Thursday, April 26, 2012

YANG TERPUJA DEBATA MULAJADI NA BOLON


YANG TERPUJA DEBATA MULAJADI NA BOLON

Oleh: Adelina Savitri Lubis.
HUTAN/TOMBAK Sulu-sulu yang berlokasi di Bakkara, kiranya menjadi tempat momentum bagi ikhwal mulanya kelahiran Si Singamangaraja; diyakini Parmalim sebagai Nabi dalam Ugamo Malim (kepercayaan pada Tuhan Yang Maha Esa). M.A. Marbun – I. M. T. Hutapea dalam Kamus Budaya Batak Toba, Balai Pustaka 1987, halaman 167 menyebutkan, Tombak Sulu-sulu sebagai tempat keramat.

Tertulis dalam kamus Budaya Batak Toba, kisah ajaib kelahiran Si Singamangaraja, bermula kala Ibu Boru Pasaribu, isteri Raja Bona ni Onan Sinambela, didatangi oleh seorang Malaikat Mulajadi na Bolon. Sebuah berita disampaikan, tak lama lagi Ibu Boru Pasaribu akan mengandung seorang bayi selama 20 bulan. Dia bukan berasal dari benih laki-laki, melainkan dari Roh Allah. Mulajadi na Bolon pun meminta agar bayi diberi nama Si Singamangaraja. Kelak dia akan menjadi raja di Bakkara. Kerajaan serta hukum-hukumnya akan menjadi teladan bagi seluruh kerajaan di Tanah Batak.

Raja Bona ni Onan Sinambela yang kala itu sedang mengembara, tak mau percaya begitu saja pada Ibu Boru Pasaribu. Baginya, mustahil seorang perempuan hamil tanpa persetubuhan. Sang isteri dituduh berselingkuh. Keraguan Raja Bona ni Onan Sinambela pun terpecahkan. Lewat sebuah mimpi pada suatu malam, dia didatangi roh yang menjelaskan, bayi dalam kandungan isterinya adalah titisan roh Batara Guru, kelak menjadi raja bergelar Si Singamangaraja. Bayi lahir saat berusia 20 bulan. Giginya telah lengkap. Kelahirannya bahkan disambut oleh suara guruh dan petir yang berdentum, bersahut-sahutan sepanjang hari. Bayi diberi nama Manghuntal.

Sitor Situmorang dalam bukunya Toba Na Sae, Sejarah Lembaga Sosial Politik Abad XIII-XX, cetakan kedua, 2009 halaman 61 pun mengisahkan pengalaman Manghuntal, hingga dinobatkan menjadi Si Singamangaraja I; inkarnasi Batara Guru. Konon demi memperoleh pengakuan akan kesaktian yang dimilikinya untuk menjadi raja, Manghuntal melakukan perjalanan menyeberangi samudera (lewat Barus) ke suatu pulau, tempat Raja Mahasakti (Raja Uti) bernama Pulo Na Marsahala, kemudian kini dikenal dengan nama Pulau Mursala. Tujuannya adalah meminta seekor gajah putih. Singkat cerita, Raja Uti bersedia memberi Gajah Putih yang diminta, asalkan syaratnya Manghuntal harus mengumpulkan dan membawa sejumlah pertanda, dari berbagai wilayah Toba sebagai bukti kelayakannya menjadi raja. Manghuntal kembali ke Toba, mengumpulkan pertanda yang diminta. Raja Uti pun mengabulkan permohonan Gajah Putih. Dia juga memberikan Manghuntal sejumlah barang pusaka, diantaranya sebilah keris keramat. Sewaktu upacara penobaatan di Bakkara, Manghuntal menempuh ujian penting, mencabut keris bernama Piso Gaja Dompak (Pisau Gajah Penangkal). Dia berhasil dan dinobatkan menjadi Sisingamangaraja I.

Kelahiran ajaib dan kesaktian Si Singamangaraja inilah yang dipercayai Parmalim sebagai Nabi dalam Ugoma Malim, hingga saat ini. Kata Parmalim terdiri atas dua suku kata, par dan malim. Par dalam bahasa Batak Toba merupakan awalan aktif yang berarti orang yang mengerjakan atau menganut sesuatu. Malim sendiri berasal dari kata bahasa masyarakat di pesisir pantai, yang beragama. Mengacu pada Kamus Budaya Batak Toba, halaman 130, Parmalim adalah suatu sekte agama Batak. Gerakan ini dimulai setelah gugurnya Raja Si Singamangaraja XII, dipimpin oleh Raja Mulia Naipospos (salah satu bekas panglima Si Singamangaraja XII) di Huta Tinggi, Laguboti. Pengikut Parmalim memuja Raja Si Singamangaraja. Gerakan Parmalim mengandung cita-cita kebangsaan menentang kolonialisme.

