Tuesday, April 24, 2012

ARSIP BAKKARA


ARSIP BAKKARA


Pada tahun 1884, Pendeta Pilgram yang bermusuhan dengan Sisingamangaraja XII, melarikan setumpukan kertas pada sebuah peristiwa pengepungan Bakkara, Ibukota kerajaan, dengan gempuran artileri yang menyebabkan Bakkara hancur lebur. Kertas-kertas itu bertuliskan aksara Batak dengan bahasa Batak. Arsip-arsip itu merupakan file-file pemerintahan Raja Sisingamangaraja XI. Selanjutnya disebut Arsip Bakkara. Arsip ini berpindah-pindah tangan selanjutnya dari koleksi Joustra dan akhirnya jatuh ke tangan Poortman di Voorburg, Belanda.


Arsip tersebut dijilid setebal lima sentimeter dengan jumlah jilidan 23. Bila ditumpukkan akan mempunyai lebar sekitar satu setengah meter. Ditulis dengan menggunakan pena yang terbuat dari pohon Aren. Tidak diketahui siapa penulisnya tapi yang pasti penulisannya diperintahan oleh Sisingamangaraja XI dalam sebuah usaha untuk memajukan peradaban Batak pada era pemerintahannya.

Jilid 1 sampai dengan 10, berupa kitab raja-raja kerajaan atau “Book of Kings” seperti Pararaton, Tambo atau Sejarah Melayu dan lain sebagainya.

Jilid 11 sampai dengan 23, merupakan annals (dokumentasi tahunan) perihal pemerintahan Sisingamangaraja XI di Bakkara. Bila buku ini diterbitkan kembali maka kemasyhurannya dipastikan akan menyamai kitab-kitab Majapahit ala Prapanca.

Secara rinci mulai dari jilid 1 sampai dengan 3 berisikan informasi mengenai pemerintahan Dinasti Sorimangaraja selama 90 generasi di Sianjur Sagala Limbong Mulana di kaki gunung Pusuk Buhit.

Jilid satu dimulai dengan kalimat Ta Pa Da Na Da Na A A Sa Na yang berarti kisah tentang Putri Tapidonda Nauasan, ibu suri dari suku bangsa Batak. Diyakini oleh kepercayaan agama orang-orang Batak saat itu, diturunkan dari ‘banua ginjang” oleh Debata Mulajadi Na Bolon.

Jilid 2 berisi kisah pemisahan diri orang-orang Batak Simalungun dari kekuasaan Dinasti Sorimangaraja dan mendirikan kerajaan Nagur. Menyusul pula orang-orang Batak Karo yang mendirikan kerajaan Haru Wampu serta kesetiaan orang Mandailing, Angkola dan Sipirok terhadap pemerintah berkuasa saat itu.

Jilid 3 berisi tentang file-file mengenai keistimewaan dan kesaktian raja-raja Batak. Legenda-legenda mengenai raja misalnya Sorimangaraja XC yang diyakini dapat menerbangkan benda mati ke udara, demikian juga dari pihak marga Simanullang dan Sinambela yang dapat menerbangkan pedangnya. Semuanya menjelaskan peristiwa konstalasi politik kuno dalam sebuah cerita perumpamaan dimana Dinasti Sorimangaraja dijatuhkan oleh orang-orang marga Simanullang dan dijatuhkan lagi oleh pihak Sinambela

Jilid 4 samapi 7 berisi dokumentasi pemerintahan Dinati Sisigamangaraja di Bakkara. Semuanya berisi mengenai kelahiran raja dan pengangkatannya dan lain sebagainya. Setiap peristiwa itu juga dibarengi dengan penjelasan mengenai kejadian alam yang menyusul terjadi.

Di jilid ini juga diceritakan bahwa Sultan Alauddin Muhammad Syah, seorang Sultan Aceh, mengadakan perjanjian kenegaraan dengan pihak Singamangaraja IX dalam kerjasama pertahanan. Sisingamangaraja IX melepaskan pengaruhnya dari Singkil serta daerah Uti Kiri definitif kepada pihak Aceh. Sebagai imbalannya pihak Aceh menyerahkan pengaruhnya di daerah Uti Kanan dengan ibukotanya Lipatkajang ke pihak Singamangaraja IX. Barus yang dikuasai oleh pihak Dinasti Pardosi dan Dinasti Pasaribu Hatorusan (Tuanku Hulu dan Hilir) ditetapkan sebagai zona netral. Sementara itu pihak Aceh mengakui pengaruh Sisingamangaraja IX atas wilayah Simalungun dan kawasan Karo berada dalam pengaruh Aceh.

