SASTRA INDONESIA DAN INDUSTRI KREATIF
SEBUAH KAJIAN TERHADAP OPERA BATAK YANG
NYARIS HILANG
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa
Kementerian Pendidkan dan
Kebudayaan Republik Indonesia
Jakarta
Pendahuluan
Seni pergelaran tradisional lahir dari kehidupan budaya daerah dan terbina
oleh suatu tradisi yang khas daerah.
Sebagai buah kesenian, teater tradisional hadir pula dalam bingkai
kebudayaan nasional, sebagai hamparan
kebudayaan yang lebih luas yang membaurkan berbagai macam tradisi. Karena itu, teater tradisional di satu
pihak adalah unsur budaya daerah, milik masyarakat daerah, dan
di pihak lain merupakan bagian dari
kebanggaan nasional. Teater tradisional yang berakar dan terpelihara dalam
masyarakat daerah memiliki ciri
spesifik: (1) terbatas pada
lingkungan budaya pendukungnya; (2) bergerak statis; (3) bagian
dari suatu kosmos kehidupan yang bulat;
dan (4) milik bersama atau bukan hasil kreartivitas individu (Kayam, 19081:
60).
Kendati perkembangan teater tradisional terkesan lamban,
dalam kenyataannya adakalanya budaya daerah itu merambah dan saling
bersentuhan dengan kebudayaan
daerah lain. Lenong, misalnya,
bentuk teater rakyat gaya Betawi (Jakarta), sekarang ini ternyata bukan lagi
hanya milik orang Betawi, melainkan juga
milik suku lain yang tinggal di Jakarta.
Demikian juga seni wayang yang selama ratusan tahun silam hanya
menggelarkan cerita "Ramayana" atau
"Mahabrata", kini juga
berperan sebagai wadah penyampaian
teknik bertani, pemeliharaan lingkungan, atau peningkatan taraf kehidupan
masyarakat pedesaan di semua daerah. Fenomena itu tentu saja merupakan proses
integrasi dan hasil sentuhan modernisasi. Teater tradisional, selain
berfungsi sebagai hiburan, juga berperan sebagai sarana pendidikan, penebal
perasaan solidaritas kolektif, dan
sarana kritik sosial.
Dalam kenyataan bahwa pada umumnya penilaian masyarakat
Indonesia dewasa ini mengenai segala sesuatu yang tidak modern, apalagi yang
bersifat pribumi, termasuk teater tradisional,
kurang mendapat sambutan sebagaimana diharapkan. Mereka kurang menyadari
bahwa sastra tradisional itu mencerminkan alam pikiran, pandangan hidup, serta
ekspresi rasa keindahan yang melatar-belakangi sistem nilai budaya masyarakat
pemiliknya.
Budayawan terkemuka, Alisjahbana (1983:183) pernah
mengatakan bahwa kebudayaan modern, konfigurasi nilainya dikuasai oleh ilmu dan
ekonomi yang bersama-sama melahirkan teknologi. Di dalamnya nilai agama dan
seni boleh dikatakan rendah. Kebudayaan ini dinamai kebudayaan progresf.
Sebaliknya, kebudayaan tradisi dikuasai
oleh nilai agama dan seni, sedangkan nilai ilmu dan ekonomi yang melahirkan
teknologi rendah kedudukannya .
Sistem nilai budaya yang dimaksud, antara lain, dapat
berupa (1) nilai hedonik: nilai yang dapat memberikan kesenangan secara langsung kepada
pembaca; (2) nilai artistik: nilai yang
dapat memanifestasikan suatu seni atau keterampilan dalam melakukan suatu pekerjaan; (3) nilai kultural: nilai
yang dapat memberikan atau mengandung suatu hubungan yang mendalam dengan suatu masyarakat, peradaban, atau
kebudayaan; (4) nilai etis,
moral, agama: nilai yang dapat
memberikan atau memancarkan suatu petuah
atau ajaran yang berkaitan dengan
etika, moral, atau agama; serta (5) nilai praktis: nilai yang mengandung hal-hal praktis yang dapat diterapkan dalam
kehidupan nyata sehari-hari.
Pertanyaan yang timbul, bagaimana mengangkat sastra
tradisional itu menjadi sesuatu yang disenangi dan menarik untuk ditonton,
pemilik tradisi itu harus “berani”
membuka diri dengan cara bersedia menerima perubahan secara kreatif
sesuai dengan panggilan zaman.
Perubahan itu, menurut
Semi (1984:169--170), memiliki nilai tersendiri, ter-utama untuk
menghindari kejenuhan masyarakat penggemarnya dan memungkinkan teater tersehut
dapat pula dinikmati oleh masyarakat
daerah lain. Akan tetapi, ciri khasnya
harus tetap tecermin, jika tidak, teater tradisional akan kehilangan identitas
dirinya. Kekhasan unsur perwatakan dan alur tradisionalnya harus tetap
mem-perlihatkan identitasnya jika kita ingin menyelamatkan kehidupan teater
tradisional itu. Selanjutnya, dikatakan bahwa mengembangkan atau membina seni
tradisional tidak berarti menjadikannya statis dan merupakan benda mati. Jika
itu yang terjadi, seni tradisional akan hilang dengan sendirinya karena tidak
memiliki pengikat dan akan menjadi
barang jiplakan yang menjenuhkan. Pengaruh dan perubahan memang tidak dapat
dihindari karena adanya perubahan dan perkembangan sosial budaya. Perubahan itu
dapat terjadi, baik dari segi bentuk
maupun konsep.
Bentuk teater tradisional di Indonesia
sangat beragam, baik penyajian
maupun fungsinya. Aturan permainannya dapat dikatakan baku atau tidak boleh
dilanggar begitu saja. Ciri teater tradisional yang dimaksud, antara lain
(a) ceritanya tidak tertulis, (b) media
pengungkapannya berupa dialog, tarian, dan nyanyian; (c) lakuan (action) bersifat spontan; (d) dialog
dibawakan secara improvisasi; (e) selalu
terdapat adegan lawakan; (f) diiringi
musik tradisional; (g) penonton
terlihat santai dan akrab, bahkan terkadang dapat berdialog langsung dengan
pemain; (h) bahasa pengantarnya adalah
bahasa daerah; dan (i) tempat
pertunjukan terbuka berbentuk arena (Winalda, 22 Oktober 2011).
