Erupsi gunung api super
Letusan gunung api, merupakan fenomena biasa di Indonesia, yang
merupakan negara yang memiliki gunung api terbanyak di dunia. Juga bagi
masyarakat dunia, letusan gunung api dianggap sebagai bencana alam yang
lazim, seperti halnya gempa bumi, banjir atau longsor. Tapi letusan
gunung api super dapat memicu bencana global. Setiap tahunnya, di
seluruh dunia terjadi rata-rata 50 letusan gunung api kecil maupun
besar. Tentu saja dalam bencana alam semacam itu, akan banyak jatuh
korban jiwa dan harta benda. Akan tetapi, jika yang dibicarakan adalah
letusan gunung api super, maka yang terbayang adalah bencana luar biasa,
yang mungkin memusnahkan hampir seluruh makhluk hidup di muka Bumi.
Tapi apa gunung api super itu? Apakah memang ada gunung api yang dampak
letusannya begitu dahysat? Banyak yang membayangkan, letusan gunung api
Tambora pada tahun 1815, atau letusan gunung api Krakatau pada tahun
1883 sebagai letusan gunung api super.
Memang letusan kedua gunung api di Indonesia itu tergolong dahsyat,
akan tetapi belum dapat disebutkan letusan gunung api super. Letusan
gunung api super, yang diteliti secara intensif oleh para ahli geologi,
adalah yang terjadi 74.000 tahun lalu di gunung api Toba di Sumatra.
Pada saat meletus, gunung api Toba menyemburkan materialnya sampai
ketinggian 40 kilometer, dalam radius 3.000 kilometer. Material yang
disemburkan dari dapur magma, volumenya mencapai 3.000 kilometer kubik.
Akibat letusannya, terbentuk kaldera sepanjang 100 kilometer selebar 60
kilometer di ketinggian 900 meter, yang kemudian tertutup air menjadi
danau Toba. Penelitian yang dilakukan Michael Rampino pakar vulkanologi
dari Universitas New York menunjukan, akibat debu material gunung api
yang yang menyerap energi matahari di atmosfir, temperatur global diduga
mengalami penurunan antara 5 sampai 15 derajat. Bumi mengalami musim
dingin seperti musim dingin yang terjadi akibat perang nuklir.
Dampak global
Dampak globalnya diduga sangat mengerikan. Akibat
letusan gunung api super Toba, keberadaan manusia di zaman itu terancam
musnah. Catatan para arkeolog menunjukan, antara 70.000 sampai 80.000
tahun lalu, terjadi bencana yang memusnahkan banyak jenis makhluk hidup.
Walaupun belum diketahui pasti penyebabnya, namun salah satu faktor
terpentingnya, diduga munculnya zaman es kecil akibat letusan gunung api
Toba. Musnahnya manusia lembah Neander di Eropa , atau Homo erectus di
Asia, dalam kurun waktu tsb diduga disebabkan dampak hebat letusan
gunung api super Toba. Penelitian sedimen abu letusan di kawasan Eropa
dan Asia, menunjukan terjadinya musim dingin selama enam tahun
berturut-turut, sebagai akibat tidak langsung letusan gunung api Toba.
Akibatnya banyak tanaman atau binatang mati. Pada gilirannya, manusia
lembah Neander atau Homo erectus juga kehilangan sumber makanannya.
Manusia purba itu, ibaratnya berada di ambang kemusnahan. Para ahli
geologi memperkirakan, jumlah populasi manusia purba di seluruh dunia,
hanya tinggal beberapa puluh ribu saja.
Teori bencana akibat letusan gunung api super inilah, yang antara
lain digunakan, untuk menerangkan mengapa kode genetika manusia modern
nyaris identik. Diduga, manusia modern yang hidup saat ini, berkembang
dari hanya beberapa orang nenek moyang saja. Mereka ini, adalah kelompok
yang selamat dari bencana musim dingin hebat, yang dipicu letusan
gunung api super Toba, atau gabungan dengan fenomena alam lainnya.
Sebuah penelitian bahkan menunjukan, nenek moyang bangsa Eropa hanya
tujuh orang ibu, yang asalnya dari kawasan Timur Tengah.
