Antara Tuanku Rao dan Da Vinci Code (Ed 01 Agt 2007)
by MAJALAH TATAP, Bacaan Kaum Terdidik Batak on Monday, 5 April 2010 at 10:16 ·
Oleh JANSEN H. SINAMO
Buku ini mengisahkan gerakan Paderi dari sudut pandang Batak sambil mengagungkan heroisme Batak, 180 derajat berbeda dengan sejarah Paderi yang menggunakan kacamata Minangkabau. Seolah-olah peran Tuanku Rao dan Tuanku Lelo lebih istimewa ketimbang Tuanku Imam Bonjol.
MENURUT Parakitri T. Simbolon, direktur Kepustakaan Populer Gramedia, setiap buku punya takdirnya sendiri. Nasib paling sial, buku itu tidak ditanggapi orang. Ia terbit, beredar dalam senyap, lalu diam-diam masuk gudang. Ia dianggap sepi, seolah-olah tak ada.
Tak banyak buku bernasib sebaik Tuanku Rao karangan Mangaraja Onggang Parlindungan. Buku ini ditakdirkan kontrovesial. Heboh dibicarakan orang dengan sikap pro-kontra yang sengit. Pada edisi pertama (1964) ia tak kurang diramaikan oleh tokoh-tokoh sekaliber HAMKA dan Slamet Muljana. Dalam debat HAMKA sampai-sampai mencerca Parlindungan. Demikian sebaliknya. Saking panasnya debat itu, buku ini pun ditarik dari pasar oleh penulisnya sendiri.
Edisi kedua (2007) Tuanku Rao kembali merebut gelanggang. Buku ini memang sudah lama dirindukan orang karena kisahnya yang dahsyat namun sudah lama raib dari peredaran. Sejak diluncurkan 5 Juli lalu, sudah dua kali ia diseminarkan. Tak kurang dari sejarawan Asvi Warman Adam serta tokoh sekaliber Bismar Siregar dan Adnan Buyung Nasution angkat bicara. Bahkan, budayawan senior Mandailing, Basyral Hamidy Harahap, sudah menulis buku tanggapan setebal hampir 300 halaman, diberi judul Greget Tuanku Rao, rencananya terbit Agustus ini. Pada 1974 HAMKA sendiri menerbitkan buku Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao.
Mengapa Tuanku Rao begitu tenar dan kontroversial? Setidaknya karena empat alasan.
Pertama, buku ini mengisahkan perkara tabu. Kata Parlindungan, Tuanku Rao, sang protagonis utama buku ini, tak lain tak bukan adalah Pongkinangolngolan Sinambela, anak sumbang dari Putri Gana boru Sinambela (kakak Sisingamangaraja X) dengan pamannya Pangeran Gindoporang Sinambela. Ini mirip The Da Vinci Code karya Dan Brown, yang kisah utamanya berporos pada keyakinan adanya sebuah dinasti keturunan Yesus yang menikah dengan kekasihnya, Maria Magdalena, yang konon hingga kini masih ada di Inggris dan Prancis. Ini kisah tabu bagi orang Kristen. Dan apa pun yang tabu selalu memicu rasa ingin tahu.
Kedua, sama seperti Dan Brown, Mangaradja Onggang Parlindungan adalah seorang maestro cerita, bayo parturi dalam istilah Mandailing, yang sanggup meramu fakta sejarah dengan folklor, mitos, dan imajinasi menjadi kisah yang sangat memikat, dengan gaya bertutur yang asyik pula. Satu-satunya buku sumber ialah catatan seorang guru sejarah, Sutan Martua Radja, ayah Parlindungan sendiri. Sutan Martua Radja adalah cicit dari—masing-masing melalui garis ayah dan ibunya—Djatenggar Siregar dan Tuanku Lelo (Idris Nasution), dua jagoan antagonis top dalam buku ini, yang selain merusak nama baik Tuanko Rao di Tapanuli, juga membajak gerakan Paderi untuk kepentingan pribadi masing-masing. Jika puncak notoriusitas Djatenggar Siregar ialah memenggal kepala Sisingamangaraja X kerena dendam kesumat lama marga Siregar ratusan tahun lalu, notoriusitas Idris Nasution, gelar Tuanko Lelo, ialah penghancuran, pembunuhan, pemerkosaan, dan bumi hangus tak berperikemanusiaan dalm gerak maju pasukan Paderi dari Tapanuli Selatan sampai ke jantung Tapanuli Utara pada abad ke-19.