Dalam catatan seorang penggiat sastra, Henry Supriyanto
(dalam Semi, 1984: 176; lihat juga wikipedia), disebutkan bahwa Indonesia kaya akan teater tradisional, yang tentu saja
dengan nama yang berbeda: di daerah (1) Riau: makyong dan mendu; (2)
Sumatra Barat: randai dan bakaba; (3) Kalimantan: mamanda dan tatayung; (4) Bali: topeng
prembon, topeng arja, dan topeng
cupak; (5) Sulawesi: sanreli; (5) Jakarta/Jawa Barat: lenong, topeng betawi, topeng cirebon,
topeng banjet, topeng ubrug, topeng
cilasak, dan longser; Jawa Tengah: srandul, ketoprak,
emprak, encling, angguk, wayang purwa, dan wayang wong (orang); Jawa
Timur: ludruk, topeng malangan, ketoprak, janger, prabulana,
kentrung, reog ponorogo, dan wayang.
Pertanyaan berikutnya, upaya apa yang perlu dilakukan untuk
mengasah kekayaan rohani itu agar bisa berkilau kembali pada zaman teknologi informasi sekarang?
Untuk menghadapi masa kini dan masa yang akan datang, kita
harus mendorong tumbuhnya daya kreativitas budaya bangsa, yang mencakupi seluruh bidang kehidupan. Kreativitas
demikian akan mendorong perubahan dan transformasi budaya, tetapi hendaknya berpijak di atas bumi budaya
Indonesia agar dapat berlangsung pembaruan dalam kesinambungan. Segala tingkah
laku manusia, baik sebagai perseorangan
maupun masyarakat, mestilah berpedoman pada nilai-nilai budaya jika suatu bangsa ingin menyosong dan
memasuki masa depan yang lebih cerah.
Dengan mengutip pendapat
Rollo May dan Arthur Koestler, Nurhadi (1983: 13) mengatakan bahwa
menampilkan sesuatu yang baru tidak berarti menemukan penyelasain baru,
tetapi meniciptakan aturan pemainan
atau strategi yang baru. Karena
meninggalkan tatanan lama lewat restrukturisasi, kreativitas melakukan
penolakan dahulu terhadap tatanan lama sehingga terbuka untuk memperoleh
tatanan baru.
Dengan
berbasis pada sastra dan budaya lokal, tulisan ini mencoba menganalisis dan
menawarkan langkah yang perlu dilakukan untuk
mengembangkan model industri kreatif terhadap opera Batak, salah satu
seni pertunjukan tradisional di Sumatra Utara. Pendekatan yang dilakukan secara
diakronis dan etnografis, yang diharapkan juga dapat menemukan model yang tepat
untuk mengembangkan industri kreatif
terhadap sastra lokal di berbagai wilayah di Indonesia.
Opera Batak: Sejarah dan Pasang Surutnya
Setiap memperbincangkan seputar opera Batak tidak lepas dari tokoh Tilhang Oberlin Gultom (1920--1973). Pria kelahiran Desa Sitamiang, Pulau Samosir, Tapa-nuli Utara, Sumatra Utara, ini pantas disebut maestro opera Batak. Selama karier-nya, ia telah mencipta 360 lagu, 12 tumba[1], dan 24 drama/sandiwara, termasuk sejumlah tortor (tarian) yang menjadi ciri khas setiap pementasan opera (sandiwara, teater) yang pernah berkibar di Sumatra Utara. Hingga sekarang lagu-lagunya masih akrab di telinga orang Batak (Toba).
Sejak usia muda, Tilhang telah mengabdikan dirinya dengan sepenuh hati pada dunia seni. Pada 1925 ia membentuk grup trio yang diberi nama Tilhang Parhasapi yang berarti ‘Tilhang Sang Pemetik Kecapi’. Rekannya, Pipin Butarbutar (peniup serunai) dan Adat Raja Gultom (kecapi rythem). Pada masa itu, grupnya belum disebut opera, tetapi itulah yang menjadi cikal-bakal terbentuknya grup opera Batak (Panjaitan, 2009). Sebutan opera Batak dipopulerkan oleh Diego van Biggelar, misionaris Belanda yang datang ke Pulau Samosir pada 1930-an.
Salah satu dari perspektif
munculnya opera Batak dipengaruhi oleh teater/ komedi bangsawan
dan makyong. Teater bangsawan merupakan bagian seni per-tunjukan rumpun
Melayu di Malaysia, Singapura, dan Sumatra. Panggung teater bangsawan masih
prosenium dengan latar panggung
(buka–tutup) yang terbuat dari layar yang dilukis sesuai dengan tema cerita.
Teater bangsawan menggelar kisah tentang
kehidupan raja-raja yang melibatkan alam kayangan dan dunia nyata, yang
bersumber dari hikayat Melayu, cerita dari Arab, Hindustan, atau Cina. Pengembangan dialog banyak bergantung
pada improvisasi para pemain.
Di Riau teater bangsawan mirip dengan makyong atau opera
Melayu (Thompson Hs., 4 Juni
2012). Pertunjukan makyong dibawakan oleh para
penari dan pemusik. Naskah ceritanya sederhana, isinya antara lain
berhubungan dengan upacara keagamaan. Unsur tari, musik, dan vokal tampak
menonjol (Waris, 6
Desember 2009).
Kedua
jenis teater tradisional itulah yang menginspirasi Tilhang untuk mengembangkan dan menambah anggota
grupnya. Sejak itu, ia menyuguhkan
semacam drama tari: gabungan sandiwara, lagu, dan tari. Tiga tahun berikutnya
grup Tilhang maju pesat, bahkan memiliki anggota lima puluh orang. Surat kabar Pertjatoeran, 15 Agustus 1928, menyebutkan opera Tilhang tidak lagi
hanya digelar di pedesaan, tetapi sudah mulai
tampil di beberapa kota kecil,
seperti Balige dan Siborongborong. Pada
waktu itu pemain opera hanya kaum pria,
kaum perempuan masih dianggap tabu melakoni kehidupan opera. Dasar Tilhang,
laki-laki pun didandani mirip perempuan
sehingga penonton sering terkecoh.
