'KEBUDAYAAN' MELAHIRKAN 'PERADABAN'
Oleh: Syamsir Alamsyah Batubara
PENGANTAR
Kata 'kebudayaan' dan 'peradaban' sering kita baca di dalam buku dan
juga kita dengar ketika diucapkan orang, tetapi sering kali keduanya
dimaknai sama. Memang, kalau dilihat dari satu sisi, pengertian dari
'kebudayaan' dan 'peradaban' hampir mirip, namun sebenarnya memiliki
makna yang berbeda. Banyak ahlinya yang sepakat bahwa 'peradaban'
dilahirkan oleh kebudayaan, dimana tidak ada manusia yang tidak
berbudaya karena tidak ada manusia yang hidup sendirian. Oleh sebab
itulah, sekelompok manusia yang hidup bersama (masyarakat) pasti akan
melahirkan sebuah kebudayaan, yang pada gilirannya dapat pula berkembang
menjadi suatu 'peradaban'1.
Di Indonesia, kata 'kebudayaan' berasal dari bahasa Sansekerta yaitu
'buddayah', adalah bentuk jamak dari kata 'budhi' yang artinya 'budi'
atau 'akal'. Dalam hal ini, 'kebudayaan' diartikan sebagai "hal-hal yang
berkaitan dengan budi atau akal". Menurut Koentjaraningrat, kebudayaan
adalah "keseluruhan dari kelakuan manusia dan hasil yang harus
didapatkannya dengan belajar, dan semua itu tersusun dalam kehidupan
masyarakat".2 Sebelumnya, Selo Soemardjan dan Soelaeman Soenardi
(1964), merumuskan "kebudayaan sebagai semua hasil karya, cipta, dan
rasa masyarakat. Karya masyarakat menghasilkan teknologi dan kebudayaan
kebendaan atau kebudayaan jasmaniah (material culture) yang diperlukan
oleh manusia untuk menguasai alam sekitarnya, agar kekuatan serta
hasilnya dapat digunakan untuk keperluan masyarakat".3
Sementara itu dalam bahasa Inggris, 'kebudayaan' disebut 'culture'.
Sebuah istilah yang relatif baru karena istilah 'culture' sendiri dalam
bahasa Inggris baru muncul pada pertengahan abad ke-19. Sebelum tahun
1843, para ahli antropologi memberi arti kebudayaan sebagai cara
mengolah tanah, usaha bercocok tanam, sebagaimana tercermin dalam
istilah 'agriculture' dan 'holticulture'. Hal ini dapat dimengerti
karena istilah 'culture' berasal dari bahasa Latin, yaitu 'colere' yang
berarti pemeliharaan, pengolahan tanah pertanian. Dalam arti kiasan kata
'colere' itu juga diberi arti "pembentukan dan pemurnian jiwa". Sekitar
sepuluh tahun kemudian, E.B. Tylor (1871) membuat definisi kebudayaan
sebagai "kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian,
moral, hukum, adat istiadat dan kemampuan-kemampuan serta
kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota
masyarakat".4
Sedangkan istilah 'peradaban' dalam bahasa Inggris disebut
'civilization'. Istilah 'peradaban' ini sering dipakai untuk menunjukkan
pendapat dan penilaian kita terhadap perkem-bangan kebudayaan. Sewaktu
perkembangan kebudayaan mencapai puncaknya yang berwujud unsur-unsur
kebudayaan yang halus, indah, tinggi, sopan, luhur, dan sebagainya, maka
masyarakat pemilik kebudayaan tersebut dikatakan telah memiliki
peradaban yang tinggi. Menurut Arnold Joseph Toynbee (1965)5,
peradaban adalah "kebudayaan yang telah mencapai taraf perkembangan
teknologi yang sudah lebih tinggi". Sementara Samuel P. Huntington
(1993)6 mendefinisi peradaban adalah "sebuah identitas terluas
dari budaya, yang teridentifikasi melalui unsur-unsur obyektif umum,
seperti bahasa, sejarah, agama, kebiasaan, institusi, maupun melalui
identifikasi diri yang subyektif".
