FUNGSI RUMAH ADAT DAN SANGKEP SI TELU DALAM PERGAULAN HIDUP MASYARAKAT/SUKU KARO
Oleh: Ngajarsa Sinuraya Bre Bangun
Apabila orang meninjau Taman Mini Indonesia Indah di Jakarta pada  lokasi Sumatera  Utara terlihat sebuah model rumah yang tinggi menjulang  . Rumah adat ini adalah rumah adat suku Karo, satu suku diantara banyak  suku yang mendiami daerah Sumatera Utara.Rumah  adat ini didiami 8 kepala keluarga ( rumah tangga ) . Tinggi rumah   kurang lebih 30  meter.beratap ijuk, di bagian bubungan ada rumah  bermuka 2 ada bermuka 4, dan pada tiap mukanya di bagian teratas di  pasang  tanduk kerbau. Rumah tersebut panjangnya kurang lebih 16 meter ,  lebar 10 meter, dimana panjang belahan kayu  besar  dengan tiang- tiang  yang berukuran 60 cm, dinding bagian bawah agak miring kurang lebih 30  derajat, di sertai ukiran- ukiran di bagian dinding dan lain sebagainya  yang agak rumit. Satu hal cukup mempesona  ialah rumah besar semacam  itu  sama sekali  tidak  menggunakan paku, tapi hanya  menggunakan  potongan- potongan kayu keras, pohon enau dan tali ijuk, rotan atau  bambu. Mengingat kayu- kayu yang digunakan cukup panjang dan besar,maka  dengan sendirinya bahan baku ini diambil dari hutan belantara. Kayu  besar ini jarang sekali yang dipotong, sehingga untuk menariknya  dari  hutan haruslah penduduk menariknya dengan beramai ramai dengan semangat  yang tinggi  ber  Aaah ..AhAhhh.... OleeeNang....Oleoleeeenang ,  Ah  Oh  , tariiiik.... Sleeep sleeep  miser sitik stik ia, bagem me kerina   erurak, rasa ras ibanna me kayu bulat iteruh  kayu sinitarikna e ,  emakan miser me sitik sitik,hal demikian  ber hari hari  sampailah ke  tapak  yang akan di dirikan Rumah Adat tersebut. Ijeme  ncidakken  kehebatenna sibiak perbaban e kerinana meriah me tuhu akapna, piah la  igejab  dungkang dahin. Lamanya  menarik pohon  kayu tersebut tergantung  jauh dekatnya kampung dengan hutan belantara. Pada kenyataannya hutan  belantara dengan kampung dimana berdiri rumah adat ada berjarak sampai 5  km, pada hal jalan kearah kampung itu tidak selamanya rata , tapi  berbukit- bukit. Tetangga Karo ini seperti Pakpak, Simalungun dan Toba,  juga memiliki rumah adat tapi mengenai besar dan tingginya ternyata  rumah adat Karo jauh melebihi dari rumah adat suku tetangga tadi. Timbul  petanyaan , Kapankah rumah adat Karo yang berusia  100 tahun  itu mula -  mula didirikan orang ?  Ternyata belum ada jawaban positif yang dapat  diterangkan. Khabarnya hanyalah dikampung si anu telah dibangun kembali  rumah adat diatas rumah adat lama yang sudah runtuh,  Mengingat  usia   rumah adat ini tidak kurang dari 100 tahun, dapat diancar-ancar rumah  adat yang mula- mula didirikan tentu sudah mencapai angka ratusan tahun.  