Sunday, April 22, 2012

GREGET TUANKU RAO

GREGET TUANKU RAO

PROLOG
Bercengkerama dengan Mangaraja Onggang Parlindungan (MOP) adalah pengalaman yang mengesankan. Saya pernah bertemu dengan MOP pada awal tahun 1970-an dalam perbualan di rumah abang saya Amir Husin Siregar di bilangan Tulodong Bawah, Jakarta Selatan. Hadir dalam perbualan itu Amir Husin Siregar, MOP dan Ir. Amru Baghwie.

Ir. Amru Baghwie lahir dan besar dalam kalangan intelektual Sipirok. Ayahnya, Dr. Abdul Rasyid dan pamannya Abdul Firman gelar Mangaraja Soangkupon, adalah anggota Volksraad (Dewan Rakyat) di Batavia. Soangkupon, seorang yang terkenal di zaman pergerakan sebagai anggota Dewan Rakyat mewakili Sumatera Timur (Noer, 1996:180-181). Soangkupon, adalah anggota Perhimpoenan Indonesia di Negeri Belanda (Poeze:1986:75, 78, 80, 88, 281, 303), dan teman seperjuangan anak Betawi, Muhammad Husni Thamrin, yang sangat gigih membela nasib kuli kontrak di Tanah Deli.

Saya pernah membawa Lance Castles ke alamat ini untuk bertemu dengan Ir. Amru Baghwie, 1970, salah seorang nara sumber Lance Castles ketika menyiapkan disertasinya The Political Life of a Sumatran Residency: Tapanuli 1915-1940.
Kelak Dr. Lance Castles meminta saya menulis Pengantar Edisi Indonesia disertasi yang dipertahankannya di Yale University pada tahun 1972 tersebut. Kepustakaan Populer Gramedia, menerbitkan Edisi Indonesia tahun 2001 di bawah judul Kehidupan Politik Suatu Keresidenan di Sumatera: Tapanuli 1915-1940.


Hamka menggambarkan sosok MOP sebagai seorang yang suka berkopiah sampir (rasam) buatan Gorontalo, berpipa cangklong, bersarung dan bertongkat kecil (Hamka, 1974:18-19). Penampilan itu yang sering saya saksikan ketika bertemu beberapa kali dengan MOP.
MOP pernah dengan wajah agak gusar, mengarahkan tongkatnya yang berkepala gading ke arah dahi saya. Saya kaget, mengelak dan malu bukan kepalang. Pasalnya, saya ingin mengetahui perihal polemiknya dengan Hamka di Harian Haluan tentang buku Pongkinangolngolan Sinambela gelar Tuanku Rao: Terror Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak 1816-1833.

Mungkin MOP menilai saya tidak pantas ikut berbicara pada perbualan itu. Itulah kenangan saya terhadap MOP pada awal 1970-an. Sejak itu saya semakin tertarik kepada MOP, tertarik dalam arti tidak ingin mengenalnya lebih dekat.

Antara tahun 1974-1976 saya beberapa kali bertemu dengan Hamka di kediamannya. Dalam satu kesempatan, Hamka memperlihatkan surat MOP. Isinya tentang pernyataan MOP menarik diri dari polemik dengan Hamka. Alasannya, karena kurang sehat, lagi pula harus bekerja keras mencari uang untuk membiayai anak-anaknya. Sehingga MOP tidak mempunyai waktu untuk meladeni polemik dengan Hamka. Ketika itu buku Antara Fakta dan Khayal “Tuanku Rao”: Bantahan terhadap tulisan-tulisan Ir. Mangaradja Onggang Parlindungan dalam bukunya “Tuanku Rao” baru saja terbit.

Pada tahun 1976, 12 tahun setelah buku Tuanku Rao terbit, saya bertanya kepada Muhammad Radjab Lubis gelar Sutan Ranggasoli, salah seorang anggota Petisi 50, yang saya kenal gemar membaca bahan-bahan sejarah dan politik, apakah ia sudah membaca buku Tuanku Rao. ”Itu kan cuma turi-turian. Buat apa saya membuang waktu membaca buku seperti itu” katanya singkat.

Saya berpendapat, kendati buku Tuanku Rao hanyalah turi-turian perlu juga dibaca, siapa tahu ada butir-butir berharga dari kisah MOP itu.
Komunitas Bambu meminta saya mengulas buku tersebut, sehingga mengharuskan saya membacanya lebih serius. Kesan saya terhadap buku Tuanku Rao, adalah bahwa buku ini bagaikan umbul, mata air, yang dapat dipakai sesuai keperluan. Umbul dapat dipakai sebagai air minum, air wuduk, mandi, mencuci pakaian, mencuci beras, mencuci sayur mayur, mencuci buah, menyiram tanaman, dan lain-lain. Pokoknya terserah kepada yang ingin memanfaatkannya. Begitu juga, buku Tuanku Rao yang dapat menjadi sumber inspirasi untuk menulis buku dari berbagai sudut pandang.