Istilah 'peradaban' telah ditetapkan dan dipahami dengan berbagai cara
dalam situasi dimana tidak ada definisi standar yang diterima secara
luas. Kadang-kadang peradaban disamakan dengan kebudayaan. Peradaban
juga dapat merujuk kepada masyarakat secara keseluruhan. Pada abad
kesembilan belas antropolog Inggris E.B. Tylor mendefinisikan
'peradaban' adalah "the total social heredity of mankind". Dengan kata
lain, peradaban adalah totalitas pengetahuan dan budaya manusia yang
diwakili oleh masyarakat yang paling 'maju' pada waktu tertentu.7
Bertolak dari pengertian 'kebudayaan' dan 'peradaban' tersebut di atas
tampak cukup jelas perbedaan diantara keduanya. Perbedaan antara
'kebudayaan' dan 'peradaban' ini lebih jelas lagi diungkapkan oleh
Edward Spranger dan Paul John William Pigors (1928) yang mengartikan
'kebudayaan' sebagai "segala bentuk atau ekspresi dari kehidupan batin
masyarakat". Sedangkan 'peradaban' ialah "perwujudan kemajuan teknologi
dan pola material kehidupannya". Dengan demikian, maka sebuah bangunan
yang indah sebagai karya arsitektur mempunyai dua dimensi yang saling
melengkapi, yaitu dimensi seni dan falsafah, yang berakar pada
kebudayaan. Sedangkan kecanggihan penggunaan material dan pengolahannya
merupakan hasil peradaban. Dengan kata lain, 'kebudayaan' ialah "apa
yang kita dambakan", sedangkan 'peradaban' ialah "apa yang kita
pergunakan". Kebudayaan tersebut tercermin dalam seni, bahasa, sastra,
aliran pemikiran, falsafah, sistem kepercayaan dan moral yang
dicita-citakan, dan sebagainya. Sementara 'peradaban' tercermin dalam
politik praktis, ekonomi, teknologi, ilmu-ilmu terapan, sopan-santun
pergaulan, penerapan hukum dan lain sebagainya.8
Kebudayaan (culture) adalah seluruh hasil 'budi-daya' manusia, baik 'material' seperti Bagas Godang (istana raja) dan Sopo Godang (balai sidang adat) maupun 'immaterial' seperti Tortor (tarian adat), Gordang Sambilan (musik adat), Markobar (berpidato adat), Marturi (cerita lisan), Partuturan (nama sapaan berdasarkan hubungan kekerabatan), Baso
(etika), dan lain sebagainya - di dalam kebudayaan masyarakat
Mandailing sebagai salah satu kelompok etnik di Indonersia. Sedangkan
'peradaban' (civilization) merupakan akumulasi dari seluruh budaya
materil dan immaterial tersebut. Sebuah peradaban mulai berkembang di
saat manusia mampu keluar dari ketakutan dan instabilitas yang
melingkupi hidupnya, karena di saat manusia merasa bahwa dia berada
dalam waktu dan tempat yang aman, maka seluruh potensi yang dimilikinya
akan diarahkan pada usaha untuk memahami hidup dan berupaya untuk
mengembangkannya guna meningkatkan kualitas hidupnya.
Peradaban hanyalah milik manusia, karena makhluk selain manusia tidak
memiliki kemampuan untuk membangun sebuah peradaban, setidaknya hinggai
saat ini belum ada ditemukan suatu peradaban selain yang dimiliki oleh
manusia. Hanya saja, peradaban yang dimiliki oleh suatu kelompok etnik
tertentu berbeda - baik kualitas maupun kuantitasnya - jika dibandingkan
dengan peradaban yang dimiliki oleh kelompok-etnik lainnya. Dalam
perjalanannya, peradaban-peradaban besar yang dimiliki oleh ummat
manusia mengalami timbul dan tenggelam (pasang-surut), berpindah dari
satu tempat ke tempat yang lain, dari satu ummat ke ummat yang lain.
Namun demikian hal ini tidak menutup kemungkinan adanya lebih dari satu
peradaban besar yang hadir dalam satu masa.
TUMBUH-KEMBANGNYA KEBUDAYAAN (PARADABAN)
Manusia adalah makhluk sosial yang berarti manusia tidak bisa hidup
sendiri tanpa adanya dorongan dan bantuan dari pihak luar. Begitu pula
dengan kebudayaan, yang tidak akan berjalan kalau tidak ada yang
melestarikan atau menggerakkannya, yaitu manusia. Dengan demikian jelas
bahwa hubungan antara manusia dan kebudayaan sangat erat sekali. Dalam
hal ini, kebudayaan ada karena diciptakan oleh manusia, dan manusia
dapat hidup di dalam kebudayaan yang diciptakannya. Dan kebudayaan akan
terus hidup dan berkembang jika ada manusia sebagai pendukungnya.
Kebudayaan yang dikembangkan oleh manusia akan berimplikasi terhadap
lingkungan tempat kebudayaan itu berkembang. Setiap kebudayaan
memancarkan suatu ciri khas dari masyarakat pendukungnya, yang tampak
dari luar. Dengan mengkaji pengaruh kebudayaan terhadap lingkungan kita
akan mengetahui mengapa suatu lingkungan tertentu berbeda dengan
lingkungan lainnya, dan menghasilkan kebudayaan yang berbeda pula.
Beberapa variable yang berhubungan dengan masalah lingkungan dan
kebudayaan antara lain:9
1. Phisical
environment, yaitu lingkungan fisik yang menunjuk kepada lingkungan
natural seperti flora, fauna, iklim, dan sebagainya.
2. Cultural
social environment, meliputi aspek-aspek kebudayaan beserta proses
sosialisasinya seperti norma-norma, adat-istiadat, nilai-nilai budaya,
dan sebagainya.10
3. Environmental
orientation and representation, mengacu pada persepsi dan kepercaayaan
kognitif yang berbeda-beda pada setiap masyaraakat mengenai
lingkungannya.
