Sunday, April 22, 2012

Kepahlawanan Imam Bonjol Dan Tambusai Digugat (Menanggapi H. Kosky Zakaria)

Saturday, 08 December 2007 09:44
Kepahlawanan Imam Bonjol Dan Tambusai Digugat (Menanggapi H. Kosky Zakaria)

Opini
WASPADA Online

Oleh Basyral Hamidy Harahap

H. Kosky Zakaria adalah salah seorang penanya, setelah saya membacakan makalah pada seminar bertema Holong Mangalap Holong: Prinsip Dakwah Masyarakat Mandailing yang diselenggarakan Program Pascasarjana IAIN-SU di Medan, 17 November lalu. Saya menjelaskan pada seminar itu, lafal langgam bicara orang Mandailing kaya sekali dengan huruf sengau, semua huruf diucapkan secara sempurna seperti bahasa Al Quran yang memberi hak suara kepada setiap huruf, sehingga menimbulkan efek relaksasi. Langgam bicara seperti itu besar pengaruhnya dalam berdakwah, karena menimbulkan rasa damai dan saling sayang menyayangi (holong mangalap holong).

Menanggapi penjelasan saya itu, H. Kosky Zakaria mengatakan, langgam bicara orang Minang seperti orang yang tercekik. Saya kaget, karena baru pertama kali saya mendengar hal itu, apalagi diucapkan seorang cendekiawan Minang sendiri, seorang ahli komunikasi, dosen Program Pasca Sarjana, IAIN-SU Bidang Studi Komunikasi Islam. H. Kosky Zakaria juga menyebutkan pada kesempatan seminar itu, orang Minang banyak akal. Selanjutnya H. Kosky Zakaria meminta klarifikasi tentang rekayasa penyerahan diri Tuanku Imam Bonjol seperti yang saya ungkapkan di dalam buku Greget Tuanku Rao.  Berangkat dari kesan-kesannya dari seminar itu, H. Kosky Zakaria menulis artikel dalam rubrik opini Harian Waspada edisi 27 November 2007 di bawah judul Kepahlawanan Imam Bonjol dan Tambusai Digugat. Beberapa hal yang dikemukakan H. Kosky Zakaria di dalam artikel itu ingin saya tanggapi, agar masalahnya menjadi jernih.

Maklumlah, karena waktu yang terbatas tidak semua pertanyaan dapat dijawab seluas-luasnya dalam acara tanya jawab pada seminar tersebut. Saya jelaskan, informasi tentang rekayasa penyerahan diri Tuanku Imam Bonjol bersumber pada Naskah Tuanku Imam Bonjol. Bahan primer ini berbahasa Minangkabau dan Melayu yang dialihaksarakan oleh Drs. H. Sjafnir Aboe Nain dari aksara Jawi (Arab Gundul) ke dalam aksara Latin. Tuanku Imam Bonjol sendiri menulis catatan harian itu setebal 191 halaman, kemudian dilanjutkan putranya, Sutan Chaniago, dari halaman 192 s.d. 318. Terungkap di dalam buku itu sejauh mana Tuanku Imam Bonjol ikut merekayasa penyerahan dirinya kepada kompeni. Buku yang memuat kata Sambutan Gubernur Sumatera Barat, Zainal Bakar, ini diterbitkan pada tahun 2004 oleh Pusat Pengkajian Islam dan Minangkabau (PPIM), Jl. Veteran No. 93, Padang, Telefon/Fax 31356-7877344.

Sulit sekali mendapatkan buku sumber dari tangan pertama pemimpin Paderi ini, apalagi ternyata PPIM sudah bubar. Saya melacak keberadaan publikasi sumber ini ke berbagai lembaga, toko buku dan tokoh-tokoh di Padang, Medan dan Jakarta. Saya gagal. Akhirnya melalui bantuan teman saya Ammar Haryono di Bandung, saya berhasil memperolehnya dari Bapak Armahedi Mahzar, dosen ITB, seorang kelahiran Malang berdarah Kota Gadang, Bukit Tinggi, yang keluarga istrinya diincar-incar kaum Paderi. Buku inilah yang membeberkan berbagai peristiwa yang dialami Tuanku Imam Bonjol, termasuk pernyataanya mengundurkan diri dari gerakan Paderi, karena menyadari kekeliruannya melakukan peperangan.

