Tuesday, May 27, 2014

SASTRA INDONESIA DAN INDUSTRI KREATIF SEBUAH KAJIAN TERHADAP OPERA BATAK YANG NYARIS HILANG



SASTRA INDONESIA DAN INDUSTRI KREATIF
SEBUAH KAJIAN TERHADAP OPERA BATAK YANG NYARIS HILANG


Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa
Kementerian  Pendidkan dan Kebudayaan Republik Indonesia
Jakarta
                                                                                                               
Pendahuluan
            Seni pergelaran tradisional lahir dari kehidupan budaya daerah dan terbina oleh suatu tradisi yang khas daerah.  Sebagai buah kesenian, teater tradisional hadir pula dalam bingkai kebudayaan nasional, sebagai hamparan  kebudayaan yang lebih luas yang membaurkan  berbagai macam tradisi.  Karena itu, teater tradisional di satu pihak  adalah unsur  budaya daerah, milik masyarakat daerah, dan di pihak lain  merupakan bagian dari kebanggaan nasional. Teater tradisional yang berakar dan terpelihara dalam masyarakat daerah memiliki ciri  spesifik: (1)  terbatas pada lingkungan  budaya  pendukungnya; (2) bergerak statis; (3) bagian dari suatu kosmos kehidupan  yang bulat; dan (4) milik bersama atau bukan hasil kreartivitas individu (Kayam, 19081: 60).
          Kendati perkembangan teater tradisional terkesan lamban, dalam kenyataannya adakalanya budaya daerah itu merambah dan saling bersentuhan  dengan kebudayaan daerah  lain. Lenong, misalnya, bentuk teater rakyat gaya Betawi (Jakarta), sekarang ini ternyata bukan lagi hanya milik  orang Betawi, melainkan juga milik suku lain yang tinggal di Jakarta.  Demikian juga seni wayang yang selama ratusan tahun silam hanya menggelarkan cerita "Ramayana" atau  "Mahabrata",  kini juga berperan sebagai wadah  penyampaian teknik bertani, pemeliharaan lingkungan, atau peningkatan taraf kehidupan masyarakat pedesaan di semua daerah.  Fenomena itu tentu saja merupakan proses integrasi dan hasil sentuhan modernisasi. Teater tradisional, selain berfungsi sebagai hiburan, juga berperan sebagai sarana pendidikan, penebal perasaan solidaritas kolektif,  dan sarana  kritik sosial.
          Dalam kenyataan bahwa pada umumnya penilaian masyarakat Indonesia dewasa ini mengenai segala sesuatu yang tidak modern, apalagi yang bersifat pribumi, termasuk teater tradisional,  kurang mendapat sambutan sebagaimana diharapkan. Mereka kurang menyadari bahwa sastra tradisional itu mencerminkan alam pikiran, pandangan hidup, serta ekspresi rasa keindahan yang melatar-belakangi sistem nilai budaya masyarakat pemiliknya.
          Budayawan terkemuka, Alisjahbana (1983:183) pernah mengatakan bahwa kebudayaan modern, konfigurasi nilainya dikuasai oleh ilmu dan ekonomi yang bersama-sama melahirkan teknologi. Di dalamnya nilai agama dan seni boleh dikatakan rendah. Kebudayaan ini dinamai kebudayaan progresf. Sebaliknya,  kebudayaan tradisi dikuasai oleh nilai agama dan seni, sedangkan nilai ilmu dan ekonomi yang melahirkan teknologi rendah kedudukannya .
          Sistem nilai budaya yang dimaksud, antara lain, dapat berupa (1) nilai hedonik: nilai yang dapat memberikan  kesenangan secara langsung kepada pembaca;  (2) nilai artistik: nilai yang dapat   memanifestasikan  suatu seni atau keterampilan  dalam melakukan  suatu pekerjaan; (3) nilai kultural: nilai yang dapat memberikan atau mengandung suatu hubungan  yang mendalam   dengan suatu masyarakat, peradaban, atau kebudayaan; (4)  nilai  etis,  moral,  agama: nilai yang dapat memberikan atau memancarkan    suatu petuah atau ajaran yang  berkaitan dengan etika,   moral, atau agama; serta  (5) nilai praktis: nilai yang mengandung   hal-hal praktis yang dapat diterapkan dalam kehidupan nyata sehari-hari.
          Pertanyaan yang timbul, bagaimana mengangkat sastra tradisional itu menjadi sesuatu yang disenangi dan menarik untuk ditonton, pemilik tradisi itu harus “berani”  membuka diri dengan cara bersedia menerima perubahan secara kreatif sesuai dengan panggilan zaman.
          Perubahan  itu,  menurut  Semi (1984:169--170), memiliki nilai tersendiri, ter-utama untuk menghindari kejenuhan masyarakat penggemarnya dan memungkinkan teater tersehut dapat pula  dinikmati oleh masyarakat daerah lain. Akan tetapi, ciri khasnya harus tetap tecermin, jika tidak, teater tradisional akan kehilangan identitas dirinya. Kekhasan unsur perwatakan dan alur tradisionalnya harus tetap mem-perlihatkan identitasnya jika kita ingin menyelamatkan kehidupan teater tradisional itu. Selanjutnya, dikatakan bahwa mengembangkan atau membina seni tradisional tidak berarti menjadikannya statis dan merupakan benda mati. Jika itu yang terjadi, seni tradisional akan hilang dengan sendirinya karena tidak memiliki  pengikat dan akan menjadi barang jiplakan yang menjenuhkan. Pengaruh dan perubahan memang tidak dapat dihindari karena adanya perubahan dan perkembangan sosial budaya. Perubahan itu dapat terjadi, baik  dari segi bentuk maupun konsep.
          Bentuk teater tradisional  di Indonesia  sangat beragam,  baik penyajian maupun fungsinya. Aturan permainannya dapat dikatakan baku atau tidak boleh dilanggar begitu saja. Ciri teater tradisional yang dimaksud, antara lain (a)  ceritanya tidak tertulis, (b) media pengungkapannya berupa dialog, tarian, dan nyanyian; (c) lakuan (action) bersifat spontan; (d) dialog dibawakan secara improvisasi; (e)  selalu terdapat adegan lawakan; (f) diiringi  musik tradisional; (g)  penonton terlihat santai dan akrab, bahkan terkadang dapat berdialog langsung dengan pemain; (h)  bahasa pengantarnya adalah bahasa daerah; dan (i)  tempat pertunjukan terbuka berbentuk arena (Winalda, 22 Oktober 2011).
          Dalam catatan seorang penggiat sastra, Henry Supriyanto (dalam Semi,  1984: 176; lihat juga wikipedia), disebutkan bahwa Indonesia kaya akan teater tradisional, yang tentu saja dengan nama yang berbeda: di daerah (1) Riau: makyong dan mendu; (2) Sumatra Barat: randai dan bakaba; (3) Kalimantan: mamanda dan  tatayung; (4) Bali:  topeng prembon, topeng arja, dan topeng cupak;  (5) Sulawesi: sanreli; (5) Jakarta/Jawa Barat: lenong, topeng betawi, topeng cirebon, topeng banjet, topeng ubrug, topeng cilasak, dan longser; Jawa Tengah: srandul, ketoprak, emprak, encling, angguk, wayang purwa, dan  wayang wong (orang); Jawa Timur: ludruk, topeng  malangan, ketoprak, janger, prabulana, kentrung, reog ponorogo, dan wayang.
          Pertanyaan berikutnya, upaya apa yang perlu dilakukan untuk mengasah kekayaan rohani itu agar bisa berkilau kembali  pada zaman teknologi informasi sekarang?
          Untuk menghadapi masa kini dan masa yang akan datang, kita harus mendorong tumbuhnya daya kreativitas budaya bangsa, yang mencakupi  seluruh bidang kehidupan. Kreativitas demikian akan mendorong perubahan dan transformasi budaya, tetapi  hendaknya berpijak di atas bumi budaya Indonesia agar dapat berlangsung pembaruan dalam kesinambungan. Segala tingkah laku manusia, baik  sebagai perseorangan maupun  masyarakat, mestilah  berpedoman pada nilai-nilai budaya  jika suatu bangsa ingin menyosong dan memasuki masa depan yang lebih cerah. 
          Dengan mengutip pendapat  Rollo May dan Arthur Koestler, Nurhadi (1983: 13) mengatakan bahwa menampilkan sesuatu yang baru tidak berarti menemukan penyelasain baru, tetapi  meniciptakan aturan pemainan atau  strategi yang baru. Karena meninggalkan tatanan lama lewat restrukturisasi, kreativitas melakukan penolakan dahulu terhadap tatanan lama sehingga terbuka untuk memperoleh tatanan baru.
          Dengan berbasis pada sastra dan budaya lokal, tulisan ini mencoba menganalisis dan menawarkan langkah yang perlu dilakukan untuk  mengembangkan model industri kreatif terhadap opera Batak, salah satu seni pertunjukan tradisional di Sumatra Utara. Pendekatan yang dilakukan secara diakronis dan etnografis, yang diharapkan juga dapat menemukan model yang tepat untuk mengembangkan industri kreatif  terhadap sastra lokal di berbagai wilayah di Indonesia.