Sedemikan besarnya rumah adat Karo itu,  sehingga jangka waktu  pembangunannya memakan waktu bertahun- tahun. Malah sempat ijuk ( atap  rumah ) lumut- lumuten baru pembangunannya selesai siap untuk  ditempati.Mengenai fungsi rumah adat ini, sebenarnya cukup luas, sebab  meliputi peraturan hidup dan cara- cara bergaul dan hidup di tengah-  tengah masyarakat terkecil sampai kepada yang lebih besar. Jangan  dikira  dalam runah adat itu bisa  sembarangan kepala keluarga ( rumah  tangga ) dapat mendiaminya. Setiap kepala keluarga ( rumah tangga ) yang  menempati masing- masing rumah tangga dari 8 rumah adat tersebut  semuanya berfungsi menurut ketentuan- ketentuan adat istiadat. Masing-  masing kepala keluarga dalam rumah adat itu memiliki 8 fungsi  sendiri-  sendiri  dalam rangkain  dari seluruh penghuni rumah, petugas/  penghubung  pemberi kabar penjaga ketenteraman, juru bicara, pemberi  advise dan lain lain. Maka  sekiranya dalam rumah tangga tersebut  terjadi sesuatu kecurangan ataupun pertengkaran dalam taraf pertama  persolan dapat diselesaikan oleh anggota- anggota keluarga rumah   sendiri yang tergabung dalam sangkep si telu ( anak beru, sukut dan  kalimbubu ). Dalam kasus tersebut perlu kita  ketahui bersama   yaitu  ada pihak yang membuka persoalan  ( anak beru ) dan ada pihak  yang  merasa tertuduh dapat pula membela diri, baik oleh dia maupun dengan  anak berunya . Pada hakekatnya  dalam  masing- masing rumah adat  cara  bekerja masing- masing kepala keluarga ( rumah adat ) telah tertentu   dalam pola  tertentu, terutama dalam bidang soal kemasyarakatan, baik  dalam hal menghadapi perkawinan , kemalangan dan lain- lain, sehingga   pengaturan kegiatan- kegiatan sosial, terpancar  ke gotomg- royongan  yang dinamis.Salah satu aspek positif dari kegotong- royongan masyarakat  tadi, ialah serasa  senasib sepenanggungan , sehingga  bilamana  ada  keluarga  keluarga kekurangan  beras, pihak lain tidak segan- segan  memberikan bantuan, tanpa  menghitung hitung rentenya.  Demikan pula  pada keperluan- keperluan lainnya , apa bila satu pihak merasakan beban  yang sukar di kerjakan sendiri maka pihak lain tidaklah melihat saja,  tapi ikut merasa bertanggung jawab membantunya. Pola kehidupan seperti  ini ditemui dalam masyarakat kecil yang mendiami rumah adat dan karena  kehidupan seperti  itu juga terdapat dalam  rumah adat yang lain, maka  dengan sendirinya  masyarakat yang lebih luas, dalam hidup dan pergaulan  sehari-harinya senantiasa  berada pada suasana  kegotong- royongan  yang  dinamis tadi. Untuk memperjelas uraian diatas perihal fungsi dan  peranan setiap Kepala Keluarga  ( rumah tangga )   yang terdiri 8  keluarga di dalam setiap rumah adat, yang ujudnya mengatur tata  pergaulan dan pelaksanaan  adat istiadat sehari- hari, termasuk hidup  kemasyarakatan, dibawah ini diuraikan fungsi dari tiap Kepala Keluarga  :1. Rumah tangga nomor ( 1 ) ;yang dalam bahasa daerah disebut  " Jabu  Bena Kay u"   ditempati oleh orang yang  mengepalai segala rumah tangga  di rumah tersebut, sebab ia adalah dalam katagori bangsa taneh ( pengulu  tanah ).2. Rumah tangga nomor ( 2 )  ; diperuntukkan  bagi orang yang  berfungsi  sebagai pekerja atau petugas ( anak beru ) dari orang yang  duduk di Bena Kayu . Fungsi kepala rumah tangga nomor  ( 2 ) ini ialah  juga  sebagai pembicara  mewakili bangsa taneh.3. Rumah