Sunday, April 22, 2012

TANAH BATAK DAN ISLAM: KASUS TUANKU RAO

TANAH BATAK DAN ISLAM: KASUS TUANKU RAO

Problem Setting :
1. Orang Batak, terutama deerah Tapanuli Selatan (Mandailing, Natal, Padang Bolak dan sipirok), berkenalan dengan islam dalam suasana kecamuk Perang Padri yang sangat brutal. Tetapi mengacu kepada mereka memilih Islam sebagai Identitas, untuk memisahkan diri mereka dengan orang Batak Utara (Tapanuli Utara) yang sebahagian besar memeluk Agama Kristen ?

2. Episode-episode perang pergumulan sosial politik yang dilukiskan oleh Mangaradja Onggang Parlindungan (MOP) dalam bukunya “Tuanku Rao” yang dipimpin oleh trio: Tuanku Rao-Tambusai–Lelo, merupakan tragedi yang sangat mengharukan dan menusuk perasaan. Tidak ada kesan heroik, patriotik, atau semangat jihad yang muncul dalam arena Perang Padri Tuanku Rao itu. Orangpun akan bertanya-tanay dimana nilai-nilai islam yang dijanjikan sebagai “Rahmat dimuka Bumi”,(rahmattallil’ alamin), yang dibawa para tentara Padri itu ?

3. Kesan umum dari buku Tuanku Rao (1964) mengenai penduduk tentara Padri di Tapanuli, sama dengan serangan Bajak Laut Viking dari Norwegia ke Inggris dan Perancis abad kedelapan atau serbuan tentara Mongol (Jengis Khan) ke India, Irak dan Eropa Timur abad pertengahan. Islam Atau mazhab Hanbali yang dikibarkan dalam perang Padri di Tanah Batak itu hanya sebagai “Ligitimasi” (pengesyahan) kebrutalan perang yang menginjak-nginjak nilai Kemanusiaan.

4. Kisah Datu Bange yang dikemukakan oleh saudara Basyar Hamidy Harahap dalam bukunya “Greget Tuanku Rao” (2007) tidak hanya untuk mengoreksi, tetapi melengkapi buku Tuanku Rao, mengemukakan penyesalan yang sama. Perang Padri di Tanah Batak dangan dalih penyebaran Islam Mazhab Hanbali itu menurut Basyral telah dilakukan secara kejam dan biadab.

5. Tetapi siapa sebenarnya trio : Tuanku Rao-Tambusai-Lelo? Ternyata, menurut Basyral adalah putra-putra Tapanuli sendiri, masing-masing bermarga Sinambela, Harahap dan Siregar. Tuanku Rao masih berfamili dekat dengan Sisingamaraja yang dieksekusinya dalam perang Padri di Tapanuli Utara. Ketiga pendekar ini telah menjadi tulang punggung gerakan Padri di Minangkabau di Bawah Pimpinan Tuanku Iman Bonjol. Tetapi menurut Hamka ketiga aktor tersebut adalah putra asli Minangkabau (Hamka 1974:314). Apakah pendudukan tentara Padri di Tanah Batak itu adalah perang saudara, balas dendam atau sesuatu “Genocide” (penghancuran kelompok Etnik tertentu)?

6. Kesukaran untuk menganalisis dan menyimpulkan isi buku Tuanku Rao, sebagai sebuah buku dokumentasi sejarah perang, sebenarnya bukan hanya karena problem kemanusiaan yang luar biasa diatas, tetapi lebih-lebih karena ketiadaan rujukan yang dapat diperpegangi secara ilmiah. Legitimasi sebuah risalah sejarah, sangat ditentukan oleh konsistensi dan akurasi satu fakta dengan fakta lain, satu data dengan data lain yang tidak saling menganulir dan bertentangan. Buku Buya Hamka “Antara Fakta dan Khayal” (1974) yang khusus ditulis untuk membantah buku Tuanku Rao menyimpulkan, bahwa berdasarkan studi literatur dan lapangan yang dilakukan beliau, sebahagian besar keterangan dan fakta-fakta sejarah dalam buku Tuanku Rao menyesatkan(hal.316). Oleh karena itu, timbul kesulitan untuk mengembangkan analisa sejarah secara akademik terhadap buku Tuanku Rao. Mungkin analisah Antropologi Sosial masih mungkin dikembangkan. Mengapa?

