HIPOTESA-HIPOTESA ASAL-USUL BATAK
HIPOTESA PANTAI TIMUR
Filed under: Pemikiran — rajabatak2 @ 2:52 am
Tags: Dr. A.H. Hill, Dr. Ed. Duraurier, Sir Thomas Stamford Raffles
Tidak adil jika kita kemukakan satu hipotesa baru yang menyimpulkan bahwa orang Batak pertama bermukim di pantai barat Sumatera, tepatnya di Barus, tanpa mengemukakan hipotesa sebelumnya yang menyimpulkan bahwa orang Batak pertama bermukim di pantai timur Sumatera, tepatnya di Pasai dan Samudra, sebagai perbandingan.
Pendapat bahwa orang Batak pertama bermukim di pantai timur bersumber dari buku Hikayat Raja-raja Pasai. Dalam hikayat tersebut tertulis kisah berikut: “Ada pun diceritakan oleh yang empunya cerita, ada suatu kaum orang dalam negeri itu tiada mahu masuk Islam, maka dia lari ke hulu sungai Peusangan maka karena itulah dinamai orang dalam negeri itu Gayur, hingga datang pada sekarang ini.” Gayur yang berarti “berlari cepat” yang dimaksud dalam cerita ini adalah orang (Batak) Gayo.
Hikayat Raja-raja Pasai ini adalah suatu naskah yang unik karena tulisan itu tidak ditemukan di Aceh atau bahkan di Indonesia, melainkan di London, Inggris. Lebih unik lagi, naskah itu tadinya berada di tangan bupati Demak di Jawa yang kemudian, atas permintaan Sir Thomas Stamford Raffles, diminta untuk dibuatkan salinannya. Catatan penyalin pada akhir naskah, tertanggal 21 Muharram 1230 H (tanggal 2 Januari 1814), ditandatangani oleh Sangking Kyai Haji Suradimanggala, bupati Sapupuh Demak, negeri Bogor. Salinan naskah tersebut kemudian diserahkan oleh Nyonya Sophia, janda Raffles, kepada Royal Asiatic Society di London untuk disimpan. Mengapa Raffles sampai merasa perlu untuk menyalin naskah ini? Jawabannya tentu saja ialah karena, walaupun tulisan ini berbentuk hikayat yang kebenaran ilmiahnya tidak sepenuhya dapat dipercaya, banyak sisi naskah tersebut mempunyai kaitan dengan fakta-fakta kejadian di sekitar Pasai dan Samudra pada waktu itu, terutama menyangkut perkembangan Islam di Nusantara.
Naskah ini pertama kali dialihlatinkan oleh Dr. A.H. Hill dan kemudian dijadikan sebagai bahan studi oleh Dr. Ed. Duraurier, seorang ahli bahasa Melayu. Pada tahun 1874, naskah tersebut disalin seluruhnya oleh Aristide Merre ke dalam bahasa Prancis dengan judul Histoire de Rosi de Passay. Perubahan judul hikayat tersebut dengan menggunakan kata histoire (sejarah) membawa konsekuensi. Apa pun yang sudah tertulis dalam hikayat tersebut berubah menjadi fakta sejarah. Belakangan, sejumlah ahli tertarik pada naskah ini dan turut mengambil bagian dalam pembahasannya. Hal ini menyebabkan buku Hikayat Raja-raja Pasai menjadi terkenal dan menjadi kajian banyak ahli. Celakanya ialah banyak ahli berpendapat bahwa orang-orang yang gayur ke hulu Peusangan itu adalah orang-orang yang kemudian menjadi leluhur orang Batak. Pandangan ini juga dianut W.K.H. Iypes, seorang ahli peneliti Belanda, yang dikutip oleh Wasinton Hutagalung dalam bukunya Tarombo ni Suku Batak. Hanya saja, perkiraan tahunnya adalah sekitar tahun 1.000 S.M., jauh sebelum agama Islam masuk ke Nusantara. Mengenai kekuatan fakta sejarah Hikayat Raja-raja Pasai tersebut, Dr. Snouck Hurgronje, seorang ahli tentang Aceh, berpendapat sebagai berikut:
“ Dia tercatat dalam sejarah Melayu dari Kerajaan Pase (Hikayat Raja-raja Pase) yang ditulis oleh Duraurier. Sebagai cerita historis, kronik tentang Pase ini kurang mempunyai arti dan penjelasan, yang jika disajikan satu dengan lainnya, saling berlawanan. Juga demikian halnya dengan Anjing si Pase, dua cerita tradisional yang disajikan nyata antara keduanya saling berbeda.”
