Tuesday, April 24, 2012

FUNGSI RUMAH ADAT DAN SANGKEP SI TELU DALAM PERGAULAN HIDUP MASYARAKAT/SUKU KARO


FUNGSI RUMAH ADAT DAN SANGKEP SI TELU DALAM PERGAULAN HIDUP MASYARAKAT/SUKU KARO

Oleh: Ngajarsa Sinuraya Bre Bangun
Apabila orang meninjau Taman Mini Indonesia Indah di Jakarta pada lokasi Sumatera  Utara terlihat sebuah model rumah yang tinggi menjulang . Rumah adat ini adalah rumah adat suku Karo, satu suku diantara banyak suku yang mendiami daerah Sumatera Utara.Rumah adat ini didiami 8 kepala keluarga ( rumah tangga ) . Tinggi rumah  kurang lebih 30  meter.beratap ijuk, di bagian bubungan ada rumah bermuka 2 ada bermuka 4, dan pada tiap mukanya di bagian teratas di pasang  tanduk kerbau. Rumah tersebut panjangnya kurang lebih 16 meter , lebar 10 meter, dimana panjang belahan kayu  besar  dengan tiang- tiang yang berukuran 60 cm, dinding bagian bawah agak miring kurang lebih 30 derajat, di sertai ukiran- ukiran di bagian dinding dan lain sebagainya yang agak rumit. Satu hal cukup mempesona  ialah rumah besar semacam itu  sama sekali  tidak  menggunakan paku, tapi hanya  menggunakan potongan- potongan kayu keras, pohon enau dan tali ijuk, rotan atau bambu. Mengingat kayu- kayu yang digunakan cukup panjang dan besar,maka dengan sendirinya bahan baku ini diambil dari hutan belantara. Kayu besar ini jarang sekali yang dipotong, sehingga untuk menariknya  dari hutan haruslah penduduk menariknya dengan beramai ramai dengan semangat yang tinggi  ber  Aaah ..AhAhhh.... OleeeNang....Oleoleeeenang ,  Ah  Oh , tariiiik.... Sleeep sleeep  miser sitik stik ia, bagem me kerina  erurak, rasa ras ibanna me kayu bulat iteruh  kayu sinitarikna e , emakan miser me sitik sitik,hal demikian  ber hari hari  sampailah ke tapak  yang akan di dirikan Rumah Adat tersebut. Ijeme  ncidakken kehebatenna sibiak perbaban e kerinana meriah me tuhu akapna, piah la igejab  dungkang dahin. Lamanya  menarik pohon  kayu tersebut tergantung jauh dekatnya kampung dengan hutan belantara. Pada kenyataannya hutan belantara dengan kampung dimana berdiri rumah adat ada berjarak sampai 5 km, pada hal jalan kearah kampung itu tidak selamanya rata , tapi berbukit- bukit. Tetangga Karo ini seperti Pakpak, Simalungun dan Toba, juga memiliki rumah adat tapi mengenai besar dan tingginya ternyata rumah adat Karo jauh melebihi dari rumah adat suku tetangga tadi. Timbul petanyaan , Kapankah rumah adat Karo yang berusia  100 tahun  itu mula - mula didirikan orang ?  Ternyata belum ada jawaban positif yang dapat diterangkan. Khabarnya hanyalah dikampung si anu telah dibangun kembali rumah adat diatas rumah adat lama yang sudah runtuh,  Mengingat  usia  rumah adat ini tidak kurang dari 100 tahun, dapat diancar-ancar rumah adat yang mula- mula didirikan tentu sudah mencapai angka ratusan tahun. Sedemikan besarnya rumah adat Karo itu,  sehingga jangka waktu pembangunannya memakan waktu bertahun- tahun. Malah sempat ijuk ( atap rumah ) lumut- lumuten baru pembangunannya selesai siap untuk ditempati.Mengenai fungsi rumah adat ini, sebenarnya cukup luas, sebab meliputi peraturan hidup dan cara- cara bergaul dan hidup di tengah- tengah masyarakat terkecil sampai kepada yang lebih besar. Jangan dikira  dalam runah adat itu bisa  sembarangan kepala keluarga ( rumah tangga ) dapat mendiaminya. Setiap kepala keluarga ( rumah tangga ) yang menempati masing- masing rumah tangga dari 8 rumah adat tersebut semuanya berfungsi menurut ketentuan- ketentuan adat istiadat. Masing- masing kepala keluarga dalam rumah adat itu memiliki 8 fungsi  sendiri- sendiri  dalam rangkain  dari seluruh penghuni rumah, petugas/ penghubung  pemberi kabar penjaga ketenteraman, juru bicara, pemberi advise dan lain lain. Maka  sekiranya dalam rumah tangga tersebut terjadi sesuatu kecurangan ataupun pertengkaran dalam taraf pertama persolan dapat diselesaikan oleh anggota- anggota keluarga rumah  sendiri yang tergabung dalam sangkep si telu ( anak beru, sukut dan kalimbubu ). Dalam kasus tersebut perlu kita  ketahui bersama   yaitu ada pihak yang