Sungai Barumun: ‘Jalan Sutra’ Via Daerah Candi Menuju Sumber Ekonomi di Tapanuli Bagian Selatan
*Dikompilasi dari berbagai sumber
Sungai
Barumum merupakan jalur transportasi melalui sungai yang terpenting di
masa lalu dari pantai timur Sumatra di Labuhan Bilik, Kabupaten Labuhan
Batu Selatan ke daerah pedalaman di Tapanuli Bagian Selatan (peta Sungai Barumun). Anak
Sungai Barumun yang pertama di daerah hilir Sungai Barumun adalah
Sungai Bilah. Anak-anak Sungai Barumun di daerah hulu adalah Sungai
Kanan (bercabang di Langgapayung), Sungai Batang Pane (bercabang di
Binanga), dan Sungai Sihapas (bercabang di Barumen Tengah) dan Sungai
Aek Sangkilon. Keempat anak Sungai Barumun di hulu ini bersumber dari
daerah pegunungan sepanjang Bukit Barisan.
- Hulu Sungai Kanan yang melewati Kota Langgapayung di Kabupaten Labuhan Batu Selatan berada di daerah Gunung Tampulon Anjing di Kecamatan Simangambat Kabupaten Padang Lawas Utara.
- Hulu Sungai Sihapas yang melewati Kecamatan Sosopan, Kabupaten Padang Lawas dan Kota Aek Godang di Kecamatan Hulu Sihapas, Kabupaten Padang Lawas Utara berada di daerah Gunung Sibual Buali di Kecamatan Sipirok Kabupaten Tapanuli Selatan.
- Hulu Sungai Batang Pane yang melewati Kota Gunung Tua Kecamatan Batang Onang Kabupaten Padang Lawas Utara berada di daerah Gunung Tampulon Anjing di Kecamatan Aek Bilah Kabupaten Tapanuli Selatan. Anak Sungai Batang Pane adalah Sungai Aek Sirumambe yang bercabang di Desa Portibu Julu, Kecamatan Portibi, Kabupaten Padang Lawas Utara.
Hulu
Sungai Barumun sendiri berada di daerah Siraisan di Kecamatan Ulu
Barumun yang berada di daerah bukit yang memisahkan Kabupaten Padang
Lawas dan Kabupaten Mandailing Natal. Dengan mengikuti garis Sungai
Barumun via anak sungai Aek Sihapas yang hulunya berada di Gunung Sibual
Buali, maka DAS Sungai Barumun menjadi sungai terpanjang di Sumatra
Utara. Menariknya, Sungai Barumun dan anak-anak sungainya di hulu
mencakup semua kabupaten di wilayah Tapanuli Bagian Selatan. Sedangkan
di hilir, Sungai Barumun melewati Kabupaten Labuhan Batu Selatan.
Jika
di zaman dulu, di hilir Sungai Barumun terdapat pelabuhan terkenal
yakni Pelabuhan Panai. Nama Panai dikaitkan dengan nama anak Sungai
Barumun yakni Sungai Batang Pane. Di hulu Sungai Barumun ini terdapat
sejumlah candi peninggalan Hindu/Budha yang meliputi DAS Barumun dan
anak-anak sungainya yakni DAS Batang Pane, DAS Aek Sirumambe, dan DAS
Aek Sangkilon. Bangunan-bangunan candi di sepanjang sungai-sungai
tersebut sengaja dibangun pada jalur transportasi penting untuk
perdagangan. Besar kemungkinan Sungai Barumun pada masa lampau merupakan
jalur perdagangan lokal yang cukup ramai. Jalur perdagangan ini
menghubungkan daerah pesisir timur Sumatra Utara dan daerah pedalaman di
wilayah Tapanuli Bagian Selatan.
Di
dataran yang panas dan kering, yang hanya ditumbuhi ilalang dan
beberapa pohon, di sekitar Batang Pane, Sungai Sirumambe, dan Sungai
Barumun yang membelah dataran Padang Lawas, tampak pemandangan runtuhan
berbagai biaro yang menjulang tinggi. Daerah luas yang sunyi dengan
runtuhan biaronya, dahulu kala pernah menjadi pusat agama dalam Kerajaan
Panai. Sebuah kerajaan yang kurang dikenal dalam percaturan sejarah
kuno Indonesia.