Dikisahkan juga perihal peristiwa suaka politik Pangeran Gindoparang Sinambela yang diusir oleh Singamangaraja IX ke wilayah Uti. Gindoporang Sinambela sekarang ini menjadi leluhur komunitas muslim Sinambela di Singkil. Perihal keluarga Gindoparang dan anaknya Faqih Sinambela yang menjadi seorang Jenderal di pihak Padri didapat oleh sejarawan Sutan Martua Raja dari sebuah catatan keluarga orang-orang muslim marga Sinambela di Singkil. Di sana kebanyakan mereka menjadi guru-guru agama Islam yang menikah dengan orang-orang marga Pohan dari Barus.

Jilid 7 ditutupi dengan sebuah dokumentasi peristiwa tragis yang menimpa Singamangaraja IX yang hendak mencoba sepucuk bedil hadiah dari Sultan Aceh. Dia menembak mati satu ekor gajah yang mengakibatkan dirinya hancur lebur diinjak oleh gajah-gajah yang lain.

Jilid 8 seluruhnya berisi dokumentasi pemerintahan Singamangaraja X serta peristiwa konflik kerajaan dengan kekuatan Padri.

Jilid 9 berisi mengenai mitos kepala terbang.

Jilid 10 mengenai kehidupan Amantagor Manullang selama memerintah di Bakkara sebelum era Dinasti Sisingamangaraja. Dia tewas dan dibunuh oleh orang yang tak dikenal di dataran tinggi Tele dan dikuburkan di Paranginan, Humbang. Daerah ini sampai sekarang masih sangat rawan dan menjadi sarang para perampok dan bajing loncat. Sebelum Tele ada sebuah daerah yang bernama Dolok Partangisan yang dianggap angker dan seram karena diyakini dulunya menjadi pusat pengajaran mistik dan membutuhkan pengorbanan nyawa anak manusia.

Di jilid 10 ini pula diinformasikan mengenai kedatangan orang Eropa yang disebut sebagai “Si Bontar Mata” oleh bahasa Batak yang memasuki Silindung tapi tidak melalui Bukit Sigompulon. Agama yang mereka bawa, katanya, ditolak oleh orang-orang Batak. Tidak disebutkan mengapa.

Jilid 11 berisi mengenai informasi penobatan Sisingamangaraja XI dalam usia 10 tahun akan tetapi telah bersikap sangat bijaksana.

Jilid 11 sampai dengan 23, merupakan file-file pemerintahan Ompu Sohahuaon yakni Sinagamangaraja XI. Juga mengenai penanggalan pemerintahan yang dimulai dari penobatannya sebagai raja. Menyerupai angka tahun Jepang.

Tahun I dalam penanggalan Sisingamangaraja XI sama dengan tahun 1830 M. Di ajaran parmalim juga terdapat penanggalan yang berdasarkan pada era Dinasti Uti dimana tahun 497 Masehi sama dengan tahun 1450 tahun Batak. Tahun ini dipercaya merupakan tahun berdirinya agama parmalim.

Sementara itu jilid 23 ditutup dengan tahun ke-37 dari pemerintahan Sisingamangaraja yang berarti tahun 1866 M.

Singamangaraja XI menyesuaikan permulaan tahun dengan permulaan ‘Tinki Ni Pangkuron’ yakni musim mencangkul sawah. Ini berarti tahunnya disesuaikan dengan musim hujan yang di tanah Batak adalah pada pertengahan November. Untuk tanda diambillah ‘bintang na pintu’ yakni Orion sementara tenggelamnya ‘bintang hala’ yakni Skorpio.

Permulaan bulan dihitung degan naiknya bulan. Sehingga ‘tula’ yakni malam terang bulan purnama selamanya jatuh pada tanggal 15 seperti penanggalan tahun Hijriyah. Sepuluh bulan pertama tidak diberi nama akan tetapi hanya penomoran seperti ‘bulan sapaha sada’ sampai dengan ‘bulan sapaha sappulu’. Sementara itu bulan yang ke-11 bernama ‘bulan hala’ dan bulan ke-12 bernama ‘bulan hurung’.

Para ahli astronomi kerajaan mengerti bahwa penanggalan berdasarkan bulan berbeda dengan penanggalan berdasarkan bintang selama 11 hari setiap tahun. Akibatnya, permulaan dari bulan ‘sapaha sada’ yang begitu penting untuk mencangkul sawah turut pula bergeser 11 hari dari timbulnya ‘bintang na pitu’. Singamangaraja XI juga mengadakan ‘bulan na badia’ yakni bulan ketigabelas yang diselipkan antara ‘bulan hurung’ dan ‘bulan sapaha sada’. Tujuannya, agar perhitungan waktunya tepat pada permulaan tahun dengan timbulnya ‘bintang na pitu’, tepat dengan permulaan musim hujan dan permulaan musim mencangkul sawah.

