Ditemukan lagi, Suku Mante di Daerah Pedalaman Aceh
Banda Aceh, Kompas
Mante,
kelompok masyarakat, yang berkelana di hutan-hutan pegunungan Aceh
Tenggara dan Aceh Tengah, kini ditemukan kembali. Warga masyarakat suku
terasing yang selama ini sangat terkenal dalam kisah-kisah lama Aceh
serta kebudayaan tutur setempat, nampaknya masih bertahan di kawasan
hutan belukar sampai sekarang. Dengan demikian, suku bangsa Proto Melayu
yang sudah menghuni wilayah Indonesia sebelum kedatangan suku-suku Melayu masyarakat kita sekarang ini, sisa-sisanya bertahan melewati pasangsurut zaman di hutan-hutan Aceh.
“Semula saya masih agak ragu, apa mereka benar-benar orang Mante…’,,
kata Gusnar Effendy (72), seorang pawang hutan. la menambahkan; “…maka,
saya tak berani mengungkapkannya.” Tetapi
setelah ia beberapa kali berjumpa dengan rombongan suku tersebut, ia
semakin yakin bahwa keberadaan suku yang pernah “hilang” ini benar-benar
bukan khayalan.
“Jika
betul ditemukan keberadaan masyarakat Mante, itu sebuah berita besar.
Semua pihak harus ikut turun tangan,” kata Prof Dr Ibrahim Alfian,
sejarawan, penulis buku “Perang di Jalan Allah” yang kini menjabat Dekan
Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Nama panggilan
Istilah Mante dikenalkan secara luas oleh Dr Snouck Hurgronje dalam karya terkenalnya De Atjehers. Mengutip
keterangan yang diperolehnya dari para informannya, ia melukiskan orang
Mante orang Mantran tinggal di wilayah perbukitan Mukim XXII. Malahan
konon, pada pertengahan-abad XVII, ada sepasang Mante laki-perempuan
ditangkap dan dipersembahkan kepada Sultan Aceh. “Mereka tak mau
berbicara, tak mau makan-minum yang disodorkan, hingga akhirnya mati…,” begitu Snouck Hurgronje memberikan ilustrasi.
Tetapi lewat buku yang sama ia juga menyatakan, panggilan mante akhirnya juga diberlakukan untuk menyebut mereka yang bertingkah
kebodoh-bodohan dan berlaku kekanak-kanakan. Hurgronje sendiri memang
mengaku belum pernah bertemu muka dengan kelompok termaksud. Kata Prof
Ibrahim Alfian, “Dalam Kamus Gayo-Belanda susunan Dr GAJ Hazen, terbit tahun 1907, istilah mante digunakan untuk sekelompok masyarakat liar yang tinggal di hutan. Sementara pada Kamus Gayo-Indonesia tulisan antropolog Nelalatoa, panggilan mante juga
disebutkan untuk memberi nama kelompok suku terasing setempat.”
Berdasar kenyataan ini, sejarawan asal Aceh tadi menyebutkan, “…kalau
memang suku tadi ditemukan kembali, penelitian ilmiah perlu dilakukan
secara tuntas di samping upaya Departemen Sosial yang mempunyai tugas
antara lain, membina suku-suku terasing.
Berkelompok
“Kalau berbohong, …silakan saya digantung,” tutur Gusnar Effendy
meyakinkan. Pawang hutan berusia lanjut tetapi tetap tegar ini memang
sering kali menjelajah hutan dengan berjalan kaki. Dalam perjalanan
tadi, ia beberapa kali bertemu dengan kelompok masyarakat Mante.
“Mereka tinggal berkelompok, sekitar 60-an orang, besar- kecil-laki
perempuan. Sayang, begitu bertemu, mereka langsung melarikan diri menghindar.”