Setahun kemudian, Tilhang mengganti nama operanya menjadi
Batak Sitamiang, kemudian berubah lagi
menjadi Tilhang Opera Batak. Hebatnya pada
1933 Tilhang Opera Batak sudah merambah hingga ke negeri jiran:
Semenanjung Malaka, Penang, dan Singapura. Pada masa itu PID (Politie
Inlichting Dienst) sering
menghentikan pertunjukan kelompok kesenian ini sebab cerita dan nyanyian yang
dibawakannya kerap menjadi corong suara masyarakat untuk mengkritk sistem pemerintahan kolonial Belanda. Hal itulah
yang menyebabkan opera pimpinan Tilhang Gultom ini seringkali berganti nama (Dalihan
Natolu, 1977: 15). Pada 1936 Tilhang Opera Batak berganti nama lagi menjadi
Tilhang Batak Hindia Toneel, berbau inlandeer,
atas instruksi penjajah Belanda. Pada periode tersebut pemainnya sudah mencapai
enam puluh orang. Pada tahun itu juga
Tilhang Batak Hindia Toneel berganti nama lagi menjadi Tilhang Toneel
Gezalschap.
Pada masa pendudukan Jepang
Tilhang Toneel Gezalschap berganti rupa lagi menjadi Sandiwara Asia
Timur Raya, kali ini karena intervensi
Gun Seikanbu atau Pemerintah Jepang. Faktor itu pulalah yang membuat Tilhang
membiarkan operanya mati suri daripada tetap hidup, tetapi menjadi alat
propaganda Jepang (Panjaitan, 2009).
Pada masa kemerdekaan, atas prestasi Tilhang Gultom sebagai
pelopor karya seni budaya Batak, ia memperoleh sejumah piagam penghargaan, baik
dari negara maupun badan sosial, antara lain
Bintang Emas dari Panitia Peringatan Wafatnya Pahlawan Sisingamangaraja
XII di Medan (1964), Piagam Penghargaan
dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (1971),
Satya Lencana Emas, dan Piagam
Anugerah Seni dari Pemerintah Indonesia. Patut dicatat di sini bahwa
penggantian nama Tilhang Opera Batak menjadi Serindo (Seni Ragam Indonesia)
adalah atas permintaan Presiden
Soekarno agar tampak warna keindonesiannya.
Dalam perjalanan sejarah, pengelolaan Opera Serindo
diwariskan kepada putranya, Gustapa Gultom, kemudian dilanjutkan oleh Zulkaidah Harahap. Tihang
Oberln Gultom meninggal pada 1973 (http://www.kompas.com/kompas-cetak/ 0712/18/ Sosok/4075370.htm).
Hingga tahun 1980-an grup opera Batak di Sumatra Utara sudah mencapai 30-an grup, antara lain Serada Opera, Tiurma Opera, Dos Roha Opera, Rompe Mas Opera, Ros Opera, Sianjur Mulamula, Mudatas Group, dan Tapian Nauli Group. Cerita yang disuguhkan oleh kelompok kesenian ini pada umumnya berkisar pada tema tradisi, mulai dari silsilah marga, folklor (legenda, mite, dongeng, epos), kehidupan masyarakat sehari-hari, hingga pada kisah-kisah sensasional yang diangkat dari artikel media massa (surat kabar dan majalah) yang terbit pada masa itu.
Banyak orang mengatakan bahwa kedudukan lakon cerita yang lebih menonjol sebagai tontonan daripada temanya yang kebanyakan bersumber dari cerita rakyat, misalnya cerita “Si Boru Tumbaga” (masalah gender), cerita “Pulo Batu” (kepahlawanan Sisingamangaraja), cerita “Si Raja Lontung” (silsilah marga), dan cerita “Si Mardan” (anak durhaka). Cerita yang bernuansa tradisional itu bagi kalangan tua adalah sesuatu yang menarik, yang membawa mereka ke alam nostalgia masa kecil dengan merasakan katarsis melalui lagu-lahgu lawas dan nilai-nilai budaya yang diproyeksikan. Ratusan lakon cerita dan lagu Batak tempo dulu, kebanyakan ciptaan Tilhang Gultom, dimainkan dalam opera Batak dengan berbagai versi. Dari segi dramaturgi, opera gaya Batak ini memang sudah mulai dikembangkan. Namun, apakah itu sudah dapat diandalkan sebagai produk industri kreatif, itulah yang mesti ditelisik dan dikembangkan pada masa yang akan datang (Thompson Hs., 5 Januari 2009; Carle, 1990).
Para pemain tidak diwajibkan menghapal teks cerita, tetapi cukup dengan berimprovisasi sesuai dengan kerangka dan alur cerita yang diberikan oleh sang sutradara, Tilhang Gultom sendiri. Pola cerita dan teknik penyajian opera Batak selama enam puluh tahun silam dapat dikatakan tidak berbeda. Hanya figuran, lagu, tarian, dan kejenakaan pada segmen tertentu mengalami perubahan sesuai dengan situasi dan kondisi (Manik, 2010).
Elemen seni dalam opera Batak terdiri atas tarian, lakon cerita, dan pendukung cerita seperti pencak silat, layar, humor, aksi saweran, dan panggung terbuka. Musik pengiringnya adalah gondang sabangunan (seperangkat gendang, tetabuhan) atau uning-uningan, berupa alat musik tradisional Batak yang terdiri atas serunai, kecapi, seruling, garantung, odap, dan hesek. Panggungnya sederhana, tetapi terkesan unik. Bentuknya menyerupai ruma bolon (rumah adat Batak) yang diberi hiasan gorga (ukiran khas Batak) dan diikuti nama operanya.