4. Environmental behavior and process, meliputi bagaimana masyarakat menggunakan lingkungan dalam hubungan sosial.
5. Out carries product, meliputi hasil tindakan manusia seperti membangun rumah, komunitas, dan sebagainya.
Meski tidak diakui secara umum, sebenarnya peran yang dimainkan oleh
ekonomi dalam pembentukan kebudayaan sangat penting. Setiap manusia
memiliki kebutuhan pangan, sandang, dan papan. Untuk menyediakan
kebutuhan tersebut adalah fungsi ekonomi karena kebutuhan ini dipenuhi
melalui sistem produksi dan distribusi. Di luar kebutuhan itu,
kebanyakan orang juga ingin - hal-hal yang mereka inginkan untuk membuat
hidup mereka lebih nyaman dan menyenangkan. Sepanjang sejarah kebutuhan
manusia tetap sama: di dunia kuno orang membutuhkan makanan, pakaian,
dan tempat tinggal - dan mereka masih melakukannya hingga hari ini.
Bahkan, sepanjang sejarah kebanyakan orang harus puas dengan memenuhi
kebutuhan mereka, dan berkeinginan untuk sesuatu yang lebih yang belum
terpenuhi. Hanya orang yang sangat kaya dan kuat yang mampu membayar
ekstra untuk memiliki rumah bagus, makanan yang lebih baik, perawatan
medis yang baik, kenikmatan seni, pakaian mahal dan perhiasan.11
Oleh karena kebudayaan adalah hasil cipta, karsa dan rasa manusia, maka
kebudayaan mengalami perubahan dan juga perkembangan sejalan dengan
perkembangan manusia itu sendiri. Kebudayaan yang dimiliki oleh suatu
kelompok etnik tidak akan terhindar dari pengaruh kebudayaan kelompok
etnik lain dengan adanya kontak-kontak antar kelompok etnik melului
proses difusi, asimilasi dan akulturasi.
Dalam alam yang baik, manusia akan berusaha untuk mendirikan suatu
kebudayaan, seperti di Eropa, India, dan Cina. Di daerah yang terlalu
dingin seolah-olah kegiatan manusia membeku (Eskimo) dan di daerah yang
terlalu panas tidak dapat timbul suatu kebudayaan (Sahara, Kalahari, dan
Gobi). Maka apabila tantangan alam itu baik, maka timbullah suatu
kebudayaan.12
Tumbuh dan berkembangnya sebuah peradaban sangat ditentukan oleh
tersedia atau tidaknya faktor-faktor utama pembentuk peradaban itu
sendiri. Apabila faktor-faktor ini tersedia dengan baik, maka sebuah
peradaban akan dapat tumbuh dan berkembang. Sebaliknya, pertumbuhan
suatu peradaban akan terhenti, bahkan bisa jadi punah, apabila
faktor-faktor pembentuknya tidak lagi tersedia. Paling tidak ada 4
(empat) faktor utama pembentuk peradaban manusia, sebagai berikut:13
Pertama, dalam pertumbuhan peradaban manusia sangat
ditentukan oleh kondisi geologis kulit bumi, baik bagian luar maupun
bagian dalam. Misalnya pada Zaman Es (Ice Age), di saat permukaan bumi
hanya menyisakan sedikit ruang bagi manusia untuk bergerak, peradaban
manusia belum tumbuh. Dalam hal ini, 'kesuburan tanah' sangat menentukan
tumbuh berkem-bangnya suatu peradaban. Demikian juga halnya dengan
kekayaan yang dikandung oleh perut bagian bumi yang dihuni oleh suatu
kelompok etnik, terutama setelah mereka memiliki cukup kemampuan untuk
mengeksploitasi dan mengeksplorasi kekayaan tersebut. Pergeseran kulit
bumi bagian dalam pun juga sangat menentukan hidup matinya sebuah
peradaban, karena apabila pergeseran itu terjadi secara drastis maka
dapat menjadi penyebab hancurnya sebuah peradaban. Intinya, perkembangan
sebuah peradaban mensyaratkan adanya tanah yang subur untuk lahan
pertanian dan/atau barang tambang yang dikandung oleh perut bumi, dan
selain itu juga mensyaratkan amannya daerah tempat pertumbuhan peradaban
tersebut dari bahaya gempa bumi yang sewaktu-waktu datang melanda.
Kedua, adalah faktor geologis, yaitu mencakup suhu udara,
iklim, curah hujan, posisi suatu daerah dari jalur perdagangan dunia,
dan lain sebagainya. Umumnya, suatu daerah dengan suhu udara yang
terlalu panas, atau banyak ditumbuhi parasit, tidak kondusif bagi
tumbuh-kembangnya suatu peradaban. Demikian juga daerah yang tersebar di
dalamnya berbagai macam penyakit, karena pada saat itu seluruh
kemampuan yang dimiliki oleh penduduknya diarahkan untuk sekedar
bertahan hidup dan menjaga keturunan, tanpa tersisa sedikit pun energi
untuk mengembangkan budaya immaterial seperti seni dan adat-istiadat
misalnya.