Opera Batak: Sejarah dan Pasang Surutnya

Setiap  memperbincangkan seputar  opera Batak tidak lepas dari tokoh Tilhang Oberlin Gultom (1920--1973). Pria kelahiran Desa Sitamiang, Pulau Samosir, Tapa-nuli Utara, Sumatra Utara,  ini pantas disebut maestro opera Batak. Selama karier-nya, ia telah mencipta 360 lagu, 12 tumba[1], dan 24 drama/sandiwara, termasuk sejumlah  tortor (tarian) yang menjadi ciri khas setiap pementasan opera (sandiwara, teater) yang pernah berkibar di Sumatra Utara. Hingga sekarang  lagu-lagunya masih akrab di telinga orang Batak (Toba).

          Sejak usia muda, Tilhang telah mengabdikan dirinya dengan sepenuh hati pada dunia seni. Pada 1925 ia membentuk grup trio yang diberi nama Tilhang Parhasapi yang berarti  ‘Tilhang Sang Pemetik Kecapi’. Rekannya, Pipin Butarbutar (peniup serunai) dan Adat Raja Gultom (kecapi rythem). Pada masa itu, grupnya  belum disebut opera, tetapi itulah  yang menjadi cikal-bakal terbentuknya grup opera Batak (Panjaitan, 2009). Sebutan opera Batak dipopulerkan oleh Diego van Biggelar, misionaris Belanda yang datang ke Pulau Samosir pada 1930-an.