Ketiga, buku ini mengisahkan gerakan Paderi dari sudut pandang Batak sambil mengagungkan heroisme Batak, 180 derajat berbeda dengan sejarah Paderi yang menggunakan kacamata Minangkabau. Seolah-olah peran Tuanku Rao dan Tuanku Lelo lebih istimewa ketimbang Tuanku Imam Bonjol. Di sinilah pangkal perselisihan Parlindungan dengan Buya HAMKA.
Keempat, Pongkinangolngolan, dengan riwayat pribadi yang gelap dan mengharukan segera mengundang simpati dan bagai mukjizat, sesudah selamat dari usaha pembunuhan, tiba dan tinggal di Angkola-Sipirok, lalu sampai di Minangkabau, menjadi Islam, dan diberi nama baru: Umar Katab. Karena sikap dan prestasinya, Tuanku Nan Renceh mengangkatnya sebagai perwira tentara Paderi dengan gelar Tuanku Rao. Strategi Paderi: menggunakan orang Batak untuk menaklukkan tanah Batak dari selatan ke utara. Periode Paderi ini adalah neraka paling gelap dalam sejarah Batak. Meski demikian, Paderi tidak berhasil mencapai tujuannya, tidak hanya di utara, juga di selatan. “Paderi tidak meninggalkan jejak apa-apa di Mandailing,” kata Basyral Hamidy Harahap.
Sejarah adalah sejarah. Andai buku Parlindungan ternyata salah, tugas sejarawanlah menemukan versi yang benar. Andai buku ini benar, mau apa lagi, ia hanya bisa digunakan menjadi bahan refleksi, sebagai guru dalam menimba kearifan. Setiap kaum dan bangsa mempunyai periode hitam dalam sejarahnya masing-masing, termasuk yang disebut bangsa-bangsa maju seperti Inggris, Prancis, Jerman, Jepang, dan Amerika. Parlindungan sendiri telah berusaha jujur: ia tak berusaha mempercantik sejarah kakek moyangnya.*
http://www.facebook.com/notes/majalah-tatap-bacaan-kaum-terdidik-batak/ antara-tuanku-rao-dan-da-vinci-code-ed-01-agt-2007/395463745024?comment_id=12720559
by MAJALAH TATAP, Bacaan Kaum Terdidik Batak on Monday, 5 April 2010 at 10:16 ·
Oleh JANSEN H. SINAMO
Buku ini mengisahkan gerakan Paderi dari sudut pandang Batak sambil mengagungkan heroisme Batak, 180 derajat berbeda dengan sejarah Paderi yang menggunakan kacamata Minangkabau. Seolah-olah peran Tuanku Rao dan Tuanku Lelo lebih istimewa ketimbang Tuanku Imam Bonjol.
MENURUT Parakitri T. Simbolon, direktur Kepustakaan Populer Gramedia, setiap buku punya takdirnya sendiri. Nasib paling sial, buku itu tidak ditanggapi orang. Ia terbit, beredar dalam senyap, lalu diam-diam masuk gudang. Ia dianggap sepi, seolah-olah tak ada.
Tak banyak buku bernasib sebaik Tuanku Rao karangan Mangaraja Onggang Parlindungan. Buku ini ditakdirkan kontrovesial. Heboh dibicarakan orang dengan sikap pro-kontra yang sengit. Pada edisi pertama (1964) ia tak kurang diramaikan oleh tokoh-tokoh sekaliber HAMKA dan Slamet Muljana. Dalam debat HAMKA sampai-sampai mencerca Parlindungan. Demikian sebaliknya. Saking panasnya debat itu, buku ini pun ditarik dari pasar oleh penulisnya sendiri.
Edisi kedua (2007) Tuanku Rao kembali merebut gelanggang. Buku ini memang sudah lama dirindukan orang karena kisahnya yang dahsyat namun sudah lama raib dari peredaran. Sejak diluncurkan 5 Juli lalu, sudah dua kali ia diseminarkan. Tak kurang dari sejarawan Asvi Warman Adam serta tokoh sekaliber Bismar Siregar dan Adnan Buyung Nasution angkat bicara. Bahkan, budayawan senior Mandailing, Basyral Hamidy Harahap, sudah menulis buku tanggapan setebal hampir 300 halaman, diberi judul Greget Tuanku Rao, rencananya terbit Agustus ini. Pada 1974 HAMKA sendiri menerbitkan buku Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao.