Pendapat ini dikemukakan pada saat memberikan ulasan tentang orang-orang Gayo yang, menurut beliau, adalah suku tersendiri yang bukan Aceh dan bukan pula Batak. Beliau menyediakan banyak bukti tetapi bukti ini rupanya tidak cukup memadai karena, sampai saat ini, orang Gayo dan juga orang Alas tetap mengakui mereka adalah orang Batak. Bahkan, secara berseloroh mereka sering berkata bahwa mereka adalah saudara tua dari Batak yang lain.
Dari sekian banyak pendapat yang pernah dikemukakan tentang keberadaan orang Batak pertama di pantai timur Sumatera, sampai sekarang belum pernah ada orang yang membantah. Akan tetapi, tentang di daerah mana tepatnya mereka bermukim di pantai timur Sumatera tersebut dan apa sebabnya akhirnya mereka masuk ke tengah hutan yang lebat dan penuh bahaya, tidak ada penjelasan yang memadai. Alasan pengislaman Pulau Sumatera yang baru terjadi sekitar awal abad 13, menyebabkan mereka gayur, sulit diterima.
Alasan-alasan yang tidak memadai ini jugalah yang menjadi salah satu faktor penyebab mengapa orang Batak lebih percaya pada legenda-legenda yang menyelimuti dirinya. Walaupun pada saat ini banyak orang Batak menghuni daerah-daerah di pantai timur Sumatera, seperti di Asahan, Labuhan Batu, Langkat, Delitua dan Deli Serdang, kebanyakan di antaranya adalah pendatang. Tidak ada satu bukti pun yang dapat dijadikan sebagai pegangan bahwa orang Batak tersebut pernah bermukim di pantai timur Sumatera. Upaya untuk mencoba mencari hubungan antara Dolok Pusuk Buhit dan pantai timur sepertinya sangat sulit. Sampai saat ini, tidak ada satu hal pun yang dapat dijadikan sebagai bukti hubungan antara pantai ini dan Tanah Batak, seperti hubungan antara Barus (di pantai barat) dan daerah pedalaman Tanah Batak yang bahkan banyak disebut-sebut dalam cerita-cerita rakyat (folklore).
Salah satu folklore yang terkenal dari pantai barat ini adalah cerita tentang pertemuan Raja Manghuntal dengan Raja Uti. Menurut cerita tersebut, Manghuntal berangkat ke Barus untuk meminta kembali barang-barang pusaka leluhurnya Raja Sori Mangaraja yang pernah dikuasai oleh Raja Uti secara tidak sah. Keberangkatannya ke Barus pada hakikatnya bertujuan agar eksistensinya sebagai “raja” dapat diakui sesuai dengan amanat Tuan Sori Mangaraja kepada keturunannya. Cerita tentang keberangkatan Manghuntal ke Barus ini dijadikan sebagai dongeng oleh Mangaraja Salomo dalam bukunya Tarombo ni Borbor Marsada.