Salah satu dari perspektif munculnya opera Batak dipengaruhi oleh teater/ komedi  bangsawan  dan makyong. Teater bangsawan merupakan bagian seni per-tunjukan rumpun Melayu di Malaysia, Singapura, dan Sumatra. Panggung teater bangsawan masih prosenium dengan latar  panggung (buka–tutup) yang terbuat dari layar yang dilukis sesuai dengan tema cerita. Teater bangsawan menggelar  kisah tentang kehidupan raja-raja yang melibatkan alam kayangan dan dunia nyata, yang bersumber dari hikayat Melayu, cerita dari Arab, Hindustan, atau  Cina. Pengembangan dialog banyak bergantung pada improvisasi para pemain.
          Di Riau teater bangsawan mirip dengan makyong atau opera Melayu (Thompson Hs., 4 Juni 2012). Pertunjukan makyong dibawakan oleh para  penari dan pemusik. Naskah ceritanya sederhana, isinya antara lain berhubungan dengan upacara keagamaan. Unsur tari, musik, dan vokal tampak menonjol (Waris, 6 Desember 2009).
          Kedua jenis teater tradisional itulah yang menginspirasi Tilhang untuk mengembangkan dan menambah anggota grupnya. Sejak itu,  ia menyuguhkan semacam drama tari: gabungan sandiwara, lagu, dan tari. Tiga tahun berikutnya grup Tilhang maju pesat, bahkan memiliki anggota lima puluh  orang. Surat kabar Pertjatoeran, 15 Agustus 1928, menyebutkan opera Tilhang tidak lagi hanya digelar di pedesaan, tetapi sudah mulai  tampil  di beberapa kota kecil, seperti  Balige dan Siborongborong. Pada waktu  itu pemain opera hanya kaum pria, kaum perempuan masih dianggap tabu melakoni kehidupan opera. Dasar Tilhang, laki-laki pun didandani mirip perempuan  sehingga penonton sering terkecoh.
          Setahun kemudian, Tilhang mengganti nama operanya menjadi Batak Sitamiang, kemudian berubah  lagi menjadi Tilhang Opera Batak. Hebatnya pada  1933 Tilhang Opera Batak sudah merambah hingga ke negeri jiran: Semenanjung Malaka, Penang, dan Singapura. Pada masa itu    PID (Politie Inlichting Dienst)  sering menghentikan pertunjukan kelompok kesenian ini sebab cerita dan nyanyian yang dibawakannya kerap menjadi corong suara masyarakat  untuk mengkritk sistem  pemerintahan kolonial Belanda. Hal itulah yang menyebabkan opera pimpinan Tilhang Gultom ini  seringkali berganti nama  (Dalihan Natolu, 1977: 15). Pada 1936 Tilhang Opera Batak berganti nama lagi menjadi Tilhang Batak Hindia Toneel, berbau inlandeer, atas instruksi penjajah Belanda. Pada periode tersebut pemainnya sudah mencapai enam puluh  orang. Pada tahun itu juga Tilhang Batak Hindia Toneel berganti nama lagi menjadi Tilhang Toneel Gezalschap.
          Pada masa pendudukan Jepang  Tilhang Toneel Gezalschap berganti rupa lagi menjadi Sandiwara Asia Timur Raya, kali ini  karena intervensi Gun Seikanbu atau Pemerintah Jepang. Faktor itu pulalah yang membuat Tilhang membiarkan operanya mati suri daripada tetap hidup, tetapi menjadi alat propaganda Jepang (Panjaitan,  2009).
          Pada masa kemerdekaan, atas prestasi Tilhang Gultom sebagai pelopor karya seni budaya Batak, ia memperoleh sejumah piagam penghargaan, baik dari negara maupun badan sosial, antara lain  Bintang Emas dari Panitia Peringatan Wafatnya Pahlawan Sisingamangaraja XII di Medan (1964),  Piagam Penghargaan dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (1971),  Satya Lencana Emas,  dan Piagam Anugerah Seni dari Pemerintah Indonesia. Patut dicatat di sini bahwa penggantian nama Tilhang Opera Batak menjadi Serindo (Seni Ragam Indonesia) adalah atas permintaan   Presiden Soekarno agar tampak warna keindonesiannya.
          Dalam perjalanan sejarah, pengelolaan Opera Serindo diwariskan kepada putranya, Gustapa Gultom, kemudian  dilanjutkan oleh Zulkaidah Harahap. Tihang Oberln Gultom meninggal  pada 1973  (http://www.kompas.com/kompas-cetak/ 0712/18/ Sosok/4075370.htm).

          Hingga tahun 1980-an grup opera Batak di Sumatra Utara sudah mencapai  30-an grup, antara lain Serada Opera, Tiurma Opera, Dos Roha Opera, Rompe Mas Opera, Ros Opera, Sianjur Mulamula, Mudatas Group, dan Tapian Nauli Group. Cerita yang disuguhkan oleh kelompok kesenian  ini  pada umumnya  berkisar pada tema tradisi, mulai dari silsilah marga, folklor (legenda, mite, dongeng, epos),   kehidupan masyarakat sehari-hari, hingga pada kisah-kisah sensasional yang diangkat dari artikel media massa (surat kabar dan majalah) yang terbit pada masa itu.

          Banyak orang mengatakan bahwa kedudukan lakon cerita yang lebih menonjol  sebagai tontonan daripada  temanya yang kebanyakan  bersumber dari cerita rakyat, misalnya cerita “Si Boru Tumbaga” (masalah gender), cerita “Pulo Batu” (kepahlawanan Sisingamangaraja), cerita “Si Raja Lontung” (silsilah marga), dan cerita “Si Mardan” (anak durhaka). Cerita yang bernuansa tradisional itu bagi kalangan tua adalah sesuatu yang menarik, yang membawa mereka ke alam nostalgia masa kecil dengan merasakan katarsis melalui lagu-lahgu lawas dan  nilai-nilai budaya yang  diproyeksikan. Ratusan lakon cerita dan lagu Batak tempo dulu, kebanyakan    ciptaan Tilhang Gultom, dimainkan dalam opera Batak dengan berbagai versi. Dari segi dramaturgi, opera  gaya Batak ini memang sudah mulai dikembangkan. Namun, apakah itu sudah dapat diandalkan sebagai produk industri kreatif, itulah yang mesti ditelisik dan dikembangkan pada masa yang akan datang (Thompson Hs.,   5 Januari 2009; Carle, 1990).

          Para pemain tidak diwajibkan  menghapal teks cerita, tetapi cukup dengan berimprovisasi  sesuai dengan kerangka dan alur cerita yang diberikan oleh sang sutradara, Tilhang Gultom sendiri. Pola cerita  dan teknik penyajian opera Batak   selama  enam puluh tahun silam dapat dikatakan tidak berbeda. Hanya figuran, lagu, tarian, dan kejenakaan pada segmen tertentu mengalami perubahan sesuai dengan situasi dan kondisi (Manik, 2010).