Pada 1985 Serindo dan opera Batak lainnya mulai
tenggelam dimakan zaman. Penyebabnya, selain
masalah regenerasi, pengelolaan grup, juga karena kehadiran teknologi modern
seperti televisi dan film, juga teater modern (Dalihan
Natolu, 1977: 15; Thompson Hs, 4 JunI 2012). Peristiwa
mengenaskan itu, sekadar contoh, terjadi pada Opera Batak Dos Roha, termasuk yang menimpa diri pemainnya.
Rosmala Sitohang[2]), putri pendiri dan pemilik Opera Batak Dos
Roha, Dari Uhum Sitohang, ini sangat populer di Sumatra
Utara pada 1960–1970-an. Selain berwajah
ayu dan pintar menyayi, ia juga terampil menari dan memainkan aneka macam alat
musik Batak. Pada masanya, Rosmala mendapat julukan primadona opera Batak yang
selalu dipuja dan dinanti-nati penonton. Setelah opera milik ayahnya bubar, ia
hijrah mencari peruntungan ke Jakarta. Di kota metropolitan itu,
jalan hidup Rosmala begitu miris. Dia
hanya dapat tampil sesekali di kafe-kafe kelas kambing atau manggung di pesta pernikahan orang
Batak. Selebihnya, Rosmala hanya bisa
mengamen di tempat umum dan di bus kota
(Thompson Hs., 15 Juli 2008).
Menurut hasil pengamatan
Thompson Hs., sutradara teater dan Direktur Pusat Latihan Opera Batak (PLOt)
Pematang Siantar, opera Batak kurang
berkembang juga disebabkan oleh adanya stigma pada masyarakat terhadap gaya
hidup para pemain yang dianggap bebas, selain karena rendahnya dukungan pemerintah
daerah. Pernyataan tersebut diakui oleh Zulkaidah Harahap, generasi penerus
Opera Serindo. Ia masih ingat stigma
yang diberikan masyarakat mengenai citra para pemain opera Batak sebagai
”sampah masyarakat” hanya karena para pemain laki-laki dan perempuan bermain
bersama (Jurnal Nasional Minggu, 8 Apr 2012).
Citra yang kurang sedap terhadap para pemain opera Batak masa silam itu tampaknya tidak jauh berbeda dengan kemasygulan masyarakat Malaysia terhadap para pemain makyong. Menurut hasil pengamataan Anak Waris, nilai estetika tradisional makyong mulai luntur akibat komersialiasi pertunjukan. Setiap selesai pertunjukan, acara berikut langsung diteruskan dengan joget bersama antara penonton dan penari makyong. Musik pengiring pun sudah berganti dengan biola dan akordion. Akibatnya, di mata masyarakat, nilai moral penari juga mulai merosot. Bahkan, penari makyong merasa bangga jika mereka disenangi penonton dan merasa statusnya “terangkat” jika memiliki banyak mantan suami. Keprihatinan inilah yang menyebabkan citra penari makyong makin merosot, sekaligus merusak citra seni tradisional itu (Waris, 6 Desember 2009).
Keprihatinan bersama ini--masyarakat Indonesia dan
Malaysia--tentu menjadi tantangan baru dan pelik bagi generasi muda. Untuk itu,
berbagai pihak harus turun tangan untuk
merebut kembali nilai-nilai
kehidupan yang diusung oleh teater tradi-sional, termasuk opera Batak,
lalu mengemasnya menjadi sesuatu yang
mengandung nilai ekonomi, sekaligus
mengangkat citra para pemain sebagai pribadi yang memi-liki dedikasi terpuji.
Pasang surut kehidupan opera
Batak tampak jelas ketika Bonar
Gultom mementaskan ”Arga do Bona ni
Pinasa”[3]) pada
1--2 September 2012 di Jakarta
Convention Center. Cerita ini berisikan petualangan seorang pemuda Batak ke
banyak negara, yang akhirnya kembali ke negerinya, kampung halamannya. Ia menyadari
bahwa kebudayaan leluhurnya serta keindahan alam di seputar Danau Toba tidak ditemukannya di
negeri orang.
Opera
ini pertama kali dimainkan pada 1969.
Ketika itu semua orang memuji keberhasilan Bonar Gultom sehingga
Pemerinah secara khusus mengundangnya untuk menggelarnya kembali dalam acara penyambutan tamu kehormatan: Pangeran Bernard dari
Belanda pada tahun 1972, Raja dan Ratu Bowdewijn dari (Belgia, 1974), Menteri
Lee Kwan Yeuw (Singapura, 1975), serta Perdana Menteri Tun Abdul Razak
(Malaysia, 1976).
Pergelaran ”Arga do Bona ni Pinasa” pada
2003 ditampilkan kembali pada Pesta Rakyat Danau Toba di Parapat. Pada waktu
itu Bonar Gultom dan Hisar Gurning mendapat penghargaan dari MURI (Musium
Republik Indonesia) sebagai pencipta/sutradara dan pemrakarsa/sponsor, yang
memecahkan rekor sebagai pergelaran
dengan pemain terbanyak, yaitu 232
orang. Pergekaran pada 2012 ini adalah kali yang keempat
dengan pemain pendukung sebanyak 150 orang. Sayang, pertunjukan ini tidak dapat disaksikan oleh
kalangan bawah karena harga tiketnya tergolong mahal (www.argadobonanipinasa.com dan Nadeak, 2012: 99)
Seni Pertunjukan dan Industri
Kreatif
Semua
bidang kehidupan atau sektor kebudayaan memerlukan manusia kreatif yang mampu memajukan
peradaban sesuai dengan bidangnya. Dalam
kaitan itu, setiap penemuan baru menuntut adanya peranan imajinasi. Hal itu
berarti setiap orang dalam profesi apa pun seyogianya menjadi manusia kreatif
untuk menciptakan alternatif baru bagi kemaslahatan kehidupan. Baru berarti inovatif, belum ada
sebelumnya, menarik, aneh, atau memberikan kejutan. Berguna berarti lebih bagus, lebih praktis, lebih mudah, atau lebih
cepat untuk mengatasi setiap persoalan.