Ada juga folklore lain tentang hubungan antara Toba dan Asahan dengan judul “Si Nagaisori” atau “Si Piso Somalin”. Folklore ini menceritakan bahwa Si Nagaisori dan hambanya Si Piso Somalin berkunjung ke tempat tulang-nya di Asahan. Dalam perjalanan, ketika Si Nagaisori sedang mandi, Si Piso Somalin mengambil dan mengenakan pakaian Si Nagaisori. Karena pakaian menandakan suatu status sosial seseorang, sejak itu mereka berdua pun bertukar kedudukan. Si Nagaisori akhirnya menjadi hamba dan si Piso Somalin menjadi tuannya. Folklore ini merupakan suatu cerita tentang seorang hamba yang berganti bulu (pakaian) menjadi tuan, mirip dengan cerita Petruk menjadi raja dalam cerita wayang versi kebudayaan Jawa.
Leave a Comment
BARUS SEBAGAI PILIHAN
Filed under: Pemikiran — rajabatak2 @ 2:50 am
Tags: Dr. Salomon Muller, H. Moh. Said
Sebagai jawaban atas teka-teki tersebut, kemungkinan pertamanya adalah Barus di pantai barat Sumatera. Barus adalah suatu kota pelabuhan yang sudah dikenal sejak zaman dahulu. Dr. Salomon Muller menulis tentang satu kerajaan di Sumatera pada abad IX dalam bukunya Ancienner Relations des Indes de la Chine (Paris 1718) di suatu pulau yang bernama Fantsoer. Diceritakan bahwa pulau tersebut terletak di antara Harkland (India) dan Sjelahat. Dikatakan bahwa negeri ini diperintah oleh banyak kekuasaan dan kaya dengan kapur (kamfer) serta tambang emas.
Fantsoer yang dikatakan sebagai pulau yang banyak menghasilkan kamfer tersebut pastilah Pulau Sumatera. Penghasil kamfer satu-satunya di pulau ini adalah Barus. Dahulu kala, di daerah ini¾tepatnya di sekeliling Sungai Barumun¾juga terdapat banyak emas, sebelum dikuras habis oleh para penambang emas dari India. Tempat ini kemudian ditinggalkan setelah emasnya tekuras habis dan yang tersisa di sana hanyalah sejumlah biara yang merupakan saksi bisu. Dari keberadaan biara-biara tersebut dapat dipastikan bahwa tempat itu tadinya cukup ramai dihuni orang yang menganut agama Hindu, sehingga diperlukan sejumlah biara tempat pemujaan.
Laporan Salomon tersebut juga menyebutkan bahwa negeri itu diperintah oleh banyak kekuasaan. Tidak pelak lagi, yang dimaksud dengan istilah “banyak kekuasaan” adalah para “primus” raja-raja Batak. Masing-masing primus memiliki kekuasaannya sendiri dan satu sama lain lain tidak mau berada di bawah atau tunduk pada primus yang lain. Selain catatan Salomon tersebut, ada juga laporan yang ditulis oleh H. Moh. Said dalam buku Aceh Sepanjang Abad.
Dalam laporan itu terdapat bagian yang mengatakan sebagai berikut:
“Abu Zayd Hasan (tahun 918) menyebut Rami, juga menceritakan tentang kemenyan dan kapur barus. Mas’udi (meninggal tahun 945) menulis lebih banyak, dia menyebut Al Ramin, di mana didapati tambang emas dan letaknya dekat pulau Fansur yang masyhur dengan kapurnya. Seorang Muslim Parsi yang bernama Buzurg (955) tatkala menunjuk Sriwijaya menyebut letaknya di selatan Lamuri. Menurut Buzurg, dari pantai Barus dapat dilakukan jalan darat ke Lamuri. dia menceritakan bahwa orang-orang yang karam di Laut Barus, telah berupaya pergi ke Lamuri karena di sana diharapkan akan bertemu dengan kawan senegara (Parsi) dan supaya diperoleh pengangkutan untuk pulang kampung.”