          Elemen seni dalam opera Batak terdiri atas tarian, lakon cerita,  dan  pendukung cerita seperti pencak silat, layar, humor, aksi saweran, dan panggung terbuka.  Musik pengiringnya adalah gondang sabangunan (seperangkat gendang, tetabuhan) atau  uning-uningan, berupa  alat musik tradisional Batak yang terdiri atas  serunai, kecapi, seruling, garantung, odap, dan hesek. Panggungnya sederhana, tetapi terkesan  unik. Bentuknya menyerupai ruma bolon (rumah adat Batak)  yang diberi hiasan gorga (ukiran khas Batak) dan diikuti nama operanya.

          iPada  1985 Serindo dan opera Batak lainnya mulai tenggelam dimakan zaman. Penyebabnya, selain  masalah regenerasi, pengelolaan grup, juga  karena kehadiran teknologi modern seperti  televisi dan  film, juga teater modern   (Dalihan Natolu, 1977: 15;  Thompson Hs, 4 JunI 2012). Peristiwa mengenaskan itu, sekadar contoh, terjadi pada Opera Batak Dos Roha, termasuk yang menimpa diri pemainnya.
          Rosmala Sitohang[2]), putri pendiri dan pemilik Opera Batak Dos Roha,  Dari  Uhum Sitohang, ini sangat populer di Sumatra Utara pada  1960–1970-an. Selain berwajah ayu dan pintar menyayi, ia juga terampil menari dan memainkan aneka macam alat musik Batak. Pada masanya, Rosmala mendapat julukan primadona opera Batak yang selalu dipuja dan dinanti-nati penonton. Setelah opera milik ayahnya bubar, ia hijrah mencari peruntungan ke Jakarta.  Di kota metropolitan itu, jalan hidup Rosmala  begitu miris. Dia hanya dapat tampil sesekali di kafe-kafe kelas kambing  atau manggung di pesta pernikahan orang Batak.  Selebihnya, Rosmala hanya bisa mengamen di tempat umum dan  di bus kota (Thompson Hs., 15 Juli  2008).
          Menurut hasil pengamatan Thompson Hs., sutradara teater dan Direktur Pusat Latihan Opera Batak (PLOt) Pematang Siantar,  opera Batak kurang berkembang juga disebabkan oleh adanya stigma pada masyarakat terhadap gaya hidup para pemain yang dianggap bebas, selain karena rendahnya dukungan pemerintah daerah. Pernyataan tersebut diakui oleh Zulkaidah Harahap, generasi penerus Opera Serindo.  Ia masih ingat stigma yang diberikan masyarakat mengenai citra para pemain opera Batak sebagai ”sampah masyarakat” hanya karena para pemain laki-laki dan perempuan bermain bersama  (Jurnal Nasional Minggu, 8 Apr 2012).

          Citra yang kurang sedap terhadap para pemain opera Batak masa  silam itu tampaknya tidak jauh berbeda dengan kemasygulan masyarakat Malaysia terhadap para pemain makyong.  Menurut hasil pengamataan Anak Waris, nilai estetika tradisional makyong mulai luntur akibat komersialiasi pertunjukan. Setiap selesai pertunjukan, acara berikut langsung diteruskan dengan joget bersama antara penonton dan penari makyong. Musik pengiring pun sudah berganti dengan biola dan akordion. Akibatnya, di mata masyarakat, nilai moral penari juga mulai merosot. Bahkan, penari makyong merasa bangga jika mereka disenangi penonton dan merasa statusnya “terangkat” jika memiliki  banyak mantan suami. Keprihatinan inilah yang menyebabkan  citra penari makyong makin merosot, sekaligus merusak  citra seni tradisional itu  (Waris, 6 Desember 2009).

          Keprihatinan bersama ini--masyarakat Indonesia dan Malaysia--tentu menjadi tantangan baru dan pelik bagi generasi muda. Untuk itu, berbagai pihak harus turun tangan untuk  merebut kembali  nilai-nilai kehidupan yang diusung oleh teater tradi-sional, termasuk opera Batak, lalu   mengemasnya menjadi sesuatu yang mengandung nilai ekonomi, sekaligus   mengangkat citra para pemain sebagai pribadi  yang memi-liki dedikasi terpuji.
          Pasang surut kehidupan opera Batak  tampak jelas ketika Bonar Gultom  mementaskan ”Arga do Bona ni Pinasa”[3]) pada 1--2  September 2012 di Jakarta Convention Center. Cerita ini berisikan petualangan seorang pemuda Batak ke banyak negara, yang akhirnya kembali ke negerinya, kampung halamannya. Ia  menyadari  bahwa kebudayaan leluhurnya serta keindahan alam  di seputar Danau Toba tidak ditemukannya di negeri  orang.
          Opera ini pertama kali dimainkan pada 1969.  Ketika itu semua orang memuji keberhasilan Bonar Gultom sehingga Pemerinah secara khusus mengundangnya untuk menggelarnya kembali  dalam acara penyambutan  tamu kehormatan: Pangeran Bernard dari Belanda pada tahun 1972, Raja dan Ratu Bowdewijn dari (Belgia, 1974), Menteri Lee Kwan Yeuw (Singapura, 1975), serta Perdana Menteri Tun Abdul Razak (Malaysia, 1976).
      Pergelaran ”Arga do Bona ni Pinasa” pada 2003 ditampilkan kembali pada Pesta Rakyat Danau Toba di Parapat. Pada waktu itu Bonar Gultom dan Hisar Gurning mendapat penghargaan dari MURI (Musium Republik Indonesia) sebagai pencipta/sutradara dan pemrakarsa/sponsor, yang memecahkan  rekor sebagai pergelaran dengan pemain  terbanyak, yaitu 232 orang. Pergekaran pada 2012 ini adalah kali yang  keempat  dengan pemain pendukung sebanyak 150 orang. Sayang, pertunjukan ini tidak dapat disaksikan oleh kalangan bawah karena harga tiketnya tergolong mahal  (www.argadobonanipinasa.com dan Nadeak, 2012: 99)

