Budaya Lubuk Larangan: Pola Privatisasi Tradisional Unik Yang Tidak Merugikan
Oleh; Achmad Syai Lubis*
Pada hakikatnya sungai merupakan sumber kehidupan dan ekonomi bagi masyarakat Mandailing Natal. Banyak manfaat sungai yang digunakan masyarakat untuk kehidupannya seperti minum, mencuci, menangkap ikan, mencari emas dan irigasi sawah. Selain sebagai sumber kehidupan ada satu budaya bernama Lubuk Larangan yang sudah di ada sejak turun temurun di Mandailing Natal. Hampir semua desa di pinggiran sungai batang gadis yang terletak di sumatera utara masih menjalankan tradisi Lubuk Larangan.
Lubuk
Larangan adalah satu bentuk pengelolaan sungai dengan bentuk larangan, larangan
dalam hal ini adalah mengubah sungai yang pada dasarnya sumber daya milik
bersama menjadi milik sekelompok atau
komunitas (desa). Dilakukannya hal ini untuk menjaga sumber daya sungai yang di
ambil oleh semua orang dengan semena mena tanpa memperdulikan akibatnya. Awalnya Lubuk Larangan adalah satu
kepercayaan masyarakat mandailing natal terhadap beberapa kawasan sungai yang
dianggap sebagai tempat penghuni mahluk halus atau naborgo-borgo. Pada akhirnya kawasan lubuk larangan menjadi kawasan
yang enggan di masuki oleh masyarak Mandailing Natal. Hal tersebut ternyata
memberikan dampak baik bagi ekosistim sungai, sumberdaya ikan di sungai tetap
terjaga dan keseimbangan alam juga tetap terjaga.
Pada perkembangannya kepercayaan Lubuk Larangan ini semakin memudar seiring perkembangan zaman. Memudarnya kepercayaan ini diakibatkan oleh modernisme yang kurang menghormati alam. Pertumbuhan jumlah penduduk mengakibatkan meningkatnya konsumsi ikan masyarakat. pola pandang pragmatisme yang cenderung komersial mengakibatkan pengambilan ikan di lakukan secara eksploitatif. Penangkapan ikan secara eksploitatif juga banyak dilakukan untuk mendapatkan hasil yang banyak. Hal ini terjadi karena sungai dianggap sumberdaya milik bersama dan siapapun dapat mengambil hasil alam dari sungai.
Pada tahun 80-an beberapa tokoh masyarakat adat yang berprofesi petani di Mandailing Natal merasa prihatin terhadap kondisi sungai yang di eksploitasi oleh banyak orang dengan semena-mena. Maka di bangunlah kembali budaya lubuk larangan di Mandailing Natal dengan pola yang di sudah di perbaharui dari pola sebelumnya dengan menganut dan mempelajari pola adat dan tani di sumatera barat. Budaya lubuk larangan kini dibentuk dengan pola pengubahan kepemilikan sumberdaya alam sungai dari milik bersama menjadi milik kelompok atau komunitas (desa) sungai yang ada di sepanjang desa akan menjadi milik desa dan di kelola oleh pengurus lubuk larangan yang sudah di tentukan oleh masyarakat desa. Musyawarah juga dilakukan dengan seluruh penduduk desa untuk menetapkan wilayah sungai yang sudah di tetapkan batasnya menjadi daerah larangan untuk mengambil hasil ikan dari sungai tersebut selama jangka waktu 6 sampai 12 bulan, kesepakatan ini juga akan di umumkan ke desa-desa lain di sekitar daerah lubuk larangan tersebut.
Pada jangka waktu tersebut setiap aktifitas yang berhubungan dengan menangkap ikan akan mendapatkan sanksi dari masyarakat seperti denda, dan hukuman moral. Kebanyakan masyarakat yakin akan mitos ikan-ikan yang di lubuk larangan telah di jaga oleh dukun desa, konon jika kita mengambil ikan di lubuk larangan akan terkena penyakit dan penyakit tersebut hanya bisa di sembuhkan oleh dukun desa yang menjaga lubuk larangan tersebut. Setelah sampai pada jangka waktu yang di tentukan barulah lubuk larangan di buka untuk di panen, biasanya pembuakaan lubuk larangan ini di anggap sebagai pesta masyarakat desa. Setiap orang yang ingin ikut dalam pesta lubuk larangan tersebut akan di kenakan biaya pendaftaran hasil dari pendaftaran ini akan di gunakan untuk keperluan desa seperti pembangunan masjid, madrasah ataupun infrastruktur desa. Biasanya pesta lubuk larangan ini di buka pada saat hariraya idul fitri, inilah yang menjadikan tradisi ini unik. Karena pada saat pembukaannya seluruh masyarakat desa akan turun ke sungai untuk menangkap ikan bahkan banyak orang dari luar yang ikut berpartisipasi dan meramaikan acara ini.
Pada saat pembuakan lubuk larangan, seluruh panitia lubuk larangan dan perangkat desa akan turun untuk membuka acara tersebut. Setelah petinggi desa resmi mengumumkan lubuk larangan resmi di dibuka barulah peserta berhamburan ke sungai untuk menangkap ikan. Kebanyakan yang turun ke sungai menangkap ikan dengan menggunakan jala, Tak sedikit dari mereka yang turun kesungai mendapatkan ikan yang besar dan banyak. Banyaknya orang yang turun ke sungai untuk menagkap ikan menjadikan sungai penuh dengan orang-orang yang berebut mengembangkan jalanya ke sungai untuk mendapatkan ikan.
Hingga saat ini budaya Lubuk Larangan ini masih di terpakan oleh masyarakat Mandailing Natal. Hal ini terus dilakukan untuk menjaga dan melindungi habitat ikan di sungai. Terbukti dengan di terapkannya budaya ini, sekarang masyarakat Mandailing Natal masih bisa menikmati ikan yang langsung di peroleh dari sungai. Selain itu kondisi sungai di mandailing natal juga masih asri dan terjaga karna aktifitas ekspoitasi sungai dan penangkapan ikan besar-besaran tidak bisa dilakukan.
*Penulis adalah Wirausahawan
Muda. suka mengamati ragam budaya nasional. Dapat ditemui di twiiter: @Achmadsyailubis
Sumber:
http://www.operamuda.com/2012/08/tentang-opera-muda_4.html
No comments:
Post a Comment