7. Seperti ditulis Jansen Sinamo dalam majalah Tatap (1 Agustus 2007:39), Mangaraja Onggang Parlindungan penulis buku Tuanku Rao adalah seorang “Maestro cerita” (Ahli kisah atau lagenda). Menurut Sinamo, MOP sanggup meramu fakta sejarah dengan Foklor, mitos, dan imajinasi menjadi kisah yang sangat memikat, dengan gaya yang asik pula. Satu-satunya sumber ialah catatan seorang guru sejarah, Sutan Martua, ayah MOP sendiri. Catatannya ini menurut pengakuannya bersama dokumen lainnya telah dibakar pula (lihat Hamidy 2007:85-86). Mungkin karena klaim dan protes, buku Tuanku Rao tersebut dicabut oleh MOP dari peredaran, tetapi sekitar 40 tahun kemudian (2007) diterbitkan kembali.

Kisah dan legenda dalam Antropologi
1. Kisah dalam bahasa Inggris disebut Folktate atau Legend (legenda). Berbeda dengan legenda yang timbul oleh unsur-unsur sakral. Sebuah legenda didasarkan pada sejarah, tetapi banyak ditambah atau dikurangi serta dipoles sedemikian rupa, agar lebih cantik, hebat, dan mengagumkan. Tujuannya adalah agar sesuatu itu tampil beda, dan dilakukan dengan penekanan atau menegangkan nilai-nilai cultural tertentu. Legenda berfungsi sebagai “charter” (klaim atau hak terhadap suatu posisi, sumberdaya atau ekonomi), seperti “identitical charter”,” economical carter” atau “mystical charter” (Malinouwski 1967). Mitos (Myth) adalah kisah-kisah yang sarat dengat nilai-nilai sacral (tale with supernatural character). Mitos menciptakan suasana khas yang bermakna, sehingga orang yang mempercayainya akan bertindak sesuai dengan makna mitos yang dikembangkan, seperti kepercayaan kepada totem (binatang sacral)dalam kelompok etnik tertentu.

2. Sinamo (2007) memang benar, bahwa buku Tuanku Rao adalah kisah gerakan Padri dari sudut pandang Batak, 180 derajad berbeda dengan sejarah Padri yang menggunakan kaca mata Minangkabau. Seolah-olah, menurut Sinamo, Peran Tuanku Rao dan Tuanku Lelo yang dikembangkan oleh MOP itu lebih istimewa ketimbang Tuanku Imam Bonjol. Menurutnya disinilah pangkal perselisihan MOP dengan Buya Hamka.

3. Tetapi dalam pandangan Antropologi, kisah yang berbeda ini dilakukan dalam usaha untuk menemukan “identical dan mystical Charter” orang-orang Tapanuli Selatan, yang berhadapan dengan orang Minangkabau dan Batak Toba. Seperti klaim : Tuanku Rao atau Tambusai lebih hebat dari Tuanku Iamm Bonjol, Tuanku Rao mampu berhasil menebas batang leher Sisingamangaraja X (figure simbolik Batak Toba). MOP dengan buku Tuanku Rao ini telah berusaha untuk mendapatkan sesuatu “Charter” atau klaim identitas (posisi dan Hak) yang akan membedakan mereka dengan kelompok lain (termasuk terhadap orang Minangkabau dan Batak Toba)

Mencari dan menemukan Identitas (in search of identity)
1. Buku Tuanku Rao tidak dapat dihakimi hanya dari sudut pandang ilmu sejarah, dia harus dianalisis dari segi Antropologi. Oleh karena Antropologi lebih menekan masalah “Meaning” (Makna), dan kontektual, bukan hanya tekstual (data sejarah). Dia meneropong apa yang terdapat dibelakang suatu ungkapan, kenyataan atau kontraversi, apalagi menganalisis sebuah legenda atau mitos.

