Mengungkit Kembali Suku Mante
Oleh: Aulia Fitri - 01/03/2014 - 12:55 WIB
KEBERADAAN suku Mante di pedalaman hutan-hutan Aceh memang telah
menjadi isu yang sangat-sangat lama. Karena saking begitu lama hingga
menjadi mitos atau isapan jempol di masyarakat Aceh saat ini,
perbincangan suku ‘mistis’ ini hanya sempat populer di beberapa era baik
masa raja-raja Kerajaan Aceh Darussalam dan juga masa penjajahan
Belanda.
Ada sebagian orang yang menyebutnya dengan istilah kata Mante. Istilah ini sempat diperkenalkan oleh orientalis Belanda, Snouck Hurgronje. Ada juga yang menyebut dengan nama Bante. Sedangkan sebutan lainnya Aneuk Coh-coh (warga Pidie) seperti yang pernah dimuat dalam Harian Waspada secara berseri pada bulan Oktober 2012 lalu.
Beberapa kliping dari Harian Waspada tentang suku Mante masih saya simpan hingga kini. Dalam tulisan di harian tersebut, keberadaan suku Mante sempat dipertanyakan, namun fakta dari sejumlah temuan warga, baik yang pernah disebutkan di daerah pedalaman hutan belantara Pidie membuktikan bahwa populasi dari suku ini kemungkinan besar sangat tipis.
Selain di Harian Waspada, dua tahun silam ini tentu kita bisa melihat kembali atau kroscek kembali beberapa puluh tahun silam. Pada Harian Kompas (18 Desember 1987) yang pernah menurunkan berita keberadaan suku Mante di daerah pedalaman Aceh.
Jika sebagian masyarakat di Aceh Besar sempat menyebutkan bahwa keberadaan suku Mante ada di pedalaman hutan belantara, hal ini mendasar dari apa yang pernah dituliskan oleh Snouck dalam buku “De Atjehers”, walaupun dia tidak pernah melihat sendiri melainkan hanya dari omongan warga.
Tidak hanya itu, buku “Aceh Sepanjang Abad” dari Mohammad Said juga pernah menyebutkan suku Mante ini sebangsa keturunan dari orang-orang asli di Malaysia.
Hal tersebut diperkuat dari catatan James A. Matisoft yang diketahui bahwa orang asli di Malaysia telah bermigrasi setidaknya sejak 6.000 tahun yang lalu. Sementara, maksud dari orang asli ini menurut Paul Sidewell termasuk dalam bangsa Mon-Khmer. Dan telah terbukti sekarang bahwa banyak kata-kata bahasa Aceh yang termasuk dalam rumpun bahasa Mon-Khmer.
Pengakuan Warga tentang Suku Mante
Mante dikenal sebagai kelompok masyarakat yang berkelana dari hutan ke hutan daerah pedalaman atau pegunungan di Aceh Tenggara dan Aceh Tengah, jika merunut penuturan lainnya juga berada di daerah Pidie sekitaran Tangse. Masyarakat suku terasing ini nampaknya masih bertahan di kawasan hutan belukar sampai sekarang.
Dari sekian banyak pengakuan tentang keberadaan suku Mante ini sering dituturkan oleh pawang hutan, dan anggota GAM yang pernah tinggal di hutan, tidak sedikit juga para mahasiswa pecinta alam yang melakukan ekspedi ke gunung-gunung di Aceh juga bertemu dengan kelompok orang-orang yang disebut mempunyai postur tubuh kecil tersebut.
“Semula saya masih agak ragu, apa mereka benar-benar orang Mante, maka saya tak berani mengungkapkannya,” kata Gusnar Effendy (72) seperti pernah dimuat Harian Kompas tahun 1987 silam. Te¬tapi setelah ia beberapa kali berjumpa dengan rombongan suku tersebut, ia semakin yakin bahwa keberadaan suku yang pernah “hilang” ini benar-benar bukan khayalan.