Tulisan ini memberi petunjuk, betapa ramai lalu-lintas perdagangan antara Barus dan Timur Tengah pada waktu itu. Hal ini dimaklumi karena, konon, kapur barus dipakai sebagai bahan pengawet mayat yang banyak digunakan oleh raja-raja Mesir kuno. Begitu banyaknya pedagang datang dari Mesir ke Barus sehingga di Barus pada abad itu telah berdiri suatu Gereja Nestorian Mesir. Senada dengan tulisan H. Moh. Said ini, dalam bukunya Sumatera Barat hingga Pelakat Panjang, Rusli Amran menulis sebagai berikut:
“Suatu berita asal dari Arab dari Syaikh Abu Salih Al-Armini menyebut bahwa sudah semenjak abad ke tujuh di Fansur telah bermukim sekelompok manusia beragama Kristen. Berita demikian ditambah lagi dengan fakta bahwa nama Barussai telah dikenal semenjak kira-kira awal tahun Masehi (karena kapur barusnya pernah disebut oleh Potlomeus) begitu pula dugaan-dugaan hubungan Barus dengan Sriwijaya Purba menimbulkan gagasan di kalangan sementara ahli bahwa mungkin sejak abad 6 atau 7 telah ada suatu Kerajaan Batak di daerah tersebut.”
Ada dua prasasti yang perlu mendapat perhatian dengan keberadaan kerajaan-kerajaan di Sumatera, termasuk Barus. Prasasti yang pertama diabadikan oleh Rajendra Cola I pada tahun 1030 Masehi di Tanjore-India
Selatan. Prasasti tersebut melukiskan hasil serangannya ke beberapa negeri di Sumatera dan Semenanjung Melayu sekitar tahun 1023-1024 Masehi. Prasasti itu diterjemahkan oleh Prof. Nilakanta Sastri ke dalam bahasa Inggris dan kemudian dialihbahasakan oleh H. Muhammad Said dalam Aceh sepanjang Abad sbb:
“ Setelah mengirimkan sejumlah kapal yang sangat besar ke tengah-tengah laut lepas yang bergelombang, setelah menawan Sanggrama Wijayatunggawarman, Raja Kadaram, sekaligus menghancurkan armada gajahnya yang besar dan sebagai laut layaknya pertempuran, (ia menyebut juga) harta benda yang sangat banyak yang baru saja dikumpulkan oleh yang tersebut tadi, Widyadorana, pintu gerbang ratna mutu manikam terhias sangat permai, pintu gerbang batu-batu besar permata, Sriwijaya yang subur mekar, Panai berair tangkahan mandi-mandi, Malayur tua (seperti) parit Illangosongam tak tertahan (dalam) pertempuran-pertempuran dahsyat; mappapalam, dipertahankan oleh perairan yang banyak dan dalam, Mawilimbagam, dipertahankan oleh tembok-tembok yang cantik, Walaipanduru (serentak) memiliki tanah-tanah yang dikerjakan dan tidak dikerjakan, Talaitakkolam, dipuji oleh orang-orang besar (pandai dalam) pengetahuan; Madamalinggam tidak goyang dalam pertempuran besar dan mahadahsyat, Ilamuridecam yang telah menghunjamkan kehebatan pasukannya ke pertempuran; Manakawaram, dengan kebun bunganya tempat menghirup madu dan Kadaram dengan kekuatan yang tiada terhingga, diperlindungi oleh laut sekitarnya.”
Dipastikan bahwa yang dimaksudkan dalam tulisan tersebut adalah kerajaan Sriwijaya. Rajanya hanya dijadikan tawanan dan kemudian dilepas setelah mengaku takluk. Begitu juga, penaklukan Barus lebih ditujukan untuk mengamankan jalur perdagangan yang pada waktu itu berlangsung sangat ramai di Lautan Hindia. Para pedagang dari Arab dan Gujrat datang ke India Selatan (Colamandala atau Coromandel) untuk membeli barang-barang yang kemudian dibawa ke Timur Tengah. Ke tempat ini sejumlah pedagang dari Eropa maupun dari Cina datang untuk membeli barang-barang yang dibutuhkan untuk kemudian dijual kembali. Jalur yang mereka tempuh inilah yang disebut sebagai Jalur Sutera.