Curah hujan yang cukup banyak turun di suatu daerah juga merupakan
faktor yang sangat dominan, karena air adalah sesuatu yang sangat
dibutuhkan dalam hidup, bahkan bisa jadi lebih penting dari cahaya
matahari sekali pun. Perubahan suhu global yang melanda bumi, yang
berimbas pada perubahan curah hujan, sangat berpengaruh bagi
hidup-matinya sebuah peradaban. Sebuah peradaban yang dulu berkembang
pesat bisa hancur dan punah disebabkan karena langit tak lagi meneteskan
air, seperti yang dialami oleh peradaban Mesopotamia.
Di samping itu, posisi suatu daerah dari peta perdagangan dunia juga
sangat berpengaruh bagi maju-mundurnya suatu peradaban. Hal ini
disebabkan karena pertumbuhan ekonomi sangat ditentukan oleh laju
pertukaran komoditi dari dalam daerah ke luar dan sebaliknya. Sebuah
daerah yang terletak pada jalur perdagangan dunia lebih memiliki
kesempatan untuk maju bila dibandingkan dengan daerah yang jauh dari
jalur perdagangan tersebut. Inilah yang menyebabkan kenapa
peradaban-peradaban lama yang kita kenal - seperti Yunani, Mesir dan
Cina - selalu terletak di pesisir dengan pantai yang landai atau di
lembah sungai yang memungkinkan berlabuhnya armada-armada dagang.
Ketiga, adalah faktor ekonomi, yang bagi pertumbuhan
sebuah peradaban bisa dikatakan lebih penting jika dibandingkan dengan
faktor geologis dan geografis. Sebuah kelompk etnik bisa jadi memiliki
institusi sosial yang teratur, undang-undang moral yang tinggi, dan
bahkan kesenian - seperti halnya suku Indian di Amerika - dimana semua
itu cukup bagi mereka untuk mengembangkan peradabannya selama mereka
masih bersandar dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dari berburu dan
meramu. Contoh lain, suku Badui yang ada di jazirah Arab boleh jadi
memiliki nilai-nilai moral yang mulia, seperti keberanian, kesetiaan,
dan lain-lain. Namun, selama itu hanya digunakan untuk berburu dan
berdagang, maka nilai-nilai tersebut tidak akan banyak membantu
pertumbuhan peradaban yang mereka miliki.
Tumbuhnya sebuah peradaban mensyaratkan adanya sumber ekonomi yang mapan
dan stabil. Oleh karena itulah perkembangan sebuah peradaban selalu
diawali dengan berubahnya cara hidup sebuah kelompok etnik dari pola
yang berpindah-pindah (nomaden) menuju cara hidup yang metetap, yaitu
perpindahan dari cara hidup berburu menuju cara hidup bertani. Selama
manusia masih hidup secara berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat
lain, mereka tidak akan memiliki banyak waktu untuk mengembangkan bidang
pemikiran dan seni. Tetapi di saat mereka sudah hidup menetap di suatu
tempat tertentu, menggantungkan hidupnya dari hasil bertani dan
beternak, hal mana mereka juga dapat menyimpan sisa-sisa apa yang
dihasilkannya untuk kebutuhan di masa mendatang, sehingga mereka tidak
lagi terancam kelaparan, maka pada saat itulah sebagian dari energi yang
dimilikinya akan diarahkan untuk memikirkan berbagai hal tentang
hidupnya. Yang terakhir disebut inilah yang membuka jalan bagi manusia
untuk belajar hidup secara teratur dan sistematis, sehingga dengan
demikian potensi yang dimilikinya tidak hanya digunakan untuk sekedar
bertahan hidup, tapi juga berusaha untuk mencapai kesempur-naan hidup.
Perpindahan cara hidup dari berburu menuju bertani inilah yang kemudian
menghasilkan lahirnya 'budaya desa'. Pada proses selanjutnya
budaya-budaya yang berasal dari desa-desa itu bertemu pada satu titik,
yaitu 'kota', sehingga terjadilah akumulasi dari budaya-budaya yang
melahirkan peradaban. Itulah kelebihan yang dimiliki oleh kota. Sebuah
kota bisa diibaratkan seperti muara tempat bertemunya aliran air dari
segala penjuru. Di kotalah seluruh hasil pertanian yang dikeluarkan oleh
desa-desa dikumpulkan dan diperjual-belikan. Di kotalah para pedagang
dari berbagai perjuru daerah bertemu, bukan hanya sekedar untuk
melakukan transaksi dagang, tapi juga untuk berbagi pemikiran. Dari sini
akal manusia mulai terasah, sehingga dia dapat mengembangkan 'kemampuan
mencipta' untuk menghasilkan produk-produk budaya, baik yang berupa
material maupun immaterial.