Menurut Gusnar waktu itu, kelompok atau suku Mante yang ditemukannya hidup di belantara pedalaman Lokop, Kabupaten Aceh Timur. Kecuali itu Gusnar juga pernah berjumpa dengan mereka di hutan-hutan Oneng, Pintu Rimba, Rikit Gaib di Kabu¬paten Aceh Tengah dan Aceh Tenggara. “Umumnya, tinggal di gua-gua celah gunung. Kalau siang hari berada di alur-alur sungai dalam lembah,” katanya.
Gua yang dijadikan tempat tinggal kelom¬pok terasing ini dinamakah Gua Beye, Jambur Atang, Jambur Ketibung, Jambur Ratu dan Jambur Simpang.
Sejarawan Aceh, Prof Ibrahim Alfian, pernah menyebutkan da¬lam Kamus Gayo-Belanda susunan Dr GAJ Hazen, terbit tahun 1907, istilah Mante digunakan untuk sekelompok masyarakat liar yang tinggal di hutan. Sementara pada Kamus Gayo-Indonesia tulisan antropolog Nelalatoa, pang¬gilan Mante juga disebutkan untuk memberi nama kelompok su¬ku terasing setempat.
Ciri suku Mante menurut Abu Dahlan Tanoh Abee yang diceritakan oleh Teuku Anwar Amir, berkulit coklat dengan postur tubuh sekitar 150-an centi meter serta memakai gelang di leher, dan anting pemberat di telinga.
Suku Mante dan Kerusakan Hutan
Kerusakan hutan di Aceh yang merajalela telah membuat banyak bencana hadir, tidak saja berdampak pada rusaknya lingkungan, melainkan juga merusak hubungan antara makhluk hidup di hutan sana. Tidak jarang gajah, harimau, dan sejumlah binatang lain harus mengungsi ke pemukiman warga.
Hal ini pula yang bisa mempengaruhi tentang keberadaan suku Mante, kelompok yang hidup di hutan pedalaman juga akan mengalami krisis yang serupa. Jika sejumlah pemaparan dan temuan telah didapatkan oleh masyarakat setempat, bukan hal aneh jika para peneliti turun ke hutan-hutan pedalaman untuk menemukan mereka dan menjalin kontak atau hubungan.
Kelangsungan hidup suku Mante tentu menjadi tanggung jawab bersama, kalau saja bisa ditemukan seperti suku-suku pedalaman lainnya di Indonesia tentu akan banyak informasi di dapat. “Jika betul ditemukan keber¬adaan masyarakat Mante, itu sebuah berita besar. Semua pihak harus ikut turun tangan,” kata Prof Dr Ibrahim Alfian.
Penemuan lainnya yang bisa dibilang mirip dengan suku Mante ini, pernah ditemukan di daerah Jambi, Palembang, dan Lampung, dimana masyarakat disana mengenal dengan sebutan ‘orang pendek‘, ditemukan bekas kakinya di daerah pedalaman hutan.
Dari sejumlah paparan yang telah dijelaskan dan berita yang pernah dipublikasi beberapa puluh tahun lalu, maka bisa dilihat penyebaran suku Mante ini sejak dulu ada di pedalaman hutan Aceh Tengah, Aceh Tenggara, Aceh Timur, dan Pidie. Tidak menutup kemungkinan, perpindahan dan tidak menetap (no maden) dari kelompok Mante ini bisa saja sudah menyebar ke daerah-daerah Aceh lainnya.
Namun, pertanyaan sekarang masih adakah mereka ditengah kelestarian hutan Aceh yang tidak lagi kondusif ini. Bagaimana dengan kepedulian kita saat ini untuk memanusiakan sesama manusia? Apakah dengan mengungkit kembali suku Mante ini hanya perkara yang lalu begitu saja dan setelah itu hilang kembali di permukaan.
Tentu saja ini bukan perkara yang mudah untuk kita selesaikan, jika peran masyarakat dan juga instansi serta pihak-pihak terkait belum begitu sadar dan mau ikut sama-sama memberikan andil untuk mencari sosok sekelompok manusia yang pernah disebut-sebut nenek moyang bangsa Aceh. Wallahu’alam. []
AULIA FITRI, narablog yang menaruh minat besar pada jurnalisme warga dan media sosial. Bersama sejumlah narablog, Ia mendirikan Aceh Blogger Community. Bisa dihubungi via @hack87 dan aulia87.wordpress.com.