Sebaran Candi di Daerah Aliran Sungai Barumun
Persebaran
candi di daerah sepanjang tepian sungai Barumun, terutama dimulai dari
Situs Si Pamutung hingga ke muara sungai Barumun. Candi-candi ini dapat
dikunjungi melalui jalan darat kecuali untuk beberapa buah situs yang
harus menyeberangi sungai, seperti Bara dan Si Pamutung. Peninggalan
candi yang terpenting di daerah aliran sungai (DAS) Sungai Barumun
adalah kelompok Biaro Si Pamutung. Kelompok bangunan ini terletak di
daerah pertemuan Sungai Barumun dan Batang Pane.
Tiga
kelompok biaro yang mempunyai sifat buddha tantrik ialah kelompok Biaro
Si Pamutung, Biaro Si Joreng Belangah, dan Biaro Si Sangkilon
(Schnitger 1937: 23-25). Pada Biaro Si Pamutung banyak ditemukan arca
maupun hiasan bangunan (makara) yang merupakan indikator Wajrayāna. Pada
halaman biaro ditemukan sebuah arca buaya yang digambarkan dengan wajah
yang bengis. Selain itu ditemukan juga dua buah arca raksasi dalam
sikap ańjalimudrā di mana dari mulutnya keluar dua pasang taring. Kedua
bola matanya digambarkan melotot. Di Si Joreng Belangah ditemukan
prasasti yang menggam¬bar¬kan upacara tantris yang bunyinya:
Wanwawanwanāgī
Bukāngrhūgr
Hūcitrasamasyasā
Tūnhahāhahā
Hūm
Hūhūhehai
Hohauhaha
Omāhhūm
Menurut
Stutterheim, bunyi "ha" dan sebagainya adalah bunyi tertawa dan bunyi
"hu" adalah bunyi dengusan suara banteng. Bunyi-bunyi ini biasa
diucapkan para pemuja pada waktu upacara Tantrik. Selanjutnya, menurut
Stutterheim penanggalan prasasti ini dapat ditempatkan dalam abad ke-13
Masehi atau pertengahan abad ke-14 Masehi. Di samping itu ditemukan
suatu bukti bentuk tantrisme.
Candi Si Pamutung
Candi
Sipamutung berada di Desa Siparau, Kecamatan Barumun Tengah, Kabupaten
Padanglawas. Lokasi candi ini berjarak sekitar 40 Km dari ibukota
Kabupaten Padanglawas, Sibuhuan. Menuju lokasi candi, jalan aspal hanya
sampai di Desa Binanga dan melewati jalan desa sepanjang tiga km.
Kemudian meniti jembatan gantung yang berada di atas sungai Barumun.
Komplek candi berjarak 250 meter dari pinggir aliran Sungai Barumun.
Beberapa
kalangan menyebut Candi Sipamutung merupakan satu-satunya candi yang
didirikan Ummat Budha dan paling megah di antara candi yang terdapat di
Kab. Padang Lawas dan Padang Lawas Utara yang umumnya didirikan umad
Hindu. Bentuk dan ukurannya terdiri dari sebuah biara induk menghadap
ke timur dengan denah bujur sangkar berukuran 11 X 11 meter, tinggi 13
meter. terdiri dari bagian kaki, badan, dan atap. Sedangkan di kedua
sisinya terdapat 6 biaro yang lebih kecil, pada bagian bawahnya tersusun
16 buah stupa yang lebih kecil. Lima buah Biaro dari bata dan sebuah
dari batu andesit. Biaro-biaro yang terbuat dari bata adalah Biaro
perwara di sebelah timur candi induk berbentuk mandapa berdenah segi
empat berukuran 10,25 X 9,9 meter, tinggi 1,15 meter. Kompleks candi ini
dikelilingi tembok berukuran 74 x 74 meter dengan pintu masuk sejenis
gapura.
Gambar-1: Candi Sipamutung
Candi Tandihat
Di daerah Joreng Belangah terdapat dua situs yakni Tandihat-I dan Tandihat-II.
Tandihat-I
Gambar-2: Candi Tandihat-I
Tandihat-II
Ekskavasi
yang dilakukan tahun 1994 terhadap runtuhan bangunan Tandihat-I dan
berhasil menampakkan bentuk dan ukuran denah bangunan Tandihat-II.