Prasasti kedua berupa suatu batu bertulis ditemukan oleh Controleur G.J.J. Deutz di Lobu Tua (Barus) pada tahun 1872. Dalam bukunya, Rusli Amran menulis tentang penemuan tersebut sebagai berikut:
“Pada tahun 1872, Deutz banyak menemukan pecahan batu bekas peninggalan zaman Hindu yang telah dilupakan orang, telah berlumut. Tiga buah pecahan umpamanya berasal dari suatu tiang batu segi enam yang mulus, setinggi lebih kurang 83 cm, sebesar antara 22 cm dan 25 cm dengan tulisan pada tiga segi, berbentuk prasasti, ditulis pada dua bagian, mungkin yang dipecahkan Pangkat dahulu.
Selain itu, kontrolir Deutz menemukan bermacam-macam peninggalan kuno berupa perhiasan emas dan perak, berbagai bentuk kerajinan tangan dari tanah, mata uang dan lain-lain. Atas petunjuk rakyat, dia juga pernah mengunjungi tempat-tempat di mana dahulu bangsa Tamil pernah bermukim. Seorang epigraf Pemerintah Inggris di India yang bernama Hultzch, akhir abad yang lalu, sedapat-dapatnya menterjemahkan prasasti Lobu Tua itu. Yang pasti tahun pembikinannya, tahun 1088. Selain itu dikatakan pula bahwa bangsa Tamil yang ada di situ bersatu dalam suatu usaha dagang yang bernama “kelompok 1500.”
Dari prasasti ini diketahui keberadaan Bangsa Tamil di Barus memakan waktu yang cukup lama. Hal itu diketahui dari prasasti Rajendra Cola ( 1024 M) dan batu bertulis yang ditemukan oleh Deutz (1088 M). Mereka menguasai bidang perdagangan dan untuk menghindarkan diri dari persaingan yang tidak sehat mereka membentuk suatu organisasi (gilde) yang bernama Kelompok 1500. Mereka hidup berdampingan dengan penduduk pribumi dan melihat budaya Batak yang ada sekarang baik di bidang seni maupun kepercayaan banyak mendapat pengaruh dari budaya Hindu.
Akan tetapi, zaman selalu berubah. Kesultanan Ottoman di Turki, yang terdiri atas orang-orang nomaden dari Asia Tengah, menaklukkan Bizantium yang merupakan pusat kerajaan Romawi di Asia Tengah, setelah sebelumnya menaklukkan Iran, Siria dan negara-negara Arab. Nama Konstantinopel yang dijadikan sebagai ibu kota diganti menjadi Istanbul. Sejumlah wilayah di daratan Eropa, terutama Balkan, ditaklukkan dan diislamkan. Negara Spanyol sebagai salah satu negara terkuat di Eropa juga diserang, tetapi serangan hanya berhasil sampai di Selat Gibraltal dan mengganti namanya dengan selat Jabal al Tarik. Kekaisaran yang didirikan oleh Othman ini menjadi sangat besar dan memperluas daerah kekuasaannya sampai ke Afrika Utara.
Suatu kesalahan yang berakibat fatal adalah ditutupnya Yerusalem, kota suci umat Nasrani, yang sebelumnya ramai dikunjungi oleh orang-orang Kristen dari Eropa. Hal ini menimbulkan kemarahan negera-negara Eropa. Secara bersama-sama, mereka meminta Paus Urbanus II untuk mempersatukan seluruh negara Eropa guna mengeroyok Turki. Perang yang kemudian dikenal dengan nama Perang Salib ini berlangsung sangat lama, dari tahun 1096 sampai tahun 1291. Perang Salib melahirkan dua nama yang melegenda, yaitu Sultan Salahuddin (Saladin) dari Turki yang berhadapan dengan Raja Richard si Hati Singa (the Lion Heart) dari Inggris.