Seni Pertunjukan dan Industri Kreatif

Semua bidang kehidupan atau sektor kebudayaan memerlukan  manusia kreatif yang mampu memajukan peradaban sesuai dengan  bidangnya. Dalam kaitan itu, setiap penemuan baru menuntut adanya peranan imajinasi. Hal itu berarti setiap orang dalam profesi apa pun seyogianya menjadi manusia kreatif untuk menciptakan alternatif baru bagi kemaslahatan kehidupan. Baru berarti inovatif, belum ada sebelumnya, menarik, aneh, atau memberikan kejutan. Berguna berarti lebih bagus, lebih praktis, lebih mudah, atau lebih cepat untuk  mengatasi setiap persoalan.
          Dalam dunia bisnis dikenal hukum bahwa  suatu produk makin lama akan makin kurang peminatnya karena ada perubahan kebutuhan dan selera pasar serta munculnya produk pesaing yang lebih baik. Perlu dipahami bahwa suatu produk memiliki masa lahir, tumbuh, dewasa, tua, dan mati. Oleh karena itu,  masyarakat pemilik  seni tradisional   dituntut selalu melakukan inovasi. Seni tradisional itu sendiri dalam ke-nyataannya memang terus mengalami perubahan. Perlu dipahami  bahwa karya seni tradisional yang dikenal pada saat ini adalah hasil inovasi atau perubahan dari karya seni tradisional  sebelumnya.
          Sebagai kegiatan kreatif yang bersifat nonbendawi (intengible), seni pertunjukan berhubungan  dengan usaha pengembangan konten dan  produksi pertunjukan itu sendiri seperti  tarian tradisional, tarian kontemporer, drama, musik tradisional, musik teater, opera, termasuk tur musik etnik, desain dan pembuatan busana pertunjukan, tata panggung, dan tata pencahayaan.
          Karena tuntutan ekonomi, komersialisasi seni tradisional   telah menjadi suatu realitas di dalam kehidupan masyarakat. Penanganan komersialisasi seni tradisional   dengan baik berpotensi membawa dampak positif, baik  bagi seni tradisional   yang menjadi komoditas itu sendiri maupun  para pihak yang terkait, seperti halnya tari klasik, musik klasik, dan opera yang dikelola dan dibisniskan secara baik di negara  maju. Namun, tidak terpungkiri  adanya realitas bahwa komersialisasi seni tradisional juga berakibat pada pendangkalan dan pelecehan terhadap seni tradisional   tersebut.
          Ekonomi kreatif  merupakan  keseluruhan dari industri kreatif atau  seluruh industri yang tercakup dalam kelompok industri kreatif. Istilah industri kreatif  ini mulai terangkat ke permukaan pada 1997 ketika Department of Culture, Media, and Sport (DCMS) United Kingdom mendirikan Creative Industries Task Force. Definisi DCMS inilah yang menjadi acuan definisi industri kreatif di Indonesia seperti dalam buku Rencana Pengembangan Ekonomi Kreatif Indonesia 2009—2015, Kementerian Perdagangan Republik Indonesia. Dikatakan bahwa  industri kreatif itu  berasal dari pemanfaatan kreativitas, keterampilan, dan bakat individu untuk menciptakan kesejahteraan, lapangan kerja, dan  nilai tambah ekonomi dengan mengeksploitasi daya kreasi individu tersebut 
      Setelah konsep ekonomi kreatif dan industri kreatif bergulir selama  tiga tahun di Indonesia, Pemerintah menerbitkan  Instruksi Presiden No. 6 Tahun 2009  tentang Pengembangan Ekonomi Kreatif dengan menunjuk organisasi  kementerian/lembaga, baik sebagai koordinator maupun sebagai instansi pendukung. Para gubernur dan bupati/wali kota di seluruh wilayah Indonesia wajib mendukung kebijakan  pemerintah tersebut. Dalam  instruksi presiden itu ada empat belas subsektor industri kreatif yang  akan dan perlu dikembangakan, yakni periklanan; arsitektur; pasar barang seni; kerajinan; desain; fesyen; video, film dan fotografi; permainan interaktif; musik; seni pertunjukan; penerbitan dan percetakan; layanan komputer dan peranti lunak; televisi dan radio; serta riset dan pengembangan (Kementerian Pariwisata dan Eknomi Kreatif,  2008; blogdetik.com, 4 Juni 2010)
          Dr. Mari Elka Pangestu, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, mengakui masih ada kelemahan dalam upaya pengembangan industri kreatif di Indonesia, antara  lain sumber daya manusia dan teknologi, skema pengembangan industri kreatif, pendanaan, akses pelaku industri ke pasar, dan masalah  kelembagaan. Untuk itu, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif berjanji akan melakukan terobosan penanggulangan pengembangan industri kreatif tersebut (kompas.com, 30 Juli 2012).
          Dalam kaitan dengan seni pertunjukan tradisional, salah satu dari empat belas subsektor industri kreatif yang dikemukakan di atas, sebagai aset budaya bangsa,   opera Batak perlu direvitalisasi sedemikian rupa secara profesional.

