• Raja dan Kerajaan Simalungun

     
    Secara historis, terdapat tiga fase kerajaan yang pernah berkuasa dan memerintah di Simalungun. Berturut-turut fase itu adalah fase kerajaan yang dua (harajaon na dua) yakni kerajaan Nagur (marga Damanik) dan Batanghio (Marga Saragih). Berikutnya adalah kerajaan berempat (harajaon na opat) yakni Kerajaan Siantar (marga Damanik), Panai (marga Purba Dasuha), Silau (marga Purba Tambak) dan Tanoh Jawa (marga Sinaga). Terakhir adalah fase kerajaan yang tujuh (harajaon na pitu) yakni: kerajaan Siantar (Marga Damanik), Panai (marga Purba Dasuha), Silau (marga Purba Tambak), Tanoh Jawa (marga Sinaga), Raya (marga Saragih Garingging), Purba (marga Purba Pakpak) dan Silimakuta (marga Purba Girsang). Demikian pula halnya dalam mengurai asal muasal masyarakat Simalungun, yang banyak berpijak dan tergantung pada aspek diaspora masyarakat Batak (Toba) sehingga, raja dan kerajaan di Simalungun itu dinyatakan berasal dari Batak (Toba).

    Padahal, secara struktur dan organisasi sosial, terdapat perbedaan yang sangat jelas antara kedua suku Batak tersebut, sehingga tidak dengan begitu saja menarik kesimpulan bahwa suku Simalungun merupakan diaspora Batak Toba yang sukses di perantauan sebagaimana yang banyak dilakukan oleh para penulis seperti JV. Vergouwen, Washinton Hutagalung, JR. Hutauruk, Batara Sangti maupun MO. Parlindungan yang kontroversial itu. Yang sangat mengesankan, jika bukan ironis adalah bahwa penulis Simalungun banyak pula yang mengutip pendapat tersebut sebagai sebuah fakta kebenaran tanpa melakukan penggalian lebih lanjut seperti yang dilakukan oleh TBA Purba Tambak dalam bukunya Sejarah Simalungun maupun oleh MD. Purba dalam berbagai bukunya yang diterbitkan untuk kalangan sendiri. Akibatnya, sejarah kebudayaan Simalungun menjadi rapuh dan tidak dapat berdiri sendiri.

    Simalungun dalam Literatur
    Dalam masyarakat Simalungun tidak terdapat begitu banyak literatur (pustaha) yang mengisahkan tentang riwayat kerajaan tersebut sehingga mengalami kesulitan dalam rekonstruksinya kemudian. Hanya saja, berdasarkan sejarah lisan yang hidup di tengah-tengah masyarakatnya bahwa setidaknya tiga fase yang disebutkan di atas pernah hidup, berkuasa dan memerintah. Sejarah lisan tersebut, agaknya menjadi pedoman bagi bangsa Eropa seperti Tideman (1922) untuk mengurai Simalungun dalam laporannya sebagai penguasa pada saat itu dan juga bagi penulis Simalungun berikutnya.

    Oleh karenanya, masing-masing penulis sejarah di Simalungun membuat rekonstruksi sendiri atas kemauan sendiri dan kepentingan sendiri tanpa terikat waktu, tempat dan ruang. Akibatnya, sejarah tersebut sulit diterima secara umum dan apalagi dipergunakan sebagai rujukan dalam penulisan-penulisan demi kepentingan akademik ilmiah berikutnya.

    Jika kemudian terdapat literatur yang mengetengahkan tentang kebudayaan Simalungun, yakni sejarah dan perkembangannya, maka hampir dapat dipastikan bahwa tulisan itu banyak mengadopsi pendapat-pendapat yang banyak ditulis oleh non Simalungun, dan tulisan itu pula banyak bersinggungan dengan pengaruh Agama Kristen yang dilakukan oleh rohaniawan Kristen Simalungun.