-----Ada sebagian orang yang menyebutnya dengan istilah kata Mante. Istilah ini sempat diperkenalkan oleh orientalis Belanda, Snouck Hurgronje. Ada juga yang menyebut dengan nama Bante. Sedangkan sebutan lainnya Aneuk Coh-coh (warga Pidie) seperti yang pernah dimuat dalam Harian Waspada secara berseri pada bulan Oktober 2012 lalu.
Beberapa kliping dari Harian Waspada tentang suku Mante masih saya simpan hingga kini. Dalam tulisan di harian tersebut, keberadaan suku Mante sempat dipertanyakan, namun fakta dari sejumlah temuan warga, baik yang pernah disebutkan di daerah pedalaman hutan belantara Pidie membuktikan bahwa populasi dari suku ini kemungkinan besar sangat tipis.
Selain di Harian Waspada, dua tahun silam ini tentu kita bisa melihat kembali atau kroscek kembali beberapa puluh tahun silam. Pada Harian Kompas (18 Desember 1987) yang pernah menurunkan berita keberadaan suku Mante di daerah pedalaman Aceh.
Jika sebagian masyarakat di Aceh Besar sempat menyebutkan bahwa keberadaan suku Mante ada di pedalaman hutan belantara, hal ini mendasar dari apa yang pernah dituliskan oleh Snouck dalam buku “De Atjehers”, walaupun dia tidak pernah melihat sendiri melainkan hanya dari omongan warga.
Tidak hanya itu, buku “Aceh Sepanjang Abad” dari Mohammad Said juga pernah menyebutkan suku Mante ini sebangsa keturunan dari orang-orang asli di Malaysia.
Hal tersebut diperkuat dari catatan James A. Matisoft yang diketahui bahwa orang asli di Malaysia telah bermigrasi setidaknya sejak 6.000 tahun yang lalu. Sementara, maksud dari orang asli ini menurut Paul Sidewell termasuk dalam bangsa Mon-Khmer. Dan telah terbukti sekarang bahwa banyak kata-kata bahasa Aceh yang termasuk dalam rumpun bahasa Mon-Khmer.
Pengakuan Warga tentang Suku Mante
Mante dikenal sebagai kelompok masyarakat yang berkelana dari hutan ke hutan daerah pedalaman atau pegunungan di Aceh Tenggara dan Aceh Tengah, jika merunut penuturan lainnya juga berada di daerah Pidie sekitaran Tangse. Masyarakat suku terasing ini nampaknya masih bertahan di kawasan hutan belukar sampai sekarang.
Dari sekian banyak pengakuan tentang keberadaan suku Mante ini sering dituturkan oleh pawang hutan, dan anggota GAM yang pernah tinggal di hutan, tidak sedikit juga para mahasiswa pecinta alam yang melakukan ekspedi ke gunung-gunung di Aceh juga bertemu dengan kelompok orang-orang yang disebut mempunyai postur tubuh kecil tersebut.
“Semula saya masih agak ragu, apa mereka benar-benar orang Mante, maka saya tak berani mengungkapkannya,” kata Gusnar Effendy (72) seperti pernah dimuat Harian Kompas tahun 1987 silam. Te¬tapi setelah ia beberapa kali berjumpa dengan rombongan suku tersebut, ia semakin yakin bahwa keberadaan suku yang pernah “hilang” ini benar-benar bukan khayalan.
Menurut Gusnar waktu itu, kelompok atau suku Mante yang ditemukannya hidup di belantara pedalaman Lokop, Kabupaten Aceh Timur. Kecuali itu Gusnar juga pernah berjumpa dengan mereka di hutan-hutan Oneng, Pintu Rimba, Rikit Gaib di Kabu¬paten Aceh Tengah dan Aceh Tenggara. “Umumnya, tinggal di gua-gua celah gunung. Kalau siang hari berada di alur-alur sungai dalam lembah,” katanya.
