Saturday, April 21, 2012

TOBA MENGUBAH DUNIA

TOBA MENGUBAH DUNIA
| Sabtu, 15 Oktober 2011 | 03:15 WIB

Pada suatu masa, spesies ”Homo sapiens” yang menjadi nenek moyang manusia modern nyaris punah. Migrasi terhenti dan mereka terisolasi di suatu tempat di Afrika, seperti yang terekam dalam kemiripan genetika manusia modern di seluruh penjuru dunia. Inilah periode ”population bottleneck” yang mengundang tanda tanya para ahli selama puluhan tahun. Letusan Gunung Toba di Pulau Sumatera lalu dipercaya menjadi penyebabnya. Letusan itu telah mengubah dunia.

Dia tersembunyi di balik elok lanskap bumi, tertidur tenang. Namun, saat terbangun, letusannya menghancurkan peradaban manusia. Dialah Toba, gunung api raksasa, yang letusannya pada 74.000 tahun lalu menjadi yang terkuat di bumi dalam 2 juta tahun terakhir.

Tanggal 25 Juli 2011. Jejak kedahsyatan letusan itu nyaris tak terlihat. Malam baru saja menjelma pagi. Langit berselimut mendung, pucat dan muram. Namun, Danau Toba tak kehilangan pesonanya. Sampan kayu kecil muncul dari balik kabut, meluncur di atas air sebening kaca, menyibak bayang-bayang awan dan tebing- tebing tinggi menghijau.

Sampan itu berhenti di keramba milik pasangan suami-istri Parlinggoman Sianturi (50) dan Rolenta Siregar (46). ”Ta k ada ikan tersangkut jaring hari ini,”Toman Togatorop (52), pendayung sampan itu, mengeluh. ”Makin lama makin sulit cari ikan.”

Parlinggoman dan Rolenta berhenti memberi makan ikan di keramba, kemudian terlibat obrolan dengan Toman. Kami bergabung dalam percakapan pagi di tepian Danau Toba di Kecamatan Muara, Tapanuli Utara.

Di antara riuh obrolan tentang ikan, kami bertanya tentang asal-usul Danau Toba. Parlinggoman terdiam. Toman menggeleng dan berkata, ”Tak tahu aku.” Hanya Rolenta yang mengaku mengerti. ”Konon ada seorang pemuda bernama Toba yang mendapat ikan mas saat mancing di parit kecil,” ia memulai kisahnya.

”Kalau yang seperti itu, tahulah aku. Semua orang pun tahu. Aku kira asal-usul yang ’ilmiah’ itu,” Parlinggoman menyela. Rolenta meneruskan ceritanya, ”Ru - panya ikan mas itu ajaib dan menjelma jadi perempuan cantik. Sang pemuda jatuh hati dan menikahinya, lalu lahirlah Samosir.”

Sebelum menikah, istrinya meminta agar jangan pernah menyebut keturunan mereka sebagai anak ikan. Namun, suatu hari, ketika si Toba kalap melihat anaknya bandel dan rakus, ia mengumpat, ”Dasar kau anak ikan!”

Seketika itu juga bumi berguncang. Gempa melanda. Air membuncah dari tanah yang rekah. Hujan turun dengan lebat. Si Toba tersadar dan menyesal. Umpatannya membuka rahasia tentang asal-usul istrinya yang seharusnya ditutup rapat.

Namun, segalanya terlambat. Sang ibu yang kecewa kembali menjadi ikan. Dia melompat ke genangan air yang telah menjelma menjadi danau besar. Belakangan, danau itu dinamakan Tao Toba. Adapun sang anak, atas petunjuk ibunya, selamat dengan mendaki bukit tinggi di tengah danau, yang belakangan dikenal sebagai Pulau Samosir. ”Itu legenda dari nenek moyang.” Ro lenta buru-buru menambahkan, ”Kalau saya lebih percaya pada cerita ilmiah yang mengatakan Danau Toba berasal dari gunung api yang meletus.”

Kisah yang dituturkan Rolenta ini mencerminkan, Danau Toba telah lama menjadi bagian alam pikir masyarakat yang hidup di sekelilingnya. Moral ceritanya barangkali tentang bagaimana menjaga kehormatan keluarga, tetapi di baliknya ada juga upaya untuk menafsirkan dan memaknai penciptaan bumi tempat tinggal mereka. Pemaknaan itu diwariskan turun-temurun meski sekarang semakin kehilangan fungsinya. Bahkan, sebagian telah mengingkarinya.

Rolenta mengaku baru mengetahui versi ilmiah pembentukan Danau Toba saat ia merantau. ”Saya mencari tahu karena ditanya oleh murid-murid tentang asal-usul Danau Toba,” kata Rolenta yang pernah menjadi guru sekolah menengah kejuruan di Pontianak, Kalimantan Barat. Maka, dia pun membaca buku-buku dan akhirnya tahu bahwa Danau Toba terbentuk karena letusan gunung api.
Walaupun meyakini Danau Toba berasal dari gunung api, Rolenta tidak pernah membayangkan gunung itu akan kembali meletus. Bagi Rolenta, Danau Toba adalah berkah yang menghidupi, bukan ancaman mematikan.

Danau yang dikelilingi tebing terjal berketinggian rata-rata 1.200 meter dengan titik terdalam yang terisi air mencapai 500 meter dan Pulau Samosir di tengahnya itu merupakan tempat wisata populer. Dengan panjang danau sekitar 100 kilometer dan lebar 30 km, Toba merupakan raksasa yang elok.
Dipadu dengan kebudayaan masyarakat yang tumbuh dan berkembang berdampingan dengan alam, Toba mengundang banyak wisatawan. Di Pulau Samosir, bebatuan Toba yang keras menjadi meja altar, kursi, patung, bahkan juga kubur batu (sarkofagus) bagi raja-raja Sidabutar. Bebatuan Toba telah berperan dalam perkembangan kebudayaan Batak.

Jumlah wisatawan asing ke Toba pernah mencapai 249.656 orang pada tahun 1996, menjadikannya tujuan wisata terpopuler kedua setelah Bali. Namun, sejak tahun 1998, kunjungan wisatawan menurun drastis hingga titik nol karena gejolak politik dalam negeri, disusul resesi ekonomi global. Selain itu, buruknya pengelolaan dan infrastruktur membuat keindahan Toba dan Samosir dilewatkan para pelancong.

Sepuluh tahun kemudian, kunjungan wisatawan mulai naik. Hingga pada 2009, jumlah pelancong yang datang ke Toba dan Samosir mencapai 63.187 orang, sebanyak 10.323 merupakan wisatawan mancanegara dan 52.864 wisatawan domestik. Angka ini relatif masih kecil dibandingkan dengan potensi alam yang luar biasa di Danau Toba.

Andrea Gurau, pelancong dari Austria, termasuk yang tersihir keindahan Danau Toba. Ia menghabiskan tiga malam di sana dan mengaku begitu menikmati kunjungannya ke Toba. ”Pulau Samosir dan Danau Toba adalah salah satu tempat terindah di dunia,” katanya saat ditemui di Tuktuk, Pulau Samosir. ”Saya sama sekali tak menyangka dulu ini adalah kawah gunung berapi.”


http://nasional.kompas.com/read/2011/10/15/03150215/TOBA.MENGUBAH.DUNIA

No comments:

Post a Comment