    Literatur dari masa lampau Simalungun yang masih ada hingga saat ini seperti Pustaha Parpadanan Na Bolak (Hikayat Nagur), Partikkian Bandar Hanopan (Hikayat Silau), Partikian Panai Bolah (hikayat Panai) serta beberapa literatur yang disusun kembali serta ditransliterasi latin oleh JE. Saragih dalam pustaha lak-lak. Menurut Marim Purba, jumlah keseluruhan literatur yang membahas Simalungun, baik dari segi sejarah masa lampau dan masa kini, baik yang ada di luar negeri (Belanda) maupun di Museum Simalungun tak lebih dari 150 judul. Kesulitan lain dari beberapa pustaha tersebut adalah tidak memiliki angka tarikh (tahun) sehingga mengalami kegagalan dalam rekonstruksi kronologis kesejarahannya. Kenyataan ini sangat menyulitkan dalam rekonstruksi sejarah kebudayaan Simalungun berikutnya seperti yang banyak diakui oleh para penulis Simalungun masa kini. Oleh karena itu, diperlukan penggalian mendalam serta penelusuran secara herastik sehingga pelurusan sejarah tersebut dapat dilakukan kembali.

    Leluhur Simalungun
    Dalam sejarah masyarakat Batak (Toba) seperti yang telah banyak diketahui bahwa masyarakat Batak (Toba) adalah keturunan Siraja Batak yang beranak cucu kemudian menyebar ke berbagai penjuru di Sumatera Utara seperti Mandailing Angkola, Pak-pak Dairi, Karo, Simalungun dan Toba serta Nias. Belakangan, Nias menyatakan bahwa mereka bukan keturunan dari Siraja Batak berdasarkan perbedaan fisik dan budaya lainnya. Dengan begitu, ke lima sub etnik itu adalah merupakan diaspora dari Batak (Toba) yang menyebar ke berbagai wilayah di kawasan itu. Keadaan lain adalah adanya klaim, penarikan garis keturunan (genealogis) berdasarkan marga (clan) yang mengacu pada klan Batak (Toba) dimana semua klan yang ada pada sub etnik Batak tersebut seolah-olah memiliki kemiripan dan kesamaan.

    Dalam penguraian sejarah moety masyarakat Batak seperti yang dilakukan oleh BA Simanjuntak dipaparkan bahwa leluhur nusantara (juga Batak) berasal dari dataran tinggi Yunan dekat hulu Sungai Mekong di Cotte dan Napur Hindia Belakang. Kemudian dengan alasan tertentu melakukan migrasi ke berbagai wilayah dan sebagian di antaranya tiba di wilayah nusantara yang menghuni wilayah pantai. Gelombang yang pertama memasuki wilayah nusantara (sebahagian tiba di Sumatera Utara) ini disebut dengan Protomelayu (Melayu dalam). Selanjutnya, dalam rentang waktu tertentu, gelombang migrasi serupa juga terjadi yang disebut dengan Deutromelayu (Melayu luar). Gelombang yang kedua serta memiliki peradaban yang lebih tinggi ini, kemudian mendesak protomelayu ke pedalaman.

    Secara signifikan, dapat ditarik korelasi dimana gelombang yang pertama masuk itu pastilah berdiam di Selat Malaka, kemudian mereka terdepak ke daerah pedalaman oleh gelombang migrasi berikutnya hingga ke kawasan Simalungun. Dengan begitu, gelombang yang masuk ke Simalungun pun dapat dinyatakan mengalami dua gelombang, yakni gelombang proto Simalungun dan deutro Simalungun sampai pada akhirnya terbentuk neo Simalungun pasca revolusi berdarah 1946. Dengan begitu, kondisi ini lebih memungkinkan dan hampir mendekati kebenaran sejalan dengan sejarah penyebaran ras-ras umat manusia.

    Sejalan dengan itu, sesuai dengan pendapat Uli Kozok (1992) (Profesor Filologi berkebangsaan Belanda) yang mengurangi bahwa di antara bahasa-bahasa Batak, bahasa Simalungun adalah bahasa yang lebih dulu terbentuk, maka asumsi ini menjadi masukan yang sangat berharga untuk merekonstruksi kembali sejarah Simalungun. Bahasa Simalungun lebih dekat dengan Bahasa Mandailing, dan lebih jauh jika dibanding dengan Bahasa Batak Toba, Karo ataupun Pak-pak. Itu berarti bahwa, kemungkinan suku bangsa Simalungun adalah suku yang pertama ada dibanding suku Batak lainnya. Kendati demikian, penggalian serta penelusuran yang lebih mendalam tentang hal ini senantiasa dilakukan sebagai upaya pelurusan sejarah, khususnya pada masyarakat kebudayaan Simalungun.