membuka persoalan  ( anak beru ) dan ada pihak  yang merasa tertuduh dapat pula membela diri, baik oleh dia maupun dengan anak berunya . Pada hakekatnya  dalam  masing- masing rumah adat  cara bekerja masing- masing kepala keluarga ( rumah adat ) telah tertentu  dalam pola  tertentu, terutama dalam bidang soal kemasyarakatan, baik dalam hal menghadapi perkawinan , kemalangan dan lain- lain, sehingga  pengaturan kegiatan- kegiatan sosial, terpancar  ke gotomg- royongan yang dinamis.Salah satu aspek positif dari kegotong- royongan masyarakat tadi, ialah serasa  senasib sepenanggungan , sehingga  bilamana  ada keluarga  keluarga kekurangan  beras, pihak lain tidak segan- segan memberikan bantuan, tanpa  menghitung hitung rentenya.  Demikan pula pada keperluan- keperluan lainnya , apa bila satu pihak merasakan beban yang sukar di kerjakan sendiri maka pihak lain tidaklah melihat saja, tapi ikut merasa bertanggung jawab membantunya. Pola kehidupan seperti ini ditemui dalam masyarakat kecil yang mendiami rumah adat dan karena kehidupan seperti  itu juga terdapat dalam  rumah adat yang lain, maka dengan sendirinya  masyarakat yang lebih luas, dalam hidup dan pergaulan sehari-harinya senantiasa  berada pada suasana  kegotong- royongan yang  dinamis tadi. Untuk memperjelas uraian diatas perihal fungsi dan peranan setiap Kepala Keluarga  ( rumah tangga )   yang terdiri 8 keluarga di dalam setiap rumah adat, yang ujudnya mengatur tata pergaulan dan pelaksanaan  adat istiadat sehari- hari, termasuk hidup kemasyarakatan, dibawah ini diuraikan fungsi dari tiap Kepala Keluarga :1. Rumah tangga nomor ( 1 ) ;yang dalam bahasa daerah disebut  " Jabu Bena Kay u"   ditempati oleh orang yang  mengepalai segala rumah tangga di rumah tersebut, sebab ia adalah dalam katagori bangsa taneh ( pengulu tanah ).2. Rumah tangga nomor ( 2 )  ; diperuntukkan  bagi orang yang berfungsi  sebagai pekerja atau petugas ( anak beru ) dari orang yang duduk di Bena Kayu . Fungsi kepala rumah tangga nomor  ( 2 ) ini ialah juga  sebagai pembicara  mewakili bangsa taneh.3. Rumah Tangga nomor ( 3 ) ;  yang letaknya diseberang Jabu Bena Kayu  atau disebut " Lepar Bena Kayu " , adalah yang berkedudukan sebagai anak dari i  rumah tangga nomor ( 1 ). Rumah tangga ini biasanya  di namakan rumah tangga menanyakan  berita ( Jabu Sungkun Berita ). Dari nama  ini dapat diartikan bahwa kewajiban yang menempati rumah tangga nomor ( 3 ) ini ialah mengamat- amati  berita  di luar rumah adat dan sewaktu menyampaikan berita yang diperolehnya tersebut  kepada  penghuni rumah tangga  nomor ( 1 ).4. Rumah Tangga  nomor (4 ) ' ditempati oleh orang   yang kedudukannya sebagai pihak saudara  atau orang tua isteri yang menduduki rumah  tangga  nomor ( 1 ) ( Kalimbubu ). Jadi rumah tangga nomor ( 4 ) ini yang disebut dalam bahasa daerah " Lepar Ujung Kayu " yang dinamai juga  " Jabu Siman Minem  ". Sekiranya ada pesta / hajat penghuni  rumah tangga nonomr 1, maka penghuni rumah tangga nomor ( 4 ) di undang sebagai orang yang dihormati dan mendapat tempat duduk terbaik dan sitamu ini disitu makan minum saja. Rumah Tangga nomor ( 5 )  yang letaknya satu dapur dengan nomor ( 1 )  yang  disebut " Sidapuren Bena Kayu ", biasanya ditempati oleh pekerja / petugas dari rumah tangga nomor ( 2 ). Yang menempati rumah tangga ini disebut " Anak Beru Menteri ) ". Fungsinya  ialah menjadi saksi dan pendengar bilamana  ada permusyawaratan atau pembicaraan -membicaraan dirumah adat tersebut.6. Rumah Tangga nomor ( 6 ); ditempati oleh eselon  anak  dari  rumah  tangga nomor 4 ( Kepar Ujung Kayu- Kalimbubu ). Rumah  tangga nomor 6 ini lazim disebut " Jabu Arinteneng " .7. Rumah Tangga nomor ( 7 ); yang menempatinya adalah masuk bagian dukun/ guru, sehiongga rumah tangga  ini disebut " Jabu Bicara  Guru "  . Kewajiban penghuni  nomor  ( 7 ) ini membuat obat- obatan, memeriksa  hari baik, bulan baik, memeriksa hari kelahiran anak- anak, mengusir hantu- hantu dan lain- lain. Ringkasnya berfungsi sebagai dukun atau guru petenung yang berhubungan