Tuesday, March 6, 2012

SANG NA UALUH DAMANIK: RAJA SIATTAR YANG TERLUPAKAN


SANG NA UALUH DAMANIK: RAJA SIATTAR YANG TERLUPAKAN

SANG NA UALUH DAMANIK: RAJA SIATTAR YANG TERLUPAKAN


A. Pengantar
Pada awalnya, sebelum memasuki abad ke-16 terdapat dua buah kerajaan besar di wilayah Simalungun yaitu kerajaan Nagur yang yang telah disebut dalam catatan Tiongkok abad ke-15 (“Nakuerh”) dan Marcopolo tatkala ia singgah di Pasai tahun 1292 M. Kerajaan besar itu menguasai wilayah sampai ke hulu Padang-Bedagai dan hulu Asahan. Kerajaan tua yang lain ialah Batangio yang terletak di Tanah Jawa (Tideman, 1922, Kroesen 1904 : 557). Menurut Moolenburg (1909 : 555) wilayah Nagur meliputi Dolog Silou, Raya dan Panei serta Purba dan Silima Huta, sedangkan Batanghio meliputi Siantar, sebagian Asahan dan Tanoh Jawa. Sumber Cina Ying-yai Sheng-Lan pada tahun 1416, menuliskan nama Nagur dengan Nakkur. Relik-relik peninggalan Nagur, masih dapat dijumpai berupa konstruksi tua bekas kerajaan Nagur dari hasil ekskavasi yang dilakukan oleh para ahli di Kerasaan (Holt 1967:26;Tideman, 1922:51).

Disamping itu, raja Nagur yang bernama Silomalela terkenal kemampuannya bermain catur. Hal ini terbukti dengan ditemukannya bidak batu didesa Bah Bolak dengan gambar kembar yang merupakan istri dan anak raja Nagur (Holt 1967:26;Tideman 1922:51). Kedua Artefak itu masih tersimpan rapi di Museum Simalungun di Pematang Siantar yang pendiriannya digagas oleh J. Wismar Saragih dengan dukungan ahli filologi Vorhooeve tahun 1938 (kini sudah roboh). Sebenarnya, kerajaan Tanjung Kasau yang juga merupakan Partuanon dari Batanghio adalah wilayah Simalungun, namun oleh pemerintah kolonial dimasukkan dalam wilayah ke Labuhan Batu karena penduduknya yang sudah Islam.

Ketika kerajaan Aceh menjadi besar sejak abad ke-16, terutama pada masa Iskandar Muda dan rencana unifikasi wilayah Sumatra Timur dibawah kekuasaan Aceh, maka dibentuklah kerajaan-kerajaan yang baru yang diikuti oleh penunjukan wali negeri Aceh di Simalungun. Pada masa ini dibentuk 4 (empat) kerajaan (Raja Na Opat) yaitu kerajaan Siantar, Tanah Jawa, Dolok Silau dan Pane masing-masing dikuasai marga Damanik, Sinaga, Dasuha dan Purba yang bersifat konfederasi (Clauss 1982). Tideman (1922) menulis kedudukan raja maroppat sebagai berikut: Bale (i) bona (rechtvoor), Silau (u), Bale(i) bonah lopah (Lingks voor), Tanah Djawa, Bale(i) oedjoeng (recht ahcter) Siantar dan Balei (i) oedjoeng lopah (lingks archter), Panei.

Pada saat negeri Melayu di pesisir Sumatera Timur sejak 1865 sudah ditundukkan Belanda, maka wilayah Simalungun masih dianggap wilayah “Bonafhankelijk Bataksche” gebied (wilayah Batak yang masih merdeka), yaitu belum menjadi wilayah “Gubernemen Hindia Belanda”. Meskipun demikian berkali-kali mereka mencoba untuk masuk dan mempengaruhi orang-orang Simalungun terutama yang berada di Hulu Serdang dan Hulu Padang-Bedagai serta Hulu Batubara, agar tunduk dan juga sambil mempelajari karakter suku bangsa ini. Rencana penaklukan ini seiring dengan desakan pengusaha Deli Mij kepada pemerintah Hindia Belanda dalam upaya ekspansi perkebunan di sepanjang pantai Timur Sumatra (east coast of Sumatra). Sebagaimana diketahui bahwa hingga pada tahun 1875, sekitar 40 pengusaha Eropa di Sumatra Timur sudah menanamkan sahamnya. Oleh karena itu, kebutuhan lahan dengan konsesi jangka panjang serta sewa tanah yang minim menjadi kebutuhan. Cara itu dapat ditempuh dengan cara bekerjasama dengan penguasa local seperti di Deli pada saat kepemimpinan Mahmud Perkasa Alamsjah.