Dalam dunia bisnis dikenal hukum bahwa suatu produk makin lama akan makin kurang
peminatnya karena ada perubahan kebutuhan dan selera pasar serta munculnya
produk pesaing yang lebih baik. Perlu dipahami bahwa suatu produk memiliki masa
lahir, tumbuh, dewasa, tua, dan mati. Oleh karena itu, masyarakat pemilik seni tradisional dituntut selalu melakukan inovasi. Seni
tradisional itu sendiri dalam ke-nyataannya memang terus mengalami perubahan.
Perlu dipahami bahwa karya seni
tradisional yang dikenal pada saat ini adalah hasil inovasi atau perubahan dari
karya seni tradisional sebelumnya.
Sebagai kegiatan kreatif yang bersifat nonbendawi (intengible), seni pertunjukan
berhubungan dengan usaha pengembangan
konten dan produksi pertunjukan itu
sendiri seperti tarian tradisional,
tarian kontemporer, drama, musik tradisional, musik teater, opera, termasuk tur
musik etnik, desain dan pembuatan busana pertunjukan, tata panggung, dan tata
pencahayaan.
Karena
tuntutan ekonomi, komersialisasi seni tradisional telah menjadi suatu realitas di dalam
kehidupan masyarakat. Penanganan komersialisasi seni tradisional dengan baik berpotensi membawa dampak
positif, baik bagi seni tradisional yang menjadi komoditas itu sendiri
maupun para pihak yang terkait, seperti
halnya tari klasik, musik klasik, dan opera yang dikelola dan dibisniskan
secara baik di negara maju. Namun, tidak
terpungkiri adanya realitas bahwa
komersialisasi seni tradisional juga berakibat pada pendangkalan dan pelecehan
terhadap seni tradisional tersebut.
Ekonomi kreatif merupakan
keseluruhan dari industri kreatif atau
seluruh industri yang tercakup dalam kelompok industri kreatif. Istilah industri kreatif ini mulai terangkat ke permukaan pada 1997
ketika Department of Culture, Media, and Sport (DCMS) United Kingdom mendirikan
Creative Industries Task Force. Definisi DCMS inilah yang menjadi acuan
definisi industri kreatif di Indonesia seperti dalam buku Rencana Pengembangan Ekonomi Kreatif Indonesia 2009—2015,
Kementerian Perdagangan Republik Indonesia. Dikatakan bahwa industri kreatif itu berasal dari pemanfaatan kreativitas,
keterampilan, dan bakat individu untuk menciptakan kesejahteraan, lapangan
kerja, dan nilai tambah ekonomi dengan
mengeksploitasi daya kreasi individu tersebut
Setelah konsep ekonomi kreatif
dan industri kreatif bergulir selama
tiga tahun di Indonesia, Pemerintah
menerbitkan Instruksi Presiden No. 6 Tahun 2009 tentang Pengembangan Ekonomi Kreatif dengan menunjuk organisasi kementerian/lembaga, baik sebagai koordinator
maupun sebagai instansi pendukung. Para
gubernur dan bupati/wali kota di seluruh wilayah Indonesia
wajib mendukung kebijakan pemerintah tersebut. Dalam instruksi presiden itu ada empat belas subsektor industri kreatif yang
akan dan perlu dikembangakan, yakni periklanan; arsitektur; pasar barang
seni; kerajinan; desain; fesyen; video, film dan fotografi; permainan
interaktif; musik; seni pertunjukan;
penerbitan dan percetakan; layanan komputer dan peranti lunak; televisi dan
radio; serta riset dan pengembangan (Kementerian Pariwisata dan Eknomi
Kreatif, 2008; blogdetik.com, 4
Juni 2010)
Dr. Mari
Elka Pangestu, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, mengakui masih ada
kelemahan dalam upaya pengembangan industri kreatif di Indonesia, antara lain sumber daya manusia dan teknologi, skema
pengembangan industri kreatif, pendanaan, akses pelaku industri ke pasar, dan
masalah kelembagaan. Untuk itu,
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif berjanji akan melakukan terobosan
penanggulangan pengembangan industri kreatif tersebut (kompas.com, 30 Juli 2012).
Dalam
kaitan dengan seni pertunjukan tradisional, salah satu dari empat belas subsektor industri kreatif yang dikemukakan di
atas, sebagai aset budaya bangsa, opera Batak perlu direvitalisasi sedemikian
rupa secara profesional.
Opera Batak dan Langkah Revitalisai
Seiring dengan perjalanan waktu, opera Batak sekarang ini dapat dikatakan sudah “mati suri”. Tidak ada lagi hiburan berupa seni pertunjukan di
tingkat desa. Untuk mengobati kerinduan itu, beberapa “seniman amatir” telah
mencoba memperkenalkannya kembali di pakter (lepau) tuak atau dalam bentuk
kaset rekaman (tape recorder) secara
parsial. Cukup
menarik memang, tetapi sayang, corak busana, mimik pemain, dan tortor
(tarian) sebagaimana diperagakan dalam
opera Batak hanya bermain dalam benak khalayak pendengar. Selanjutnya, pada
masa sekarang ini segmen atau elemen opera yang dimaksud sudah mulai
ditayangkan di media televisi dan internet
seperti media youtube.
Patut dicatat, sejalan dengan otonomi daerah, pada 2002 Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) Jakarta,
yang diketuai oleh Dr. Pundentia,
bersama dengan Pusat Latihan Opera Batak (PLOt) di bawah pimpinan
Thompson Hs. mencoba menghidupkan kembali opera Batak. PLOt berperan sebagai fasilitator untuk
generasi muda dan para pemain. Langkah awal yang dilakukan adalah kegiatan pelatihan dan produksi dengan metode
partisipatif.
Kegiatan berikutnya berupa simulasi dan pertunjukan. Hasilnya lumayan
menggembirakan. Pergelaran dilakukan di beberapa tempat, termasuk pada Seminar
Asosiasi Tradisi Lisan di Hotel Indonesia (Jakarta) dan pada acara Promosi Tapanuli Utara di Taman Mini
Indonesia Indah (TMII) pada 2003. Pada 2005 melalui program percontohan ini lahirlah sebuah grup
kesenian yang diberi nama Grup Opera Silindung (www.infoakademika.
com/prof-mauly-purba).
