Sunday, April 22, 2012

Kepahlawanan Imam Bonjol Dan Tambusai Digugat

Kepahlawanan Imam Bonjol Dan Tambusai Digugat
.
Demikian tercermin dalam paparan seorang ahli sejarah Mandailing, Basyral Hadi Harahap dalam seminar dengan tema Holong Mangalap Holong, Prinsip Dakwah Masyarakat Mandailing, di kampus Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri Sumatera Utara, Medan pada hari Kamis tanggal 17 November 2007. WASPADA Online

Oleh H. Kosky Zakaria
Demikian tercermin dalam paparan seorang ahli sejarah Mandailing, Basyral Hadi Harahap dalam seminar dengan tema Holong Mangalap Holong, Prinsip Dakwah Masyarakat Mandailing, di kampus Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri Sumatera Utara, Medan pada hari Kamis tanggal 17 November 2007. Saya terperangah mendengarkan pernyataan ahli sejarah Mandailing ini,  pengangkatan Tuanku Imam Bonjol dan Tuanku Tambusai sebagai Pahlawan Nasional dipertanyakan.  Bagi orang Minang para pahlawan Perang Paderi adalah tokoh Minang jua yang perlu dihormati dan disanjung sebagai orang-orang yang telah berjuang melawan penjajahan Belanda.

Bermula, seorang pemuka masyarakat Mandailing, Pandapotan Nasution, SH sebagai narasumber pada seminar itu di atas menanggapi paparan Basyral Hadi yang bersumber dari bukunya, Greget Tuanko Rao. Bagi saya, sebagai salah seorang peserta seminar, yang menarik ialah apa yang dikemukakan  Basyral Hadi dalam bukunya itu  di atas, khususnya  menyangkut Tuanku Imam Bonjol dan Tuanku Tambusai sebagai Pahlawan Nasional, tulisan mana ditanggapi oleh Pandapotan Nasution.

Jiwa Kepahlawanan
Basyral menulis dalam bukunya, sebagaimana dapat dibaca pada halaman 106 di bawah judul: ‘Kita Bertanya’. Basyral menulis: Kita juga bertanyatanya tentang apakah ada patriotisme pada diri Tuanku Imam Bonjol dan Tuanku Tambusai? Pertanyaan ini timbul dari kenyataan, dua petinggi Paderi itu telah ditetapkan oleh Pemerintah Pusat Republik Indonesia sebagai Pahlawan Nasional. Kita bertanya di manakah jiwa kepahlawanan seorang yang telah banyak membunuh, menculik kaum perempuan untuk dijual sebagai budak atau dijadikan gundik di kalangan bangsa sendiri? Kita bertanya, apakah seseorang yang menginjak-injak harkat dan martabat bangsa sendiri pantas menjadi pahlawan? Pandapotan Nasution berpendapat, tidaklah dapat diyakini Paderi melakukan tindakan teror karena mereka adalah penganut agama Islam. Islam adalah agama yang membawa kedamaian, mungkinkah mereka melakukan perbuatan sekeji itu? Bisa jadi, menurut Pandapotan, bahwa tuduhan itu dibenarkan oleh Basyral karena leluhurnya adalah korban kekejaman Tuanku Tambusai.

Demikian pula halnya dengan Tuanku Imam Bonjol, sebagaimana pernah diketahui oleh Pandapotan dan juga disebutkan dalam buku-buku sejarah, Imam Bonjol bukan menyerah tetapi ditipu oleh Belanda dengan dalih diajak berunding, lalu kemudian ditangkap. Lebih lanjut Pandapotan mengemukakan, Tuanku Imam Bonjol dan Tuanku Tambusai haruslah ditinjau menurut perspektif zamannya. Waktu itu belum ada nasionalisme. Belum ada bangsa Indonesia, yang ada waktu itu, adalah bangsa Minangkabau, bangsa Mandailing, bangsa Jawa, bangsa Aceh, dan sebagainya. Kita pun bukan warganegara, tapi Bumi Putera (Inlander). Penduduk jajahan Belanda ini terbagi atas tiga golongan, yaitu Eropa, Timur Asing, dan Inlander atau Bumi Putera. Bangsa di sini dalam pengertian etnis, bukan nation. Karena itu, kata Pandapotan, ‘kita tidak perlu mempertanyakan kepahlawanan Imam Bonjol dan Tambusai. Mereka sudah diakui sebagai Pahlawan Nasional.