Di Simalungun sendiri, pengusaha perkebunan berupa mendekati penguasa lokal seperti di Dolog Silau, Siantar, Tanoh Djawa dan Panei. Perkebunan teh, karet dan kelapa sawit sudah mulai ditanam pada tahun 1898 dengan konsesi tanah dari tiga penguasa local kecuali Siantar. Oleh sebab itu, penguasa lokal yang pada saat itu dipegang oleh Sang Na Ualu Damanik bermaksud untuk dimakzulkan karena tidak dapat bekerjasama dengan pengusaha kolonial. Zendeling utusan Nommensen dari tanah Toba yang ditugaskan untuk membujuk raja tersebut justru dikurung di kandang ayam selama satu malam (MOP, 2007).

Wilayah Dolog Silau yang begitu luas dan intensnya pertikaian antar huta, maka tiga partuanon, yakni Partuanon Raya (Saragih Garinging), Purba (Purba Pakpak) dan Silimahuta (Purba Girsang) dinaikkan statusnya menjadi kerajaan yang tunduk pada pemerintah Hindia Belanda dan bukan kepada pamatang-nya Dolog Silau. Strategi ini ditempuh untuk mempererat kekuasaan Dolog Silau dengan tiga kerajaan besar lainnya. Upaya ini didukung oleh pemerintah kolonial Belanda dengan penaklukan harajaon na opat dan pembentukan harajaon na pitu melalui traktat pendek.

B. Kekecewaan Sang Na Ualuh.
Sejak penguasaan Belanda di Sumatra Timur dan rencana ekspansi perkebunan ke wilayah Simalungun hingga Labuhan Batu, maka Tebingtinggi dijadikan basis dan markas laskar pemerintah Hindia Belanda. Tujuannya adalah untuk menghala sekaligus mempersempit Tanah Simalungun. Untuk itu, pada tahun 1888 rencana pertama yang dilakukan pemerintah kolonial adalah memaksa Sultan Deli agar menyerahkan kekuasaan Padang (Tebing Tinggi) kembali kepada Maharaja Muda Saragih yakni wilayah kekuasaan kerajaan Raya dengan rajanya yakni Tuan Rondahaim Saragih. Selanjutnya, pada tahun 1891 Raja Raya Tuan Rondahaim Saragih meninggal dunia. Sebagaimana diketahui Tuan Rondahaim dengan gelar Tuan Na Mabajan (Raja yang Bengis) adalah raja yang tidak kenal lelah dan pernah disurati oleh SMR XII untuk tetap melakukan perlawanan dengan pemerintah kolonial.

Pada tahun 1888 kontrolir Kroesen mengakui kerajaan Siantar masuk dalam pemerintahan Hindia Belanda. Pada masa itu, kerajaan Siantar sedang tidak memiliki seorang raja sepeninggal ayahanda Sang Na Ualuh yang belum akil baliq. Kerajaan Siantar pada saat itu dipangku oleh Tuan Anggi yakni Raja Hitam dengan Bah Bolak sebagai perdana menterinya. Tetapi mengingat bahwa modal perkebunan akan segera mengalir ke wilayah Simalungun maka dibutuhkan konsesi tanah dengan cara menaklukkan kekuasaan otoritas lokal yaitu menggangkat dan mengakui Sang Na Ualuh sebagai Raja Siantar meskipun belum akil baliq. Namun, dikemudian hari raja yang masih belia ini ternyata dinilai oleh pemerintah kolonial sebagai orang yang keras kepala sehingga sangat mengecewakan.