Bangunan ini menghadap ke arah timur dengan tangga naiknya dihias dengan
sepasang makara. Sebuah arca singa yang dibuat dari batupasir
(sandstone) ditemukan di antara runtuhan bangunan.
Candi Aek Tunjang
Biaro
Aek Tunjang yang masih tersisa sekarang hanya tinggal gundukan bata
setinggi 3 meter, panjang 5 meter dan lebar 4 meter. Biaro ini berada di
belakang rumah penduduk dan hingga saat ini belum dibebaskan tanahnya
oleh instansi yang berwenang. Lokasi biaro ini tepat berada di tanah
milik empat orang warga.
Candi Lainnya: Pordak Dolok, Candi Manggis dan Candi Paya
Sebaran Candi di Daerah Hulu Sungai Batang Pane
Peninggalan
candi yang berupa kompleks biaro di DAS Sungai Batang Pane antara lain
ditemukan di Situs Gunung Tua, Si Topayan, Aek Hayuara, Haloban,
Rondaman, Tanjung Bangun, Bara, Pulo, Bahal 1, Bahal 2, dan Bahal 3.
Kompleks Biaro ini letaknya tidak jauh dari tepian sungai dengan jarak
sekitar 500 meter.
Candi Bahal
Lokasi
candi Bahal berada di Desa Portibi, Kabupaten Padang Lawas Utara. Di
Desa Bahal, Kecamatan Padang Botak, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera
Utara, terdapat Candi Bahal. candi Hindu. Kompleks Candi Bahal terdiri
dari tiga buah candi, yang masing-masing terpisah dengan jarak sekitar
500 meter. Candi Bahal lokasinya berada di tengah persawahan yang sangat
luas. Penduduk setempat sering menyebut kompleks Candi Bahal dengan
nama Candi Padang Lawas atau 'candi di padang Iuas'. Nama lain kompleks
Candi Bahal adalah Candi Portibi. Keberadaan batu keras hanya digunakan
untuk membuat arca. Misalnya, di depan Candi Bahal-I terdapat sebuah
Arca Ganesha yang berbadan kurus dari batu. Sampai kini arca batu
tersebut masih utuh.
Bahal-I
Pemugaran Candi Bahal-I selesai 16 Desember 1997 dan diresmikan Gubernur Sumut Raja Inal Siregar.
Gambar-3: Candi Bahal-I
Bahal-II
Candi Bahal-II diresmikan 18 November 1995 oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan prof. Dr. Wardiman Djojo Negoro.
Gambar-4: Candi Bahal-II
Bahal-III
Candi Bahal-III dipugar sejak tahun 1996.
Gambar-5: Candi Bahal-III
Candi Sitopayan
Gambar-6: Candi Sitopayan
Candi Biaro Pulo
Beberapa kilometer dari Candi Bahal terdapat kompleks Candi Pulo atau Barumun.
Gambar-7: Candi Pulo
Candi Lainnya: Situs Gunung Tua, Candi Bara, Aek Haruaya, Tanjung Bangun, Haloban, dan Rondaman.
Sebaran Candi di Daerah Sungai Sirumambe
Survei
arkeologi yang dilakukan di daerah sekitar Sungai Sirumambe berhasil
menemui beberapa lokasi yang mengandung tinggalan budaya zaman lampau di
situs-situs Si Soldop, Aek Korsik, Aek Tolong Tonga, Lobu Dolok, Batu
Gana, Padang Bujur, Torna Tambang, dan Naga Saribu, Mangaledang.
Candi Batu Gana
Gambar-8: Candi Batu Gana
Candi Lainnya: Si Soldop, Aek Korsik, Aek Tolong Tonga, Lobu Dolok, Padang Bujur, Torna Tambang, Naga Saribu dan Mangaledang.
Sebaran Candi di hulu Sungai Barumun dan Sungai Sangkilon
Pengeran Bira/Makam Kramat Jiret Mertuah
Di
daerah pertemuan Sungai Barumun-Sungai Pane terdapat Makam Kramat Jiret
Mertuah, sebagai situs juga disebut Makam Pangeran Bira. Makam ini
terletak di Desa Pageran Bira Jae, Kecamatan Sosopan, Kabupaten Tapanuli
Selatan. Situs Makam Kramat Jiret terletak di tengah kebun kopi pada
sebidang tanah yang dibatasi dengan “pagar” dari batu kali. Pada jarak
sekitar 150 meter ke arah barat laut terdapat sungai Sorimangampu yang
mengalir dari barat daya ke timur laut. Sungai Sorimangampu ini airnya
sangat jernih dan tebingnya curam.