Tangga nomor ( 3  ) ;  yang letaknya diseberang Jabu Bena Kayu  atau disebut " Lepar Bena  Kayu " , adalah yang berkedudukan sebagai anak dari i  rumah tangga  nomor ( 1 ). Rumah tangga ini biasanya  di namakan rumah tangga  menanyakan  berita ( Jabu Sungkun Berita ). Dari nama  ini dapat  diartikan bahwa kewajiban yang menempati rumah tangga nomor ( 3 ) ini  ialah mengamat- amati  berita  di luar rumah adat dan sewaktu  menyampaikan berita yang diperolehnya tersebut  kepada  penghuni rumah  tangga  nomor ( 1 ).4. Rumah Tangga  nomor (4 ) ' ditempati oleh orang    yang kedudukannya sebagai pihak saudara  atau orang tua isteri yang  menduduki rumah  tangga  nomor ( 1 ) ( Kalimbubu ). Jadi rumah tangga  nomor ( 4 ) ini yang disebut dalam bahasa daerah " Lepar Ujung Kayu "  yang dinamai juga  " Jabu Siman Minem  ". Sekiranya ada pesta / hajat  penghuni  rumah tangga nonomr 1, maka penghuni rumah tangga nomor ( 4 )  di undang sebagai orang yang dihormati dan mendapat tempat duduk terbaik  dan sitamu ini disitu makan minum saja. Rumah Tangga nomor ( 5 )  yang  letaknya satu dapur dengan nomor ( 1 )  yang  disebut " Sidapuren Bena  Kayu ", biasanya ditempati oleh pekerja / petugas dari rumah tangga  nomor ( 2 ). Yang menempati rumah tangga ini disebut " Anak Beru Menteri  ) ". Fungsinya  ialah menjadi saksi dan pendengar bilamana  ada  permusyawaratan atau pembicaraan -membicaraan dirumah adat tersebut.6.  Rumah Tangga nomor ( 6 ); ditempati oleh eselon  anak  dari  rumah   tangga nomor 4 ( Kepar Ujung Kayu- Kalimbubu ). Rumah  tangga nomor 6  ini lazim disebut " Jabu Arinteneng " .7. Rumah Tangga nomor ( 7 ); yang  menempatinya adalah masuk bagian dukun/ guru, sehiongga rumah tangga   ini disebut " Jabu Bicara  Guru "  . Kewajiban penghuni  nomor  ( 7 )  ini membuat obat- obatan, memeriksa  hari baik, bulan baik, memeriksa  hari kelahiran anak- anak, mengusir hantu- hantu dan lain- lain.  Ringkasnya berfungsi sebagai dukun atau guru petenung yang berhubungan  dengan kepercayaan.8. Runah Taqngga nomor ( 8 ) ; yang disebut " Jabu  Singkapur Belo " , kewajiban bilamana penghuni rumah nomor ( 1 ) ( Bena  Kayu ) di datangi sesorang tamu, maka wajiblah istri Kepala Keluarga  nomor ( 1 ) ( Bena Kayu )  didatangi seseorang tamu, maka wajiblah istri  Kepala keluarga nomor ( 8 ) ini datang ke keluarga   nomor ( 1 )   dengann menyodorkan kapur sirih sebagai menghormati seisi rumah kepada  tamu, kemudian menanyakan  apa-apa  maksud  kedatangannya. Semua itu  dilaporkan kepada penghuni  rumah tangga nomor ( 1 ) dan pembicaraan di  lanjutkan oleh penghuni rumah tangga dengan tamunya.Demikianlah fungsi  dari  pada penghuni rumah tangga nomor ( 1 )  sampai dengan  nomor ( 8  ), sehingga pergaulan dan pelaksanaan adat istiadat PERANAN SANGKEP  SITELU : Disinilah pula tergambar arti dan peranan apa yang disebut  Sangkep Si Telu,Sebab ternyata dalam setiap rumah adat terdapat  Tri  Tunggal   Sangkep Si Telu.  