Dalam pandangan raja yang muda ini, mengganggap bahwa integritas wilayah kerajaan Siantar telah memudar sama sekali. Sang Na Ualuh juga melihat bahwa selama mengalirnya modal asing dari perkebunan Belanda ke wilayah Simalungun dengan tanpa menghiraukan hak-hak tanah rakyat. Sebaliknya, kontrolir Belanda telah dengan leluasa mengkavling tanah dan membagi-bagikannya kepada pengusaha Eropa lainnya. Disamping itu, pemerintah kolonial juga telah mencampuri urusan pemerintahannya. Ia menilai bahwa kemerdekaan kekuasaanya tidak mungkin diperoleh apabila kepemimpinannya tetap menjadi underbow pemerintah kolonial. Lain daripada itu, pemerintah kolonial secara terang-terangan menyatakan dukungan terhadap zending Kristen (RMG maupun NZG) untuk seluruh Tanah Batak. Orang Batak dari Utara yang menganut Kristen dimobilisasi ke tanah Simalungun untuk membuka serta mengusahakan tanah sawah. Islam berkembang dan masuk dari pesisir timur ke Simalungun melalui Tanjung Kasau, Batubara, Padang dan negeri Bandar sendiri.

Terhadap sejumlah upaya pemerintah kolonial tersebut, dalam tahun 1901 Raja Siantar Sang Na Ualuh menyatakan masuk dan memeluk agma Islam sehingga memicu kekecewaan pemerintah kolonial. Sejak saat itu, hubungan yang tidak harmonis berlanjut dengan upaya pemerintah kolonial untuk memakzulkan dengan cara mencari alasan yang tepat. Peringatan-peringatan dari kontrolir Belanda di Batubara (masa itu kontelir khusus untuk Simalungun belum ada) justru tidak dihiraukan. Pada tahun 1903, Misi Sungai Rhein (RMG) Jerman mengutus Rev. August Theis atas permintaan Nomenssen untuk menyebarkan agama Kristen di Timorlanden. Ia mendarat di Tigaras dan menelusuri wilayah pegunungan hingga tiba dan menetap di Pematang Raya setelah mendapat izin dari penguasa Raya. Misi RMG ini mendekati rakyat lokal dengan memperkenalkan perawatan medis dan pendidikan modern melalui lembaga diakonia rumah sakit dan sekolah.

Abominasi kepada Belanda telah tercipta pada sejak kepemimpinan ayahandanya. Untuk mengusir kekuasaan Belanda ayahandanya pernah membuat perjanjian rahasia dengan seorang Jerman bernama Baron Von Horn, pemilik perkebunan Helvetia di Medan pada tahun 1885 yang antara lain adalah jika Von Horn dapat mengusahakan Jerman mengusir Belanda di Siantar maka akan diberikan konsesi membuka perkebunan di Siantar. Tetapi hal ini tercium oleh kontrolir Belanda, sehingga Von Horn diusir dari Indonesia. Pada masa itu, kontrolir Kroesen dan van Dijk sedang sibuk mengadakan penelitian tanah di wilayah-wilayah kerajaan yang sudah menandatangani perjanjian pendek dengan Belanda untuk dipersiapkan dan diberikan konsesi perkebunan pada kapitalis Eropa.

C. Siantar menjadi Pusat Afdeling
Ditengah-tengah suksesnya perkebunan di Sumatra Timur, sejumlah kota-kota dinaikkan statusnya menjadi kota administratif (geemente) dan kabupaten (afdeeling). Wilayah kecamatan (onderafdeling) ditata sedemikian rupa sehingga mencerminkan sebuah kota dengan peradaban modern. Siantar (ibukota kerajaan Siantar) telah dipersiapkan pemerintah kolonial menjadi ibukota afdeling Simalungun yang sebelumnya merupakan onderafdeling Karo-Simalungun. Perlawanan rakyat karo dibawah pimpinan Kiras Bangun telah dilumpuhkan pada tahun 1904 dan menduduki wilayah dingin pegunungan tersebut. Pada saat itu, ahli Batak, Kontrolir Westenberg, diangkat menjadi Assisten Residen urusan Batak Dusun beribu Kota di Saribu Dolok pada tahun 1905.