Pro dan kontra
Tentu saja selain yang mendukung teori semacam itu,
ada pula yang menentangnya. Para ilmuwan penentang mempertanyakan,
apakah dampak letusan gunung api super Toba memang sehebat itu? Tentu
saja yang pro dan yang kontra, mengajukan bukti-bukti dari argumen
mereka. Kelompok yang pro teori bencana dahsyat, yang hampir memusnahkan
umat manusia, mengajukan argumen yang cukup meyakinkan. Sebagai
bandingannya, ditunjukan letusan gunung api Tambora di Sumbawa pada
tahun 1815. Ketika itu, material letusan Tambora volumenya hanya sekitar
20 kilometer kubik, jauh lebih kecil dari volume material Toba yang
3.000 kilomter kubik. Namun dampaknya amat mengerikan.
Bukan hanya menyangkut korban jiwa, dimana 10.000 orang tewas sebagai
akibat langsung dari letusan itu. Namun, tahun 1816, dicatat oleh warga
Eropa, sebagai tahun tanpa musim panas. Hujan salju masih turun di
bulan Juni hingga Agustus, yang seharusnya musim panas. Panen di Eropa
mengalami kegagalan. Dimana-mana didirikan dapur umum untuk memberi
makan warga yang kelaparan. Lapisan es menutupi alur pelayaran di
samudra Atlantik. Sementara lapisan es abadi di puncak pegunungan Alpina
di Eropa, ketika itu, sampai menutupi kaki gunung. Bayangkan bencara
sebesar apa yang terjadi 74.000 tahun lalu, ketika gunung api Toba
meletus. Jika penelitian di Eropa memang akurat, dimana lapisan sedimen
debu Toba menunjukan musim dingin selama enam tahun berturut-turut,
jumlah manusia purba yang tewas sebagai akibat tidak langsung pasti
lebih besar.
Beralasan, jika dibuat perkiraan hampir musnahnya ras manusia. Juga
dari sejarah pembentukan Bumi, letusan gunung api super semacam itu,
terbukti menyebabkan berkali-kali nyaris musnahnya seluruh makhluk hidup
di muka planet biru ini. Tapi, penentang teori bencana hebat itu, juga
mengajukan bukti lain. Kelompok ahli geologi dari Taiwan, di bawah
pimpinan Meng-Yang Lee mengajukan bukti pengeboran sedimen letusan
gunung api Toba di dasar samudra Hindia dan di laut Kuning. Yang
diteliti adalah letusan Toba yang pertama, yang terjadi sekitar 800.000
tahun lalu. Volume letusannya hanya sepertiga letusan kedua, 74.000
tahun lalu. Hasil penelitian pakar geologi Taiwan, menunjukan,
letusannya tidak cukup hebat untuk memicu zaman es. Tentu saja, para
pendukung teori kiamat letusan Toba, menyatakan perbandingannya tidak
relevan.
Ancaman aktual
Namun terlepas dari perbedaan pendapat itu,
terbukti, ancaman letusan gunung api super pasti memicu bencana hebat.
Selain itu, Michael Rampino pakar geologi dari Universitas New York
memperhitungkan, setiap 50.000 tahun sekali pasti terjadi letusan gunung
api super. Juga jika gunung api Toba sudah meletus 74.000 tahun lalu,
berarti masih terdapat ancaman besar. Bisa digambarkan, betapa hebatnya
dampak yang ditimbulkan, jika sebuah gunung api super meletus di zaman
modern ini. Berapa ratus juta orang yang akan meninggal? Baik akibat
langsung erupsi magma maupun sebagai dampak sampingannya. Ancaman paling
dekat, ternyata ada di Amerika Setikat, yakni di gunung api super
Yelowstone. Kaldera gunung api super Yelowstone panjangnya 70 kilometer
dan lebarnya 30 kilometer. Memang relatif lebih kecil dari kaldera
gunung api Toba.
Penelitian oleh Robert Christiansen peneliti gunung api dari
California, menunjukan, gunung api super Yelowstone meletus setiap
600.000 tahun sekali. Pengukuran oleh Robert Smith dari Universitas
Utah, menunjukan gunung api Yelowstone tetap hidup. Dari tahun 1923
sampai tahun 1985 permukaan tanah naik 74 sentimeter, namun turun lagi
di tahun 1995. Sejauh ini, aktivitas gunung api super Yelowstone tetap
dipantau, untuk peramalan dini terjadinya letusan berikutnya.(muj)
http://www.kelas-mikrokontrol.com/jurnal/iptek/bagian-4/erupsi-gunung-api-super.html
No comments:
Post a Comment