Pastilah sulit untuk membahas buku Tuanku Rao dari segala segi di dalam satu buku. Pasalnya, sangat melelahkan, juga memerlukan kerja keras untuk mencari segala rujukan tentang benar tidaknya dan patut tidaknya paparan MOP. Sulitnya lagi, MOP telah membakar semua bahan-bahan yang dijadikannya sebagai sumber penulisan buku Tuanku Rao.

Oleh karena itu, buku ini bolehlah dikatakan sebagai turi-turian seperti yang dikatakan oleh Muhammad Rajab Lubis Sutan Ranggasoli itu. Turi-turian dalam khasanah sastra lisan Mandailing dan Angkola, Sipirok, Padang Lawas (ASPAL) bisa bersumber pada peristiwa yang benar-benar terjadi pada kurun dan tempat tertentu. Tetapi bisa juga hanya fantasi, ialah kisah yang hanya terjadi di negeri antah berantah pada kurun tingki di na itom na robi, pada zaman kegelapan. Sehingga tidak dapat dipakai sebagai rujukan peristiwa sejarah.
Tuanku Rao adalah turi-turian yang dikisahkan oleh seorang Bayo Parturi, Juru Kisah atau Story teller yang mahir, yang akan memukau pembacanya dari segala lapisan masyarakat tanpa pandang jenjang pendidikan. Pokoknya siapa saja yang membaca buku ini, mulai dari berpendidikan Sekolah Dasar, S1, S2, S3, maha guru, ulama besar, atau hakim, niscaya akan terbius dengan penuturan MOP di dalam buku ini.
Saya menulis buku Greget Tuanku Rao ini dari sudut pandang seperti di bawah ini:

1.Mengoreksi yang salah.
2.Menulis tentang hal-hal yang luput dari perhatian MOP.
3.Menulis tentang hal-hal yang tidak diketahui oleh MOP.

Hal itu semua perlu diketahui oleh khalayak ramai. Oleh karena itu, tidak semua bab di dalam buku Greget Tuanku Rao ini membicarakan buku Tuanku Rao.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, ada tiga bentuk kata greget, ialah: gereget, gregat dan greget yang artinya mengandung makna nafsu, semangat, kemauan untuk berbuat sesuatu, geram, kesal dan jengkel.

Saya memilih greget, karena gereget terasa terlalu lembut, dan gregat tidak biasa dilafaskan dalam bahasa percakapan sehar-hari. Kata greget lebih memiliki ruh yang apabila diucapkan akan berpengaruh pada gerak bibir orang yang mengucapkannya bahkan membuat gigi beradu. Hal itu terjadi spontan sebagai tampilan makna dan emosi yang dikandung kata greget itu.

Sebagai penulis, ada debar-debum jantung saya ketika menulis bab Datu Bange di dalam buku ini. Bukan hanya karena bab ini bercerita tentang ketidakberperikemanusiaanan, genocide, dan dendam yang membara. Tetapi karena ia juga bercerita tentang leluhur saya yang terus menerus melakukan perlawanan, sekalipun mereka sudah dalam posisi yang tidak menguntungkan. Sementara itu pasukan berbaju Putih yang mendengung-dengungkan agama, sambil menebas kepala manusia, membakari kampung, memperkosa, dan melakukan segala macam kebiadaban, terus mengejar musuhnya. Inilah yang membuat pihak Belanda jadi meleleh, dan terusik rasa kemanusiannya. Datu Bange dan rombongannya terus melakukan perlawanan. Secara spontan pasukan Belanda kemudian melindungi rombongan Datu Bange. Karena jika tidak demikian, sebuah tragedi kemanusiaan yang jauh lebih kejam pasti terjadi, yang bagaimanapun tidak akan bisa diterima manusia beradab !!!

Datu Bange dan pengikutnya yang tidak lain adalah leluhur saya, pada akhirnya berhasil memasuki daerah baru setelah menempuh medan yang berat, berliku-liku naik gunung dan turun lembah serta hutan belantara dengan jarak lebih dari 65 kilometer, dan kemudian mereka menetap di daerah Angkola dan Mandailing Godang. Walaupun untuk itu Datu Bange harus menebusnya dengan nyawanya sendiri.