Mengapa Tuanku Rao begitu tenar dan kontroversial? Setidaknya karena empat alasan.
Pertama, buku ini mengisahkan perkara tabu. Kata Parlindungan, Tuanku Rao, sang protagonis utama buku ini, tak lain tak bukan adalah Pongkinangolngolan Sinambela, anak sumbang dari Putri Gana boru Sinambela (kakak Sisingamangaraja X) dengan pamannya Pangeran Gindoporang Sinambela. Ini mirip The Da Vinci Code karya Dan Brown, yang kisah utamanya berporos pada keyakinan adanya sebuah dinasti keturunan Yesus yang menikah dengan kekasihnya, Maria Magdalena, yang konon hingga kini masih ada di Inggris dan Prancis. Ini kisah tabu bagi orang Kristen. Dan apa pun yang tabu selalu memicu rasa ingin tahu.
Kedua, sama seperti Dan Brown, Mangaradja Onggang Parlindungan adalah seorang maestro cerita, bayo parturi dalam istilah Mandailing, yang sanggup meramu fakta sejarah dengan folklor, mitos, dan imajinasi menjadi kisah yang sangat memikat, dengan gaya bertutur yang asyik pula. Satu-satunya buku sumber ialah catatan seorang guru sejarah, Sutan Martua Radja, ayah Parlindungan sendiri. Sutan Martua Radja adalah cicit dari—masing-masing melalui garis ayah dan ibunya—Djatenggar Siregar dan Tuanku Lelo (Idris Nasution), dua jagoan antagonis top dalam buku ini, yang selain merusak nama baik Tuanko Rao di Tapanuli, juga membajak gerakan Paderi untuk kepentingan pribadi masing-masing. Jika puncak notoriusitas Djatenggar Siregar ialah memenggal kepala Sisingamangaraja X kerena dendam kesumat lama marga Siregar ratusan tahun lalu, notoriusitas Idris Nasution, gelar Tuanko Lelo, ialah penghancuran, pembunuhan, pemerkosaan, dan bumi hangus tak berperikemanusiaan dalm gerak maju pasukan Paderi dari Tapanuli Selatan sampai ke jantung Tapanuli Utara pada abad ke-19.
Ketiga, buku ini mengisahkan gerakan Paderi dari sudut pandang Batak sambil mengagungkan heroisme Batak, 180 derajat berbeda dengan sejarah Paderi yang menggunakan kacamata Minangkabau. Seolah-olah peran Tuanku Rao dan Tuanku Lelo lebih istimewa ketimbang Tuanku Imam Bonjol. Di sinilah pangkal perselisihan Parlindungan dengan Buya HAMKA.
Keempat, Pongkinangolngolan, dengan riwayat pribadi yang gelap dan mengharukan segera mengundang simpati dan bagai mukjizat, sesudah selamat dari usaha pembunuhan, tiba dan tinggal di Angkola-Sipirok, lalu sampai di Minangkabau, menjadi Islam, dan diberi nama baru: Umar Katab. Karena sikap dan prestasinya, Tuanku Nan Renceh mengangkatnya sebagai perwira tentara Paderi dengan gelar Tuanku Rao. Strategi Paderi: menggunakan orang Batak untuk menaklukkan tanah Batak dari selatan ke utara. Periode Paderi ini adalah neraka paling gelap dalam sejarah Batak. Meski demikian, Paderi tidak berhasil mencapai tujuannya, tidak hanya di utara, juga di selatan. “Paderi tidak meninggalkan jejak apa-apa di Mandailing,” kata Basyral Hamidy Harahap.
Sejarah adalah sejarah. Andai buku Parlindungan ternyata salah, tugas sejarawanlah menemukan versi yang benar. Andai buku ini benar, mau apa lagi, ia hanya bisa digunakan menjadi bahan refleksi, sebagai guru dalam menimba kearifan. Setiap kaum dan bangsa mempunyai periode hitam dalam sejarahnya masing-masing, termasuk yang disebut bangsa-bangsa maju seperti Inggris, Prancis, Jerman, Jepang, dan Amerika. Parlindungan sendiri telah berusaha jujur: ia tak berusaha mempercantik sejarah kakek moyangnya.*
http://www.facebook.com/notes/majalah-tatap-bacaan-kaum-terdidik-batak/
No comments:
Post a Comment