Bahasa Mandailing
Oleh Drs. Z. Pengaduan Lubis
Pada
waktu belakangan ini mulai dikembangkan oleh orang-orang tertentu suatu
konsep yang salah mengenai bahasa yang digunakan oleh masyarakat
Mandailing. Mereka menyebut bahasa yang digunakan oleh masyarakat
Mandailing sebagai bahasa Angkola Mandailing. Secara kultural sebenarnya
tidak ada bahasa Angkola Mandailing. Karena kalau kita tanyakan kepada
orang Mandailing bahasa apa yang dipakainya, sudah pasti orang yang
bersangkutan akan menjawab bahwa bahasa yang dipakainya ialah bahasa
Mandailing. Dia tidak akan mengatakan bahasa Angkola Mandailing. Dan
kalau kita tanyakan kepada orang Angkola, bahasa apa yang dipakainya,
sudah tentu ia akan menjawab bahasa Angkola. Keadaan yang demikian itu
membuktikan bahwa tidak ada bahasa Angkola Mandailing.
Kenyataan
memang menunjukkan bahwa orang Mandailing dan orang Angkola menggunakan
satu bahasa yang sama. Tapi orang Angkola mengakui bahwa bahasa yang
dipakainya atau bahasa ibunya ialah bahasa Angkola dan orang Mandailing
mengakui bahwa bahasa ibunya ialah bahasa Mandailing.
Dalam
hal ini dapat kita gunakan pendapat pakar bahasa H.N. Van Der Tuuk
untuk menjelaskan persoalannya. Van Der Tuuk pernah melakukan penelitian
mengenai bahasa Mandailing dan beberapa bahasa etnis lainnya yang
terdapat di Sumatera Utara. Dari hasil penelitiannya mengenai bahasa
Mandailing, Van Der Tuuk mengemukakan (1971: XLVII), “Dengan mengacu ke
pantai barat Sumatera, dengan aman dapat dikatakan bahwa bahasa
Mandailing meluas dari Ophir atau pegunungan Pasaman di sebelah selatan
sampai ke perbatasan bagian utara dari Sipirok dan Batang Toru. Bahasa
Mandailing terbagi menjadi bahasa Mandailing utara (juga disebut bahasa
Angkola) dan bahasa Mandailing selatan. Belum mungkin untuk merumuskan batas-batas yang pasti di antara keduanya”.
Keterangan
atau pendapat Van Der Tuuk ini menunjukkan dengan jelas sekali bahwa
bahasa orang Mandailing dan bahasa orang Angkola ialah bahasa
Mandailing. Tetapi bahasa Mandailing yang digunakan oleh orang Angkola
disebut juga bahasa Angkola. Dengan demikian jelas pulalah bahwa
sebenarnya tida ada bahasa Angkola Mandailing seperti yang belakangan
ini mulai disebut-sebut oleh orang-orang tertentu. Perbuatan yang
demikian itu benar-benar merupakan suatu kekeliruan (untuk tidak
menyebut manipulasi) yang seharusnya tidak dilakukan oleh sarjana
bahasa, yang seharusnya mengetahui tentang prinsip dan sikap emik dan etik
dalam mengemukakan pendapat mengenai hal-hal yang berkaitan dengan
kebudayaan, termasuk mengenai bahasa sebagai salah satu unsure
kebudayaan yang sangat penting.
Bahasa
Mandailing (khususnya yang digunakan oleh kelompok etnis atau
masyarakat Mandailing pada masa yang lalu) atau yang disebut oleh Van
Der Tuuk sebagai bahasa Mandailing, terdiri dari lima ragam.
Masing-masing dinamakan oleh orang Mandailing sebagai:
1. Hata Somal
2. Hata Andung
3. Hata Teas Dohot Jampolak
4. Hata Sibaso
5. Hata Parkapur
Hata Somal ialah ragam bahasa Mandailing yang dipergunakan oleh orang-orang Mandailing dalam percakapan sehari-hari sampai pada saat ini.
Hata Andung
ialah semacam ragam bahasa sastra, yang pada masa dahulu khusus
digunakan oleh orang-orang Mandailing pada waktu meratapi jenasah dalam
upacara kematian. Juga digunakan oleh gadis ketika ia meratap di hadapan
orang tuanya pada saat akan berangkat meninggalkan mereka untuk
selanjutnya dibawa ke rumah keluarga calon suaminya.
Hata Taes Dohot Jampolak ialah ragam bahasa caci-maki yang khusus digunakan ketika terjadi hal-hal yang tidak baik (pertengkaran atau perkelahian).
Hata Sibaso
ialah ragam bahasa yang khusus digunakan oleh tokoh Sibaso (medium
perantara alam nyata dan alam gaib) ketika berada dalam keadaan
kesurupan (kerasokan) dan juga digunakan oleh Datu (penyembuh tradisional) pada waktu melakukan pengobatan.
Hata Parkapur
ialah ragam bahasa sirkumlokusi yang khusus digunakan ketika orang
berada di tengah hutan. Pada masa yang lalu digunakan oleh orang-orang
Mandailing pencari kapur barus ketika berada dalam hutan. Itulah
sebabnya maka ragam bahasa tersebut dinamakan hata parkapur.
Bahasa Daun-daunan
Di
samping kelima macam ragam bahasa yang telah dikemukakan di atas, pada
masa lalu masyarakat Mandailing juga memiliki satu ragam bahasa yang
lain yang dinamakan hata bulung-bullung (artinya bahasa daun-daunan). Ch. A. van Ophuysen menamakannya bladerentaal.