Parmalim dalam kepustakaan disebut juga mesianisme (pengharapan akan munculnya mesiah, yaitu Si Singamangaraja yang telah tewas). Sebelumnya Parmalim dipelopori oleh Guru Somaliang Pardede, kala Si Singamangaraja masih hidup sekitar 1890.

Pimpinan Pusat Parmalim Hutatinggi, Raja Marnangkok Naipospos selaku Raja Ihutan Parmalim, menggambarkan sosok Si Singamangaraja sebagai seorang pengembala dan pengasuh.

"Dia seorang pemimpin yang menggembala di rumah, seorang pengasuh ketika berada diluar," katanya kepada analisa, Kamis (14/7).

Maksudnya, Raja Marnangkok Naipospos ingin mengatakan, peliharalah stafmu, awasi, cambuk dan jangan neko-neko serta ayomi masyarakat. Seorang pemimpin yang hanya mementingkan diri sendiri, tak layak disebut pemimpin, tapi pimpinan pinjaman. Karakter kepribadian Si Singamangaraja itulah yang diselami Raja Marnangkok dalam memimpin para penganut Parmalim selama 30 tahun ini. Paling tidak mempertahankan ajaran-ajaran dalam kelangsungan hidup di Hutatinggi, Lagu Boti.

Sipahalima yang (tak) Terlupakan

Salah satunya adalah ritual Sipahalima, ritual syukuran kepada Mulajadi na Bolon. Dilaksanakan setiap bulan kelima pada kalender Batak, atau sekitar Juli - Agustus menurut bulan masehi. Biasanya ritual ini jatuh pada hari ke 12, 13, dan 14 menjelang bulan purnama. Persis yang diamati analisa kala berkunjung ke Hutatinggi, Lagu Boti pada Kamis (14/7) lalu. Umat telah berkumpul sehari sebelum ritual puncak Sipahalima dilangsungkan pada Jumat (15/7). Balai dan gedung dua lantai yang berada di sekitar pusat kegiatan Sipahalima pun telah penuh terisi para penganut Parmalim yang datang dari seluruh Indonesia. Menariknya, antara lelaki dan perempuan tidur secara terpisah. Sekalipun bagi yang sudah berumah tangga. Para lelaki tidur di kamar-kamar yang berada di lantai dua, sedangkan kamar-kamar di lantai pertama (bawah) diinapi oleh para ibu dan anak-anaknya. Selama berada di dalam wilayah kegiatan Sipahalima berlangsung (di Bale Pasogit Partonggoan), siapapun tanpa terkecuali diwajibkan menggunakan sarung. Tak pandang bulu, muda, tua, lelaki pun perempuan harus bersarung disana.

Diungkapkan Raja Ihutan Parmalim, Sipahalima adalah ritual untuk mengucapkan syukur atas rahmat yang diterima dari Raja Mulajadi na Bolon. Sipahalima sering juga disebut sebagai upacara syukur atas panen. Pelaksanaan ritual ini pun tidak membentuk panitia secara khusus, hanya kesadaran umat untuk berperan dalam kelangsungan Sipahalima. Persiapan upacara ini dibantu oleh para Ulu Punguan dan Suhi ni Ampang na Opat untuk pemilihan hari yang tepat, hingga ke penutupan upacara. Ihutan yang ada di pusat akan memberitahukan kepada seluruh Ulu Punguan tentang pelaksanaan upacara dan Ulu Punguan akan memberitahukan kembali kepada seluruh Parmalim pada saat melakukan parpunguan setiap hari Sabtu, baru persiapan ritual dilakukan.

Sejak Jumat (15/7) pagi, kesibukan mulai terlihat di lokasi pelaksanaannya ritual Sipahalima (komplek Bale Pasogit Partonggoan). Tanpa perintah, masing-masing umat tahu apa yang harus mereka kerjakan. Hal ini terlihat pada struktur Parhobas Sipahalima Huta Tinggi, Lagu Boti yang ditempel di tiap dinding. Adapun yang menjadi Koordinator Parhobasan Sipahalima 2011 adalah Gr. Dimpu Simanjuntak, Membawahi bagian konsumsi, bagian sarana/peralatan, bagian tempat kebersihan. Termasuk di dalamnya ada juga yang bertugas sebagai seksi dapur; masing-masing tiga orang dari kelompok ama (bapak) dan ina (ibu), Khusus untuk menyiapkan pelean (persembahan), ada sebanyak empat orang. Persis yang diamati analisa, kesibukan pagi itu terlihat jelas disana. Mulai menyiapkan langgatan (altar), pelean (persembahan), hingga memandikan lembu hitam sebagai kurban persembahan. Lembu hitam yang dimaksud bukan sembarang kerbau/lembu. Setidaknya kerbau/lembu harus memiliki empat undur-undur atauy disebut pisoran.