Jilid 11 dan 12 kondisinya sangat rusak.

Jilid 13 sampai dengan jilid 16 mengenai periode pembangunan ibukota Bakkara dan daerah Toba dalam periode 1835-1846. Termasuk penataan pertanian, peternakan, penetapan geografis negeri-negeri dan juga pembangunan yang bersifat sosial dan poltik.

Dalam jilid 14 disebutkan bahwa Singamangaraja XI mengadakan kunjungan kenegaraan ke Aceh dalam usia 24 tahun. Tujuannya untuk mengikuti pendidikan militer di Indrapuri selama 2 tahun. Di sana dia satu kelas dengan pangeran Ali Muhammad Syah, Tengku Mahkota Kesultanan Aceh.

Di sini juga disebutkan nama Teku Nangta Sati, ayah dari Cut Nya’ Dien dan mertua dari Teuku Umar, yang ikut ke Bakkara bersama Singamangaraja XI selaku ‘Chief Aceh Military Mission’ yang pertama. Selama Singamangaraja XI di luar negeri, pemerintahan kerajaan di dalam negeri dipegang oleh Panglima Panibal Simorangkir, putra dari Panglima Jomba Simorangkir, pengawal setia Singamangaraja XI.

Dalam jilid 16 dicatat bahwa telah lahir putra mahkota Parobatu di tahun ke-16 dari pemerintahan Singamangaraja XI yakni tahun 1845 M. (Dia kelak memerintah antara tahun 1867-1907)

Jilid 17 menceritakan datangnya dua orang Eropa, Si Junghun dan Si pandortuk yakni Dr. Junghuhn dan Dr. van der Tuuk. Momen inilah yang membuat adanya kesempatan oranga sing mengabadikan foto Singamangaraja XI. Van der Tuuk merupakan orang kulit putih satu-satunya yang pernah diijinkan menginap di Bakkara karena dia menyampaikan salam dari kepada Sinagamangaraja XI, dari abangnya Putra Mahkota Lambung Sinambela di Roncitan, Sipirok.

Jilid 21 berisi informasi mengenai kunjungan Singamangaraja XI pada tahun 1865 kepada pendeta Nommensen di Huta Damai untuk menagih pajak atau cukai berupa ‘nyonya kulit putih’.

Dalam jilid 23 disebutkan bahwa dalam pemerintahan yang ke-36 Singamangaraja XI di tanah Batak Utara mengamuk lagi Begu Attuk, plague epidemik, serta Begu Arun yakni kolera. (Singamangaraja XI sendiri diketahui meninggal karena kolera)

Di jilid ini disebutkan juga bahwa Putera Mahkota Parobatu ditugaskan selama dua tahun untuk mengikuti pendidikan militer di Aceh pada tahun 1864-1866.


Sumber:
_______________________



ARSIP BAKKARA


    Repeat : Pada tahun 1884, Pendeta Pilgram menyelamatkan setumpukan kertas-kertas tulisan tangan, Tulisan Batak, Bahasa Batak, yang merupakan Arsip dari Singamangaradja XI. Selanjutnya disebutkan “Arsip Bakkara”. Lewat Collection Joustra jatuh kedalam Collection Poortman di Voorburg Holland.

    Arsip Bakkara terdiri atas kertas ukuran foolscap. Dari watermark kelihatan : Bikinan Italia. Import lewat Atjeh. Ditulisi loose leaf, kemudian dijilid. Masing-masing jilid 5 centimeter tebalnya. Totalnya 23 jilid dan satu setengah meter tebalnya !! Setiap jilid diperkuat dengan cotton serta kulit kerbau. Sangat kuat. Pulpit dimensions. Ink yang digunakan adalah Tinta Tiongkok, yang tahan lama dan tahan air. Pena yang digunakan bukanlah pena runcing, akan tetapi sangat mungkin adalah Kalam dari Pohon Aren.
    Jilid 1 sampai dengan jilid 10 merupakan sesuatu “Book Of Kings” seperti : “Pararaton”, seperti : “Sejarah Banten”, seperti : “Sejarah Malayu”, seperti : “The Biblical Book Of Kings, dll. semacam itu.
    Jilid 11 sampai dengan jilid 23 merupakan annals (buku-buku tahunan) perihal Pemerintahan Singamangaradja XI di Bakkara Toba. Seperti : Annals dari Kaisar Tiongkok, seperti “Daghreghister VOC”. Setiap hari ditulisi. Tidak dijilid sekali setahun, akan tetapi : Dijilid kalau sudah 5 centimeter tebalnya. Karena itu, Arsip Bakkara kelihatannya sangat rapi, seperti Encyclopedia, setiap jilid kira-kira sama tebalnya.