Pada suatu hari Jumat Tuanku Imam Bonjol memerintahkan kepada pengikutnya untuk mengembalikan barang-barang rampasan pasukan Paderi. Para pengikut Tuanku Imam Bonjol menolak pengunduran dirinya dari gerakan Paderi. Tetapi pendirian Tuanku Imam Bonjol tetap teguh, kemudian menyatakan, jika ada masalah adat supaya diselesaikan oleh para petinggi adat, sedangkan masalah agama diselesaikan oleh malin nan barampek. Sejak itulah pertama kali didengar istilah adat basandi syarak. Ini semua ada di dalam Naskah Tuanku Imam Bonjol.

Saya sudah memberikan fotokopi dari Naskah Tuanku Imam Bonjol kepada Dr. Ichwan Azhari, Direktur Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-Ilmu Sosial (PUSSIS) Unimed, sekaligus pemilik Pustaka Humaniora yang beralamat di Jln. Tuasan 69, Medan. Saya persilahkan kepada H. Kosky Zakaria membuat fotokopi naskah itu. Seterusnya, saya mengharapkan kesediaan H. Kosky Zakaria membaca buku Greget Tuanku Rao dengan sabar dan tekun. Pada kesempatan ini saya meminta kesediaan H. Kosky Zakaria untuk mencatat dua kesalahan ketik yang mengganggu, ialah pada halaman 87 tercetak Leonardo da Vinci, seharusnya Dante Alighieri, dan pada baris terakhir halaman 202 tercetak 1969 seharusnya 1869.

H. Pandapotan Nasution, SH tanpa dia sadari sudah terjebak di dalam lingkaran subyektivitas dalam bentuk 'asal menyatakan tidak' terhadap apa-apa yang saya kemukakan di dalam buku Greget Tuanku Rao dan makalah saya pada seminar Holong Mangalap Holong: Prinsip Dakwah Masyarakat Mandailing itu. H. Pandapotan Nasution, SH. antara lain menyatakan, buku Greget Tuanku Rao subyektif. Alasannya, karena saya menceritakan pengalaman leluhur saya yang menjadi korban kaum Paderi. Saya bertanya, 'Apakah kalau kita menulis tentang fakta yang dialami leluhur kita tidak bisa obyektif?' H. Pandapotan Nasution, SH juga menyatakan dengan tegas, sumber-sumber Belanda yang saya pakai, dia ragukan kebenarannya.

Pasalnya, bahan-bahan itu sukar didapat oleh orang lain untuk membuktikan kebenaran tulisan saya. Bukankah pernyataan itu justru subyektif? Bertolak belakang dengan pernyataan itu, pada bagian lain H. Pandapotan Nasution, SH menyatakan, selaku sarjana hukum dia mengakui, penerbitan Belanda Adatrechtbundel adalah bacaan wajib dalam studi hukum. Agaknya Pandapotan Nasution tidak melihat dengan seksama, ada sumber saya yang diambil dari Adatrechtbundel. Serial Adatrechtbundel itu diterbitkan oleh Koninklijk Instituut voor Taal, Land en Volkenkunde (KITLV). KITLV adalah lembaga ilmiah yang didirikan tahun 1851, memiliki reputasi internasional dan menyimpan koleksi yang sangat kaya tentang Indonesia.