    Monarhi Simalungun
    Dalam literatur Simalungun (pustaha laklak) seperti Pustaha Parpadanan Na Bolak (pustaka tertua di Simalungun) yang mengisahkan hikayat kerajaan Nagur (kerajaan Tertua di Simalungun dinasti Damanik) dikisahkan bahwa sewaktu raja Nagur yakni Sormaliat ingin memiliki istri sekaligus sebagai puang bolon (permaisuri) dari putri pamannya (marboru tulang) yang ada di Negeri Padang Rapuhan. Untuk rencana ini, raja memerintahkan utusannya berangkat menuju negeri yang dituju untuk memberitahukan rencana tersebut.

    Untuk sampai di negeri tujuan, dibutuhkan perjalanan selama tiga (bulan) dengan berjalan kaki. Berarti, dibutuhkan waktu selama enam bulan untuk kembali ke tempat semula yakni di negeri Hararasan (Kerasaan sekarang) tempat Kerajaan Nagur berdiri.

    Dengan estimasi dan kalkulasi tertentu, maka kemungkinan negeri yang dituju adalah Mataram Lama (Medang Faihbhumi). Kejadian itu diperkirakan berlangsung sekitar tahun 550 M bersamaan dengan kejayaan kerajaan Mataram Lama pada waktu itu. Hal ini tentu saja sangat beralasan dimana terdapat kesamaan struktur kerajaan yang sama seperti di Jawa. Di Sumatera hal sedemikian tidak diketemukan dan apalagi di Sumatera Utara. Jika seandainya Padang Rapuhan yang dimaksud dalam hikayat itu adalah negeri Padang (Tebing Tinggi), maka perjalanan yang dibutuhkan tentulah tidak selama itu. Lagi pula, kota Tebing Tinggi tersebut yang dibuka oleh keturunan klan Saragih berkisar tahun 1200-an.

    Jadi, berdasarkan penuturan yang terdapat pada hikayat Parpadanan na Bolak tersebut dapat diketemukan bahwa asal usul monarhi (kerajaan) di Simalungun tersebut telah bersentuhan dengan kerajaan yang ada di Pulau Jawa pada saat itu. Keadaan ini juga dipertegas dengan berbagai asumsi penulis Eropa, bahwa pengaruh Jawa telah ada dan berkembang di kawasan ini terbukti dengan penamaan salah satu area (Tanah Djawa) di Simalungun. Lagi pula, terdapat berbagai kesamaan dalam hal perangkat kebudayaan seperti pemakaian destar (gotong dan Bulang) dalam khasanah adat. Di samping itu, juga telah bersentuhan dengan pengaruh Sinkretis (Hindu-Jawa) seperti permainan Catur, meluku sawah dan lain-lain. Hal yang paling mengesankan adalah bahwa hewan korban dalam perangkat adat istiadatnya adalah ternak ayam.

    Ini berarti bahwa, keadaan dimana kerajaan di Simalungun telah mengambil corak modern seperti layaknya sebuah negara yang memiliki perangkat-perangkat tertentu. Keadaan seperti ini tidak dimiliki suku lain seperti Tapanuli (Utara), Karo, Pak-pak, Mandailing Angkola sungguhpun mereka itu mengenal konsep raja. Dengan demikian, konsep raja dan kerajaan yang telah lama berdiri di Simalungun merupakan peninggalan dalam kebudayaannya sebagai dampak persentuhannya dengan budaya lain (Hindu-Jawa). Kendatipun pada akhirnya, kerajaan itu hancur dan lebur akibat peristiwa berdarah di Sumatera Timur yang lebih dikenal dengan peristiwa revolusi sosial, dimana pada saat itu, golongan bangsawan dikejar dan dibunuh serta pembakaran istana sebagai dampak economic lag yang terjadi antar kelas.

    Keadaan seperti ini bukan semata-mata bertujuan untuk memutus mata rantai integritas serta harmoni kesukuan tetapi yang lebih dipentingkan adalah bagaimana sejarah itu dapat ditegakkan. Karena dari sanalah kita dapat mencapai fakta dan kebenaran sejarah sehingga tidak terjadi pengebirian sejarah di kemudian hari.

    Oleh : Erond Litno Damanik MSi
    Penulis: Pemerhati Pendidikan dan Pembangunan Sosial Direktur: Center for Cultural Study and Rural Community Development/The Simetri/d

    Sumber : Harian SIB
    copiedfrom : www.silaban.net