Pengertian Guro-Guro Aron
Gendang Guro-guro Aron adalah salah satu kesenian tradisional masyarakat Karo yang sering diadakan saat pesta-pesta adat dan acara syukuran seusai panen. Seni tradisional ini digelar sebagai ungkapan rasa syukur kepada Yang Maha Kuasa atas kecukupan rezeki atau hasil panen yang berlimpah atau pun juga perayaan atas kegembiraan yang dirasakan.
Jika kita lihat pelaksanan guro-guro aron pada saat dahulu sangat jauh
perbedanya dengan saat sekarang. Pada saat dahulu masyarakat Karo
mengadakan acara guro-guro aron selama tujuh hari lamanya, dan setiap
hari memiliki kegiatan yang telah ditentukan yaitu :
- Hari Pertama, Cikor-Kor
Pada hari pertama dilakukan acara cikor-kor, hari tersebut merupakan
bagian awal dari persiapan menyambut acara guro–guro aron yang ditandai
dengan kegiatan mencari kor-kor, sejenis serangga yang biasanya ada di
dalam tanah. Umumnya lokasinya di bawah pepohonan. Pada hari itu semua
penduduk pergi ke ladang untuk mencari kor-kor untuk dijadikan lauk
makanan pada hari itu.
- Hari Kedua, Cikurung (jangkrik)
Pada hari kedua ini dilakukan acara cikurung, seperti halnya pada hari
pertama, hari kedua ditandai dengan kegiatan mencari kurung di ladang
atau sawah. Kurung atau jangkrik adalah binatang yang hidup di tanah
basah atau sawah, kegiatan harus dimulai dengan cara harus dulu
memgambil di ladang masing –masing dan selanjutnya boleh ditempat yang
lain dan biasanya dijadikan lauk oleh masyarakat Karo dengan cara
digulai. Pada jaman dulu cikurung merupakan kegiatan yang dilakukan oleh
masyrakat Karo, karena sebelum acara hari H dilakukan maka suku Karo
banyak pergi ke ladang atau sawah untuk mencari kurung sebagai ikan,
karena menurut orang tua jaman dulu kurung ini sangat enak rasanya dan
tidak susah dicari. Dan untuk mencari kurung maka masyarakat desa pergi
beramai–ramai untuk mencarinya ke ladang. Makna kurung
ini adalah mengkurung tendi (jiwa) di rumah.
- Hari Ketiga, Ndurung
Pada hari ketiga ini ditandai dengan kegiatan mencari nurung, sebutan
untuk ikan di sawah atau sungai. Pada hari itu penduduk satu kampung
makan dengan lauk ikan. Ikan yang ditangkap biasanya‘ nurung mas‘ (ikan
emas), ikan ‘lele‘ yang biasa disebut sebakut, kaperas, belut.
- Hari Keempat, Mantem atau Motong
Pada hari tersebut atau sehari menjelang hari perayaan puncak, pada hari
itu penduduk kampung memotong lembu, kerbau, dan babi untuk dijadikan
lauk. Kulit kerbau (kuli mbok –mbok) dikeringkan sebagai penanam padi
atau disatukan dengan bibit padi, yang bertujuan agar bibit padi
tersebut tumbuh subur dan dapat memperoleh hasil yang lebih banyak lagi.
- Hari Kelima, Matana
Matana artinya hari puncak perayaan. Pada hari itu semua penduduk saling
mengunjungi kerabatnya. Setiap kali berkunjung semua menu yang sudah
dikumpulkan semenjak hari cikor-kor, cikurung, ndurung, dan mantem
dihidangkan. Pada saat tersebut semua penduduk bergembira. Panen sudah
berjalan dengan baik dan kegiatan menanam padi juga telah selesai
dilaksanakan. Pusat perayaan biasanya diadakan di los atau jambur,
adalah semacam balai tempat perayaan pesta. Acara di los atau jambur
dimeriahkan dengan gendang guro-guro aron dimana muda-mudi yang sudah
berhias dengan memakai pakaian adat menarikan tari tradisional. Perayaan
tidak hanya dirayakan oleh penduduk kampung tersebut tetapi dimeriahkan
oleh masyrakat atau kerabat dari luar kampung yang diundang untuk
menambah suasana semakin semarak. Pada hari itu kegiatan yang paling
utama dianjurkan untuk menyantap hidangan yang sudah disediakan berupa
nasi dan lauk pauk, dan setiap kali berkunjung ke rumah kerabat,
aturannya wajib makan.