Di
situs ini terdapat dua buah makam kramat, penduduk setempat biasa
menyebut makam ‘suami’ dan makam ‘istri’. Kedua tokoh yang dimakamkan
merupakan penyebar agama Islam di daerah tersebut. Yang menarik pada
situs ini adalah makam kuno yang dibangun di atas bekas candi. Batu-batu
candi yang terdapat pada situs ini berupa batu andesit berbentuk umpak,
yoni, kemuncak candi atau kemuncak pagar langkan.
Candi Sangkilon
Di
Desa Sangkilon, Kecamatan Barumun, Kabupaten Padang Lawas terdapat
candi yang dikenal sebagai Biaro Si Sangkilon. Jarak lokasi dengan
ibukota kabupaten (Sibuhuan) sekitar 9 km. Runtuhan biaro Si Sangkilon
berupa beberapa gundukan tanah yang terletak di tengah areal persawahan.
Sekitar 20-30 meter menuju arah utara terbentang Sungai Sangkilon (anak
Sungai Barumun di daerah hulu).
Gambar-9: Candi Sangkilon
Pada
areal kompleks yang dibatasi tembok keliling terdapat empat buah
runtuhan bangunan, masing-masing sebuah bangunan induk dan tiga buah
bangunan yang lebih kecil. Kompleks biaro Si Sangkilon mempunyai tembok
pagar keliling yang dibuat dari bata. Runtuhan gerbang pintu masuk
halaman kompleks biaro yang masih tersisa terletak di sisi utara
menghadap ke arah Sungai Sangkilon. Bangunan Biaro Induk sudah tidak
utuh lagi, bagian bangunan yang masih tersisa adalah kaki dan tubuh,
sedangkan bagian atapnya sudah hilang. Bagian kaki bangunan tertimbun
runtuhan yang bercampur dengan tanah, berukuran 11 x 11 meter dan tinggi
3,1 meter. Tubuh bangunan yang masih tersisa hanya dua sisi, yaitu sisi
utara dan sisi barat. Masing-masing sisi berukuran lebar 2 meter dan
tinggi 2,6 meter.
Berdasarkan
temuan sebuah lempengan prasasti emas berukuran 5 x 14 cm dalam bilik
Biaro Induk Biaro Sangkilon diduga dibangun pada abad ke-14 Masehi.
Prasasti ini sekarang disimpan di Museum Nasional dengan nomor
inventaris 6146. Di ujung tangga naik biaro induk terdapat sepasang
hiasan makara yang keadaannya sudah rusak (bagian atas belalai sudah
patah). Sebagian badannya terbenam di tanah. Hiasan yang terdapat pada
makara berupa sulur-sulur daun. Di bagian mulut makara terdapat hiasan
makhluk raksasa.
Di
halaman kompleks biaro ini terdapat 3 gundukan yang mungkin merupakan
runtuhan bangunan. Gundukan-gundukan ini terletak di sebelah barat,
utara, dan barat laut Biaro Induk. Temuan lain yang terdapat di halaman
biaro berupa 2 buah arca singa, fragmen bangunan, dan lapik. Seluruhnya
dibuat dari batu andesit. Arca singa yang ditemukan bagian kepalanya
sudah hilang.
Keunikan Candi di Padang Lawas
Krom,
seorang peneliti Belanda menulis tentang Padanglawas pada tahun 1923.
Dalam tulisannya itu, ia menyebutkan bahwa peninggalan-peninggalan di
Padanglawas disebut "on Javaansch" yang berarti "gaya seni pahat
bangunan-bangunan di Padanglawas tidak mirip dengan gaya seni pada
bangunan-bangunan di Jawa". Dalam telaahnya ia melihat banyak persamaan
dengan pahatan di India Selatan atau Asia Tenggara daratan. Pada tahun
1930 Bosch menulis tentang Padanglawas dan mengajukan suatu teori bahwa
masyarakat pendukung biaro di Padanglawas adalah pemeluk agama Buddha
aliran Wajrayāna. Anggapannya ini didasarkan indikator artefak yang
ditemukannya berupa arca, relief yang menggambarkan wajah-wajah yang
menyeramkan dan prasasti singkat yang bertuliskan mantra-mantra aliran
Tantris.