Kehadiran
opera Batak masa kini tentu saja tidak seperti opera yang muncul di
Eropa, tetapi mesti disesuakan dengan
tuntutan zaman, terutama bentuk kemasannya. Aspek lain yang perlu dipertahankan adalah ciri khasnya, yakni
tetap menyuarakan napas kehidupannya sebagai reperesentasi
budaya Batak, misalnya kekayaan bahasa,
keragaman musik tradisional, gambaran keindahan alam sebagai latar panggung,
dan elemen tradisional lainnya seperti ulos
(busana) Batak, tortor, sebagai
produk sebuah peradaban masa silam.
Opera Batak yang masih berwarna tradisional—sayang,
bagi sebagian kaum muda dianggap kuno--menjadi suatu tantangan sosial kultural
yang menuntut kepedulian para pemangku
kepentingan (stakeholders) (Thompson, 4 JunI 2012). Agaknya
persoalan yang dihadapi oleh opera Batak tidak terlalu jauh perbedaannya dengan
teater tradisional di Malaysia seperti teater
bangsawan dan makyong. Perihal hal itu, Anak Waris (2009) menuturkan keprihatinan,
sekaligus harapannya terhadap kehidupan teater tradisional di negeri jiran
tersebut.
Boleh dikatakan penonton yang
hadir rata-ratanya adalah dari muka-muka yang sama sahaja. Persoalannya, sejauh
manakah teater Melayu boleh bertahan dan berkembang? Sokongan harus diberikan
dengan menghadirkan diri menonton teater Melayu. Samada persembahan teater itu
percuma ataupun berbayar, apa yang pasti ialah kehadiran penonton teater Melayu
amat dialu-alukan agar industri teater Melayu boleh bertahan, berkembang terus
dan mendapat tempat dihati masyarakat Melayu khususnya.
Program revitalisasi opera Batak 2005--2012
mendapat dukungan, setidaknya dari tiga
pemerintah babupaten, yaitu Tapanuli
Utara, Tobasa, dan Simalungun. Demikian juga dukungan dari perseorangan yang
menaruh perhatian pada nasib opera ini mulai berdatangan, seperti penyair Sitor
Situmorang, Lena Simanjuntak, Barbara Brouwer,
Jhon Robert Simanjuntak, Grace Siregar, dan Indra Nababan.
Menurut Pudentia,
dengan adanya revitalisasi opera Batak, berbagai pihak sudah memberikan
bantuan dan kemudahan lainnya, baik Gubernur Sumatra Utara, dewan perwakilan
rakyat, maupun lembaga asing seperti
Japan Foundation dan Ford Foundation, termasuk
media massa yang menulis artikel tentang gerakan revitalisasi opera
Batak itu (Jurnal Nasional Minggu,
8 Apr 2012). Revitalisasi yang dilakukan berupa
pelatihan menulis cerita, manajemen, artistik, konsep dasar teater, dan pengu-asaan bahasa lokal Batak Toba, Batak
Karo, Batak Simalungun, Batak Pakpak.
Demikian juga para praktisi teater tradisi lisan dan akademisi juga turun tangan untuk
melakukan penelitian berupa tinjauan
musikal, komparasi pertunjukan, arsitektur, penciptaan karya, sejarah, sosial,
dan dokumenter (oase.kompas.com/
read/2012/04/28)
Dalam rangka Peringatan 10 Tahun Revitalisasi Opera Batak, PLOt
memberikan penghargaan berupa gelar khusus kepada sejumlah tokoh yang
berkontribusi dalam revitalisasi opera Batak, seperi Zulkaidah Harahap (Nai Angkola Soripada Tuan Boru
Parungutungung NOB), Alister Nainggolan (Ompu Data Panggual Tuan Banner NOB), Dr. R.E. Nainggolan, M.M.
(Ompu Pande Paniroi Tuan Panggomgomi NOB),
Mateus Suwarsono, S.Sn. (Ompu Datu
Pinasindar Tuan Warso NOB), Prof. Dr. Robert Sibarani, M.S. (Ompu Pande Pangihutan Tuan Paniroi NOB)
Prof. Drs. Mauli Purba, M.A., Ph.D. (Ompu
Pande Panggual Tuan Naboro NOB), Dr. Pudentia M.P.S.S. (Nanjaoa Soripada Tuan Boru Panuturi NOB) (www.gobatak.com/
penyerahan-gelar-penghargaan-o;
Thompson, 4 Juni 2012).
Simpulan
dan Saran
Setelah memperhatikan uraian di atas, ada beberapa hal yang perlu
disimpulkan dan beberapa sumbang saran untuk menghidupkan kembali dan/atau
melahirkan opera Batak di dalam memasuki era industri keratif
sekarang ini. Untuk itu, gerakan revitalisasi yang lebih intensif dan
proporsional mesti dilanjutkan, baik
dalam upaya pengembangannya maupun
pembinaan sumber daya manusia yang bersinggungan dengan seni pertunjukan
tersebut. Berikut ini beberapa pemikiran yang perlu dikaji sebagai bahan
pertimbangan.
a. Pengembangan Sumber Daya
Manusia
Instruksi Presiden No. 6 Tahun 2009 sedang dan akan
ditindaklanjuti oleh Kementerian
Pariwisata dan Ekonomi Kreatif melalui program
pengembangan ekonomi/industri kreatif produk seni pertunjukan tradisional
di berbagai lembaga/pusat kebudayaan di daerah. Hal itu berarti bahwa pelatihan yang digagas oleh Asosiasi Tradisi Lisan
bersama dengan Pusat Latihan Opera Batak (PLOt)
pada 2002 mestinya didukung
(lebih ditingkatkan) oleh pemerintah daerah,
termasuk para pemangku kepentingan di bidang seni dan budaya setempat.
Program pelatihan yang dimaksud hendaknya juga ditujukan, baik kepada para
pemain lakon, pemain musik, sutradara, pengelola opera, penata busana, maupun
pihak yang berkaitan dengan penyelenggaraan
opera Batak. Dengan demikian, diharapkan bisa dihidupkan kembali
dan/atau dilahirkan sejumlah opera Batak baru, seperti produk perdananya, Grup Opera Silindung.
b.
