Lubuk Larangan
Semakin mengemukanya issu pemanasan global (global warming) membuat kita untuk arif dan bijak pada alam dalam berbagai aspek kehidupan. Komunitas masyarakat adat sejak jaman nenek moyang kita telah mengajarkan berbagai macam pelajaran sangat berharga untuk menghormati alam. Kehidupan masyarakat tradisional yang masih kuat memegang dan menjalankan adat memposisikan diri mereka sebagai kelompok yang diidealkan dalam berhubungan dengan alam, menekankan pada realita akan adanya hubungan spiritualitas masyarakat dengan alam. Konsep ini yang kemudian di modern-kan oleh kalangan pelaku pengembang masyarakat menjadi konsep pembangunan masyarakat baru yang memadukan kepercayaan, kebiasaan lama dan kearifan lokal, untuk menumbuhkan kehidupan modern yang sangat menghormati lingkungan hidup. Modern dan maju tapi tidak merusak alam…!
Hasil
dari 4 tahun (2003 – 2007) pendampingan terhadap masyarakat adat dan
tani di daerah Kabupaten Mandaling Natal (Madina), Sumatera Utara yang
dilakukan oleh BITRA Konsorsium (BITRA Indonesia, Pusaka Indonesia,
Walhi Sumut dan Samudera) untuk melakukan konservasi dan mendorong
terbentuknya Taman Nasional Batang Gadis (TNBG) menunjukkan bahwa secara tradisional masyarakat adat mempunyai konsep konservasi alam yang berkaitan erat dengan kepercayaan supranatural.
Rarangan (Larangan)
Konsep melindungi sumber daya alam agar tetap terpelihara dengan baik, bukan hal baru bagi orang Mandailing. Mereka sejak dahulu mengenal istilah yang pas tentang hal tersebut, yaitu “rarangan”, yang secara harfiah bermakna “larangan”. Khusus untuk kawasan hutan ada yang disebut “harangan rarangan”, yaitu “hutan larangan”. Hutan larangan dalam konsepsi tradisional adalah bagian dari suatu kawasan hutan milik suatu kampung (huta)
yang tidak boleh dibuka untuk lahan pertanian (karena tanah untuk
pertanian secara adat sudah disediakan tersendiri, bahkan padang rumput
untuk gembala ternak juga). Kayu dalam hutang larangan juga tidak boleh
diambil untuk keperluan domestik dan komersil.
Kawasan
demikian (daerah-daerah terlarang tersebut) biasa juga dipercaya
sebagai tempat yang dihuni oleh mahluk-mahluk halus, biasa disebut “naborgo-borgo”, artinya
adalah “yang lembab-lembab”. Ada kepercayaan bahwa melanggar tabu
untuk memasuki tempat-tempat demikian akan menyebabkan petaka bagi
pelakunya.
Selain pada lingkungan hutan, konsep rarangan tersebut juga berlaku untuk suatu kawasan tertentu di kawasan bagian aliran sungai. Bagian-bagian yang biasa dipantangkan
(terlarang) bagi penduduk untuk menangkap ikan di dalam sungai adalah
di lubuk-lubuk yang dalam dan diatasnya terdapat pohon-pohon besar yang
berdaun rimbun. Tempat demikian juga dipercaya sebagai tempat naborgo-borgo dan terlarang untuk melakukan aktivitas yang bisa mengganggu keberadaan mahluk-mahluk gaib yang mendiaminya.
Keberadaan hutan larangan dan lubuk larangan yang dilembagakan melalui mekanisme tabu
(pantangan) dan kepercayaan akan kekuatan-kekuatan supranatural yang
ada di sekitarnya, dalam kenyataannya berada pada tempat-tempat yang
signifikasinya tinggi bagi kelestarian lingkungan. Bagi kawasan hutan
yang disebut harangan rarangan tadi biasanya berasosiasi dengan sumber-sumber mata air atau daerah resapan, daerah tangkapan air (water catchments area)
yang amat vital bagi pemeliharaan dan kesinambungan penataan pasokan
air bagi penduduk yang bermukim disekitarnya atau penduduk yang berada
di hilir aliran sungai, baik air untuk penggunaan sehari-hari maupun
untuk mengairi lahan pertanian.