dengan kepercayaan.8. Runah Taqngga nomor ( 8 ) ; yang disebut " Jabu Singkapur Belo " , kewajiban bilamana penghuni rumah nomor ( 1 ) ( Bena Kayu ) di datangi sesorang tamu, maka wajiblah istri Kepala Keluarga nomor ( 1 ) ( Bena Kayu )  didatangi seseorang tamu, maka wajiblah istri Kepala keluarga nomor ( 8 ) ini datang ke keluarga   nomor ( 1 )  dengann menyodorkan kapur sirih sebagai menghormati seisi rumah kepada tamu, kemudian menanyakan  apa-apa  maksud  kedatangannya. Semua itu dilaporkan kepada penghuni  rumah tangga nomor ( 1 ) dan pembicaraan di lanjutkan oleh penghuni rumah tangga dengan tamunya.Demikianlah fungsi dari  pada penghuni rumah tangga nomor ( 1 )  sampai dengan  nomor ( 8 ), sehingga pergaulan dan pelaksanaan adat istiadat PERANAN SANGKEP SITELU : Disinilah pula tergambar arti dan peranan apa yang disebut Sangkep Si Telu,Sebab ternyata dalam setiap rumah adat terdapat  Tri Tunggal   Sangkep Si Telu.  Sangkep Si Telu ini terdiri  Anak Beru, Sukut  dan Kalimbubu. Ketiga unsur yang terdapat dalam Sangkep Si Telu itu merupakan  jaringan kekerabatan yang menentukan baik buruknya hidup kemasyarakatan, baik dalam melaksanakan pemerintahan maupun pelaksanaan hukum dalam arti luas.. Masing - masing dari ketiga unsur tadi berfungsi menurut pola yang sudah tertentu, sehingga dapat terbentuk suatau jaringan kegotong- royongan dan masyarakat dalam  arti yang sedalam - dalamnya dan seluas- luasnya, Pada hakekatnya setiap unsur dari Sangkep Si Telu  tadi sederajat , hanya saja derajat masing- masing tentunya disesuaikan dalam keadaan dimana  dan bagaimana sesuatu itu tumbuh dan menjadi kasus. Misalnya dalam suasana peristiwa seperti perkawinan , kemalangan, memasuki rumah baru, pesta kegiatan sentral ada pada Sangkep Si Telu . Pada pesta perkawinan misalnya, bisa saja A sebagai  Anak Beru ( pekerja, penanggung jawab pelaksana pesta ), B  sebagai Sukut ( pihak yang mengawinkan anak laki- laki ), C. sebagai  Kalimbubu ( keluarga laki- laki dari istri B, yang harus dihormati sungguh- sungguh baik dalam praktek pergaulan sehari- hari maupun dalam perjamuan makan ). Tapi dalam peristiwa yang lain, bisa  saja A yang tadinya dalam pesta perkawinan sebagai Anak Beru menjadi Sukut. B menjadi Kalimbubu. C jadi Amak Beru. Begitu seterusnya , sehingga kenyataannya  baik Anak Beru, Sukut dan Kalimbubu di dalam Sangkep Si Telu adalah sederajat. Jadi setiap ada kasus atau pengerjaan masalah- masalah maka ketiga unsur tadi berfungsi menurut ketentuan ketentuan yang telah sesuai kedudukannya pada waktu itu. maka sebenarnya pada Sangkep Si Telu berkisar kegiatan kemasyarakatan, ekonomi, kepercayaan dan lain- lain aktivitas  sosial.Walupun Sangkep Si Telu  itu amat menonjol pada masa  sebelum penjajahan Belanda ( penjajah Belanda menginjakkan kakinya pada Thn 1907 ( ? ) di dataran tinggi Karo,), namun sekarang inipun praktek Sangkep Si Teku itu masih dilaksanakan oleh Masyarakat Karo dimanapun  mereka berada  walaupun tidak seketat dulu. Jadi  Sangkep Sin Telu sebegitu jauh masih belum dapat dihapuskan oleh zaman  guna menggerakkan kegotong- royongan kekeluargaan dan aktifitas kehidupan  serta  aktifitas  sosial kemasyarakatan SUKU KARO.Sebagai Catatan : Walaupun dalam zaman kemerdekaan  ini secara formil peradilan  adat seperti bale kuta ataukah bale urung telah lenyap, namun Sangkep Si Telu masih berperan untuk menyelesaikan masalah- masalah  sosial terutama sengketa perkara- perkara  perdata bahkan ada mampu menyelesaikan masalah- masalah pidana. Masih sering dilihat apabila ada kasus perkara Disampaikan kepengadilan, maka disarankan agar diselesaikan dulu oleh Sangkep Si Telu. Memang pada kenyataannya  kasus- kasus  yang dicampuri oleh Sangkep Si Telu lebih banyak dapat diselesaikan dari pada menemui jalan buntu,. Jadi bagi pengadilan sendiri sebenarnya masih berfungsi Sangkep Si Telu di kampung- kampung, amat besar artinya bagi pengurangan perkara yang harus diselesaikan  oleh badan peradilan negeri tersebut
by: Ngajarsa Sinuraya Bre Bangun

No comments:

Post a Comment