Wilayah-wilayah kekuasaan dinegeri Simalungun yang sudah menandatangani Perjanjian Pendek telah dibangun jalan raya sebagai penghubung antara perkebunan-perkebunan besar yang baru dibuka. Acapkali muncul ketegangan dan perlawanan rakyat yang hak-hak tanahnya diambil alih oleh pengusaha perkebunan seperti perlawanan Tuan Raimbang dari Dolog Panribuan. Akhirnya Tuan Raimbang tertangkap dan tewas akibat siksaan selama hukuman penjara Belanda di Sukamulia Medan. Demikian pula raja Panei yakni Tuan Jontama Dasuha yang melapor kepada Asisten Residen Sumatra Timur di Medan sebagai akibat perbuatan semena-mena pengusaha kolonial. Hingga kini, jasad Raja Panei tersebut belum diketemukan. Perlawanan rakyat Girsang dan Simpangan Bolon yang menyerang pos kolonial di Parapat dapat dilumpuhkan pada tahun 1906. Sementara itu, Rev. Simon (kemudian dilanjutkan oleh Muller) dari Misi Sungai Rhein Jerman telah bergerak membuat projek irigasi di negeri Bandar wilayah kekuasaan Kerajaan Siantar. Pemerintah Hindia Belanda mengharapkan agar misi Kristen ini menjadi bahagian dari negeri Batak yang harus dikeluarkan dari pengaruh Islam.

Melihat berbagai peristiwa diwilayah kekuasaannya, Sang Na Ualuh memiliki dendam terhadap pemerintah kolonial dan memilih upaya konfrontasi. Sinyal pemberontakan dari raja ini terbaca dan dimakzulkan atas tuduhan intrik dan pemerasan terhadap penduduknya sendiri. Oleh karena itu, atas petunjuk Residen Sumatera Timur yang diteruskan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda nomor 2478/05/3775/4 maka Raad van Nederlandsch–Indie dalam keputusan sidangnya tanggal 6 April 1906 telah mengeluarkan putusan sebagai berikut: “Jika seandainya Residen Sumatera Timur yang baru diangkat setuju dengan usul rekannya terdahulu mengenai apa yang akan diperbuat dengan Raja Siantar seperti yang dijelaskan secara telegrapis sebelumnya, begitu juga Raad van Ned. Indie sejalan dengan pendapatnya. Pendapat diatas dikeluarkan jika seandainya karena sesuatu alasan politik tidak jadi raja dijatuhkan atau karena pemerintah daerah setempat sehubungan dengan itu datang dengan usul agar ianya direhabilitir”.

Sesuai dengan peraturan undang-undang kolonial, maka seandainya raja dijatuhkan maka harus ada persiapan untuk pemerintahan sementara sebagaimana yang diusulkan didalam nota Sekretaris Negara. Mengenai usul Residen supaya Sang Na Ualuh dan Bah Bolak ditahan di Medan hingga suasana dan kondisi akan lebih di kerajaan Siantar, hanya mungkin jika pasal 47 dari R.R. dikenakan kepada mereka. Oleh sebab itu diharapkan agar Residen Sumatera Timur memberikan pendapatnya tentang upaya pemakzulan Sang Na Ualuh. Oleh karena itu, untuk alasan dijatuhkannya Sang Na Ualuh dari tahta kerajaan Siantar, Residen Sumatera Timur mengumpulkan kesalahan-kesalahan Sang Na Ualuh dan menterinya Bah Bolak. Untuk itu dipakai laporan pengaduan yang diperbuat oleh Kontrolir Batubara Karthaus April 1905 yang berisi ”10 kejahatan-kejahatan bersifat penindasan” yang diperbuat oleh Raja Siantar dengan sepengetahuan Bah Bolak dan menteri-menteri lainnya anggota-anggota Kerapatan.