Pecahnya perang menyebabkan tertutupnya Jalur Sutera bagi pedagang-pedagang Eropa. Akibatnya, mereka kemudian berupaya untuk mencari komoditas langsung ke sumbernya. Mereka mencarinya melalui jalur laut sesuai dengan dengan apa yang diceritakan oleh Marco Polo dalam bukunya Il Milione. Banyak pelaut Eropa yang kemudian hari menjadi terkenal, seperti Ferdinand Magelhaens, Vasco da Gama, Alfonso d’Albuquerque, melakukan pelayaran yang berani untuk membuka jalur perdagangan ini. Christopher Colombus misalnya, dengan dukungan ratu Spanyol yang membuka jalur sendiri, melakukan pelayaran menuju Hindia yang menurut Marco Polo terkenal kaya-raya. Dengan asumsi bahwa “dunia adalah bulat,” dia melakukan pelayaran ke arah Barat dan memastikan bahwa mereka akan tiba di Timur (Hindia). Ternyata dia mendarat di Benua Amerika, tetapi mengira bahwa dia telah tiba di India. Itulah sebabnya penduduk pribumi pertama yang ditemukannya dia namakan orang Indian, nama yang disandang penduduk asli Amerika sampai saat ini.
Keberhasilan para penjelajah ini menyebabkan dunia Timur dibagi-bagi, bagaikan membagi kavling. Wilayah yang ditemukan seseorang diklaim sebagai milik sendiri. Negera-negara Eropa yang terlibat dalam pencaplokan wilayah ini antara lain adalah Spanyol, Portugis, Belanda dan Inggris. Inilah awal terjadinya penjajahan bangsa Inggris hampir di seluruh belahan dunia.Juga, hal inilah yang menimpa Cola Mandala (Coromandel). Pelaut-pelaut Inggris, yang berlayar di sekitar Lautan Hindia dengan ombaknya yang ganas, mencari tempat untuk beristirahat dan sekaligus mencari sumber air tawar. Mereka menemukan suatu tempat di bagian selatan India. Tempat itu mereka rebut dan kemudian dinamakan dengan Seilon. Wilayah ini kemudian dianeksasi dan dipinggir pantai didirikan benteng pertahanan. Aneksasi pulau ini menyebabkan hubungan dengan pedagang Tamil yang ada di Barus akhirnya menjadi putus. Banyak di antara mereka kembali ke Seilon tetapi di sana mereka menemukan kenyataan pahit. Perahu dan barang-barang yang dibawa disita dan orang-orangnya dijadikan sebagai tawanan.
Hal yang sama juga dialami oleh Marco Polo. Bersama ayahnya, seorang saudagar, dia melakukan perjalanan ke Timur lewat Jalur Sutera dan menghantarkannya sampai di Cina. Di negara ini, Marco Polo sempat diangkat sebagai orang kepercayaan Khu Bilai Khan, cucu Zengis Khan, orang Mongolia yang pernah menaklukkan Cina. Berulang kali Marco Polo ditugasi sebagai duta besar Cina sehingga dia cukup banyak mengetahui keadaan berbagai negara di Asia. Dia cukup lama berada di Cina dan kemudian pulang dengan pelayaran lewat laut. Dalam perjalananan pulang tersebut, tercatat dalam bukunya bahwa dia sempat singgah di Pasai dan Samudra.
Sebelum sampai di Venesia, tempat kelahirannya, hartanya dirampas dan dia dimasukkan ke bui. Selama di bui, dia tinggal satu sel dengan seorang penulis roman yang bernama Roscatello. Karena khawatir dia akan mati di penjara, dia mendiktekan pengalaman perjalanannya ke Timur tersebut, yang ingin diwariskannya sebagai harta yang tidak ternilai. Kerja sama keduanya pun menghasilkan suatu buku tebal. Itulah sebabnya buku tebal ini diberi judul Il Milione. Perjalanannya lewat Jalur Sutera yang menghantarkannya ke Cina hingga kepulangannya lewat laut dijelaskan dengan sangat teliti. Setelah diterbitkan, buku ini sangat disukai dan dialihkan ke dalam berbagai bahasa, termasuk bahasa Inggris dengan judul The Way to the East.