2. Oleh karena itu sangat menarik untuk menjawab pertanyaan pertama yang kami ajukan dalam problem setting diatas, yang sebenarnya dikemukakan juga oleh antropolog Belanda Keuning (1979) :”……mengapa sipirok dan Mandailing yangb berkenalan dengan islam dalam situasi kekerasan perang Padri yang telah memporak-porandakan struktur kehidupan mereka, malah memilih Islam sebahagian besar menjadi muslim yang taat seperti pendahuluan mereka di Minangkabau…”(lihat juga Abdullah 1979). Selain orang-orang Tapanuli Selatan telah banyak menganut Islam sebelum Kedatangan orang Padri, mereka memerlukan “Batas-batas” bagi dirinya sendiri dan orang lain (Barth 1996, Pelly 2007). Batas terhadap orang Minang adalah etnik (territorial, adat dan bahasa). Batas terhadap Batak Toba ditambah dengan agama.

3. Identitas diri (ethnic identity) adalah bentuk penyadaran yang dipertajam akan diri sendiri sebagai suatu kesatuan yang unik untuk memelihara masa lampau dan mengembangkan diri dimasa mendatang, baik bagi dirinya, maupun bagi orang lain. Identitas ini akan diperoleh apabila peran sosial politik dan ekonomi jelas dan berarti dalam perjuangan bangsa itu, dihargai dan diakui oleh masyarakat lain dalam negara itu……!(Erickson, 1987, Pelly, 1998, 2006). Pencaharian Identitas ini (terutama dikalangan orang Mandailing), telah berproses sejak lama. Mereka ingin membedakan diri dengan saudara-saudaranya dari Toba Batak dari hal-hal yang kecil sampai kepada masalah yang besar (peristiwa “kuburan Mandailing” di Sungai Mati tahun 1920, Batak Raad 1931 sampai kepada rencana pembentukan provinsi Tapanuli 2007).

4. Dalam rangka pencaharian identitas ini, buku Tuanku Rao, sebagai sebuah legenda yang sangat pas untuk dikaji. Apabila seorang Mandailing atau Sipirok, setelah membaca buku “Tuanku Rao” merasakan bahwa “mereka punya sesuatu dan beda dengan orang lain” maka itu adalah sebuah “embrio” dari kesadaran identitas. Sama seperti orang Batak Toba memiliki kisah “Si Raja Batak”, orang Minang legenda “Raja Iskandar Zulkarnaen di Bukit Siguntang-guntang” atau orang Bugis Makassar dengan mitos anak “dewa langit Sawerigading”. Semua itu tidak untuk diperdebatkan tetapi untuk dipahami.

5. Karena itu, harus diakui bahwa bangsa ini sangat mosaik dan majemuk, terutama dalam meramu identitas diri masing-masing, dan itu meruopakan hak azasi manusia. Siapa saja yang ingin menyeragamkan kisah atau legenda yang dimiliki oelah masing-masing kelompok sebenarnya dia sudah melanggar fitrah dan hak azasi manusia.

Disampaikan dalam acara “Bedah Buku : Kontroversi Tuanku Rao dalam Sejarah Sumatera Utara” yang diselenggarakan Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-ilmu Sosial Universitas Negeri Medan, 10 Nopember 2007.


Oleh: Prof. Usman Pelly, MA., Ph.D
Gurubesar emeritus Unimed

Diposting oleh:

Erond L. Damanik, M.Si

Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-ilmu Sosial
Lembaga Penelitian-Universitas Negeri Medan


Sumber:
http://pussisunimed.wordpress.com/2010/01/28/tanah-batak-dan-islam-kasus-tuanku-rao/

No comments:

Post a Comment