    Tidak diketahui entah siapa Authors dan Redactors dari Arsip Bakkara, di bawah pimpinan Singamangaradja XI. Quality dari mereka itu, tidak kalah kepada Prapanca ataupun kepada Tun Sri Lanang.
    Jilid 1 sampai dengan jilid 3 adalah perihal pemerintahan dari Pagan Priest Kings Sori Mangaradja Dynasty selama 90 generations di Siandjur Sagala Limbong Mulana, dikaki Gunung Pusuk Buhit.
    Jilid 1 mulai dengan “Ta Pa Da Na Da Na A A Sa Na” (Putri Tapi Donda Nauasa, Ibu Suri dari Suku Bangsa Batak. Diturunkan dari Banua Gindjang oleh Debata Muladjadi Nabolon.
    Jilid 2 Mulai dengan mengecam orang-orang Batak Simalungun, yang melepaskan diri dari Sori Mangaradja Dynasty, dan mendirikan Keradjaan Nagur. Menyusul pula demikian orang-orang Batak Karo, yang mendirikan Keradjaan Haru Wampu. Sebaliknya sangat penting ditunjuk, bahwa orang-orang Mandailing, Angkola, dan Sipirok, tetap setia kepada Sori Mangaradja Dynasty di Siandjur Sagala Limbong Mulana
    Jilid 3 tutup dengan sesuatu ceritera Black and White Magic, yang malahan lebih seru daripada ceritera perihal Mozes di dalam Bible, dimana tongkat berubah menjadi Ular. Yakni cerita classic Aerial Combat sebagai berikut. Radja Sori Mangaradja XC menerbangkan Losung (rice block). Chief Witch Doctor dari Marga Simanulang menerbangkan Andula (rice stamper), yang tinggi di Udara menerjang Flying Losung itu, jatuh ke tanah. Radja dari Marga Sinambela menerbangkan pedang, yang tinggi di Udara memotong putus Andalu itu. Cerita Aerial Combat dengan Magic Powers itu perlu, karena : Sori Mangaradja Dynasty yang bernama Marga Sagala, digulingkan oleh orang-orang Marga Simanulang (Manullang). Kemudian Chief Witch Doctor Pagan Priest King dari Marga Manullang digulingkan pula oleh Chief Witch Doctor dari Marga Sinambela, yang selaku Singamangaradja I Pagan Priest King, mendirikan Singamangaradja Dynasty.

    Repeat : Conform dengan Demak Dynasty yang digulingkan oleh Djoko Tingkir Adiwidjojo Self Made Sultan Pandjang. Kemudian Djoko Tingkir Adiwidjojo disunglap pula oleh Penembahan Senopati, yang mendiri Mataram Dynasty. L’Histoire se repete. C’est toujours Ia memechose.

    Jilid 4 sampai dengan jilid 7 mengenai pemerintahan dari 9 orang Pagan Priest Kings dari Singamangaradja Dynasty di Bakkara Toba. Sangat annoying membacanya !! Itu saja berkali-kali diulangi-ulangi. Terutama perihal Calamities Natural Forces seperti : Pecah Langit, Gempa Bumi dlsb., setiap kali lahir seorang calon Singamangaradja. Akan tetapi very interesting, bahwa katanya : Pada semua para Singamangaradja yang naik takta, ohne Ausnahme ada Pigmentation Mole di atas lidahnya. (Repeat : Terkecuali cuma Singamangaradja XI). Very interesting pula bahwa : Seorang Usurper calon Singamangaradja VI jatuh sambil mencabut Keris Pusaka Gadjah Dompak, yang menembus jantungnya.

    Sultan Alaudin Mahammad Sjah Sultan Atjeh mengadakan Perjanjian Offensive Defensive, dengan Singamangaradja IX. Seorang Sultan yang ber-Agama Islam, mengadakan Hubungan Diplomacy dengan seorang Pagan Priest King. Singamangaradja IX melepaskan Pelabuhan Singkil serta Daerah Uti Kiri definitive untuk Atjeh, akan tetapi : Mendapat kembali bekas Pelabuhan Pansur serta Daerah Uti Kanan dengan ibukotanya Lipatkadjang,. Pelabuhan Barus merupakan Neutral Zone, dan tidak lagi dipertengkarkan. Simalungun diakui oleh Atjeh merupakan Sphere Of Interest dari Singamangaradja Government, akan tetapi : Karo merupakan Sphere Of Interest dari Atjeh.