Tiga faktor tersebut di atas (geografis, geologis dan ekonomi) adalah
faktor-faktor material pembentuk peradaban ummat manusia. Faktor-faktor
material ini adalah syarat utama berdirinya sebuah peradaban. Begitu
pun, faktor-faktor material tersebut tidak cukup dengan sendirinya untuk
membangun sebuah peradaban, karena peradaban bukanlah sesuatu yang
terlahir dari kekosongan. Oleh karena itu, lahir dan berkembangnya
sebuah peradaban sangat ditentukan juga oleh tersedia atau tidaknya
faktor-faktor immaterial.
Keempat, faktor immaterial. Kebangkitan sebuah peradaban mensyaratkan
adanya peraturan-peraturan pemerintahan yang mengatur hubungan antara
satu anggota masyarakat dengan lainnya, antara anggota masyarakat dengan
negara, dan seterusnya. Peraturan-peraturan ini selalu kita temukan
dalam peradaban-peradaban lama, meskipun dalam bentuk yang masih sangat
sederhana dan dengan kekuatan yang sangat lemah, sehingga kehidupan
masyarakat pada saat itu lebih dekat pada ketidakteraturan dari pada
keteraturan, seperti keadaan peradaban Romawi pada masa kebangkitan.
Bahasa juga sangat penting bagi tumbuhnya satu peradaban sebagai alat
perekat dan pemersatu. Bahasa adalah alat komunikasi langsung antara
seseorang dengan yang lainnya. Lebih jauh lagi, bahasa sebenarnya tak
lain adalah bentuk lahir dari 'kerja otak' (berpikir). Oleh karena
itulah, bahasa yang dimiliki dan dipahami bersama sangat membantu
terlaksananya pertukaran pemikiran dan trasformasi pengetahuan antara
satu individu dengan yang lain.
Selain itu juga dibutuhkan nilai-nilai moral yang mengikat antara satu
individu dengan individu yang lain, sehingga tercipta aturan-aturan
hidup yang keberadaannya diakui bersama. Nilai-nilai moral inilah yang
membuat perilaku masyarakat menjadi lebih teratur dan terarah pada satu
tujuan yang sama. Dari sini dapat kita lihat pentingnya keyakinan
terhadap hal-hal yang berada di balik materi (sistem kepercayaan),
karena keyakinan ini sangat membantu terbentuknya nilai-nilai moral
dalam kehidupan masyarakat.
Kemudian, untuk menjamin tetap eksis dan berkem-bangnya sebuah
peradaban, dibutuhkan pula adanya pendidikan. Yang dimaksud dengan
pendidikan di sini adalah sarana - meskipun dalam peradaban lama
bentuknya masih sangat sederhana - yang digunakan untuk melakukan
transfer pengetahuan dari satu generasi ke generasi selanjutnya,
sehingga apa-apa yang telah didapatkan oleh generasi terdahulu tidak
hilang begitu saja, tetapi dapat terpelihara dan dikembangkan oleh
generasi selanjutnya.
Dengan demikian, tidak tersedianya semua faktor di atas menyebabkan
peradaban tidak dapat tumbuh. Bahkan hilangnya salah satu dari faktor di
atas bisa jadi cukup untuk menjadi sebab mundurnya, bahkan hancurnya
sebuah peradaban.
KERUNTUHAN KEBUDAYAAN (PERADABAN)
A.J. Toynbee dalam bukunya A Study of History (1933) mengembangkan teori
peradaban. Teori Toynbee didasarkan atas penelitian terhadap sekitar 30
(tiga puluh) kebudayaan. Menurut Toynbee terbentuknya suatu peradaban
melalui beberapa tahapan: (1) genesis of civilizations, yaitu lahirnya
kebudayaan; (2) growth of civilizations, yaitu perkembangan kebudayaan;
dan (3) decline of civilizations, yaitu keruntuhan kebudayaan, yang
terdiri dari beberapa tahapan pula, yaitu:
(a) breakdown of civilizations
(kemerosotan peradaban), terjadi karena kelompok minoritas kehilangan
daya mencipta serta kehilangan kewibawaannya, maka kelompok mayoritas
tidak lagi bersedia mengikuti minoritas. Peraturan dalam peradaban
(antara minoritas dan mayoritas) itu pecah dan dengan sendirinya
tunas-tunas hidupnya suatu peradaban akan lenyap.
(b) disintegration of civilizations (desintegrasi
perada-ban), yang mulai tampak setelah tunas-tunas kehidupan itu mati
dan pertumbuhan terhenti. Setelah pertumbuhan terhenti, maka seolah-olah
daya hidup itu membeku dan terdapatlah suatu peradaban itu tanpa jiwa
lagi. Toynbee menyebut masa ini sebagai petrification, maksudnya
'pembatuan' atau peradaban itu sudah menjadi batu, mati dan menjadi
fosil.
(c) dissolution of civilization (lenyapnya
peradaban), dimana hal ini terjadi apabila tubuh dari suatu kebudayaan
yang sudah membatu itu hancur-lebur dan lenyap.