- Hari Keenam, adalah Nimpa
Hari itu ditandai dengan kegiatan membuat cimpa dan rires, ini merupakan
makanan khas Karo, biasa disebut lepat. Cimpa bahan dasarnya adalah
tepung pulut, gula merah, dan kelapa parut, dan dibungkus dengan daun
singkut (sejenis tumbuhan yang tumbuh di hutan). Cimpa tersebut
biasanya, selain untuk hidangan tambahan setelah makan, maka tidak
lengkap rasanya guro-guro aron tanpa kehadiran cimpa. Cimpa atau rires
daya tahannya cukup lama, masih baik untuk dimakan meski sudah dua hari
lamanya. Oleh karena itu, cimpa atau rires banyak dibuat dan cocok untuk
dijadikan oleh-oleh bagi tamu yang datang dari luar kampung.
- Hari Ketujuh, yang disebut dengan Rebu
Hari tersebut merupakan hari terakhir dari serangkaian pesta enam hari
sebelumnya. Pada hari tersebut tidak ada kegiatan yang dilakukan.
Tamu-tamu sudah kembali ke tempat asalnya. Semua penduduk berdiam di
rumah. Acara kunjung-mengunjungi telah selesai. Pergi ke sawah atau
ladang juga dilarang pada hari itu. Seperti halnya arti rebu itu adalah
tidak saling menegur, hari itu adalah hari menenangkan diri setelah
selama enam hari berpesta. Beragam kesan tinggal melekat dalam hati
masing-masing penduduk kampung. Hari besoknya telah menanti untuk
kembali melakukan aktifitas sebagaimana hari-hari biasanya.
Guro –guro merupakan sebuah perayaan suku Karo di Tanah Karo. Konon
Guro- guro aron tersebut merupakan kegiatan rutin setiap tahun yang
biasanya dilaksanakan setelah acara panen padi di sawah selesai.
Perayaan tersebut merupakan bagian dari ucapan syukur kepada sang
Pencipta karena kegiatan menanam padi telah selesai. Teriring doa agar
tanaman padi tersebut diberkati sehingga bebas dari hama dan
menghasilkan panen yang berlimpah. Momen yang melibatkan seluruh warga
kampung tersebut biasanya juga dimanfaatkan muda-mudi sebagai arena
mencari jodoh. Setiap acara gendang guro-guro aron menampilkan tari
tradisional Karo yang melibatkan pasangan muda-mudi. Setiap kecamatan di
Tanah Karo merayakan acara guro –guro aron pada bulan yang berbeda.
Misalnya Desa Batu Karang dibuat pada bulan satu, kecamata Tiga Binaga
dibuat pada bulan enam, kecamatan Tiga Panah dibuat pada bulan tujuh,
sedangkan pada bulan delapan ada daerah yang mengadakan acara guro–guro
aron sekaligus memperigati hari tujuh belas Agustus misalnya daerah Juma
Raja, dan pada bula sepuluh di kecamatan Berastagi.
Walau pun berbeda bulan pelaksananya tapi tujuanya tetap sama yaitu
ucapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas hasil panen yang
telah diberikanNya. Pada saat dulu pelaksanan guro–guro aron ini harus
berdasarkan perhitunggan hari atau dan ditetapkan pada hari yang baik
yang maksudnya adalah hari yang membawa berkah. Perhitungan hari ini
dilakukan oleh orang yang pintar atau yang disebut dalam bahasa Karonya
adalah meniktik wari. Sedangkan pada saat sekarang berdasarkan tanggal
atau harinya ditetapkan oleh warga desa dengan Kepala desa tersebut atau
pun bedasarkan oleh biduan yang telah dipilih untuk menghibur warga
desa tersebut. Acara Guro- guro aron ini dilaksanakan setahun sekali
seperti acara perayan tahun baru.
Kalau pada saat dulu masyarakat Karo mengadakan acara guro-guro aron
tersebut selama tujuh hari lamanya, seperti yang telah diuraikan di
atas, dan itu dilaksanakan setelah selesai panen di ladang. Sedangkan
jika kita lihat pada saat sekarang ini maka acara guro-guro aron
tersebut hanya diadakan selama dua hari saja lamanya. Walaupun hanya dua
hari lamanya maka kesempatan tersebut digunakan sebaik- baik mungkin
untuk bisa berkumpul dengan keluarga, terutama keluarga yang jauh tempat
tinggalnya. Acara ini diadakan dengan harapan agar panen padi yang
ditanam dapat memberikan hasil yang baik dan mencukupi kebutuhan.
Perubahan pelaksanan guro-guro aron ini disebabkan oleh penggaruh
masuknya agama pada masyarakat Karo. Selain itu perubahan terjadi akibat
masyarakat Karo yang pola pikirnya terhadap penggunan waktu, terlihat
dengan menggunakan waktu yang efisien untuk memperoleh penghasilan yang
lebih banyak mengingat kebutuhan dalam kehidupan yang sekarang ini lebih
banyak lagi.