Sebagai salah seorang yang berasal dari  Minang, saya terusik juga apa yang dikemukakan Basyral Hadi dalam bukunya, Greget Tuanku Rao. Saya mengemukakan,  Tuanku Imam Bonjol, Tuanku Tambusai, dan para pahlawan Perang Paderi lainnya, adalah  pahlawan Minangkabau sebagaimana dapat dibaca dalam buku-buku pelajaran sejarah semenjak saya bersekolah di Sekolah Rakyat (sekarang Sekolah Dasar). Dalam bukunya, Basyral Hadi bertanya apakah ada patriotisme  pada diri Tuanku Imam Bonjol dan Tuanku Tambusai?

Buktikan
Walaupun saya hadir di seminar itu dan tidak memiliki buku Greget Tuanku Rao dan waktu yang tersedia sedikit saja,  saya ingin mendalami lebih lanjut sekitar Tuanku Imam Bonjol dan Tuanku Tambusai, sebagaimana diulas Pandapotan Nasution (lihat kutipan tulisan miring). Perlu ditanyakan Basyral Hadi apakah ada patriotisme pada diri Tuanku Imam Bonjol dan Tuanku Tambusai. Saya ungkapkan di sini (mudah-mudahan dibaca oleh Basyral), sikap patriotisme Imam Bonjol dan Tambusai, jangan dilihat sebagai akibat dari gelar Pahlawan Nasional dari Pemeritah. Lihatlah patriotisme ini sebagai landasan berpijak Imam Bonjol dan Tambusai serta para pejuang Perang Paderi yang memperlihatkan sikap kecintaan membela tanah air mereka (kebetulan mereka berada di wilayah Minangkabau dan sebagian wilayah Mandailing) berdasarkan sikap seorang Islam sejati. Para pejuang Paderi tidak ingin Belanda memperbudak kaum ‘inlander’ terutama di Minangkabau dan di Mandailing.

Seandainya Basyral mempertanyakan ‘patriotisme’ Imam Bonjol dan Tambusai, saya bertanya pula, ‘mengapa sekarang, kenapa tidak dulu-dulu sewaktu penulis buku ini menemukan bukti-bukti sahih tentang kepatriotismean Imam Bonjol dan Tambusai?’ Kenapa pertanyaan ‘patriotisme’ tidak ditujukan kepada panitia pemberian gelar-gelar kepahlawanan, kepada Pemerintah RI? Buktikan alasannya. Kalau respons Pemerintah RI tidak ada, mengapa Bung Basyral tidak membeberkan  melalui media massa, agar semua orang tahu bahwa mungkin saja menurut pendapat Bung Basyral, Imam Bonjol dan Tambusai ‘tidak pantas’ diberi gelar Pahlawan Nasional. Kalau ingin meluruskan sejarah, sekaranglah saatnya Bung Basyral tampil ke depan, siapa tahu Bung Basyral akan diangkat pula sebagai ‘Pahlawan Pelurusan Sejarah Bangsa Indonesia’.