Toynbee (1933) juga mendeskripsikan sebab-sebab muncul, tumbuh, dan
gulung tikarnya kebudayaan dari segi kesejarahan. Ia menekankan sisi
"intelligible" - semacam penalaran studi sejarah - dimana peradaban
muncul bila manusia menghadapi situasi sulit yang menantang hingga
bertumbuhnya kegiatan-kegiatan kreatif untuk melakukan usaha-usaha yang
tidak terduga dalam proses 'challenge and response'. Melalui tantangan
ini munculah peradaban, dan bila terus kreatif akan menumbuhkan
tanggapan yang makin canggih dengan kreativitas yang semakin optimal.
Rangsangan-rangsangan kebudayaan terus diasah dan dipertajam yang secara
lahiriah berupa penguasaan keadaan luar dan secara batiniah berupa
artikulasi dari dalam 'self-determination' yang progresif. Terdapat
proses 'etherialization' yaitu ikhtiar-ikhtiar untuk memusatkan energi
kebudayaan pada optimalisasi tantangan-tantangan yang semakin halus atau
spiritualisasi dari kebudayaan. Perdaban akan runtuh bila gagal
memunculkan kretivitas dalam menghadapi tantangan. Puncak keruntuhan
terjadi bila ada disintegrasi peradaban dimana kesatuan sosial pecah dan
ketidakmampuan peradaban itu memberi tanggapan kreatif pada tantangan
zaman.
Peradaban bagi Toynbee (1933) bermula ketika manusia mampu menjawab
tantangan lingkungan fisik yang keras, dan kemudian berhasil juga dalam
menjawab tantangan lingkungan sosial. Pertumbuhan terjadi tidak hanya
ketika tantangan tertentu berhasil diatasi, tetapi juga karena mampu
menjawab lagi tantangan berikutnya. Kriteria pertumbuhan itu tidak
diukur dari kemampuan manusia mengendalikan lingkungan fisik (misalnya
melalui teknologi), atau pengendalian lingkungan sosial (misalnya
melalui penaklukan), melainkan diukur dari segi peningkatan kekuatan
yang berasal dari dalam diri manusia itu sendiri, yakni semangat yang
kuat (self determination) untuk mengatasi rintangan-rintangan eksternal.
Dengan kata lain, kekuatan yang mendorong pertumbuhan itu bersifat
internal dan spiritual. Mengapa peradaban bisa muncul? Pertanyaaan
itulah yang mengawali pemikiran Toynbee tentang munculnya peradaban.
Pada mulanya ia berpikiran bahwa faktor gen dalam ras dan kondisi
lingkungan fisiklah yang menjadi landasan utama munculnya peradaban.
Akan tetapi pada akhirnya pemikiran tesebut digugurkannya sendiri. Tidak
ada ras yang superior dan tidak ada lingkungan fisik yang benar-benar
menciptakan peradaban dengan sendirinya. Hal ini dikarenakan ras dan
lingkungan fisik hanya bersifat membantu dalam perkembangan peradaban
ummat manusia.
Peradaban muncul karena dua faktor yang saling berkaitan erat, yaitu
adanya 'kelompok minoritas kreatif' dan 'kondisi lingkungan'. Antara
keduanya tidak ada yang terlalu menguntungkan atau terlalu merugikan
bagi pertumbuhan peradaban. Mekanisme kelahiran dan dinamika
kelangsungan hidup peradaban dijelmakan dalam konsep tantangan dan
tanggapan (challange and response). Lingkungan (mula-mula alamiah,
kemudian juga sosial) terus menerus menantang masyarakat, dan masyarakat
melalui kelompok minoritas kreatif menentukan cara menanggapi tantangan
itu. Segera setelah itu, tantangan ditanggapi, lalu muncul pula
tantangan baru, yang kemudian diikuti oleh tanggapan berikutnya. Namun
demikian, tidak semua tantangan bisa dianggap sebagai sebuah rangsangan
positif. Ada pula tantangan yang tidak menimbulkan peradaban.14
Peradaban muncul sebagai jawaban atas beberapa satuan tantangan dengan
tingkat kesukaran yang cukup ekstrim, manakala 'kelompok minoritas
kreatif' yang mengorientasikan kembali keseluruhan masyarakat. Kelompok
minoritas kreatif ini adalah sekelompok manusia atau bahkan individu
yang memiliki 'self-determining' (kemampuan untuk menentukan apa yang
hendak dilakukan secara tepat dan memiliki semangat yang kuat). Dengan
adanya kelompok minoritas kreatif tersebut, sekelompok besar manusia
akan bisa keluar dari masyarakat primitif.15
Suatu peradaban tercipta hanya karena mampu mengatasi tantangan dan
rintangan, bukan karena menempuh jalan yang terbuka lebar dan mulus.
Toynbee membahas lima perangsang yang berbeda bagi kemunculan peradaban,
yakni kawasan yang: ganas, baru, diperebutkan, ditindas, dan tempat
pembuangan. Kawasan ganas mengacu pada lingkungan fisik yang sukar
ditaklukkan, seperti wilayah yang terbiasa untuk banjir bandang yang
senantiasa mengancam seperti di sepanjang sungai Hoang Ho di Cina.