Berbeda
dari bahasa yang biasa, yang digunakan sebagai kata-kata dalam hata
bulung-bulung ialah daun tumbuh-tumbuhan yang dalam bahasa Mandailing
disebut bulung-bulung.
Daun-daunan
yang digunakan ialah daun-daunan yang namanya punya persamaan bunyi
dengan kata-kata yang terdapat dalam bahasa Mandailing. Misalnya ialah
daun tumbuh-tumbuhan yang bernama sitarak digunakan untuk menyampaikan kata marsarak (berpisah). Daun tumbuh-tumbuhan yang bernama pau (pakis) digunakan untuk menyampaikan kata diau (pada saya). Daun yang tumbuh-tumbuhan yang bernama sitanggis (setanggi) digunakan untuk menyampaikan perkataan tangis (menangis). Daun tumbuh-tumbuhan yang bernama podom-podom digunakan untuk menyampaikan perkataan modom (tidur). Daun tumbuh-tumbuhan yang bernama hadungdung digunakan untuk menyampaikan perkatan dung (setelah). Dan daun tumbuh-tumbuhan yang bernama sitata digunakan untuk menyampaikan perkataan hita (kita).
Kalau misalnya daun hadungdung bersama-sama dengan daun sitata, daun sitarak, daun sitanggis dan daun podom-podom dikirimkan oleh seorang pemuda kepada kekasihnya, maka sang kekasih akan mengerti bahwa sang pemuda mengatakan kepadanya: “dung hita marsarak jolo tangis au anso modom“. Artinya “setelah kita berpisah, menangis saya dahulu baru bisa tertidur”.
Pada masa yang lalu, bahasa daun-daun biasanya digunakan oleh muda-muda (naposo na uli bulung)
dalam masyarakat Mandailing, terutama pada waktu mereka berpacaran.
Dalam hal ini, dapat dikemukakan bahwa pada masa yang lalu kegiatan
berpacaran (asmara) antara pemuda dan pemudi dalam masyarakat Mandailing
sama sekali tidak boleh dilakukan secara terbuka. Hubungan
dan kegiatan berpacaran harus dirahasiakan atau dilakukan secara
rahasia. Oleh karena itu, jika dua orang muda yang berpacaran hendak
menyampaikan sesuatu di antara mereka, maka mereka menggunakan bahasa
daun-daunan. Dan jika seorang kekasih hendak menyampaikan daun-daunan
sebagai “surat cinta” kepada pacarnya, dia harus melakukannya secara
rahasia. Misalnya dengan meletakkan daun-daunan tersebut di satu tempat
tertentu yang sudah mereka sepakati dan tidak diketahui orang lain.
Secara sembunyi-sembunyi mereka yang berpacaran itu akan mengunjungi
tempat rahasia tersebut secara bergiliran, untuk melihat apakah di
tempat itu terdapat “surat cinta” yang terdiri dari daun-daunan.
Kalau dua orang yang sedang berpacaran hendak berdialog secara langsung, mereka akan melakukannya dengan cara yang disebut markusip
(berbisik). Kegiatan markusip dilakukan pada waktu tengah malam agar
tidak diketahui oleh orang lain. Dalam hal ini, pemuda dengan cara
sembunyi-sembunyi mendatangi rumah tempat kekasihnya tidur. Kemudian
dengan menggunakan sandi atau kode sang pemuda akan membangunkan
kekasihnya dari balik dinding rumah tersebut. Untuk membangunkan sang
kekasih, biasanya pemuda menjentik-jentik dinding rumah dengan jari
tangannya secara perlahan-lahan. Dalam hal ini, biasanya sang kekasih
memang sudah menunggu kedatangan kekasihnya untuk markusip pada
waktu-waktu tertentu tengah malam. Oleh karena itu sang pemuda cukup
menjentik dinding rumah beberapa kali untuk memberitahukan bahwa dia
sudah datang dan berada di balik dinding. Kadang-kadang untuk
memberitahu kehadirannya di balik dinding sang pemuda membunyikan alat
musik yang dinamakan tulila yang suaranya halus sekali. Bila
sang gadis sudah mengetahui kehadiran kekasihnya di balik dinding, maka
mulailah mereka berdailog secara berbisik-bisik. Dialog antara dua orang
yang markusip biasanya dihiasi dengan pantun-pantun percintaan yang
romantis. Dan tidak jarang pula dihiasi dengan musik yang dimainkan
dengan alat tiup yang terbuat dari ruas bambu (buluh) yang relatif
sangat kecil, sehingga suaranya sangat halus. Alat musik yang khusus
digunakan pada waktu markusip itu dinamakan tulila.
Pada masa sekarang, bahasa daun-daunan (hata bulung-bulung),
dan penggunaannya sudah hilang dari tradisi budaya Mandailing. Demikian
pulanya dengan ragam-ragam bahasa yang tersebut di atas. Yang masih
terus digunakan oleh warga masyarakat Mandailing di negeri mereka ialah hata somal
(ragam bahasa sehari-hari). Sedangkan ragam bahasa yang lainnnya, boleh
dikatakan sudah hampir punah sama sekali. Karena selama ini warga
masyarakat Mandailing tidak berusaha untuk melestarikannya. Kepunahan
ragam-ragam bahasa Mandailing yang sangat kaya itu sangat merugikan
kelompok etnis Mandailing, bahkan merugikan bangsa Indonesia.
Karena ragam bahasa tersebut merupakan kekayaan budaya etnis, yang
kalau sudah punah hampir mustahil untuk menghidupkannya kembali.***
Sumber: www.mandailing.org.
No comments:
Post a Comment