    Oleh Singamangaradja IX exiled ke Uti, his helf-brother Prince Gindoporang Sinambela. Tidak disebutkan, apa sebabnya. Sama sekali tidak disebutkan di dalam Arsip Bakkara, perihal Princess Gana Sinambela. Catatan : perihal Ibu dan Ayah dari Tuanku Rao, dapat diketahui dari Family Papers orang-orang Muslimin Marga Sinambela di Singkil. Guru-guru Agama Islam di Singkil, yang intermarried dengan dito dari Marga Pohan di Barus).

    Jilid 7 tutup dengan tragic story The Iron Fisted Singamangaradja IX mencoba sepucuk bedil hadiah Sultan Atjeh. Dia menembak mati satu gajah akan tetapi : Dia hancur lebur di-injak-injak oleh gajah-gajah yang lain

    Jilid 8 seluruhnya perihal Singamangaradja X serta perihal “Pidari”. Sangat tegang membacanya, karena ditulis oleh eyewitnesses. Sayang sekali, bahwa : Perihal Tuanku Lelo The Big Scoundrel sama sekali disebutkan, yang dijadikan Momok hanyalah :”Ta A Nga KA Ra A (Tuanku Rao). Katanya, Tuanku Rao dengan sesuatu cadeau memancing his Uncle Singamangaradja X datang dari Bakkara ke Butar. Disitu Tuanku Rao alias Si Pongkinangolngolan katanya membalas dendam, dan menyerang Singamangaradja X dari Bekajang. Yang benar dari cerita itu, hanyalah bahwa : Tuanku Rao tidak pernah kembali ke Bakkara. That’s all.

    Jilid 9 mulai dengan “Mythos Si Pongkinangolngolan” = Mythos Kepala Terbang Toba Edition, in originalia. Tidak banyak berubah, masih tetap hingga ini hari ia circulation di dalam cerita lisan di Toba, sebagimana pula sebelum PD I dituliskan oleh Guru Arsenius Lumbantobing untuk Sutan Martua Radja.
    Jilid 9 serta jilid 10 rupa-rupanya ditulis dibawah pengawasan Datu Amantagor Manullang. Sangat banyak disitu puji-pujian atas jasa dari Datu Amantogar Manullang, selama his One Man Regency di Bakkara. Akan tetapi : Jilid 10 tutup dengan pemberitahuan bahwa : Datu Amantagor Manullang mati dibunuh oleh “Orang yang tidak dikenal” di dataran tinggi Tele. Very suspect, bahwa : Jenazah dari Datu Amantagor Manullang tidak jadi masuk Magalithic Knuckle House di Bakkara, akan tetapi : Separoh jalan dipendam di Kampung Paranginan Humbang.

    Di dalam jilid 10 disebutkan pula perihal orang-orang kulit putih (di dalam Bahasa Batak : “Si Bontar Mata”) yang memasuki Silindung, akan tetapi tidak lewat Bukit Sigompulon. Agama yang mereka bawa, katanya ditolak oleh orang-orang Batak. Tidak disebutkan kenapa.
    Jilid 11 mulai dengan penobatan Singamangaradja XI di dalam usia hanyalah 10 tahun, akan tetapi sudah sangat bijaksana.

    Jilid 11 sampai dengan jilid 23 yang terakhir, itulah yang very minutely merupakan Annals dari Pemerintahan Ompu Sohahuaon = Singamangaradja XI The Great. Kalimat-kalimatnya sangat exactly to the point. Sedikit pun tidak ada dongengan omong kosong. Segala-galanya tetap berikut Angka-angka Tahunan di dalam Tarich Ompu Sohahuaon = Tarich Singamangaradja XI. Sistem “Tarich Tahun Pemerintahan” dari seorang Radja, kini masih berlangsung di Djepang dimana Tarich Sjoowa adalah “Tarich Pemerintahan Kaisar Hirohito”. Sama pula dengan Sistim Rumawi umpamanya di dalam buku : “The Twelve Caesars” karangan Sueonius, dimana malahan ada 12 Tarich-tarich. Satu Tarich untuk setiap Kaisar Rumawi. Sedikit sulit, jika Para Tuan-tuan Kaisar sedang asyik main racun dan di dalam dua tahun ada sampai 4 kaisar.

    Tahun 1 di dalam Tarich Singamangaradja XI sama dengan tahun 1830 di dalam Tarich Masehi. Ditetapkan oleh Resident Poortman via Tarich Hidjrah. Yakni : Dia membandingkan kejadian yang tersebut di dalam Arsip Bakkara berikut Angka-angka Tahunan Tarich Singamangaradja XI, dengan kejadian yang sama yang tersebut pula di dalam buku-buku Hikayat Perang Atjeh berikut Angka-angka Tahunan di dalam Tarich Hidjrah. Pandai Resident Poortman.