Sebagai orang yang bekerja selama 26 tahun di KITLV (1969-1995), saya terheran-heran mendengar penilaian orang sekaliber Pandapotan Nasution yang memasang ukuran keabsahan literatur pada sukarnya orang lain memperoleh bahan yang saya gunakan. Maka, saya anjurkan kepada Pandapotan Nasution agar pergi ke pusat-pusat arsip, dokumentasi dan perpustakaan di Negeri Belanda seperti yang saya lakukan berkali-kali sejak tahun 1975. Seorang kawan saya, Ammar Haryono, telah mensponsori perjalanan saya ke Negeri Belanda pada bulan Juli-Agustus 2006, hanya untuk membaca dan mencari bahan penelitian di KITLV, Leiden. Insya Allah, sponsor yang sama akan memberangkatkan saya lagi ke Leiden pada bulan Juni-Agustus 2008. Pandapotan Nasution perlu mengetahui, KITLV dan semua lembaga arsip dan dokumentasi di Belanda terbuka untuk kepentingan riset.

Saya setuju sekali anjuran H. Kosky Zakaria agar para ahli sejarah menggali kebenaran tentang apa yang saya kemukakan di dalam buku Greget Tuanku Rao. Buku yang ditulis dan diterbitkan secara komersial yang beredar di dalam masyarakat itu sendiri, adalah sosialisasi temuan-temuan. Perlu saya sebutkan, saya sudah berbicara di forum terbuka dalam acara bedah buku Greget Tuanku Rao yang dihadiri banyak pihak termasuk wartawan, antara lain tanggal 8 November 2007 yang diselenggarakan Fakultas Ilmu Budaya UI, Studi Klub Sejarah, dan Komunitas Bambu di Pusat Studi Jepang UI. Kemudian 10 November 2007 di Unimed yang diselenggarakan PUSSIS Unimed, dilanjutkan 17 November 2007 di IAIN-SU, yang dihadiri H. Kosky Zakaria sendiri.

Menurut rencana, acara yang sama akan digelar di Jakarta pada bulan Desember 2007. Ini bukti kesediaan saya berbicara di muka forum terhormat, seperti di beberapa perguruan tinggi bergengsi itu. Tak terbersit seberapa pun kecilnya niat di dalam hati saya untuk meruntuhkan harkat dan martabat orang Minang melalui buku Greget Tuanku Rao, seperti yang dituduhkan Kosky Zakaria di dalam artikelnya. Prasangka seperti itu harus dibuang jauh-jauh dari pikiran siapa pun. Lagipula, manalah mungkin harkat dan martabat orang Minang runtuh hanya karena buku ini. Lebih tak terbersit lagi apa yang diejekkan Kosky Zakaria, 'Siapa tahu Bung Basyral akan diangkat pula sebagai 'Pahlawan Pelurusan Sejarah Bangsa Indonesia'. Jan baitu angku.

Sebagai penutup baiklah saya kutip di sini alinea terakhir makalah saya pada seminar Holong Mangalap Holong di Pasca Sarjana IAIN-SU tanggal 17 November itu, untuk direnungkan dalam-dalam, sbb.:

'Pergaulan orang Mandailing dengan orang Minangkabau sangatlah eratnya, barangkali paling erat dibandingkan dengan pergaulan orang Minangkabau dengan etnis lain. Jika orang Mandailing memperkenalkan dirinya sebagai orang Mandailing apalagi dilafalkan dengan logat Minangkabau, Urang Mandailiang, niscaya terasa ada getaran gaib yang mengeratkan hubungan batin keduanya. Saya mempunyai banyak pengalaman seperti itu'. Terakhir, mohon Angku H. Kosky Zakaria menulis nama saya yang sebenarnya, Basyral Hamidy Harahap, bukan Basyral Hadi Harahap. Nama saya diambil dari ayat di dalam Al Quran, Basyr Al Hamid yang artinya pasti angku H. Kosky Zakaria ketahui.
Penulis adalah pemerhati masalah-masalah sosial budaya masyarakat Tabagsel.


Sumber:
http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=8104:kepahlawanan-imam-bonjol-dan-tambusai-digugat-menanggapi-h-kosky-zakaria&catid=25:artikel&Itemid=44

No comments:

Post a Comment