Tonggo Bagi yang Kuasa

Batara Sangti (Ompu Buntilan) dalam buku Sejarah Batak terbitan Karl Sianipar Company, halaman 386 menuturkan, pada waktu Mangalahat harbo (Upacara kurban kerbau untuk memuja roh leluhur), kerbau jantan sibundar tanduk-mempunyai empat pusaran dan berbulu pendek rapat (Sitingko tanduk-siopat pusoran-sisomat imbulu). Kerbau ditarik dari kolong rumah memasuki gelanggang dengan kepala yang dihiasi mare-mare (daun enau). Kerbau yang diarak oleh orang ramai, dirayu oleh sang Datu dengan nyanyian merdu bersanjak-sanjak, supaya ikhlas dan tunduk. Setelah memasuki gelanggang, kerbau diikat dan ditambat ke tonggak kayu borotan (tiang persembahan). Istilah Mangalahat harbo di Baligeraja disebut juga sebagai Mangalahat harbo santi di bulan sipahalima.

Langgatan terbuat dari bambu setinggi satu meter. Dihiasi dengan kain putih dan mare-mare serta bunga-bungaan. Tampak juga tiang sitolu rupa, yakni tiga buah bendera berwarna putih, merah dan hitam. Ini lambang dari Debata na Tolu, tiga wujud kuasa Mulajadi na Bolon; Batara Guru, Sori Haliapan dan Bala Bulan. Pelean yang dipersembahkan dalam ritual ini, antara lain daupa (asap kemenyan) dan aek pangurason (air suci pengurapan). Selain itu ada beras, ihan (ikan khas orang Batak), telur ayam, timun, daun sirih, daun kemangi. Daupa dan aek pangurason sebagai alat untuk mengurapi atau menyucikan pelean yang disajikan, termasuk menyucikan umat parmalim sebelum dan sesudah ritual dilangsungkan.

Ritual puncak Sipaha Lima dimulai usai kegiatan makan bersama pada pukul 12.00 WIB. Itu pun terbagi dua sesi, pertama perempuan dan anak-anaknya yang lebih dahulu makan, baru dilanjutkan oleh para lelaki. Kala jarum jam menunjuk pada angka satu (13.00 WIB), perhelatan ritual pun dimulai. Para ama, ina dan naposo bulung (muda-mudi) mengambil tempat masing-masing. Mereka mengenakan pakaian adat. Simbol-simbol yang muncul dalam perwujudan fisik para penganut Parmalim berbeda satu sama lain. Kaum laki-laki yang sudah berkeluarga mengenakan tali-tali (sorban) berwarna putih, sarung dan jas berselempang ulos. Pria lajang mengenakan sarung dan baju biasa berselempang ulos. Kaum wanita mengenakan sarung bermotif batik, kain kebaya, ulos dan wajib menggunakan sanggul toba (gulungan rambut ke dalam) sebagai warisan perempuan Batak ratusan tahun lalu.

Raja Ihutan Parmalim menghadap altar, dibelakangnya, berdiri kelompok ina paniaran dan kelompok ama mengelilingi langgatan. Raja Ihutan pun meminta kepada pargonci untuk memainkan gondang. Sepuluh doa (tonggo-tonggo) pun dipersembahkan dalam ritual, ditujukan kepada Ompung Debata Mulajadi na Bolon, Tuhan Debata na tolu, Siboru Deak Parujar, Naga Padoha ni Aji, Siboru Saniang Naga, Patuan Raja Uti, Tuhan Simarimbulu Bosi, Raja Naopat-pulu Opat, Raja Sisingamangaraja dan Raja Nasiak Bagi. Gondang dimainkan, doa dipanjatkan, begitu berulang. Umat mengadahkan tangan ke atas, seolah menyerahkan diri. Ikhlas. Para ama dan ina juga menortor mengelilingi langgatan. Menaburkan beras dan memercikkan air kepada para ama dan ina yang dilakukan Raja Ihutan termasuk bagian dari prosesi ritual. Gondang yang melagu terdengar seperti panjatan doa-doa bagi Sang Pencipta. Tepat pukul 17. 00 WIB, ritual Sipaha Lima pun usai. Sebelumnya lembu jantan berwarna hitam tadi diarak ke tempat penyembelihan sebagai kurban. Setelah dimasak, seluruh umat Parmalim makan bersama. Horas, horas, horas....


Sumber:
http://www.analisadaily.com/news/read/2011/07/24/5689/yang_terpuja_debata_mulajadi_na_bolon/#.TlLkXmPmmyA

No comments:

Post a Comment