Opera Batak dan Langkah Revitalisai

Seiring dengan  perjalanan waktu, opera Batak sekarang ini dapat dikatakan sudah mati suri. Tidak ada lagi hiburan berupa seni pertunjukan di tingkat desa. Untuk mengobati kerinduan itu, beberapa “seniman amatir” telah mencoba memperkenalkannya kembali di pakter (lepau) tuak atau dalam bentuk kaset rekaman (tape recorder) secara parsial. Cukup menarik memang, tetapi sayang, corak busana, mimik pemain,  dan tortor (tarian) sebagaimana  diperagakan dalam opera Batak hanya bermain dalam benak khalayak pendengar. Selanjutnya, pada masa sekarang ini segmen atau elemen opera yang dimaksud sudah mulai ditayangkan di media televisi  dan internet seperti media youtube.
          Patut dicatat, sejalan dengan  otonomi daerah, pada  2002 Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) Jakarta, yang diketuai oleh Dr. Pundentia,   bersama dengan Pusat Latihan Opera Batak (PLOt) di bawah pimpinan Thompson Hs. mencoba menghidupkan kembali opera Batak.  PLOt berperan sebagai fasilitator untuk generasi muda dan para pemain. Langkah awal yang dilakukan adalah  kegiatan pelatihan dan produksi dengan metode partisipatif.
           Kegiatan berikutnya berupa simulasi dan pertunjukan. Hasilnya lumayan menggembirakan. Pergelaran dilakukan di beberapa tempat, termasuk pada Seminar Asosiasi Tradisi Lisan di Hotel Indonesia (Jakarta) dan pada acara  Promosi Tapanuli Utara di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) pada 2003. Pada 2005 melalui program  percontohan ini lahirlah sebuah grup kesenian  yang diberi nama Grup Opera Silindung (www.infoakademika. com/prof-mauly-purba).
          Kehadiran opera Batak masa kini  tentu saja tidak seperti opera yang muncul di Eropa, tetapi mesti  disesuakan dengan tuntutan zaman, terutama bentuk kemasannya. Aspek lain yang perlu  dipertahankan adalah ciri khasnya, yakni tetap menyuarakan  napas kehidupannya sebagai reperesentasi budaya Batak, misalnya  kekayaan bahasa, keragaman musik tradisional, gambaran keindahan alam sebagai latar panggung, dan elemen tradisional lainnya seperti ulos (busana) Batak, tortor, sebagai produk sebuah  peradaban masa silam. 
          Opera Batak yang masih berwarna tradisional—sayang, bagi sebagian kaum muda dianggap kuno--menjadi suatu tantangan sosial kultural yang menuntut kepedulian  para pemangku kepentingan  (stakeholders)  (Thompson, 4 JunI 2012). Agaknya persoalan yang dihadapi oleh opera Batak tidak terlalu jauh perbedaannya dengan teater tradisional di Malaysia seperti teater  bangsawan dan makyong. Perihal hal itu, Anak Waris (2009) menuturkan keprihatinan, sekaligus harapannya terhadap kehidupan teater tradisional di negeri jiran tersebut. 
            Boleh dikatakan penonton yang hadir rata-ratanya adalah dari muka-muka yang sama sahaja. Persoalannya, sejauh manakah teater Melayu boleh bertahan dan berkembang? Sokongan harus diberikan dengan menghadirkan diri menonton teater Melayu. Samada persembahan teater itu percuma ataupun berbayar, apa yang pasti ialah kehadiran penonton teater Melayu amat dialu-alukan agar industri teater Melayu boleh bertahan, berkembang terus dan mendapat tempat dihati masyarakat Melayu khususnya.
          Program revitalisasi opera Batak 2005--2012 mendapat dukungan, setidaknya  dari tiga pemerintah babupaten, yaitu  Tapanuli Utara, Tobasa, dan Simalungun. Demikian juga dukungan dari perseorangan yang menaruh perhatian pada nasib opera ini mulai berdatangan, seperti penyair Sitor Situmorang, Lena Simanjuntak, Barbara Brouwer,  Jhon Robert Simanjuntak, Grace Siregar, dan Indra Nababan.
          Menurut Pudentia,  dengan adanya revitalisasi opera Batak, berbagai pihak sudah memberikan bantuan dan kemudahan lainnya, baik Gubernur Sumatra Utara, dewan perwakilan rakyat,  maupun lembaga asing seperti Japan Foundation dan Ford Foundation, termasuk  media massa yang menulis artikel tentang gerakan revitalisasi opera Batak itu (Jurnal Nasional Minggu, 8 Apr 2012).  Revitalisasi yang dilakukan berupa pelatihan menulis cerita, manajemen, artistik, konsep dasar teater, dan  pengu-asaan bahasa lokal Batak Toba, Batak Karo, Batak Simalungun, Batak Pakpak.  Demikian juga para praktisi teater tradisi lisan  dan akademisi juga turun tangan untuk melakukan penelitian berupa  tinjauan musikal, komparasi pertunjukan, arsitektur, penciptaan karya, sejarah, sosial, dan dokumenter (oase.kompas.com/ read/2012/04/28)
          Dalam rangka Peringatan  10 Tahun Revitalisasi Opera Batak, PLOt memberikan penghargaan berupa gelar khusus kepada sejumlah tokoh yang berkontribusi dalam revitalisasi opera Batak, seperi Zulkaidah Harahap (Nai Angkola Soripada Tuan Boru Parungutungung NOB), Alister Nainggolan (Ompu Data Panggual Tuan Banner NOB), Dr. R.E. Nainggolan, M.M. (Ompu Pande Paniroi Tuan Panggomgomi NOB), Mateus Suwarsono, S.Sn. (Ompu Datu Pinasindar Tuan Warso NOB), Prof. Dr. Robert Sibarani, M.S. (Ompu Pande Pangihutan Tuan Paniroi NOB) Prof. Drs. Mauli Purba, M.A., Ph.D. (Ompu Pande Panggual Tuan Naboro NOB), Dr. Pudentia M.P.S.S. (Nanjaoa Soripada Tuan Boru Panuturi NOB) (www.gobatak.com/ penyerahan-gelar-penghargaan-o;  Thompson, 4 Juni 2012).