Peserta Dalam Acara Guro-Guro Aron
Kesuksesan sebuah acara tergantung bagaimana masyrakat yang melihatnya
dan meyikapinya. Yang menjadi peserta dalam acara guro – guro aron ini
adalah :
1. Muda - mudi desa yang dipilih terutama kelima sub merga tersebut.
Menjelang guro - guro aron semua muda - mudi desa mengadakan persiapan
seperti dana untuk pakaian yang akan dipakai, perhisan dan dana untuk
memangil perkolong - kolong (biduan yang akan menghibur ) dengan
perangkat alat musik tradisional karo. Selain itu harus juga sibuk
dengan latihan – latihan agar nanti tampak fasih dan indah dalam hari
yang sudah ditentukan.
2. Orang tua atau pengetua adat dalam kampung tersebut.
Para orang tua juga turut berpartisipasi membantu putra putri mereka
agar nanti tampak gagah dan agun, dan mereka bangga bila melihat anak
–anak mereka sukses dalam melaksanakan guro-guro aron tersebut. Karena
tanpa dukungan orang tua dan pengetua adat maka acara tersebut akan
kurang semarak. Selain sebagai orang tua, pengetua adat juga adalah
orang yang paham akan adat, karena di sini muda mudi tersebut menari
harus berdasarkan aturan adat dan norma–norma yang berlaku, karena
disini dilarang satu merga menari bersama.
3. Kepala desa dengan seluruh anggotanya.
Kepala desa harus ikut serta dalam acara ini, karena tanpa persetujuan kepala desa tidak bisa dilasanakan acara ini.
4. Perkolong–kolong.
Perkolong–kolong adalah orang yang bertugas untuk menghibur dalam acara
guro–guro aron tersebut dengan menyanyikan lagu Karo ataupun lagu yang
diminta warga tersebut utuk dinyayikan.
Pakaian yang Digunakaan
Pakaian yang digunaka dalam acara guro – guro aron ini, khususnya
pengulu aron dan kemberahen aron haruslah rose tapi tidak memakai emas -
emas (berpakaian adat Karo lengkap tapi tidak memakai emas - emas). Dan
mereka dibantu oleh pembantu pengulu aron dan pembantu nande aron yang
juga rose sebagai simantek guro–guro aron yang terdiri dari kelima merga
tersebut. Rose ( pakaian ) laki – laki simantek.
- Memakai sarung palekat,
- Erbulang dengan memakai beka buluh,
- Cekok –cekok, ini dilipat berbentuk segi tiga dan diletakkan di atas bahu, dan memakai kain beka buluh juga.
Sedangkan pakaian perempuan :
- Ertudung dengan memakai kain kelam – kelam
- Rabit dengan memakai kain songkit
- Memakai baju kebaya
- Memakai bunga erpalas sebagai rudang – rudang atau hisan tudung sebagai simbol kepemimpinan
- Dan khusus bagi nande aron maka di atas tudungnya dia harus erjungjungen atau pun diletakan di atas tudungnya kampil kecil beserta dengan tikar kecil yang berwarna putih (amak cur).
Sedangkan pada saat sekarang nande aron tidak lagi erjungjungen lagi,
dan pada saat sekarang ini nande aron atau bapa aron hanya dipilih satu
saja, dan itulah yang mewakilkan dari kelima merga baik bapa aron dan
nande aron. Sedangkan pada saat dulu nande aron atau bapa aron dari
setiap merga harus ada satu yang mewakili.
Alat Musik yang Digunakan
Dalam acara guro – guro aron ini pada saat dulu memakai alat musik
tradisional. Sierjabaten adalah panggilan untuk pemain musik tradisional
Karo. Pada saat dulu masyarakat dalam melakukan acara guro – guro aron
hanya memakai alat musik lima sedalanen (lima sejalan) yaitu: gendang,
sarune, penganak, kulcapi, dan keteng –keteng. Sendangkan pada saat
sekarang dalam acara guro – guro aron ini masyrakat Karo sudah
menggunakan keyboard. Setiap pemain alat musik mempunyai nama masing
masing sesuai dengan alat musik yang mereka mainkan, pemain sarune
disebut panarune, pemain gendang (singanaki dan singindungi) disebut
penggual, dan pemain penganak disebut simalu penganak, dan pemain gung
disebut simalu gung (pemukul gung).