Masyarakat Mante yang ditemukannya tadi hidup di belantara pedalaman
Lokop, Kabupaten Aceh Timur. Kecuali itu Gusnar juga pernah berjumpa
dengan mereka di hutan-hutan Oneng, Pintu Rimba, Rikit Gaib di
Kabupaten Aceh Tengah dan Aceh Tenggara. “Umumnya, tinggal di gua-gua
celah gunung. Kalau siang hari berada di alur-alur sungai dalam
lembah.” Gua yang dijadikan tempat tinggal kelompok terasing ini
dinamakah Gua Beye, Jambur Atang , Jambur Ketibung, Jambur Ratu dan
Jambur Simpang,
Berapa jumlah mereka yang selalu nampak bertelanjang dengan (Bersambung kehal. VIII kol. 1-2)
(Sumber: Kompas, 18 Desember 1987 hlm 1).
KEBERADAAN
suku Mante memang bukan sekedar mitos atau isapan jempol di Aceh,
perbincangan suku yang satu ini telah ada sejak masa raja-raja dan juga
era penjajahan Belanda.
Ada sebagian orang menyebutnya dengan Mante,
istilah ini pernah dikenalkan oleh orientalis Belanda,
Snouck Hurgronje, kemudian ada juga yang menyebut dengan nama Bante,
sedangkan sebutan lainnya Aneuk Coh-coh, seperti yang bisa Anda baca
dalam tulisan di atas yang pernah diturunkan oleh Harian Waspada secara
berseri pada bulan Oktober 2012 lalu.
Menghindari rasa penasaran Anda, lengkapnya tulisan di atas juga saya lampirkan sebagai berikut:
Mungkin keberadaan suku Mante hingga
sekarang masih sering dipertanyakan oleh masyarakat Aceh, namun fakta
dari sejumlah temuan warga baik yang pernah disebutkan dalam berbagai
tulisan membuktikan populasi dari suku ini kemungkinan besar sangat
tipis.
Tulisan yang dilansir oleh Harian Waspada, dua tahun silam ini tentu telah menguatkan beberapa tulisan lampau lainnya.
Harian Kompas, 18 Desember 1987 juga sempat menurunkan berita keberadaan suku Mante di daerah pedalaman Aceh (baca ini).
Jika sebagian masyarakat di Aceh Besar sempat menyebutkan bahwa
keberadaan suku ada pedalaman hutan, hal ini mendasar dari apa yang
pernah dituliskan oleh Snouck dalam buku “De Atjehers”, walaupun dia
tidak pernah melihat sendiri melainkan hanya dari omongan warga.
Tidak hanya itu, buku “Aceh Sepanjang
Abad” dari Mohammad Said juga pernah menyebutkan suku Mante ini sebangsa
keturunan dari orang-orang asli di Malaysia.
Hal tersebut diperkuat dari catatan James A. Matisoft (baca tulisannya)
yang diketahui bahwa orang asli di Malaysia telah bermigrasi setidaknya
sejak 6.000 tahun yang lalu. Sementara, maksud dari orang asli ini
menurut Paul Sidewell termasuk
dalam bangsa Mon-Khmer. Dan telah terbukti sekarang bahwa banyak
kata-kata bahasa Aceh yang termasuk dalam rumpun bahasa Mon-Khmer.
Pengakuan Warga tentang Suku Mante
Mante dikenal sebagai kelompok masyarakat
yang berkelana dari hutan ke hutan daerah pedalaman atau pegunungan di
Aceh Tenggara dan Aceh Tengah, jika merunut penuturan lainnya juga
berada di daerah Pidie sekitaran Tangse. Masyarakat suku terasing ini
nampaknya masih bertahan di kawasan hutan belukar sampai sekarang.
Dari
sekian banyak pengakuan tentang keberadaan suku Mante ini sering
dituturkan oleh pawang hutan, dan anggota GAM yang pernah tinggal di
hutan, tidak sedikit juga para mahasiswa pecinta alam yang melakukan
ekspedi ke gunung-gunung di Aceh juga bertemu dengan kelompok
orang-orang yang disebut mempunyai postur tubuh kecil tersebut.
+/ . cw
“Semula saya masih agak ragu, apa mereka
benar-benar orang Mante, maka saya tak berani mengungkapkannya,” kata
Gusnar Effendy (72) seperti pernah dimuat Harian Kompas tahun 1987
silam. Tetapi setelah ia beberapa kali berjumpa dengan rombongan suku
tersebut, ia semakin yakin bahwa keberadaan suku yang pernah “hilang”
ini benar-benar bukan khayalan.