Gua yang dijadikan tempat tinggal kelom¬pok terasing ini dinamakah Gua Beye, Jambur Atang, Jambur Ketibung, Jambur Ratu dan Jambur Simpang.
Sejarawan Aceh, Prof Ibrahim Alfian, pernah menyebutkan da¬lam Kamus Gayo-Belanda susunan Dr GAJ Hazen, terbit tahun 1907, istilah Mante digunakan untuk sekelompok masyarakat liar yang tinggal di hutan. Sementara pada Kamus Gayo-Indonesia tulisan antropolog Nelalatoa, pang¬gilan Mante juga disebutkan untuk memberi nama kelompok su¬ku terasing setempat.
Ciri suku Mante menurut Abu Dahlan Tanoh Abee yang diceritakan oleh Teuku Anwar Amir, berkulit coklat dengan postur tubuh sekitar 150-an centi meter serta memakai gelang di leher, dan anting pemberat di telinga.
Suku Mante dan Kerusakan Hutan
Kerusakan hutan di Aceh yang merajalela telah membuat banyak bencana hadir, tidak saja berdampak pada rusaknya lingkungan, melainkan juga merusak hubungan antara makhluk hidup di hutan sana. Tidak jarang gajah, harimau, dan sejumlah binatang lain harus mengungsi ke pemukiman warga.
Hal ini pula yang bisa mempengaruhi tentang keberadaan suku Mante, kelompok yang hidup di hutan pedalaman juga akan mengalami krisis yang serupa. Jika sejumlah pemaparan dan temuan telah didapatkan oleh masyarakat setempat, bukan hal aneh jika para peneliti turun ke hutan-hutan pedalaman untuk menemukan mereka dan menjalin kontak atau hubungan.
Kelangsungan hidup suku Mante tentu menjadi tanggung jawab bersama, kalau saja bisa ditemukan seperti suku-suku pedalaman lainnya di Indonesia tentu akan banyak informasi di dapat. “Jika betul ditemukan keber¬adaan masyarakat Mante, itu sebuah berita besar. Semua pihak harus ikut turun tangan,” kata Prof Dr Ibrahim Alfian.
Penemuan lainnya yang bisa dibilang mirip dengan suku Mante ini, pernah ditemukan di daerah Jambi, Palembang, dan Lampung, dimana masyarakat disana mengenal dengan sebutan ‘orang pendek‘, ditemukan bekas kakinya di daerah pedalaman hutan.
Dari sejumlah paparan yang telah dijelaskan dan berita yang pernah dipublikasi beberapa puluh tahun lalu, maka bisa dilihat penyebaran suku Mante ini sejak dulu ada di pedalaman hutan Aceh Tengah, Aceh Tenggara, Aceh Timur, dan Pidie. Tidak menutup kemungkinan, perpindahan dan tidak menetap (no maden) dari kelompok Mante ini bisa saja sudah menyebar ke daerah-daerah Aceh lainnya.
Namun, pertanyaan sekarang masih adakah mereka ditengah kelestarian hutan Aceh yang tidak lagi kondusif ini. Bagaimana dengan kepedulian kita saat ini untuk memanusiakan sesama manusia? Apakah dengan mengungkit kembali suku Mante ini hanya perkara yang lalu begitu saja dan setelah itu hilang kembali di permukaan.
Tentu saja ini bukan perkara yang mudah untuk kita selesaikan, jika peran masyarakat dan juga instansi serta pihak-pihak terkait belum begitu sadar dan mau ikut sama-sama memberikan andil untuk mencari sosok sekelompok manusia yang pernah disebut-sebut nenek moyang bangsa Aceh. Wallahu’alam. []
AULIA FITRI, narablog yang menaruh minat besar pada jurnalisme warga dan media sosial. Bersama sejumlah narablog, Ia mendirikan Aceh Blogger Community. Bisa dihubungi via @hack87 dan aulia87.wordpress.com.