Kabar penyitaan dan penawanan ini, sampai di telinga pedagang-pedagang India yang tinggal di Barus. Karena pulang ke kampung-halaman dianggap terlalu berisiko, mereka memilih untuk tinggal menetap dan berbaur (berasimilasi) dengan penduduk setempat. Dengan kerja sama dengan penduduk setempat, mereka menata kehidupan yang lebih baik. Raja-raja Batak yang ada di Barus dipersatukan dan seorang di antara mereka dipilih dan dijadikan sebagai raja dengan gelar Sori Mangaraja, dialah yang tercatat sebagai Raja Batak yang pertama dan diberi gelar Sori Mangaraja.
Leave a Comment
HIPOTESA PANTAI BARAT
Filed under: Pemikiran — rajabatak2 @ 2:45 am
Tags: Guru Tatea Bulan, Raja Isumbaon
Raja Batak diakui sebagai leluhur orang Batak. Tentang asal-usul orang Batak, hingga saat ini belum diperoleh kesepakatan. Begitu juga tentang asal-usul namanya. Dalam kamus Batak, ada kata “batahi” yang berarti alat pemecut kerbau yang terbuat dari ranting bambu yang panjang atau kata “mambatak” yang berarti berlomba (aducepat) dengan menunggang kerbau. Sulit menghubungkan kata “batak” dengan suatu nama atau mencari kata lain yang memiliki pengertian sepadanan. Sepertinya, kata “batak” hanyalah sekadar satu nama yang digunakan seseorang untuk dirinya. Dia adalah Raja Batak yang dikenal dan diakui oleh orang Batak sebagai leluhurnya. Jadi, nama ini tidak jauh berbeda dari nama-nama yang lain, seperti kata “raja” dalam Raja Inal Siregar yang mantan gubernur Sumatera Utara atau Raja Kami Sembiring yang mantan Panglima Kodam di Irian Jaya. Kedua orang ini sama sekali bukanlah raja walaupun di depan nama mereka terdapat kata “raja.” Jelaslah bahwa nama “raja” di depan nama Batak tidak serta-merta dapat dihubungkan dengan satu kerajaan yang lengkap dengan perangkat kekuasaannya. Walaupun beberapa periode, ada raja yang hidup ditengah orang Batak, raja dalam bentuk pemegang tampuk kekuasaan, tidak pernah ada.
Menurut legenda asal muasal orang Batak, dikisahkan seorang puteri khayangan yang bernama Siboru Deak Parujar jatuh ke suatu lautan ketika dia melarikan diri karena dia tidak mau dipaksa kawin dengan seorang pilihan orang tuanya. Dia kemudian menciptakan bumi lewat sekepal tanah yang dikirimkan oleh Mulajadi Nabolon kepadanya. Begitu Siboru Deak Parujar selesai menciptakan bumi, Mulajadi Nabolon mengirimkan seseorang yang bernama Raja Ihat Manisia, yang kemudian menjadi teman hidupnya. Dari perkawinan Raja Ihat dan Boru Deak Parujar, setelah beberapa generasi kemudian, muncul nama Raja Batak. Masih menurut legenda tersebut, Raja Batak bermukim di kaki Dolok Pusuk Buhit di suatu kampung yang bernama Sianjur Mula-mula. Kampung ini hingga sekarang masih terpelihara dengan baik dan dihuni oleh marga Sagala, yang merupakan keturunan Guru Tatea Bulan.
Raja Batak, konon, mempunyai beberapa putera dan dua di antaranya, yaitu Guru Tatea Bulan dan Raja Isumbaon. Dalam buku tarombo, apabila marga-marga Batak Toba dirunut ke atas, keseluruhannya akan mengarah pada dua nama itu. Di puncaknya bertengger satu nama yaitu Raja Batak. Inilah yang dijadikan sebagai alasan mengapa Raja Batak diakui sebagai leluhur orang Batak, setidaknya untuk orang-orang yang bermukim di Toba (puak Toba).