Melalui tulisan ini saya mencoba memperkaya informasi tentang hal-hal yang kiranya luput dari perhatian MOP, seperti misalnya tentang Willem Iskander yang oleh Pramudya Ananta Toer disebut sebagai keajaiban Indonesia abad XIX, duet Godon dengan Yang Dipertuan yang telah melakukan terobosan peradaban spektakuler antara lain menghapuskan perbudakan di wilayah Asisten Residensi Mandailing Angkola justru pada saat yang bersamaan dengan terbitnya buku Uncle Tom’s Cabin, emansipasi kaum perempuan, pembangunan jalan ekonomi dari Panyabungan ke Natal sepanjang 90 kilometer yang dikerjakan rakyat secara suka rela tanpa sedikitpun menelan korban. Juga tentang peranan Sutan Casayangan Soripada sebagai peletak dasar kesadaran kebangsaan Indonesia dan penentu orientasi kesatuan Indonesia, serta peranan ulama-ulama Sufi Mandailing yang menyebarkan agama Islam di daerah itu berabad sebelum Paderi datang.

Sebagai penutup, saya ingin meminta perhatian kita terhadap kehadiran para peneliti asing yang melakukan penelitian terhadap berbagai aspek kehidupan suku-suku bangsa Indonesia. Bangsa kita seringkali terperangah dan terkagum-kagum melihat kehadiran peneliti asing. Ada benarnya sikap seperti itu. Tetapi harus ada pengenalan lebih mendalam terhadap tokoh-tokoh peneliti suku-suku bangsa Indonesia itu.
Pasalnya, barangkali tidak sedikit peneliti asing yang tidak fasih berbahasa daerah suku bangsa yang ditelitinya. Sehingga dapat diduga, hasil penelitiannya mungkin hanya sebatas kulit-kulitnya saja. Tidak jarang responden menyembunyikan, atau hanya menyatakan dengan isyarat-isyarat hal-hal yang penting. Sehingga peneliti hanya mendapat informasi yang dangkal.

Selain itu, ada hal-hal yang bersifat tabu walaupun tidak kuat, tetapi jika diucapkan di muka orang-orang yang diikat oleh nilai-nilai kepatutan, maka mereka akan merasa malu atau tidak nyaman. Misalnya, jika seorang peneliti bertanya kepada anak gadis yang memakai jilbab di muka ayah dan ibunya, atau seorang ibu muda di depan suami dan mertuanya pertanyaan seperti ini “Kenapa anda memakai jilbab? Kenapa anda menyembunyikan kecantikan anda? Padahal jika anda membuka jilbab, anda pasti tampak lebih cantik lagi. Sehingga banyak pemuda yang akan cinta kepada anda.”

Kata-kata peneliti seperti ini membuat responden merasa malu dan tidak nyaman. Mungkin responden hanya tampak tersipu-sipu.
Saya kagum kepada beberapa orang peneliti yang fasih berbahasa daerah suku bangsa yang mereka teliti sekaligus mengenal dengan baik nilai-nilai kesopansantunan suku bangsa yang mereka teliti. Sekedar menyebut beberapa nama:

1.Lance Castles berbahasa Batak ketika mewawancarai respondennya di Pematang Siantar dan Tapanuli.
2.Susan Rodgers fasih berbahasa Batak dialek Angkola Sipirok, memiliki pengetahuan yang luar biasa tentang segala segi kehidupan orang Sipirok, sehingga masyarakat adat di Sipirok menabalkan marga Siregar kepadanya sebagai penghargaan yang tinggi. Susan Rodgers menghargai tinggi pemberian marga itu. Tidak sedikit karya ilmiahnya memakai nama Susan Rodgers Siregar.
3.Rita Smith Kipp seorang antropolog yang fasih berbahasa Karo.
4.Suami isteri Herman Slaats dan M.K. Portier yang fasih berbahasa Karo dan ahli dalam seluk beluk tradisi dan hukum adat Karo.
5.Sandra Niessen yang fasih berbahasa Batak Toba dan menguasai seluk beluk filosofi hidup orang Batak Toba.
6.R. Griffin Coleman yang fasih berbahasa Pakpak dan menguasai segala seluk beluk tradisi kebudayaan Pakpak.
7.Moriyama yang fasih berbahasa Sunda dan menguasai seluk beluk kehidupan orang Sunda.
8.J.J. Ras dan Willem van der Molen dari Universitas Leiden yang ahli bahasa dan sastra Jawa yang sangat menguasai alam pikiran, tradisi dan perilaku orang Jawa.

Itulah beberapa peneliti asing yang saya kenal. Tentu saja masih banyak sekali nama-nama peneliti yang fasih berbahasa dan menguasai segala segi kehidupan lahir batin suku-suku bangsa yang mereka teliti. Catatan ini hanya sekedar mengingatkan para peneliti, apakah ia orang asing atau orang Indonesia, agar ia sewajarnya menguasai bahasa dan nilai-nilai luhur masyarakat yang ditelitinya.
Biarlah ini semua menjadi sumbangan saya kepada MOP dan kepada para pencari kebenaran.

Rawamangun, 18 Agustus 2007
basyralharahap@centrin.net.id
Blog of Basyral Hamidy Harahap
http://basyral-hamidy-harahap.com

No comments:

Post a Comment