Akses ACEHKITA.COM versi mobile melalui telepon selular, iPhone, BlackBerry, Android, dan tablet Anda di alamat: m.acehkita.com
Sumber:
http://www.acehkita.com/berita/opini-mengungkit-kembali-suku-mante/
Misteri Suku Mante/Bante/Cucu/ Aneuk Cong – Suku orang kerdil dari Aceh.
Ada kisah menarik dan mengelitik ketika saya medengar dan membaca beberapa tulisan di internet mengenai suku misterius yang ada di Aceh. Kabar yang tersiar sangat simpang siur dan merujuk ke berbagai arah referensi yang tak berujung. Suku ini memang sudah lama menjadi buah bibir, sejak jaman perang melawan kolonial dahulu kala (Frederik Hendrik van Langen, 1886) jadi memang bukan barang baru. Namun dibalik misteri kabar yang simpang siur tersebut, tentu ada secercah asa untuk memenuhi hasrat atas keingintau-an ku ini. Suku ini sudah tidak asing lagi ditelinga kawan-kawan, apalagi dikalangan kawan-kawan jurnalis, tentu.Beberapa sumber, mereka populer dengan sebutan suku “Mante”, ada juga menyebut mereka dengan nama suku “Bante”, masyarakat Geumpang, Pidie juga memiliki sebutan yang lainnya dengan sebutan Suku “Cucu” dan “Aneuk Cong”.
Menurut salah satu sumber dikalangan peneliti sejarah dan antropologi seperti yang di kutip dari Cakradonya, bahwa suku Mantee yang hidup di rimba raya Aceh yang memiliki ciri-ciri postur tubuh agak kecil dibandingkan dengan orang Aceh sekarang. menurut prakiraan suku mantee ini mempunyai hubungan terkait dengan suku bangsa Mantera di Malaka yang merupakan bagian dari bangsa Monk Khmer dari Hindia belakang.
Dimanakah keberadaan mereka? ini secuil bagian dari misterinya, ada yang mengatakan keberadaan mereka ada di perdalaman hutan rimba Aceh Timur, ada juga mereka ada di Gampong seumileuk, letak perkampungan tersebut di kawasan hutan antara Jantho dan Tangse. hal ini dibuktikan dengan ditemukan bekas persawahan dan kuburan yang terdapat di sana. Disebut juga keberadaan mereka ada disebuah bukit di daerah Lokop, ada bekas sisa peninggalan desa/perkampungan mereka disana dan juga ada menyebut mereka ada di Gunung GEUPO, sekitar 9 jam perjalanan dari Geumpang. Malah baru-baru ini tersiar kabar tentang keberadaan mereka saat ini mendiami di hutan Leuser antara Kutacane dengan Aceh Selatan di daerah Krueng Bengkoeng. Sungguh penuh misteri.
Ada beberapa kebiasaan mereka, salah satunya mereka suka turun kesungai saat Azan Subuh berkumandang. itulah waktu yang tepat untuk melihat atau membuktikan mereka. Ada pula yang mengatakan jika hendak mencari mereka di tempat-tempat yang tersebut diatas jangan lupa membawa garam, karena mereka suka sekali dengan garam.
Sumber:
https://rinaldiad.wordpress.com/2013/10/02/misteri-suku-mantebantecucu-suku-orang-kerdil-dari-aceh/
Pengaruh Bahasa Bante Terhadap Bahasa Aceh
Penduduk asli Aceh adalah suku Bante. Dalam buku Aceh Sepanjang Abad yang ditulis oleh Mohammad Said disebutkan bahwa suku ini serumpun dengan penduduk asli semenanjung Malaysia yaitu Orang Asli. Bahasa Orang Asli termasuk dalam kelompok bahasa Mon-Khmer yaitu salah satu cabang dari rumpun bahasa Austro-Asia. Termasuk juga dalam bahasa Mon-Khmer adalah bahasa penduduk Kepulauan Nikobar di utara Pulau Weh yang kini bagian dari negara India. Namun demikian bahasa Aceh tidak termasuk dalam kelompok bahasa Mon-Khmer, tetapi termasuk dalam kelompok bahasa Aceh-Cam yang merupakan bagian dari rumpun bahasa Austronesia.Ada hal yang menarik dari hasil penelitian yang dilakukan oleh seorang peneliti asing yaitu Paul Sidwell. Ia menemukan bahwa ada banyak kata-kata dalam bahasa Aceh yang seakar dengan kata-kata bahasa Mon-Khmer tetapi kata-kata ini tidak dijumpai dalam kelompok bahasa Cam. Nah, yang menjadi pertanyaan, dari manakah kata-kata ini berasal?