Kawasan baru mengacu kepada daerah yang belum pernah diolah dan dihuni,
sehingga masyarakat akan merasa asing dan melakukan upaya untuk
adaptasi. Kawasan yang dipersengketakan, temasuk yang baru ditaklukkan
dengan kekuatan militer. Kawasan tetindas menunjukkan suatu situasi
ancaman dari luar yang berkepanjangan. Kawasan hukuman atau pembuangan
mengacu pada kawasan tempat kelas dan ras yang secara historis telah
menjadi sasaran penindasan, diskriminasi, dan eksploitasi.16
Tantangan itu mungkin sedemikian hebatnya sehingga orang tidak dapat
menciptakan tanggapan yang memadai. Oleh karena itu, tidak ada hubungan
langsung antara tantangan dan tanggapan, tetapi hubungannya berbentuk
kurva linear. Artinya, tingkat kesukaran yang sangat besar dapat
membangkitkan tanggapan yang memadai, tetapi tantangan ekstrim dalam
arti terlalu lemah dan terlalu keras, tidak mungkin membangkitkan
tanggapan yang memadai.17
Toynbee dalam Lauer (2001) menyebut tahap pertumbuhan (growth) sebagai
proses "penghalusan", yakni pergeseran penekanan dari alam kemanusiaan
atau perilaku yang lebih rendah ke taraf yang lebih tinggi. Ini berarti
menaklukkan rintangan awal sehingga dengan demikian energi dapat
tersalurkan untuk menanggapi tantangan yang lebih bersifat internal dari
pada yang bersifat eksternal, dan yang bersifat spiritual ketimbang
material. Pertumbuhan demikian berarti peningkatan penentuan nasib
sendiri, dan ini menimbulkkan deferensiasi secara terus-menerus di
antara bagian-bagian yang ada dalam masyarakat. Diferensiasi ini tejadi
karena sebagian masyarakat tertentu berhasil memberikan tanggapan
memadai atas tantangan; sebagian yang lain berhasil dengan jalan meniru
bagian yang berhasil itu. Namun, sebagian yang lain lagi gagal, baik
dalam menciptakan atau meniru, dan oleh sebab itu akan mendekati
kematian. Akibatnya adalah berkembangnya ciri khas tertentu di dalam
setiap peradaban. Peradaban Yunani misalnya, memiliki keunggulan
pandangan estetika mengenai kehidupan sebagai suatu keseluruhan
(totalitas). Lain halnya dengan peradaban Hindu dan India cenderung
menuju ke suatu pandangan hidup yang mengutamakan religi.18
PENUTUP
Hubungan antara manusia, masyarakat, dan kebudayaan sangat erat sekali
dan ketiganya tidak terpisah satu sama lain. Masyarakat adalah suatu
organisasi manusia yang saling berhubungan dengan kebudayaan. Mc Iver
pakar sosiologi politik pernah mengatakan: "Manusia adalah makhluk yang
dijerat oleh 'jaring-jaring' yang dirajutnya sendiri", seementara
'Jaring-jaring' itu adalah 'kebudayaan'. Dalam hal ini, Mc Iver ingin
mengatakan bahwa 'kebudayaan' adalah sesuatu yang diciptakan oleh
masyarakat tetapi pada gilirannya merupakan suatu kekuatan yang mengatur
bahkan memaksa manusia untuk melakukan tindakan dengan "pola tertentu".
Kebudayaan bahkan bukan hanya merupakan kekuatan dari luar diri manusia
tetapi bisa tertanam dalam 'kepribadian individu'. Dengan demikian
kebudayaan merupakan kekuatan pembentuk pola sikap dan perilaku manusia
dari luar dan juga dari dalam. Unsur paling sentral dalam suatu
kebudayaan adalah nilai-nilai yang merupakan suatu konsepsi tentang apa
yang benar atau salah (nilai moral), baik atau buruk (nilai etika) serta
indah atau jelek (nilai estetika). Dari 'sistem nilai' inilah kemudian
tumbuh menjadi 'norma' yang merupakan patokan atau rambu-rambu yang
mengatur perilaku manusia di dalam kehidupan bermasyarakat.
Kebudayaan sebagai akar peradaban suatu kelompok etnik (bangsa) terbukti
memberikan kontribus yang sangat besar bagi perkembangan (kemajuan)
kehidupan warganya. Dalam hal ini, perbedaan mendasar antara
'kebudayaan' dan 'peradaban' terletak pada prosesnya. Kalau 'kebudayaan'
merupakan 'kasil cipta' (proses manusia menciptakan 'sesuatu' yang baik
yang nyata maupun yang abstrak). Sementar 'peradaban' adalah bagimana
proses mewujudkan 'kebudayaan' dalam suatu masyarakat. Untuk membangun
suatu 'peradaban' sangat dibutuhkan 'jaringan sosial' atau 'inovasi
sosial' yang berperan dalam mencipta pranata (institusi) sosial yang
memungkinkannya menerima dan mengembangkan produk-produk peradaban lain
dalam konteks kebudayaan itu sendiri. [sab]
Medan, 05 Desember 2013.