    Jilid 23 tutup dengan tahun ke 37 dari Pemerintahan Singamangaradja XI, sama dengan tahun 1866 M.
    Singamangaradja XI menyesuaikan permulaan tahun dengan permulaan dari “Tingki Ni Pangkuron” (musim memacul sawah. Artinya : Disesuaikan dengan permulaan dari Musim hujan, yang di Tanah Batak adalah Medio November. Untuk tanda diambil timbulnya “Bintang Na Pintu” (Orion Constellation) yang di tunggu-tunggu while observing lengkapnya “Bintang Hala”= Scorpio Constellation.

    Permulaan Bulan penting gampang dihitung mulai naiknya bulan. Sehingga : Tula (malam terang Bulan Penuh), selamanya jatuh pada tanggal 15 sama seperti pada Tarich Hidjrah.
    10 bulan yang pertama, tidak diberi nama akan tetapi quiet simple diberi nomor. Menjadi “Bulan Sapaha Sada” sampai dengan “Bulan Sapaha Sappulu”. Conform seperti “Ichi Gatsu” sampai dengan “Dju Gatsu” di dalam Tarich Djepang. Bulan Sebelas ada namanya, yakni : “Bulan Hala”=Scorpio Month. Bulan Duabelas pun ada namanya, yakni : “Bulan Hurung”=Bulan Tutup Tahun.

    Batak Star Gazers mengetahui bahwa : Tarich Bulan dan Tarich Bintang berbeda 11 hari setiap tahun. Akibatnya : Permulaan dari Bulan Sapaha Sada yang begitu penting untuk mulai memacul sawah-sawah turut pula tergesar 11 hari dari timbulnya Bintang Na Pitu. Don’t worry !! Singamangaradja XI The Great sanggup mengatasi situation.

    Sama saja seperti Paus Gregorius The Great, juga Singamangaradja XI The Great pun mengadakan Leap Years. That’s it !! yakni : Singamangaradja memerintahkan adanya satu extra month satu kali setiap 3 tahun. Menjadi “Bulan Nabadia” (Holy Month) berupa “Bulan Tigabelas”, diselipkan antara Bulan Hurung serta Bulan Sapaha Sada. Ausgeglichen !! Menjadi tepat lagi permulaan yahun dengan timbulnya Bintang Na Pitu, tepat lagi dengan permulaan musim hujan tepat lagi dengan permulaan musim memacul sawah.

    Sebaliknya di Pulau Djawa semula begitu pula di waktu masih sepenuhnya dipakai Tarich Adji Saka berupa Tarich Bintang. Akan tetapi Sultan Agung Sutan Mataram, mengacau-balaukan Tarich Djawa dengan Tarich Bulan=Tanggal 1 Muharram, sama sekali tidak ada lagi correlation dengan permulaan musim hujan. Sedangkan untuk orang-orang Djawa permulaan musim memacul sawah sebenarnya lebih penting lagi daripada untuk orang-orang Batak. Dahulu sebelum ada Irrigation bikinan Belanda.

    Jilid 11 dan jilid 12 sangat rusak. Rupa-rupanya terlalu lama ketinggalan di dalam rumah yang terbakar dan ditimpa hujan di Bakkara, sebelum rescued oleh Pendeta Pilgram. Karena itu, tidak diketahui pendapat dari Singamangaradja Government perihal pembunuhan atas Pendeta Lyman serta Pendeta Munson oleh Radja Panggulamai di Lobupining.

    Jilid 13 sampai dengan jilid 16 mengenai Periode Pembangunan Ibukota Bakkara serta Daerah Toba, di dalam periode 1835 – 1846. Dibandingkan kepada situation sebelum “Ringki Ni Pidari” 1818 – 1820, penduduk sudah berkurang separuh, akan tetapi : taraf kemakmuran malahan sudah lebih dari double. Hewan-hewan diperternakkan kembali dengan stock dari Pulau Samosir. Tanah-tanah pertanian yang dirusak oleh “Pidari” dengan parit-parit pertahanan, dioleh kembali. Tanah pertanian yang tinggal kosong karena orang-orang Marga Lubis serta orang-orang Marga Siregar Toba sudah decimated, jatuh kepada mereka punya “Boru”= their sons-in-law, yakni : Orang-orang Sihubil Branch serta orang-orang Somanimbil Branch dari Sibagot Ni Pohan Clan Group. Bekas kampung “Huta Na Pang” dimana Radja Mandangar Lubis begitu gagah perkasa bertahan terhadap Cavalry Tuanku Lelo, menjadi kampung “Sianipar” yang sekarang ini. Kampung-kampung yang permulaan abad ke-XX kelihatan begitu rapih bulat dikelilingi bambu duri di Toba, semuanya didirikan di dalam periode 1835 – 1846 itu. Fakta itu digunakan oleh Pemerintah Hindia Belanda dengan nama “kampung vorming”=”happung bornging” di dalam Bahasa Batak, untuk menentukan kedudukan para Kepala Negeri.