Simpulan dan Saran 
Setelah memperhatikan  uraian di atas, ada beberapa hal yang perlu disimpulkan dan beberapa sumbang saran untuk menghidupkan kembali dan/atau melahirkan  opera Batak  di dalam memasuki era industri keratif sekarang ini. Untuk itu,   gerakan  revitalisasi yang lebih intensif dan proporsional mesti dilanjutkan, baik  dalam upaya pengembangannya maupun  pembinaan sumber daya manusia yang bersinggungan dengan seni pertunjukan tersebut. Berikut ini beberapa pemikiran yang perlu dikaji sebagai bahan pertimbangan. 
a. Pengembangan Sumber Daya Manusia
Instruksi Presiden  No. 6 Tahun 2009 sedang dan akan ditindaklanjuti oleh  Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif melalui program  pengembangan ekonomi/industri kreatif produk seni pertunjukan  tradisional  di berbagai lembaga/pusat kebudayaan di daerah.  Hal itu berarti bahwa pelatihan yang digagas oleh Asosiasi Tradisi Lisan bersama dengan Pusat Latihan Opera Batak (PLOt)  pada 2002 mestinya  didukung (lebih ditingkatkan) oleh pemerintah daerah,  termasuk para pemangku kepentingan di bidang seni dan budaya setempat. Program pelatihan yang dimaksud hendaknya juga ditujukan, baik kepada para pemain lakon, pemain musik, sutradara, pengelola opera, penata busana, maupun pihak yang berkaitan dengan penyelenggaraan  opera Batak. Dengan demikian, diharapkan bisa dihidupkan kembali dan/atau dilahirkan sejumlah opera Batak baru, seperti produk perdananya,  Grup Opera Silindung. 
b.  Pengembangan Secara Parsial
Jika dicermati secara saksama, opera Batak adalah sebuah struktur yang terdiri atas sejumlah segmen atau elemen yang saling berhubungan. Elemen inti berupa lakon cerita, lagu atau nyanyian, tarian, dan pemain. Elemen pendukung, antara lain  (1)  musik pengiring yang disebut gondang sabangunan dan  uning-uningan, yang terdiri atas  serunai, kecapi, seruling (suling), garantung, odap, dan hesek;   (2) pencak silat dan lawakan (humor);  (3) latar layar berupa lukisan alam,   panggung berukir arsitektur (gorga) Batak, dan ulos (busana khas Batak). Tentu saja masih ada unsur pendukung lainnya yang tidak kalah penting seperti manajemen dan penaja (sponsor).
          Setiap elemen atau segmen tertentu dapat ditampilkan secara terpisah sehingga menjadi subindustri kreatif yang bernilai ekonomi. Sebagai contoh, segmen lawakan, lagu/nyanyian, petikan kecapi dan/atau tiupan seruling, baik secara sendiri-sendiri maupun gabungan, dapat  dijadikan rekaman kaset audio atau dalam bentuk audio-visual (CD/VCD) dan multimedia lainnya. Dengan kata lain, hasil industri kreatif dalam bentuk kaset seruling, kaset lawakan, kaset lagu, atau kaset kecapi opera Batak, dapat dipasarkan sebagai barang dagangan yang menghasilkan uang.
          Langkah berikutnya dapat juga dibentuk kelompok musik semisal grup suling, grup lawak, grup kecapi, grup penyayi, grup penari, atau grup pemain  garantung[4]), yang bisa ditampilkan dalam perhelatan adat, pernikahan, perayaan, kafe, atau   pertemuan lainnya.
          Untuk merekrut para pemain yang berkualitas perlu  diselenggarakan acara lomba atau festival mulai dari tingkat desa hingga ke kota. Peserta terbaik dapat diutus untuk mengikuti festival/lomba seni seperti Festival Lomba Sesni Siswa Tingkat Nasional.  yang dilakukan setiap tahun oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bagi siswa sekolah dasar (SD), menengah (SMP), dan atas (SMA.
Kegiatan yang sama juga dilakukan oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa pada setiap bulan Oktober dalam kegiatan  Bulan Bahasa dan Sastra.  Hingga sekarang program pembinaan dan peningkatan mutu seni pertunjukan tradisional di berbagai daerah di Indonesia masih berlanjut  dengan melibatkan para seniman terkemuka, baik dari Pusat maupun dari daerah setempat.  Kegiatan budaya yang tidak kalah penting adalah Pesta Danau Toba[5]) yang diselenggarakan setiap tahun di Sumatra Utara juga dapat dimanfaatkan sebagai wadah pergelaran sejumlah produk budaya Batak, termasuk pentas opera Batak.
c.  Gaya Lokalis dan Sumber Cerita
Dalam kaitan dengan revitalisasi opera Batak, agar generasi muda yang tidak atau belum menguasai bahasa daerahnya, tidak ada salahnya  digunakan juga bahasa Indonesia  sebagai bahasa pengantar, tetapi dengan  gaya lokalis:  logat,  mimik, dan bahasa tubuh khas Batak.  Selain penonton merasa  terhibur, mereka juga  dapat belajar dan memahami nilai-nilai kehidupan budaya leluhurnya.
          Lakon cerita yang disajikan hendaknya  disesuaikan dengan tempat dan masyarakat penikmatnya. Lakon cerita yang disajikan di daerah asal yang agraris, cerita rakyat atau mitologi dapat diberikan porsi yang lebih dominan. Bagi masyarakat yang tinggal di kota-kota besar, ceritanya dapat berupa gambaran  kehidupan masyarakat Batak di perantauan, tetapi  tetap bernuansa kedaerahan.
b. Pemasaran dan Peluang
Di dalam mempromosikan opera Batak, termasuk subindustri kreatif yang dimunculkannya, menuntut kejelian pengelola manajemen pemasaran untuk melihat kebutuhan pasar.  Media massa cetak (surat kabar, majalah) dan media elektronik (televisi, radio, dan internet seperti milis, facebook, blog, dan portal lainnya) dapat dimanfaatkan sebagai sarana promosi atau iklan. Di kota-kota besar, misalnya, sudah ada kelaziman mendatangkan grup penyanyi atau kelompok remaja putri untuk tampil menyanyi dan menari pada acara perhelatan adat Batak.  Untuk itu, mereka mendapat bayaran tanda ucapan terima kasih. 
          Sebagaimana karya seni lainnya, pemasaran opera Batak perlu dikemas dan digabung dengan paket lainnya, misalnya paket transportasi, akomodasi, dan pariwisata alam. Desain paket pariwisata budaya dipromosikan dan dijual kepada para wisatawan. Paket akomodasi berhubungan dengan pengusaha penginapan. Selanjutnya, pelaksanaan penyampaian paket pariwisata budaya  melibatkan agen pariwisata dan para seniman seni tradisional. Hal ini berarti,  jika karya seni opera Batak  dikelola secara kreatif dan profesional, akan mengandung nilai ekonomi yang menjanjikan bagi banyak pihak.