Menurut saya kata-kata ini berasal dari bahasa Bante yang merupakan penduduk asli Aceh. Seiring dengan pengaruh bahasa Aceh yang kuat, orang-orang Bante mulai meninggalkan bahasanya dan beralih menjadi penutur bahasa Aceh. Dalam proses peralihan inilah bahasa Bante meninggalkan jejaknya dalam bahasa Aceh. Masih bisakah jejak-jejak ini kita telusuri kembali. Saya yakin sangat bisa.
Dalam sebuah kesempatan, saya bertanya mengenai suku Bante pada salah seorang tokoh masyarakat dari Seulimeum yaitu Bapak H. Zainal Abidin atau sering dipanggil Yah Cek. Beliau mengatakan bahwa beliau mengetahui ada 8 buah kata yang berasal dari bahasa Bante. Namun sayangnya karena usia beliau yang sudah tua (hampir 80 tahun), beliau hanya bisa mengingat 3 kata saja yaitu:
• rhak = naik (bandingkan dengan kata “ék” yang seakar dengan kata bahasa Melayu yaitu “naik”)
• lok-lok = ?. Sukar dicari padanannya dalam bahasa Melayu, tetapi lebih kurang artinya adalah menerobos.
• khop-khop = makan (untuk anjing)
Dari penemuan yang sangat berharga ini, saya sangat yakin bahwa kita masih sangat bisa menelusuri kata-kata lainnya.
Majalah Aceh Point dalam edisi perdananya (Februari 2008) telah membahas mengenai suku Bante ini. Salah seorang narasumbernya adalah Abdul Syafi’i yang dikenal dengan panggilan Cik Alu dari kampung Jalin yang telah berusia hampir 100 tahun. Beliau merupakan salah seorang penduduk yang pernah mendiami wilayah Seumileuek di pedalaman Jantho yang merupakan kampung terakhir suku Bante. Penduduk wilayah Seumileuek pada akhirnya dipindahkan oleh Belanda ke Jalin pada tahun 1942. Dari pengakuan beliau sendiri, beliau mengatakan bahwa di desa Jalin ini masih ada keturunan suku Bante tapi mereka tidak menyadarinya lagi.
Tetapi sayangnya Majalah Aceh Point tidak sampai pada tahap meneliti bahasa Bante ini. Nah, siapa yang tertarik untuk meneliti?
Lihat pula tulisan saya: Suku Bante/Mante Penduduk Asli Aceh.
Catatan:
* Saya tidak memakai kata Mante, karena ketika saya menanyakannya pada salah seorang orang tua di kampung Seulimeum yaitu Ibrahim yang sudah berusia 80 tahun lebih, beliau bingung. Setelah saya menjelaskan maksud pertanyaan saya, barulah beliau paham. Beliau lalu menyebutkan bahwa kata yang benar adalah BANTE. Informasi yang saya peroleh dari beliau bahwa tahun 1940-an orang Bante ini semuanya sudah menjadi orang kota. Mungkin hal ini dikaitkan dengan tindakan Belanda yang memindahkan penduduk Seumileuek ke Jalin pada tahun 1942.
* Tulisan Paul Sidwell yang saya maksud adalah “Acehnese and the Aceh-Chamic Language Family” dan “Dating the separation of Acehnese and Chamic by etymological analysis of the Aceh-Chamic lexicon”
Sumber:
http://bahasaaceh.wordpress.com/2010/10/27/pengaruh-bahasa-bante-terhadap-bahasa-aceh/
No comments:
Post a Comment