Sangkep Si Telu ini terdiri  Anak Beru,  Sukut  dan Kalimbubu. Ketiga unsur yang terdapat dalam Sangkep Si Telu  itu merupakan  jaringan kekerabatan yang menentukan baik buruknya hidup  kemasyarakatan, baik dalam melaksanakan pemerintahan maupun pelaksanaan  hukum dalam arti luas.. Masing - masing dari ketiga unsur tadi berfungsi  menurut pola yang sudah tertentu, sehingga dapat terbentuk suatau  jaringan kegotong- royongan dan masyarakat dalam  arti yang sedalam -  dalamnya dan seluas- luasnya, Pada hakekatnya setiap unsur dari Sangkep  Si Telu  tadi sederajat , hanya saja derajat masing- masing tentunya  disesuaikan dalam keadaan dimana  dan bagaimana sesuatu itu tumbuh dan  menjadi kasus. Misalnya dalam suasana peristiwa seperti perkawinan ,  kemalangan, memasuki rumah baru, pesta kegiatan sentral ada pada Sangkep  Si Telu . Pada pesta perkawinan misalnya, bisa saja A sebagai  Anak  Beru ( pekerja, penanggung jawab pelaksana pesta ), B  sebagai Sukut (  pihak yang mengawinkan anak laki- laki ), C. sebagai  Kalimbubu (  keluarga laki- laki dari istri B, yang harus dihormati sungguh- sungguh  baik dalam praktek pergaulan sehari- hari maupun dalam perjamuan makan  ). Tapi dalam peristiwa yang lain, bisa  saja A yang tadinya dalam pesta  perkawinan sebagai Anak Beru menjadi Sukut. B menjadi Kalimbubu. C jadi  Amak Beru. Begitu seterusnya , sehingga kenyataannya  baik Anak Beru,  Sukut dan Kalimbubu di dalam Sangkep Si Telu adalah sederajat. Jadi  setiap ada kasus atau pengerjaan masalah- masalah maka ketiga unsur tadi  berfungsi menurut ketentuan ketentuan yang telah sesuai kedudukannya  pada waktu itu. maka sebenarnya pada Sangkep Si Telu berkisar kegiatan  kemasyarakatan, ekonomi, kepercayaan dan lain- lain aktivitas   sosial.Walupun Sangkep Si Telu  itu amat menonjol pada masa  sebelum  penjajahan Belanda ( penjajah Belanda menginjakkan kakinya pada Thn 1907  ( ? ) di dataran tinggi Karo,), namun sekarang inipun praktek Sangkep  Si Teku itu masih dilaksanakan oleh Masyarakat Karo dimanapun  mereka  berada  walaupun tidak seketat dulu. Jadi  Sangkep Sin Telu sebegitu  jauh masih belum dapat dihapuskan oleh zaman  guna menggerakkan  kegotong- royongan kekeluargaan dan aktifitas kehidupan  serta   aktifitas  sosial kemasyarakatan SUKU KARO.Sebagai Catatan : Walaupun  dalam zaman kemerdekaan  ini secara formil peradilan  adat seperti bale  kuta ataukah bale urung telah lenyap, namun Sangkep Si Telu masih  berperan untuk menyelesaikan masalah- masalah  sosial terutama sengketa  perkara- perkara  perdata bahkan ada mampu menyelesaikan masalah-  masalah pidana. Masih sering dilihat apabila ada kasus perkara  Disampaikan kepengadilan, maka disarankan agar diselesaikan dulu oleh  Sangkep Si Telu. Memang pada kenyataannya  kasus- kasus  yang dicampuri  oleh Sangkep Si Telu lebih banyak dapat diselesaikan dari pada menemui  jalan buntu,. Jadi bagi pengadilan sendiri sebenarnya masih berfungsi  Sangkep Si Telu di kampung- kampung, amat besar artinya bagi pengurangan  perkara yang harus diselesaikan  oleh badan peradilan negeri tersebut
by: Ngajarsa Sinuraya Bre Bangun
No comments:
Post a Comment