Pengembangan Secara Parsial
Jika dicermati secara saksama, opera Batak adalah
sebuah struktur yang terdiri atas sejumlah segmen atau elemen yang saling
berhubungan. Elemen inti berupa lakon cerita, lagu atau nyanyian, tarian, dan
pemain. Elemen pendukung, antara lain
(1) musik pengiring yang disebut gondang sabangunan dan uning-uningan,
yang terdiri atas serunai, kecapi,
seruling (suling), garantung, odap, dan hesek; (2) pencak silat dan lawakan (humor); (3) latar layar berupa lukisan alam, panggung berukir arsitektur (gorga) Batak, dan ulos (busana khas Batak). Tentu saja masih ada unsur pendukung
lainnya yang tidak kalah penting seperti manajemen dan penaja (sponsor).
Setiap elemen atau segmen tertentu dapat
ditampilkan secara terpisah sehingga menjadi subindustri kreatif yang bernilai
ekonomi. Sebagai contoh, segmen lawakan, lagu/nyanyian, petikan kecapi dan/atau
tiupan seruling, baik secara sendiri-sendiri maupun gabungan, dapat dijadikan rekaman kaset audio atau dalam
bentuk audio-visual (CD/VCD) dan multimedia lainnya. Dengan kata lain, hasil
industri kreatif dalam bentuk kaset seruling, kaset lawakan, kaset lagu, atau
kaset kecapi opera Batak, dapat dipasarkan sebagai barang dagangan yang
menghasilkan uang.
Langkah berikutnya dapat juga dibentuk kelompok
musik semisal grup suling, grup lawak, grup kecapi, grup penyayi, grup penari,
atau grup pemain garantung[4]),
yang bisa ditampilkan dalam perhelatan adat, pernikahan, perayaan, kafe,
atau pertemuan lainnya.
Untuk merekrut para pemain yang berkualitas
perlu diselenggarakan acara lomba atau
festival mulai dari tingkat desa hingga ke kota. Peserta terbaik dapat diutus
untuk mengikuti festival/lomba seni seperti Festival
Lomba Sesni Siswa Tingkat Nasional. yang dilakukan setiap tahun oleh Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan bagi siswa
sekolah dasar (SD), menengah (SMP), dan atas (SMA.
Kegiatan yang sama juga
dilakukan oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa pada setiap bulan
Oktober dalam kegiatan Bulan Bahasa dan
Sastra. Hingga sekarang program pembinaan
dan peningkatan mutu seni pertunjukan tradisional di berbagai daerah di
Indonesia masih berlanjut dengan
melibatkan para seniman terkemuka, baik dari Pusat maupun dari daerah
setempat. Kegiatan budaya yang tidak
kalah penting adalah Pesta Danau Toba[5]) yang
diselenggarakan setiap tahun di Sumatra Utara juga dapat dimanfaatkan sebagai
wadah pergelaran sejumlah produk budaya Batak, termasuk pentas opera Batak.
c. Gaya Lokalis dan Sumber Cerita
Dalam kaitan dengan
revitalisasi opera Batak, agar generasi muda yang tidak atau belum menguasai
bahasa daerahnya, tidak ada salahnya
digunakan juga bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar, tetapi dengan
gaya lokalis: logat, mimik, dan bahasa tubuh khas Batak. Selain penonton merasa terhibur, mereka juga dapat belajar dan memahami nilai-nilai
kehidupan budaya leluhurnya.
Lakon cerita yang disajikan hendaknya disesuaikan dengan tempat dan masyarakat
penikmatnya. Lakon cerita yang disajikan di
daerah asal yang agraris, cerita rakyat atau mitologi dapat diberikan porsi
yang lebih dominan. Bagi masyarakat yang tinggal di kota-kota besar, ceritanya
dapat berupa gambaran kehidupan
masyarakat Batak di perantauan, tetapi
tetap bernuansa kedaerahan.
b. Pemasaran dan Peluang
Di dalam mempromosikan opera Batak, termasuk
subindustri kreatif yang dimunculkannya, menuntut kejelian pengelola manajemen
pemasaran untuk melihat kebutuhan pasar.
Media massa cetak (surat kabar, majalah) dan media elektronik (televisi,
radio, dan internet seperti milis, facebook,
blog, dan portal lainnya) dapat dimanfaatkan sebagai sarana promosi atau
iklan. Di kota-kota besar, misalnya, sudah ada kelaziman mendatangkan grup
penyanyi atau kelompok remaja putri untuk tampil menyanyi dan menari pada acara
perhelatan adat Batak. Untuk itu, mereka
mendapat bayaran tanda ucapan terima kasih.
Sebagaimana karya seni lainnya, pemasaran opera
Batak perlu dikemas dan digabung dengan paket lainnya, misalnya paket
transportasi, akomodasi, dan pariwisata alam. Desain paket pariwisata budaya
dipromosikan dan dijual kepada para wisatawan. Paket akomodasi berhubungan
dengan pengusaha penginapan. Selanjutnya, pelaksanaan penyampaian paket
pariwisata budaya melibatkan agen
pariwisata dan para seniman seni tradisional. Hal ini berarti, jika karya seni opera Batak dikelola secara kreatif dan profesional, akan
mengandung nilai ekonomi yang menjanjikan bagi banyak pihak.
Daftar Pustaka
Anoegrajekti, Novi. 2012. “Sastra Lokal dan Industri
Kreatif: Revitalisasi Sastra dan Budaya Using Berbasis Lokalitas”. Jakarta:
Panitia Seminar Bahasa dan Sastra, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa,
Kemdikbud.
Alisjabana, S. Takdi. Editor. “Kreativitas Dilihat dari Keperluan
Sekarang dan Masa yang akan Datang”.
Dalam Alisjabana, S. Takdir. Editor. 1983. Kreativitas. Jakarta: Dian Rakyat.
Anggita, Maini, “Mak Yong Seni Tradisional yang
Nyaris Punah”. pasiana 18 November 2011.