Menurut
Schnitger biaro-biaro di Padanglawas dibangun bersamaan dengan
stupa-stupa di Muara Takus, yaitu pada sekitar abad ke-12 Masehi.
Pendapat ini disetujui oleh Suleiman, tetapi lebih lanjut ia menambahkan
bahwa biaro-biaro di Padanglawas dibangun pada abad ke-11-14 Masehi
(Suleiman 1985: 25). Pendapatnya ini didasarkan atas pembacaan dari
pertulisan-pertulisan singkat yang ditemukan di situs.
Setelah
sekian lama tidak diteliti, Situs Padanglawas kemudian diteliti kembali
pada tahun 1953 oleh tim kecil dari Dinas Purbakala di bawah pimpinan
Satyawati Suleiman. Hasil dari penelitiannya itu kemudian diterbitkan
dalam Majalah Amerta pada tahun 1954. Dalam tulisannya itu, Suleiman
menggunakan istilah "Hindu-Batak" untuk hasil budaya di Padanglawas,
karena ada istilah "Hindu-Jawa" untuk hasil budaya dari Jawa. Istilah
ini tidak disetujui oleh Damais. Ia lebih suka menyebut dengan istilah
"Sumatra Purbakala".
Kelompok-kelompok
bangunan di Padanglawas sebagian besar berlokasi dekat dengan aliran
sungai pada jarak sekitar 200-500 meter dari tepi sungai. Benda budaya
masa lampau yang didata keseluruhannya ada yang masih insitu di
Padanglawas (bangunan dan arca), dan ada pula yang ditempatkan di Museum
Nasional Jakarta (arca dan prasasti).
Biaro-biaro
itu, yang dahulu dicipta sebagai syair pujian dari batu dengan
puncaknya menjulang ke langit, kini masih berceritera tentang kemegahan
kerajaan itu, tentang agama yang pernah berkembang selama beberapa abad,
dan tentang seni bangunan dan seni pahatnya. Semua itu merupakan bukti
nyata dari sebuah hasil budaya yang bermutu tinggi. Situs-situs
arkeologi di Lembah Sungai Barumun dan Batang Pane ditemukan di sekitar
daerah Padanglawas. Kawasan ini meliputi lembah-lembah sungai Barumun,
Batang Pane dan sungai-sungai lain yang luas arealnya sekitar 1500
kilometer persegi. Di lokasi ini terdapat sekurang-kurangnya 26 runtuhan
biaro yang dibuat dari bata dan beberapa fragmen arca.
Runtuhan bangunan candi di Padanglawas disebut biaro (=vihara dalam
bahasa Sanskerta), sebutan yang biasa dipakai masyarakat untuk
menyebut bangunan candi Budha atau Hindu di Sumatra. Tetapi di India, vihara adalah biara yang merupakan tempat tinggal para pendeta atau bhiksu. Padanglawas dengan kompleks biaro-nya
merupakan suatu dataran yang kering dan tandus. Bagi ilmu pengetahuan,
khususnya arkeologi dan sejarah, tentu saja sangat menarik untuk
diteliti.
Di
seluruh Pulau Sumatera, hanya ada tiga kompleks candi yaitu kompleks
Padang Lawas di Tapsel ini, kompleks Candi Muara Takus di Riau, dan
kompleks candi Muara Jambi di Jambi. Candi-candi di Sumatera punya
perbedaan khas dengan candi-candi di Jawa dalam hal bahan pembuatnya.
Karena di Sumatera tidak tersedia cukup banyak batu gunung, maka semua
candi di Sumatera yang sudah ditemukan terbuat dari bata merah. Ini pula
sebabnya candi-candi di Sumatera lebih rapuh daripada candi-candi di
Jawa sehingga kondisinya hampir rusak total saat ditemukan.