Daerah
Mandailing sangat terkenal dengan pertanian tanaman pangannya di
Sumatera Utara. Demikian juga bagi aliran sungai yang disebut lubuk
larangan, merupakan tempat-tempat dimana proses pembiakan ikan
berlangsung. Oleh karena itu, konsep rangrangan
di Mandailing yang diselimuti suatu kepercayaan akan kekuatan
supranatural yang tidak boleh terganggu, pada hakekatnya adalah
mekanisme budaya yang mengatur praktek-praktek konservasi sumber daya
alam secara tradisional.
Lubuk Larangan
Awal
terbentuknya lubuk larangan bermula dari kepercayaan masyarakat
setempat bahwa daerah-daerah tertentu, termasuk daerah aliran sungai
(DAS) dihuni oleh mahluk-mahluk halus naborgo-borgo. Sehingga pada jaman dahulu jika daerah tertentu yang dipercayai berhantu tersebut, maka masyarakat enggan untuk memasuki kawasan itu. Kepercayaan ini di-regenerasi-kan pada anak keturunan mereka.
Lubuk
larangan yang berasal dari kepercayaan terhadap daerah hunian mahluk
halus tersebut masih sangat membudaya di daerah Mandailing Natal sampai
tahun 1970-an.
Akibat baik yang ditimbulkan dari kepercayaan dan praktek
lubuk larangan ini adalah terpeliharanya kesinambungan sumber daya ikan
sungai karena terjaganya proses reproduksi ikan. Keuntungan lain yang
diperoleh masyarakat (dimana umumnya masyarakat Mandailing adalah petani
tanaman pangan dan pekebun sub sistem – berdasarkan belas kasih alam)
adalah terpeliharanya sumber-sumber air untuk mengairi pertanian karena
terpeliharanya rimbunan hutan di daerah hulu sungai dan badan sungai
(DAS secara umum).
Namun
lambat laun kebiasaan mengenai lubuk larangan tersebut mulai memudar.
Seiring dengan perkembangan jaman, memudarnya kepercayaan lama tergilas
oleh modernisasi yang kurang menghormati alam, tingkat pertumbuhan
penduduk yang menimbulkan peningkatan kebutuhan konsumsi ikan, dan pola
pandang prakmatisme cenderung komersial yang mengakibatkan penangkapan
ikan secara eksploitatif. Berbagai teknik penangkapan ikan dari yang
sangat bernuansa keraifan lokal seperti memancing dan pasang bubu
(perangkap ikan) sampai yang bernuansa eksploitatif, seperti menuba
(meracuni ikan) bahkan mem-bom ikan dilakukan. Hal ini bisa terjadi
karena aliran sungai dipandang sebagai sumber daya yang bersifat open source atau open access (sumber daya terbuka yang dapat diambil oleh siapa saja).
Pembaharuan Lubuk Larangan
Kemudian
hari, pada tahun 80-an beberapa tokoh masyarakat adat yang berprofesi
petani di Mandailing Natal merasa prihatin terhadap kondisi lubuk
larangan tersebut. Kemudian tokoh masyarakat ini mulai menghidupkan
kembali budaya lama lubuk larangan dengan pola yang diperbaharui yang
dipelajari dari pola yang dilakukan oleh masyarakat adat dan tani di
daerah Sumatera Barat.
Menghidupkan
kembali budaya lubuk larangan dengan pembaruan sistem pengelolaan ini
mendapatkan dukungan dari berbagai pihak. Terutama Bupati Tapanuli
Selatan (saat itu Mandailing Natal Belum Mekar dari Tapanuli Selatan),
A. Rasyid Nasution. Tidak tanggung-tanggung, beliau membuat payung hukum
untuk melegalisasi dan melindungi kegiatan praktek lubuk larangan ini
dengan Peraturan Daerah (Perda) No. 19 tahun 1988, tentang pengelolaan
lubuk larangan. Hal ini membuat pengelolaan lubuk larangan agak berbeda
dengan sebelumnya, lebih rasional, terorganisir dengan baik, memiliki
aturan-aturan, dan ada sanksi-sanksi berdasarkan kesepakatan yang
dihasilkan oleh musyawarah bersama desa. Maka menguatlah kedaulatan
komunitas untuk menentukan dan mengelola sumberdaya yang mereka miliki
untuk kepentingan bersama.