Akhirnya, sebagaimana disampaikan oleh Basyral Hadi Harahap di seminar di atas, Tuanku Imam Bonjol bukan ditipu kemudian ditangkap Belanda, tetapi direkayasa seolah-olah Imam Bonjol ditangkap kemudian diasingkan atau dibuang ke Manado, Sulawesi Utara. Imam Bonjol telah melakukan pembicaraan rahasia dengan Belanda melalui penghubung. Kalau memang demikian halnya sebagaimana digambarkan dalam buku Basyral, sudah terjadi rekayasa bahwa Imam Bonjol ‘ditangkap’ Belanda, seyogyanyalah bukti-bukti otentik yang dimiliki oleh Basyral dibuka agar terdapat suatu pelurusan sejarah. Sebagai salah seorang suku Minang, Imam Bonjol di mata orang Minang adalah pahlawan besar, idola masyarakat, mencontoh Imam Bonjol bagaimana ia berjuang bersama pasukan Paderi mengusir penjajah Belanda dan sekaligus juga berjuang di jalan yang diridhoi oleh Allah SWT. Janganlah hendaknya harkat dan martabat orang Minang runtuh karena ungkapan Basyral yang tidak mengandung kebenaran. Buktikanlah, Basyral bicara benar.

Para ahli sejarah kiranya perlu menggali kebenaran yang diungkapkan oleh Basyral Hadi Harahap dalam bukunya itu. Bagi Basyral sendiri, ia harus berani mensosialisasikan temuan-temuannya yang dituliskannya dalam bukunya, khususnya yang menyangkut Tuanku Imam Bonjol, Tuanku Tambusai, bahkan secara umum para pejuang Paderi. Beranilah bicara di depan media massa agar bangsa ini tidak terjerumus pada ketidakpastian mengenai kepahlawanan seseorang. Pemerintah perlu mendalami sejarah Perang Paderi karena para petingginya telah dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional. Sejarah perlu diluruskan. Saya bukan ahli sejarah, tetapi merasa terpanggil untuk ikut mengkomunikasikan sejarah bangsa ini.


Sumber : http://www.waspada.co.id/i


Catatan Harian Imam Bonjol

Imam Bonjol meninggalkan sejumlah catatan hidupnya saat diasingkan. Ada catatan tentang jalannya pertempuran, negosiasi dengan Belanda. Tak ada tentang kebrutalan.