    Di dalam jilid 14 disebutkan pula bahwa : Singamangaradja XI di dalam usia 24 tahun pergi ke Atjeh, untuk mengikuti pendidikan Militair di Indrapuri selama 2 tahun, bersama Prince Ali Muhammad Sjah Tengku Mahkota Kesultanan Atjeh. Pertama kali pula disebutkan nama dari Teku Nangta Sati (Ayah dari Tjut Nja Din dan Mertua dari Teku Umar), yang ikut ke Bakkara bersama Singamangaradja XI selaku Chief Atjeh Military Mission yang pertama, selama Singamangaradja XI ada di Luar Negeri. Pemerintah di Bakkara dipegang oleh Panglima Panibal Simorangkir, Putra dari Panglima Djomba Simorangkir yang hingga nafas yang penghabisan begitu setia mendampingi Singamangaradja X.

    Di dalam jilid 16 dicatat bahwa : Lahir Prince Parobatu, Putra dari Singamangaradja XI, di dalam Tahun ke-16 dari Pemerintahan Ompu Sohahuaob 1845. Singamangaradja XI hanyalah satu orang Putranya. Prince Parobatu adalah the future Singamangaradja XII Pahlawan Nasional Indonesia, hidup : 1845 – 1907, memerintah : 1867 – 1907.

    Di dalam jilid 17 disebutkan : “Si Djunghun” serta “Si Pandortuk”, yakni : Dr. Junghuln serta Dr. van der Tuuk, yang datang mengunjungi Singamangaradja XI. Akibatnya : Dari Singamangaradja XI ada photo yang dibikin pada tahun 1847, sedangkan dari Singamangaradja XII sama sekali tidah ada photo. Duduknya sebagai berikut :
    Dr. Junghuhn adalah Botanist (ahli tumbuh-Tumbuhan), sama sekali bukan Pendeta ataupun Ahli Bahasa (Philologist, seperti lazim di sangka oleh Orang-orang Toba dan Silindung. Dia pada tahun 1846 pergi ke Humbang untuk Survey Pananaman Kina. Ledger seorang Australia, berhasil mencuri Bibit Kina dari America Selatan. Oleh Ledger, Bibit Kina itu dijual kepada Pemerintah Hindia Belanda karena : Di Kepulauan Indonesia memang banyak penyakit malaria.

    Dari Ledger diperoleh Information, bahwa : Dia mencuri Bibit Kina itu dari Peru Bolivia, daerah yang dekat ke Aequator, 1.200 meter tingginya diatas niveau laut, dan disitu continue ada angin keras. Di Australia di tepi laut, Ledger tentulah tidak success mau menjadi kaya raya dengan merebut Kina Monopoly. Untungnya bahwa Bibit Kina curian itu di Austrakia tidak mati walaupun hanyalah vegetating.

    Daerah seperti disebutkan oleh Ledger di Indonesia ada dua. Yakni : Yang paling mirip adalah Daerah Humbang di Tanah Batak Utara, serta runner-up adalah Daerah Pengalengan di Djawa Barat. Perihal daerah Humbang, pihak Belanda sedikit-sedikit sudah mengerti dari pihak Inggris, yakni : Dari report oleh Holloway serta Miller yang pada tahun 1772 disitu mengadakan Survey Kemenjan. Pimpinan Kebun Raya di Bogor, mengutus Herr Doctor Junghuhn pergi fact finding Kina Survey ke Humbang di Tanah Batak Utara, yang orang Belanda sendiri satu pun tidak ada yang berani mendekati. Takut cannibals yang katanya sudah mulai di Lobupining. Orang Batak Makan Orang. Siapa berani mendekat.

    Herr Doctor Junghuhn masih muda remaja, baru tammat di Unversitas Leipzig Djerman, berani saja auf Abenteuer !! Tanpa satu butirpun tahu Bahasa Batak, Junghuhn dari Teluk Siboga memasuki Tanah Batak Utara. Dia punya Suara Tenor. Junghuhn segera mengikuti menyanyi-nyanyikan lagu Batak “Si Tara Tullo”, walaupun dia tidak mengerti lyrics dari lagu-lagu yang merdu itu !! Junghuhn selaku Mahasiswa di Djerman, adalah Champion Bier Contest. Junghuhn membanting semua orang Batak di dalam Tuwak Contest, mulai dari Siboga Djulu. Der Meister Singer Herr Doctor Junghuhn sudah banyak repertoire lagu-lagu Batak, pada waktu dia 3 hari kemudiaan memasuki kampung Lobupining, dimana Pendeta Lyman serta Pendeta Munson 23 tahun sebelumnya, ermordet und aufgegessen. After some community singing di Lobupining, Herr Doctor Junghuhn menentang The Formidable Radja Panggulamai, to come out di dalam Tuwak Contest !! seterusnya, Junghuhn di Tanah Batak Utara mendapat escorte dari Radja Panggulamai. Memang jagoan itu orang Djerman !!