Menurut Gusnar waktu itu, kelompok atau
suku Mante yang ditemukannya hidup di belantara pedalaman Lokop,
Kabupaten Aceh Timur. Kecuali itu Gusnar juga pernah berjumpa dengan
mereka di hutan-hutan Oneng, Pintu Rimba, Rikit Gaib di Kabupaten Aceh
Tengah dan Aceh Tenggara. “Umumnya, tinggal di gua-gua celah gunung. Kalau siang hari berada di alur-alur sungai dalam lembah,” katanya.
Gua yang dijadikan tempat tinggal
kelompok terasing ini dinamakah Gua Beye, Jambur Atang, Jambur
Ketibung, Jambur Ratu dan Jambur Simpang.
Sejarawan Aceh, Prof Ibrahim Alfian, pernah menyebutkan dalam Kamus Gayo-Belanda susunan Dr GAJ Hazen, terbit tahun 1907, istilah Mante digunakan untuk sekelompok masyarakat liar yang tinggal di hutan. Sementara pada Kamus Gayo-Indonesia tulisan antropolog Nelalatoa, panggilan Mante juga disebutkan untuk memberi nama kelompok suku terasing setempat.
Ciri suku Mante menurut Abu Dahlan Tanoh
Abee yang diceritakan oleh Teuku Anwar Amir, berkulit coklat dengan
postur tubuh sekitar 150-an centi meter serta memakai gelang di leher,
dan anting pemberat di telinga (baca ini).
Suku Mante dan Kelestarian Hutan
Kerusakan hutan di Aceh yang merajalela
telah membuat banyak bencana hadir, tidak saja berdampak pada rusaknya
lingkungan, melainkan juga merusak hubungan antara makhluk hidup di
hutan sana. Tidak jarang gajah, harimau, dan sejumlah binatang lain
harus mengungsi ke pemukiman warga.
Hal ini pula yang bisa mempengaruhi
tentang keberadaan suku Mante, kelompok yang hidup di hutan pedalaman
juga akan mengalami krisis yang serupa. Jika sejumlah pemaparan dan
temuan telah didapatkan oleh masyarakat setempat, bukan hal aneh jika
para peneliti turun ke hutan-hutan pedalaman untuk menemukan mereka dan
menjalin kontak atau hubungan.
Kelangsungan
hidup suku Mante tentu menjadi tanggung jawab bersama, jika betul
mereka bisa ditemukan seperti suku-suku pedalaman lainnya di Indonesia
tentu akan banyak informasi di dapat. “Jika betul ditemukan keberadaan
masyarakat Mante, itu sebuah berita besar. Semua pihak harus ikut turun
tangan,” kata Prof Dr Ibrahim Alfian.
Penemuan lainnya yang bisa dibilang mirip
dengan suku Mante ini, pernah ditemukan di daerah Jambi, Palembang, dan
Lampung, dimana masyarakat disana mengenal dengan sebutan ‘orang pendek‘, ditemukan bekas kakinya di daerah pedalaman hutan.
Dari sejumlah paparan yang telah
dijelaskan dan berita yang pernah dipublikasi beberapa puluh tahun lalu,
maka bisa dilihat penyebaran suku Mante ini sejak dulu ada di pedalaman
hutan Aceh Tengah, Aceh Tenggara, Aceh Timur, dan Pidie. Tidak menutup
kemungkinan, perpindahan dan tidak menetap (no maden) dari kelompok Mante ini bisa saja sudah menyebar ke daerah-daerah Aceh lainnya.
Namun, pertanyaan masih adakah mereka
ditengah kelestarian hutan Aceh yang tidak lagi kondusif ini. Bagaimana
dengan Anda sendiri, pernahkah mendengarkan tentang kisah suku Mante ini
atau istilah yang mirip seperti dijelaskan di atas. Menarik untuk saya
tunggu nih.[]Semarang
No comments:
Post a Comment