Daftar Pustaka

Anoegrajekti, Novi. 2012. “Sastra Lokal dan Industri Kreatif: Revitalisasi Sastra dan Budaya Using Berbasis Lokalitas”. Jakarta: Panitia Seminar Bahasa dan Sastra, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kemdikbud.
Alisjabana, S. Takdi.  Editor. “Kreativitas Dilihat dari Keperluan Sekarang dan Masa yang akan Datang”.  Dalam Alisjabana, S. Takdir. Editor. 1983. Kreativitas. Jakarta: Dian Rakyat.
Anggita, Maini, “Mak Yong Seni Tradisional yang Nyaris Punah”. pasiana 18 November 2011.
Barker, Chris. 2000. Cultural Studies: Theory and Practice.London: Sage Publications.
Carle, Rainer. 1990. Opera Batak: Das Wandertheater der Toba-Batak in Nord-Sumatra, Band 15/II. Berlin, Hamburg:   Dietrich Reimer Verlag,
Dalihan Na Tolu. l977. "Seni Ragam Indonesia: Profil Sebuah Opera Batak yang Semakin Sepi",  2 (I): 14‑‑16.
Finnegan, Ruth. 1979. Oral Poetry. London: Cambridge: University Press.
Hotmanlumbangaol. 2008.  “Wawancara Bonar Gultom”, Oktober 13, 2008
Instruksi Presiden RI No. 6 Tahun 2009 tentang Pengembangan Ekonomi Kreatif.
Jurnal Nasional Minggu, 8 Apr 2012.  “Bangkitnya Opera Batak”.      
Kayam, Umar. 1981. Seni, Tradisi, Masyarakat. Jakarta: Sinar Harapan.

Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. 2008. “Pemberdayaan Masyarakat Seni Tradisi dalam Industri Pariwisata Budaya”. www.budpar.go.id. (diunduh 2 Sep.2012)

-----. 2008a. “Melirik Ekonomi Kreatif di Indonesia: Berbagai Sudut Pandang tentang Ekonomi Kreatif dan Industri Kreatif”, 

Lubis, Mochtar. 1983. “Kreativitas Perubahan dan Transformasi Budaya, Masa Sekarang dan Masa yang akan Datang”.  Dalam Alisjabana, S. Takdir. Editor. 1983. Kreativitas. Jakarta: Dian Rakyat.
Manik, 2010.  “Opera Batak adalah Teater Hidup” , 17 Juli  2010.
Nadeak, Carry, “Menghidupkan Kenangan Gorga”, Gatra, No. 44/XVIII, 2 Sep  2012.
Nurhadi, Tuti Heraty. 1983. “Kreativitas, Suatu Tinjauan Filsafat”. Dalam Alisjabana, S. Takdir. Editor. 1983. Kreativitas. Jakarta: Dian Rakyat.
Panjaitan, Isran. 2009. ”Tilhang Gultom, Sang Maestro”. Isranpanjaitan. wordpress.com, 23 November 2009.
Permas, A., et.al. 2003.  Manajemen Organisasi Seni Pertunjukan Jakarta: Pustaka Binaman Pressindo.
Pudentia, M.P.S.S.  l999. “Keindahan, Keragaman Budaya Nusantara: Belajar dari Aceh, Ambon dan Timor Timur”.
Semi,  M. Atar. 1984. Anatomi Sastra. Padang: FPBS IKIP Padang.
Thompson Hs. ”Pergulatan Opera (Gaya) Batak Menuju Reinkarnasi.arieweb.net, 5 Januari 2009

-----.. 2008. “Rosmala Sitohang: Dari Opera Batak ke Cafe Bandung”, blog. sitohanguntuktapanuli, 15 Juli  2008

Waris, Anak. “Resam Melayu:Masa Depan Teater Melayu”, 7 Desember 2009.
-----. “Mak Yong – Seni Teater Tradisional Melayu Lama”, 6 Desember 2009
Winanda, Enda Alfaro. “Makna dan Peranan Teater Tradisional”. kompasiana, 22 Oktober 2011.

www. blogdetik.com “Ekonomi Kreatif: Definisi Ekonomi Kreatif”, 4 Juni 2010

www.gobatak.com Batak, Kenapa Rupanya?
www.infoakademika. com/prof-mauly-purba/

www.kompas.com/kompas-cetak/ 0712/18/ Sosok/4075370.htm

www.kompas.com. “Era Ekonomi Kreatif”. 3 November 2011



     [1])Tumba biasanya dimainkan oleh serombongan muda‑mudi. Semula tujuan tumba hanya merupakan hiburan di kalangan muda‑mudi  yang dibawakan sambil bersenda gurau pada malam terang bulan di alam terbuka. Acara ini  acapkali menjadi ajang bagi kaum muda untuk berkenalan  atau mencari jodoh.

[2])Dalam rangka Bulan Bahasa dan Sastra 2011, Rosmala Sitohang pernah diundang oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa   untuk menampilkan seni tradisio-nal Batak. Kala itu ia memperagakan  tortor (tarian), lagu daerah, dan pencak silat serta memainkan sejumlah alat musik tradisional Batak sebagaimana yang pernah dibawakannya pada Opera Batak Dos Roha pada 1960--1970-an di Sumatra Utara. 

[3])Ketika berlangsungnya opera klosal ”Arga do Bona ni Pinasa”  (Betapa Indahnya Kampung Halaman) ini, generasi muda, termasuk orang tua yang sudah lama tinggal di Jakarta (perantauan), tidak dapat lagi memahami sepenuh bahasa Batak yang digunakan oleh pemain,  demikian juga makna tortor dan ulos Batak, serta senandung  yang di-tampilkan, bahkan sebagian di antara mereka ada yang meninggalkan tempat pertunjukan sebelum usai.

[4])Obby A.R. Wiramihardja, musikus angklung dari  Angklung Music Sociaty Bandung, pernah mengusulkan kepada penulis (saya)  untuk menggagas festival  garantung, alat musik yang terdiri atas susunan bilah-bilah kayu. Menurut beliau, sebagaimana angklung,  alat musik tradisional tersebut  layak diusulkan menjadi warisan dunia.
[5])Pesta Danau Toba merupakan  agenda tahunan Pemerintah Provinsi Sumatra Utara serta Kementerian Pariwisata dan Prekonomian Kreatif.  Pesta budaya ini  menampilkan beberapa acara, seperti pentas seni budaya, festival tari daerah, festival suling, dan opera Batak. Selain dapat  meningkatkan kunjungan wisatawan, Pesta Danau Toba ini juga  dapat meningkatkan  ekonomi rakyat di  sekitar Danau Toba.


Sumber:
http://spe.dbp.gov.my

No comments:

Post a Comment