“Ini ada surat Kumpeni menyuruh saya datang kepada kumpeni sekarang. Bagaimana kiranya segala datuk-datuk atau baik saya pai (pergi-red) atau tidak? “
Imam Bonjol wafat di Menado. Selama di Menado, ia ternyata menuliskan semacam otobiografi yang ditulis dalam huruf Arab Melayu. Oleh anaknya, Naali Sutan Chaniago dan Haji Muhammad Amin yang ikut dibuang ke Menado, naskah itu diselamatkan.
Dalam catatan kita temui kesaksian Imam Bonjol menyerang daerah-daerah yang belum menjalankan syariah, juga kisah bagaimana ia mengirim Tuanku Tambusai ke Mekkah, yang kemudian membuat Tambusai bergelar Haji Muhammad Saleh.
Atau bagaimana di sebuah salat Jumat, ia menyerukan hukum adat bersyandi syarak. Ia melukiskan dengan agak rinci betapa ganasnya perang mempertahankan benteng Bonjol. Tapi bagian paling panjang adalah pengakuannya bernegosiasi dengan Belanda .
Diceritakan, utusan Belanda Kroner (kolonel) Elout memintanya menyerah. Ia menolak, lalu terjadi pertempuran sengit. Dikisahkannya ia memasang meriam sendiri untuk menggempur Belanda. Tapi benteng Bonjol jatuh, dan utusan datang lagi. Di Padang, ia bertemu Resident Francis.
Resident Francis : “Dulu saya minta tuanku , Tuanku tidak mau datang bertemu kami..”
Tuanku Imam Bonjol: Tempo tuan kirim surat yang dahulu tuan minta saya. Saya kasih lihat surat itu kepada raja-raja dan penghulu. Hampir saya dibunuh orang tempo itu dan dicabik-cabiknyo dek surat itu. Surat kemudian tidak kasih lihat pada penghulu. Maka itulah sekarang mencari tuan…
Imam Bonjol akhirnya mau dibawa kapal ke Betawi, Surabaya, Buton, Ambon sampai Menado. Di sanalah di Lotak Pineleng ia tinggal sampai wafatnya. Keberadaan naskah Tuanku Imam Bonjol pertama kali dilaporkan oleh PH.S van Ronkel dalam artikel “Inlandsche getuidenissen aangande de Padri-oorlog” (Kesaksian Pribumi mengenai Perang Paderi) dalam jurnal De Indische Gids, 1915.
Ronkel menyebutkan bahwa dirinya telah menyalin satu naskah berjudul “Tambo Anak Tuanku Imam Bonjol” setebal 318 halaman. Pada 2004, Sjafnir Aboe Nain dari Pusat Pengkajian Islam dan Minangkabau (PPIM) di Padang menerbitkan transliterasi naskah Tuanku Imam Bonjol.
Kata pengantar yang ditulis Sjafnir menyebutkan bahwa salinan Ronkel itu sesungguhnya gabungan antara catatan Imam Bonjol yang berjumlah 191 halaman, ditambah catatan anaknya, Naali dan Amin. Naskah itu sendiri menurutnya dikenal dengan nama “Tambo Naali Sulthan Chaniago.”
Transliterasi dilakukan Sjafnir ke dalam bahasa Minang-Melayu, membuat naskah ini agak sulit untuk dipahami dalam waktu singkat. “Saya butuh waktu lama untuk memahami naskah ini,” kata peneliti sejarah Tapanuli Selatan, Basyral Hamidi Harahap.
Tak ada bagian dari naskah ini yang menampilkan sikap Imam Bonjol akan kekerasan yang dilakukan Padri. “Tapi saya yakin Imam Bonjol mengetahui mengenai kekejaman kaum Paderi, baik penculikan maupun pemerkosaan. Tapi ia diam saja,” kata Basyral.
Ia merujuk ada halaman yang menampilkan masalah penculikan dan jual beli perempuan ternyata dibicarakan secara terbuka dalam pertemuan suatu yang dihadiri tokoh-tokoh umat. Yakni Sultan Chaniago, Nan Pahit, Datuk Kayo, Datul Limo Koto, Rajo Minang, Punjuak Batuah dan Pado Alim.
Pailah (pergilah-red) ke rumah Malin Kecil, basua (bertemu-red) perempuan. Ditanyalah dek (oleh-red) Datuk Limo Koto perempuan itu. ‘Siapo nan manangkap di lading Batang Silasung?’ kata Datuk Limo Koto. Alah (kemudian-pen) menjawab perempuan, ‘Nan manangkap saya dicari (si Cari-red) orang Durian Tinggi. Dijualnya dek (oleh-red) si Cari itu saya kepada Rajo Manang. Dek Rajo Manang dijual pula ke Bamban.’
Sejarawan dari Universitas Andalas, Padang, Dr Gusti Asnan melihat sebagai sebuah catatan harian, Tuanku Imam Bonjol sangat tidak mungkin menuliskan fakta-fakta kebrutalan Padri. “Bila dibandingkan dengan sumber sejarah Belanda, Tuanku Imam Bonjol tidak memasukkan peristiwa pembakaran, perampokan serta penculikan dan pemerkosaan perempuan. Tapi saya pikir dia tahu mengenai kejadian itu,” ungkap Gusti.
Baik Basyral maupun Gusti melihat proses negosiasi antara Tuanku yang diwakili anaknya, Sutan Chaniago, dengan pemimpin Belanda, sama sekali tidak menunjukkan ketegangan. Adalah mengherankan-Imam Bonjol yang dikenal sebagai sosok penentang Belanda yang gigih kemudian seperti melemah. Bahkan Gusti melihat keakraban Tuanku dengan Resident Elout dan Resident Francis aneh.
“Sekarang Tuanku pergi ke negri Menado , karena negri Menado baik, tempat baik, makanan murah…”
“Sebagai seorang pahlawan nasional, apa iya Tuanku tidak merasa curiga terhadap niat Belanda?” tanya Gusti.

Sita Planasari Aquadini, Seno Joko Suyono 


Majalah Tempo, Edisi 34 /XXXVI/15 – 21 Oktober 2007

No comments:

Post a Comment