudah turun sampai 60 persen, sementara gaji pegawai harus tetap normal,” keluh Esron Sianipar (47), pengusaha ulos di Balige.
Usaha tenun yang dikelola Esron merupakan warisan dari orangtuanya yang memulai pada 1960. Di bengkel ulos miliknya, kini ada 30 pekerja dan 24 mesin yang memproduksi ulos. Selain soal listrik, keresahan Esron juga tertuju pada harga bahan baku, seperti benang dan pewarna kimia, yang terus naik.
Kejengkelan serupa juga dirasakan penenun di Pematang Siantar. Di sini, juga daerah sub-etnik Batak Simalungun, ulos disebut sebagai hiou. Bob Damanik adalah salah satu penenun yang terimbas dampak pemadaman listrik di Sumut. Meski menggunakan ATBM, proses gulung benang membutuhkan alat yang digerakkan tenaga listrik. Namun, keresahan yang juga membebani hatinya selama ini adalah kenaikan bahan baku yang tidak bisa diikuti oleh harga yang layak di pasaran.
”Harga jual (hiou) bisa ditekan rendah gila-gilaan oleh tauke, sementara harga benang terus naik dan kualitasnya jelek. Koperasi baru ada, tetapi belum bisa berbuat apa-apa. Kami ini dijajah tauke benang,” tutur Bob yang menenun hiou bersama istrinya di rumahnya, di Kecamatan Marimbun, Pematang Siantar.
Sulitnya mencari benang berkualitas bagus juga dikeluhkan di Pakpak Bharat. Pasokan benang biasanya didapat dari Pematang Siantar atau Medan. ”Jenis ’benang seratus’ yang dibutuhkan penenun sulit didapat yang bagus. Akibatnya, sering putus dan kalau disambung saat ditenun menjadi kurang rapi,” kata anggota staf Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Kabupaten Pakpak Bharat, Verikthen A Nahampun.
Meski kualitasnya buruk, harga benang kerap naik signifikan. ”Dari semula Rp 60.000 per 2 kilogram, sekarang jadi Rp 100.000,” ujar Bob.
Banting harga
Keluhan Bob memang beralasan. Di Pasar Horas di Pematang Siantar, misalnya, kita dengan mudah bisa menemukan ulos berharga sangat murah, mulai dari Rp 10.000 per lembar. ”Saya sering beli ulos yang dijual orang setelah acara adat. Saya beli borongan, per ulos dihargai mulai Rp 5.000. Nanti, ulos itu dijual lagi untuk acara adat, putar-putar begitu terus,” ujar Rumintang Napitupulu (30), penjual ulos di Pasar Horas.
Fenomena ini sebenarnya sempat dikritisi mendiang Ompu Monang Napitupulu, Ketua Partungkoan Batak Toba, sebuah organisasi kesukuan sub-etnis Batak Toba. Menurut Ompu Monang, adat pengulosan atau pemberian ulos dalam upacara perkawinan, misalnya, telah dijalankan berlebihan dan boros (Kompas, 25 November 2000). Adalah gengsi tersendiri jika keluarga mempelai bisa mendapatkan banyak ulos, padahal kemudian dijual kembali.
”Begitulah. Makanya, harga ulos di pasar bisa cuma sepuluh ribu perak. Ulos lama-lama jadi seperti tak ada harganya,” ujar Bob.
Ulos, artefak budaya yang ikut membentuk identitas bangsa itu, diam-diam memberi isyarat tentang persoalan budaya bangsa ini.
Editor | : Sandro Gatra |
Sumber | : KOMPAS CETAK |
Sumber:
http://regional.kompas.com/read/2014/03/30/1332183/print.kompas.com
No comments:
Post a Comment