Tuduhan-tuduhan Kontrolir Batubara tersebut oleh Residen Sumatera Timur dengan suratnya kepada Gubernur Jendral Hindia Belanda tanggal 25 Agustus 1905 nomor 3775/4 didukung dengan menyatakan bahwa Sang Na Ualuh sudah di interogasinya sendiri dan dinyatakan “sudah mengaku salah”. Lebih lanjut dalam suratnya disebut pula bahwa atas dasar itu tidak mungkin lagi Sang Na Ualuh dipertahankan lebih lama selaku Raja Siantar.

Residen Sumatera Timur juga mengusulkan agar selaku pengganti Sang Na Ualuh ditunjuk puteranya yaitu Tuan Riah Kadim. Berhubung karena Riah Kadim belum akil baliq, maka sebagai pemangku diserahkan kepada Tuan Sidamanik dan Marihat dan pemerintahan kerajaan Siantar sementara itu dijabat oleh Kontrolir Simalungun yang bakal diciptakan. Dengan Besluit tanggal 24 April 1906 nomor 1 kemudian diperkuat dengan Besluit tanggal 22 Janauari 1908 nomor 57, Raja Siantar Sang Na Ualuh dijatuhkan dari tahtanya. Selaku pemegang pemerintahan kerajaan Siantar, menunggu akli balighnya Tuan Riah Kadim maka otoritas kekuasaan dipimpin oleh suatu Dewan Kerajaan yang terdiri dari Tuan Marihat dan Tuan Sidamanik yang diketuai oleh Kontrolir Simalungun.

D. Meninggal di Pembuangan Bengkalis.
Raja Siantar Sang Na Ualuh dan Perdana Menterinya Bah Bollak di internir (dibuang) oleh pemerintah kolonial ke Bengkalis pada tahun 1906. Upaya tersebut telah memuluskan jalan bagi pemerintah kolonial untuk memperoleh konsesi tanah dari Dewan Kerajaan Siantar yang diketuai Kontrolir Belanda itu dan dibentuklah Besluit tanggal 29 Juli 1907 nomor 254 yakni dikeluarkannya Pernyataan Pendek (Korte Verklaring) yang isinya adalah pernyataan takluknya Siantar kepada Pemerintah Hindia Belanda. Seiring dengan itu, nyatalah bahwa penanaman modal Eropa semakin terbuka di wilayah Simalungun. Pada tahun 1906 perkebunan Siantar Estate dibuka dan terus melebar ke berbagai daerah dengan komoditas perkebunan yang beranekaragam seperti karet, teh, kakao dan kelapa sawit.

Tahun 1912 ibu negeri affdeling Simalungun dipindahkan dari Saribu Dolok ke Siantar dan Riah Kadim Damanik dengan nama baptis Waldemar diangkat menjadi Raja Siantar yakni Raja Kristen pertama di wilayah Simelungun/Karo yang menadatangani Pernyataan Pendek pada tanggal 18 Mel 1916. Sesuai tradisi, putra mahkota yang layak menjadi raja adalah Tuan Sarmahata Damanik yang lahir di Bengkalis pada tahun 1911 yakni putra pertama yang dilahirkan oleh puang bolon (permaisuri). Tetapi karena Sarmahata masih sangat belia, maka Tuan Riah Kadim Waldemar Damanik diangkat sebagai penerus tahta kerajaan. Pada saat keluarga Sang Na Ualuh berkunjung ke Bengkalis, Tuan Sang Na Ualuh mengirmkan foto dan menitipkan pesan tertulis dibalik foto dalam aksara Simalungun: ”Selama hidup saya dalam pembuangan, pimpinan rakyat di daerah bersatulah!”. Dua tahun setelah lahirnya putra mahkota Tuan Sarmahata maka pada tahun 1914 Sang Na Ualuh wafat dalam pembuangan di Bengkalis. Pada pusara Sang Na Ualuh di Bengkalis tertulis: “Makam Raja Batak beragama Islam”.


Erond L. Damanik, M.Si
Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-ilmu Sosial
Lembaga Penelitian-Universitas Negeri Medan



Sumber:

No comments:

Post a Comment