‘Jalur Sutra” Ekonomi Tapanuli Selatan
"Pelabuhan
Pane ini dari mana 'banyak kamper bermutu" dikeluarkan, terletak di
pantai timur di bawah Perlak dan tidak lain dari Pane." McKinnon,
"Research at Kota Cina, a Sung-Yang period trading site in East
Sumatra", Archipel, 14, 1977, hal. 19-31. Iskandar Muda dalam suratnya
kepada Jacques I, mencatat Pane sebagai jajahan Aceh di pantai timur
Sumatra. Sedangkan dalam Negarakertagama terdapat nama Pane. Juga dalam
prasasti Rajendra-I di Tanjavur mencatat "Pane di tepi Sungai" di antara
kota atau daerah yang diserang oleh tentara Cola pada tahun 1025 M.
(Lombard, hal 98-99).
Lokasi
Pane ini sebagian pihak menggagap bernama Kuala Pane yang sekarang
berada di bagian selatan Labuhan Bilik. Namun hipotesis tentang lokasi
ini, sebagaimana sering diusulkan, diragukan karena di bagian hulu
sungai Barumun, di dataran tinggi Padang Lawas, terdapat sejumlah candi
dan tersebar di sepanjang tepi Sungai Barumun yang juga termasuk anak
sungainya yakni Sungai Batang Pane. Berdasarkan epigrafi dan tanda-tanda
pada candi-candi tersebut diduga percandian tersebut dibangun dari abad
ke-10 hingga abad ke-14 M dan merupakan peninggalan dari sebuah
kerajaan besar beragama Buddha dan berpusat di daerah pedalaman di
Tapanuli Bagian Selatan.
Muhammad
Said dalam buku dijelaskan bahwa dari adanya bangunan bersejarah
terdiri dari biaro-biaro di Padang Lawas dapat diyakini pertumbuhan
masyarakat yang berbudaya di wilayah itu masih berabad-abad lebih tua
dari zaman Prapanca. Serangan Rajendra Gola dari India di tahun 1023 –
24 M, antara lain ke Panai misalnya, menunjukkan perlunya suatu
ekspedisi militer untuk menaklukkan kerajaan tersebut. Panai
diperkirakan lokasinya di hulu sungai Barumun, ditandai dengan adanya
nama Batang Pane dan anggota masyarakat yang bermarga Pane di Angkola
Sipirok.
Wheatly berpendapat bahwa asal kata nama Pane berasal dari bahasa Tamil yang berarti "ladang". Secara
geografis, daerah Padang Lawas lebih dekat dengan pantai barat Sumatra.
Ini berarti Pelabuhan Barus bisa jadi merupakan pintu masuk kerajaan
Pane yang berpusat di daerah percandian. Dengan demikian,
pelabuhan-pelabuhan yang memiliki perdagangan kamper yang terdapat di
pantai timur Sumatra (Panai) dan yang terdapat di pantai barat Sumatra
(Barus). Posisi strategis Tapanuli khususnya bagian selatan sebagai
penghasil kamper di jaman dulu di satu sisi perdagangannya di Barus dan
di sisi lain di daerah Pane di Padang Lawas. Dalam perkembangannya, arus
perdagangan yang semakin ramai di pantai timur Sumatra penduduk
Tapanuli khususnya bagian selatan lebih intens ke arah Padang Lawas
daripada ke Barus.
Dalam
sumber lainnya tentang Padang Lawas dahulu dikaitkan dengan catatan
yang terdapat dalam Negara Kertagama. Sementara itu, dalam prasasti
Tanjavur, "Pane terletak di tepi sungai", dan kurang dari seabad
kemudian, Pane menjadi sebuah pelabuhan. Keterangan inilah yang mungkin
pada abad ke-17 menjadi rujukan dalam sebuah surat dari Iskandar Muda
menyebut Pane dalam daftar tempat-tempat di pantai timur, di antara
Tanjung Balai dan Rokan. Perpindahan Pane dari pedalaman di Tapanuli
Bagian Selatan ke pantai timur Sumatra dimungkinkan karena berbagai
sebab, misalnya peperarangan atau erosi yang menyebabkan pendangkalan
Sungai Barumun dan anak-anak sungainya seiring dengan semakin
bertambahnya tonasi kapal-kapal perdagangan. Sementara perdagangan
kamper terus berlanjut di pantai Barat Sumatra.