Barker, Chris. 2000. Cultural Studies: Theory and
Practice.London: Sage Publications.
Carle, Rainer. 1990. Opera Batak: Das Wandertheater der
Toba-Batak in Nord-Sumatra, Band 15/II. Berlin, Hamburg: Dietrich Reimer Verlag,
Dalihan Na Tolu. l977. "Seni Ragam
Indonesia: Profil Sebuah Opera Batak yang Semakin Sepi", 2 (I): 14‑‑16.
Finnegan,
Ruth. 1979. Oral Poetry. London:
Cambridge: University Press.
Hotmanlumbangaol. 2008. “Wawancara Bonar Gultom”, Oktober 13, 2008
Instruksi Presiden RI No. 6
Tahun 2009 tentang Pengembangan Ekonomi Kreatif.
Jurnal Nasional Minggu, 8 Apr 2012. “Bangkitnya Opera Batak”.
Kayam, Umar. 1981. Seni,
Tradisi, Masyarakat. Jakarta: Sinar Harapan.
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. 2008. “Pemberdayaan Masyarakat Seni Tradisi dalam Industri Pariwisata Budaya”. www.budpar.go.id. (diunduh 2 Sep.2012)
-----. 2008a. “Melirik Ekonomi Kreatif di Indonesia: Berbagai Sudut Pandang tentang Ekonomi Kreatif dan Industri Kreatif”,
Lubis, Mochtar. 1983.
“Kreativitas Perubahan dan Transformasi Budaya, Masa Sekarang dan Masa yang
akan Datang”. Dalam Alisjabana, S.
Takdir. Editor. 1983. Kreativitas. Jakarta: Dian Rakyat.
Manik, 2010. “Opera Batak adalah Teater
Hidup” , 17 Juli 2010.
Nadeak, Carry, “Menghidupkan Kenangan Gorga”, Gatra, No. 44/XVIII, 2 Sep 2012.
Nurhadi, Tuti Heraty. 1983.
“Kreativitas, Suatu Tinjauan Filsafat”. Dalam Alisjabana, S. Takdir. Editor.
1983. Kreativitas. Jakarta: Dian
Rakyat.
Panjaitan, Isran. 2009. ”Tilhang Gultom, Sang Maestro”.
Isranpanjaitan. wordpress.com, 23 November 2009.
Permas, A., et.al. 2003. Manajemen Organisasi Seni
Pertunjukan Jakarta: Pustaka Binaman Pressindo.
Pudentia, M.P.S.S. l999. “Keindahan, Keragaman Budaya Nusantara:
Belajar dari Aceh, Ambon dan Timor Timur”.
Semi, M. Atar. 1984. Anatomi Sastra. Padang: FPBS IKIP Padang.
Thompson Hs. ”Pergulatan Opera (Gaya) Batak Menuju
Reinkarnasi.” arieweb.net, 5 Januari 2009
-----.. 2008. “Rosmala Sitohang: Dari Opera Batak ke Cafe Bandung”, blog. sitohanguntuktapanuli, 15 Juli 2008
Waris, Anak. “Resam Melayu:Masa Depan Teater
Melayu”, 7 Desember 2009.
-----. “Mak Yong – Seni Teater
Tradisional Melayu Lama”, 6 Desember 2009
Winanda, Enda Alfaro. “Makna
dan Peranan Teater Tradisional”. kompasiana,
22 Oktober 2011.
www. blogdetik.com “Ekonomi Kreatif: Definisi Ekonomi Kreatif”, 4 Juni 2010
www.infoakademika. com/prof-mauly-purba/
www.kompas.com/kompas-cetak/ 0712/18/ Sosok/4075370.htm
www.kompas.com. “Era Ekonomi Kreatif”. 3 November 2011
[1])Tumba
biasanya dimainkan oleh serombongan muda‑mudi. Semula tujuan tumba hanya
merupakan hiburan di kalangan muda‑mudi
yang dibawakan sambil bersenda gurau pada malam terang bulan di alam
terbuka. Acara ini
acapkali menjadi ajang bagi
kaum muda untuk berkenalan atau mencari
jodoh.
[2])Dalam rangka Bulan Bahasa dan
Sastra 2011, Rosmala Sitohang pernah diundang oleh Badan Pengembangan dan
Pembinaan Bahasa untuk menampilkan seni
tradisio-nal Batak. Kala itu ia memperagakan
tortor (tarian), lagu daerah,
dan pencak silat serta memainkan sejumlah alat musik tradisional Batak sebagaimana
yang pernah dibawakannya pada Opera Batak Dos Roha pada 1960--1970-an di Sumatra
Utara.
[3])Ketika berlangsungnya opera klosal ”Arga do Bona ni Pinasa” (Betapa Indahnya Kampung Halaman) ini, generasi muda, termasuk orang tua yang sudah lama tinggal di Jakarta
(perantauan), tidak dapat lagi memahami sepenuh bahasa Batak yang digunakan
oleh pemain, demikian juga makna tortor dan ulos Batak, serta senandung
yang di-tampilkan, bahkan sebagian di antara mereka ada yang
meninggalkan tempat pertunjukan sebelum usai.
[4])Obby A.R.
Wiramihardja, musikus angklung dari
Angklung Music Sociaty Bandung, pernah mengusulkan kepada penulis (saya)
untuk menggagas festival garantung,
alat musik yang terdiri atas susunan bilah-bilah kayu. Menurut beliau,
sebagaimana angklung, alat musik
tradisional tersebut layak diusulkan
menjadi warisan dunia.
[5])Pesta Danau Toba merupakan agenda
tahunan Pemerintah Provinsi Sumatra Utara serta Kementerian Pariwisata dan
Prekonomian Kreatif. Pesta budaya
ini menampilkan beberapa acara, seperti
pentas seni budaya, festival tari daerah, festival suling, dan opera Batak. Selain
dapat meningkatkan kunjungan wisatawan,
Pesta Danau Toba ini juga dapat
meningkatkan ekonomi rakyat di sekitar Danau Toba.
Sumber:
http://spe.dbp.gov.my
No comments:
Post a Comment