Tata Cara Pelaksanaan Guro–Guro Aron
Adapun guro-guro aron ini dalam pelaksanaannya ada tugas-tugas yang dibagi seperti :
- Pengulu Aron/Kemberahen aron/ketua aron, atau bisa juga disebut dengan bapa aron dan nande aron. Biasanya gendang guro-guro aron dipinpin oleh pengulu aron dan seorang kemberahen aron. Pengulu aron biasanya dipilih dari pemuda keturunan bangsa tanah (si mantek kuta), sementara kemberahen aron dipilih dari pemudi kampung tersebut atau anak kalimbubu kuta. Atau hal ini tidakmemungkinkan, maka pengulu aron diangkat dari pemuda dari anak beru kuta dan kemberahen aron dari anak simantek kuta. Adakalanya pengulu aron dikenakan bunga empalas, yaitu ruas buluh (bambu) yang dialisi sehingga tipis dan diurai sehingga menyerupai bunga pinang (mayang). Disamping itu juga membawa sebuah tikar kecil (amak cur) sebagai tempat duduk.
- Si mantek guro-guro aron, (perserta dalam guro-guro aron) Yang disebut si mantek dalam guro-guro aron adalah pemuda atau pemudi dari satu dua yang ikut sebagai peserta/pelaksana guro-guro aron tersebut. Simantek guro-guro aron berkewajiban membayar biaya yang disebut adangen,sebesar yang telah ditentukan dalam musyawarah.
- Pengelompokan aron, Aron dikelompokkan menurut beru-nya masing-masing, misalnya aron beru Ginting aron beru Karo, aron beru Perangin-angin, aron beru Sembiring, aron beru Tarigan. Sipemuda menyesuaikan tempat duduknya dengan kelompok pemudi itu, misalnya bere-bere Karo di aron beru Karo, bere-bere Sembiring di aron beru Sembiring, bere-bere Ginting di aron beru Ginting dan bere-bere Tarigan di aron beru Tarigan. Aron ini dipimpin bapa/nande aron.
- Kundulen guro-guro aron, Adalah tempat duduk guro-guro di tempatkan pada salah satu rumah adat. Ini untuk menjaga sesuatu hal pelaksanaan guro-guro tidak dapat dilaksanakan di lapanangan (kesain). Untuk itu pengulu aron dan kemberahen aron datang minta izin kepada pemilik rumah.
- Aturan Menari, Dalam praktik untuk meramaikan pembukaan guro-guro aron, ada kalanya perkolong-kolong diadu berpantun sambil bernyanyi. Atau ada kalanya diadakan pencak silat (ndikkar).
Fungsi Guro-Guro Aron
Adapun fungsi guro-guro aron itu pada masyarakat Karo adalah sebagai :
1. Latihan Kepemimpinan ( Persiapan Suksesi )
Maksudnya, bahwa dalam guro-guro aron, muda-mudi dilatih memimpin,
mengatur, mengurus pesta tersebut. Untuk itu ada yang bertugas sebagai
pengulu aron, bapa aron atau nande aron. mereka dengan mengikuti
guro-guro aron ini dipersiapkan sebagai pemimpin desa (kuta) dikemudian
hari.
2. Belajar Adat Karo
Dalam melaksanakan guro-guro aron, muda-mudi juga belajar tentang adat
Karo. Misalnya bagaimana cara ertutur, mana yang boleh teman menari,
mana yang boleh menurut adat atau mana yang tidak boleh dilakukan dan
lain-lain.
3. Hiburan
Guro-guro aron juga berfungsi sebagai alat hiburan bagi peserta dan
penduduk kampung. Malahan pada waktu itu penduduk kampung, dan tetangga
kampung lain juga biasanya hadir.
4. Metik ( tata arias )
Dengan diselenggarakannya guro-guro aron, maka muda-mudi, yakni anak
perana dan singuda-nguda belajar tata rias (metik) guna mempercantik
diri. Mereka belajar melulur diri, membuat tudung atau bulang-bulang dan
lain sebagainya.
5. Belajar Etika
Dalam melaksanakan guro-guro aron ini, anak perana dan singuda- nguda
juga belajar etika atau tata krama pergaulan hidup dengan sesamanya.
6. Arena cari Jodoh
Guro-guro aron juga dimaksudkan sebagai arena cari jodoh bagi anak
perana dan singuda - nguda (muda –mudi). Oleh karena itu adakalanya
pelaksanaannya didorong oleh orang-orang tua, karena melihat banyak
perawan tua dan lajang tua di kampungnya. Pada acara guro- guro aron
banyak juga tamu-tamu yang datang dari luar dan mungkin datang ke tempat
keluarganya untuk bersilaturahmi dengan keluarganya, dan pada saat itu
juga dimanfaatkan untuk mencari kawan yang baru. Dan banyak juga para
muda mudi setelah acara guro –guro aron tersebut bertemu dengan
jodohnya, dan ada juga yang bertemu dengan keluarga yang baru, karena
mungkin sudah lama dia tidak ingat lagi dan pada saat itulah
dimanfaatkan untuk bersilaturahmi dengan keluarganya tersebut.Sumber:
http://silima-merga.blogspot.com/2014/01/guro-guro-aron.html
No comments:
Post a Comment