~o0o~
FOOTENOTE
1. Peradaban itu tumbuh dan berkembang di lembah yang subaur di daerah aliran sungai besar seperi [eradaban Sumeria di aliran sungai Eufrat dan tigris di Mesopotamia, Mohenjodaro di aliaran sugai Indus di India, YangTse Kiang di Cina, Nil di Mesir, Rhein dan Donau di Erpa. Lihat Basyaral Hamidy Harahap, "Aksara Mandailing: Tinjauan Sosial Budaya", makalah diprasentasikan dalam Sarasehan Keduyaan Mandaili, Gedung Dewan Pers, Jakarta (2013).
2. Menurut J.J. Hoenigman dalam Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (1980), bahwa setiap kebudayaan memilki tiga wujud, yaitu: (1) Gagasan (wujud ideal), merupakan kebudayaan yang terbentuk berdasarkan ide, pemikiran dan gagasan yang sifatnya abstrak. Wujud kebudayaan ini terletak di alam pemikiran warga masyarakat. Apabila masyarakat menyatakan gagasan mereka itu dalam bentuk tulisan, maka lokasi kebudayaan ideal itu berada dalamrulisan atau karangan hasil karya masyarakat tersebut; (2) Aktivitas (tindakan), merupakan wujud kebudayaan sebagai suatu tindakan dari masyarakat itu yang disebut dengan sistem sosial. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas - aktivitas manusia yang bersifat konkret (nyata) yang artinya dapat diamati dan di dokumentasikan; dan (3) Artefak (karya), merupakan wujud kebudayaan fisik yang berupa hasil dari aktivitas, kegiatan dan karya berupa benda - benda atau hal - hal yang bisa di raba, diamati dan di dokumentasikan.
3. Selo Soemardjan & Soelaeman Soenardi, Setangkai Bunga Sosiologi, Jakarta: Yayasan Badan Penerbit FE UI, 1964.
4. E.B. Tylor, "Primitive Culture: Researches Into the Development of Mythology, Philosophy, Religion, Languages, Art and Customs", Vol. 1, London: John Murray, Albemarle Street, 1871.
5. Arnold J. Toynbee, Hannibal's Legacy, the Hannibalic War's effects on Roman life, Vols. I and II. London : Oxford University Press, 1965.
6. Samuel P. Huntington, The Clash of Civilizations?, in "Foreign Affairs", vol. 72, no. 3, Summer 1993.
7. Lihat: "Civilization: Definitions and Recommendations", http://www.wmich. edu/iscsc/civilization.html, diakses 10-10-13.
8. Edward Spranger dan Paul John William Pigors, Types of men: The psychology and ethics of personality, Halle: M. Niemeyer, 1928.
9. Elly Malilah, "Manusia dan Kebudayaan", http://file.upi.edu/Direktori/DUAL-MODES/PLSBT/Modul_4_PLSBT.pdf, diakses 10-10-13.
10. Para ahli penganut paham cultural determinism meyakini bahwa sikap, pola perilaku manusia dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaannya. Lawrence E. Harrison dan Samuel P. Huntington menggambarkan bagaimana nilai-nilai budaya mempengaruhi kemajuan maupun kemunduran manusia. Samuel P. Huntington memberi contoh bahwa pada tahun 1960-an Ghana dan Korea Selatan memiliki kondisi ekonomi yang kurang lebih sama. Tiga puluh tahun kemudian Korea telah menjadi Negara maju, tetapi Ghana hampir tidak mengalami kemajuan apapun dan saat ini GNP perkapitanya hanya seperlimabelas Korea Selatan. Ini disebabkan karena bangsa Korea (selatan) memiliki nilai-nilai budaya tertentu seperti hemat, kerja keras, disiplin dan sebagainya. Semua itu tidak dimiliki masyarakat Ghana. Lihat: Lawrence E. Harrison dan Samuel P. Huntington (ed), Cultural Matters: How Values Shape Human Progress, New York: Basic Books, 2000.
11. Robert Guisepi, "An Overview of Civilization", http://history-world.org/ civilization.htm, diakses 10-10-13.
12. R. Moh. Ali dan LKis, Pengantar lmu Sejarah. Yogyakarta: LkiS, 2005, hlm. 93.
13. Mujahidin Muhayyan, "Faktor-faktor Pembentuk Peradaban", http:// mizansckairo.tripod.com/maqalatiid06.htm, diakses 10-10-13.
14. Piotr Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial, Jakarta: Prenada Media, 2004.
15. Tsabit Azinar Ahmad, "Membedah Pemikiran Arnold J. Toynbee", http://mas-tsabit.blogspot.com/2009/05/membedah-pemikiran-arnold-j-toynbee.html, diakses 11-10-13.
16. Robert H. Lauer, Perspektif tentang Perubahan Sosial, Jakarta: Rineka Cipta, 2001.
17. Ibid.
18. Ibid.
Sumber:
http://gondang.blogspot.com/2013/12/kebudayaan-peradaban-manusia.html
No comments:
Post a Comment