    Herr Doctor Junghuhn punya hobby photography. Masih dengan alat-potret dibikin dari kayu dan sebesar peti sabun, films belum invented. Junghuhn menggunakan Glass Collodium Negatives, yang harus dia bikin sendiri di tempat, karena : Harus dipakai di dalam waktu setengah jam setelah selesai dibikin. Junghuhn memasuki Tanah Batak Utara sampai 1.400 metra di atas niveau laut, dengan membawa his big wooden photography apparatus, serta legio botol-botol untuk membikin Glass Collodium Negatives untuk mana perlu aneka warna Chemicals. Betul-betul Djerman punya macam.

    Di Butar, Junghuhn ketemu dengan Singamangaradja XI yang kebetulan sekali tournee disitu. After some community singing pula, Junghuhn di-tracter oleh Singamangaradja XI dengan berbecue roastedpig. Setelah kenyang makan berbecued pig serta minum Tuwak. Junghuhn mendudukkan Singamangaradja XI selama 2 jam dijemur dipanas matahari. What for ?? To take his picture. Dengan wooden photographic apparatus, as big as a soap box. Grundlich Deutsch, oleh Herr Doctor Junghuhn atas glass negative itu dicoret dengan jarum : Der Konig der Batta’s”. Negative itu di antara ratusan, hampir satu abad kemudian diketemukan oleh Resident Poortman di dalam cellar dari perpustakaan Universitas Leipzig. Di atas meja tulis dari Resident Poortman di Voorburg Holland pada tahun 1937, ada photo dari Singamangaradja XI. Ein Unicum.

    Si Pandortuk adalah Tamu Agung orang kulit putih yang satu-satunya pernah menginap di Bakkara Toba. Dr. van der tuuk menyampaikan kirim salam kepada Singamangaradja XI dari his 7 years older brother Prince Lambung Sinambela di Rontjitan Sipirok. That’s how.

    Di dalam jilid 21 disebutkan kunjungan dari Singamangaradja XI pada tahun 1865, kepada Pendeta Nommensen di Huta Damai. Untuk menagih cukai, berupa Njonjah Kulit Putih. Memang Hak Radja !!

    Di dalam jilid 23 disebutkan bahwa : Di dalam Tahun Pemerintahan Yang ke-36 dari Ompu Sohahuaon (Singamangaradja XI), di Tanah Batak Utara mengamuk lagi Begu Atturk (Plague Epidemics), serta Begu Arun (Cholera Epidemics).

    Jilid 24 sayang sekali : Missing !! Sehingga tidak diketahui kapan wafat Singamangaradja XI dan kapan naik tahta Singamangaradja XII Pahlawan Nasional Indonesia.

    Catatan.
    Menurut Sintua Johannes Nasution di Padangmatinggi Sipirok, katanya Singamangaradja XI wafat di dalam Cholera Epidemics, pada tahun 1867. Sintua Johannes Nasution pada tahun 1863 mengikuti Pendeta Nommensen dari Parausorat Sipirok ke Sait Ni Huta Silindung selaku pengawal bersenjata, dan ikut mendirikan Kampung Kristen yang pertama di Tanah Batak, yakni : Huta Damai

    Singamangaradja XII Pahlawan Nasional Indonesia, dua kali disebutkan di dalam Arsip Bakkara, dengan nama “Parobatu”. Pertama kali : Lahirnya disebut di dalam jilid 16. Kedua kali : di dalam jilid 23 disebutkan bahwa Prince Parobatu pun selama 2 tahun mengikuti Pendidikan Militair di Atjeh. (1864 – 1866).

    Arsip Bakkara merupakan sumber yang paling kaya raya perihal fakta Sejarah Tanah Batak Utara, umumnya serta Ibukota Bakkara khususnya. Walaupun 1867 – 1884 tidak dilanjutkan oleh Singamangaradja selaku Pagan Priest King di Bakkara Toba. Di dalam gerilya 1884 – 1907. Singamangaradja XII Pahlawan Nasional Indonesia tentulah tidak sempat meneruskan Arsip Bakkara.


Sumber:

No comments:

Post a Comment