Dengan
hipotesis-hipotesis serupa ini memungkinkan untuk melihat bagaimana
hubungan percandian di Padang Lawas dengan candi yang ditemukan di
daerah Mandailing. Dengan serangan pasukan Majapahit terhadap Padang
Lawas besar kemudian pusat pemerintahan kerajaan di bubar dan sebagian
dari mereka lari ke daerah Mandailing. Hipotesis ini dibuktikan pada
masa silam di daerah Pidoli ini terdapat juga candi-candi purba. Namun
demikian bukti ini (candi-candi ini) keburu dihancurkan oleh pasukan
Islam di bawah pimpinan Tuanku Imam Bonjol ratusan tahun yang lalu.
namun reruntuhan candi-candi masih membekas di beberapa tempat seperti
di Saba Biaro Pidoli dan Simangambat yakni Pidoli terletak di
Panyabungan dan Simangambat di Siabu.
Gambar-10: Candi Siabu
Konon
dari cerita legenda yang berkembang di masyarakat Mandailing dipercaya
bahwa pada zaman dahulu kala ketika pagi masih berkabut dan langit
terlihat remang-remang berselimut awan kelabu dan burung-burung mulai
berkicau menyambut sang surya di ufuk timur, saat dimana ibu-ibu dan
gadis-gadis pergi ke tepian (sungai) melihat dari jauh sekelompok
orang-orang berjalan menyusuri jalan setapak. Bila diperhatikan gaya
penampilan dan bahasanya mereka adalah orang-orang asing. Mereka
terlihat berjalan kepayahan sebab sudah sangat jauh yang ditempuhnya.
Mereka seolah-olah ketakutan. Mereka ada yang membawa barang miliknya,
kayaknya seperti orang hendak mengungsi. Penduduk asli Mandailing
bertanya-tanya tentang orang tersebut yang belum dikenal mereka.
Sekelompok
orang pendatang itu mengenalkan dirinya bahwa mereka berasal dari
negeri India Selatan. Datang ke sini untuk menyelamatkan diri. Sebab
negeri mereka di Padang Lawas dalam bahaya karena diserang bangsa Aria.
Mereka berharap dapat menginap dan orang kampung menyetujuinya.
Sekelompok orang tadi senang sekali sebab mereka juga menikmati hal yang
sama sebelumnya di sungai Barumun yang jernih dan bersih. Rupanya
diantara mereka ada yang menemukan emas sewaktu mereka tinggal sekitar
tepian sungai. Mereka pendatang ini memulai mendulang emas dan terus
menelusuri tepian sungai Batang Gadis.
Dengan
ditemukannya emas di sepanjang Sungai Batang Gadis, maka lambat laun
pihak-pihak yang mendulang bukan saja warga pengungsi, tetapi juga warga
setempat dan bahkan orang-orang dari Minangkabau mulai ambil bagian.
Dari hari ke hari tepian sungai itu pada awalnya banyak berdiri
pondok-pondok lalu menjadi bangunan-bangunan sebagai rumah yang akhirnya
daerah aliran sungai Batang Gadis tersebut menjadi semakin terkenal.
Dengan semakin makmurnya penduduk setempat diduga menjadi asal
berdirinya kerajaan-kerajaan kecil (huta) di Mandailing.
Dalam
perkembangan dilaporkan bahwa Kerajaan Majapahit datang atas perintah
Hayam Wuruk ke daerah Mandailing. Terjadilah peperangan kecil terjadi.
Pasukan raja-raja di tepian Batang Gadis menghalau pasukan Majapahit.
Mereka sama sama kuat. Sebagian masyarakat lari menyelamatkan diri dan
bermukim di tempat yang aman. Orang-orang pendatang sebagai pengungsi
tidak terhindar dari gangguan dan mereka juga turut pindah ke tempat
lain. Saat itu penduduk asli merasa kehilangan sahabat karib sebab
selama ini mereka sering mendulang emas bersama-sama.
Dasar Hukum Percandian
- UU No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya (BCB)
- PP No. 10 Tahun 1993 tentang Pelaksanaan UU No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya
Sumber: (*Akhir Matua Harahap)
http://apakabarsidimpuan.com
www.budpar.go.id
http://:www.waspada.co.id
http://tapanuli.wordpress.com
http://kerajaanpane.blogspot.com
http://:www.waspada-online
Sumber:
http://akhirmh.blogspot.com/2011/04/sungai-barumun-jalan-sutra-via-daerah.html
No comments:
Post a Comment