Bagian-bagian
tertentu dari aliran sungai yang menjadi wilayah suatu desa dijadikan
lubuk larangan. Beberapa desa yang berdekatan dan aliran sungainya sama,
menerapkan pengelolaan lubuk larangan pada desanya masing-masing dengan
membuat batas fisik antar desa maupun batas terlarang dan tidak
terlarang untuk menangkap ikan.
Pengelolaan
lubuk larangan ditangani oleh suatu panitia yang dibentuk di tingkat
desa melalui musyawarah desa. Jangka waktu pelarangan untuk aktifitas
apa-pun yang terkait dengan menangkap ikan dilakukan selama satu tahun.
Masa panen, atau yang biasa disebut pembongkaran/pembukaan lubuk
larangan biasanya dilakukan pada hari raya Idul Fitri atau hari-hari
besar lain. Setelah 1 hari panen/pembukaan lubuk larangan segera ditutup
kembali (mejadi lubuk larangan kembali) sampai satu tahun berikutnya.
Sekarang lubuk larangan bukan lagi open source
(sumber daya yang dapat diakses siapa saja) kecuali pada saat pesta
pembukaan lubuk larangan. Lubuk larangan lebih dimanajemen dengan baik
dan diberi makna sebagai asset desa (communally owned resources).
Ada aturan baru yang dikenakan setiap dilakukan pembukaan lubuk
larangan.
Panitia penyelenggara pesta pembukaan/pembongkaran lubuk
larangan mengutip sejumlah uang dari semua peserta yang mendaftarkan
diri ingin ikut pesta (baik masyarakat desa setempat maupun dari luar
desa). Tiket peseta harganya disesuaikan dengan jenis alat tangkap ikan
yang digunakan peserta. Lebih besar daya tangkap ikannya tentunya akan
lebih mahal tiketnya. Hasil dalam bentuk uang yang terkumpul oleh panitia akan
dipergunakan untuk kepentingan pembangunan desa, misalnya; membeli
benih ikan untuk ditaburkan ke lubuk larangan untuk masa pelihara 1
tahun ke depan, perbaikan sarana irigasi (tali air) untuk persawahan
desa, perbaikan jalan, rumah ibadah, pembangunan sekolah swadaya desa
atau honor gurunya, santunan anak yatim. Dll. Sesuai dengan kesepakatan
warga desa pada musyawarah 1 tahun sebelumnya atau musyawarah baru
(tahun berjalan).
Hasil
penelitian yang dilakukan oleh Zulkifli B. Lubis (tahun 2001),
sedikitnya masih ada 70 desa yang masih menerapkan lubuk larangan di
Mandailing Natal. Pengelolaan lubuk larangan memberikan kontribusi yang
sangat besar untuk pembangunan dan pengembangan desa, khususnya pada
sarana pendukung pertanian.
Bukan
hanya di daerah Mandailing Natal saja budaya lubuk larangan ini ada. Di
wilayah lain, seperti di beberapa DAS di daerah Deli Serdang, Sumatera
Utara. Para petani, yang bernaung di bawah Forum Masyarakat Peduli
Sungai (FMPS) juga menerapkan lubuk larangan untuk upaya konservasi
lingkungan sungai dan biota yang ada di dalamnya dan disekitarnya. Hanya
cara dan peraturan yang diterapkan berbeda-beda. Di Deli Serdang
tersebut, selama masa larangan masyarakat masih tetap diperbolehkan
menangkap ikan dengan alat tangkap sederhana dengan nuansa keraifan
lokal, seperti memancing dan menjala/jaring ikan untuk sekedar memenuhi
kebutuhan sehari-hari keluarga, bukan dengan alat tangkap massal dan
untuk komersial.
Iswan Kaputra (R&D – ICT BITRA Indonesia).
Sumber:
http://bitra.or.id/2012/2010/03/23/lubuk-larangan/
No comments:
Post a Comment