Berdasarkan nama ini disusunlah satu daftar silsilah yang lebih dikenal dengan nama tarombo. Buku tarombo Batak yang pertama ditulis oleh seorang ambtenar Belanda yang bernama W.K.H. Iypes. Buku tersebut ditulis berdasarkan hasil wawancara dengan banyak orang sehingga dibutuhkan waktu yang cukup lama untuk menyelesaikannya.
Penulisan tarombo itu pada awalnya dimaksudkan dalam upaya untuk melakukan kampung vorming (penataan kampung) menurut versi pemerintah penjajah. Tujuannya ialah agar, dalam penentuan “raja-raja” lokal, tidak timbul silang-sengketa. Dalam masyarakat adat Batak, hak sebagai raja ijolo (raja yang di-kedepan-kan) adalah hak keturunan sulung dari tiap marga. Hak tersebut masih tetap diakui bahkan hingga saat ini. Keturunan raja-raja ijolo inilah yang diangkat oleh pemerintah penjajah sebagai kepala-kepala kampung dan kepala-kepala negeri. Mereka diberi gaji bulanan dengan syarat setia pada penjajah.
Untuk tujuan itu Iypes melakukan sejumlah wawancara dengan tetua-tetua marga. Hasil wawancara ini yang pada awalnya hanyalah suatu laporan, ditulis dalam bahasa Belanda, dimaksudkan sebagai buku pegangan bagi para ambtenar yang menyusul kemudian. Akan tetapi, karena isinya dianggap cukup bagus, laporan tersebut kemudian diterbitkan menjadi satu buku dengan judul Bijdrage tot de Kennis van de Stamverwantschappen en het Gronden Rech der Toba en Dairibataks.
Terbitnya buku ini menumbuhkan inspirasi bagi penulis-penulis pribumi untuk menulis buku-buku tarombo. Penulis tarombo pribumi yang pertama dan yang kedua adalah ambtenar Belanda dengan jabatan Demang. Jabatan yang mereka emban sebagai Demang atau Asisten Demang, banyak menyelesaikan sengketa-sengketa batas wilayah satu kelompok marga. Jabatan inilah yang mendorong mereka menulis tarombo tersebut.
Buku pertama dalam bahasa Batak ditulis oleh Waldemar Hutagalung, dengan judul Tarombo Batak: Tarombo dohot Turi-turian ni Bangso Batak (1926), menyusul Mangaraja Salomo Pasaribu, yang khusus menulis tentang Tarombo ni Borbor Marsada (1929). Buku M. Salomo Pasaribu sangat menarik karena tulisannya dimulai dengan legenda tentang terjadinya bumi dan manusia.
Kemudian muncul karya H.B. Siahaan gelar Mangaraja Asal seorang berprofesi guru. Beliau memfokuskan diri menulis tarombo kelompok marga turunan Sibagot Nipohan walau bukunya berjudul Tarombo ni T.S. Dibanua (1941). (T.S. dimaksudkan adalah Tuan Sorba-Pen). Pengkhususan ini menyebabkan bukunya berisi satu daftar nama yang sangat panjang, kering dan tanpa isi, sepertinya ditujukan khusus untuk turunan Sibagot ni Pohan yang sudah begitu marak. Buku Mangaraja Asal ini sampai sekarang masih dipergunakan turunan marga Sibagot Nipohan sebagai bahan acuan bilamana diantara mereka terjadi silang selisih.
Buku lain yang menarik yang juga ditulis seorang pensiunan demang, adalah karya Wasinton Hutagalung. Dengan judul Tarombo ni Suku Batak, (1960). beliau menyusun suatu daftar nama para leluhur marga Batak dalam urutan dengan nomor urut. Dalam daftar yang disusunnya, Raja Batak ditempatkan pada urut nomor satu dan pada urutan nomor dua terdapat dua nama yaitu Tatea Bulan dan Isumbaon. Kemudian lewat kedua nama ini, setiap nama dirunut begitu rupa ke bawah sehingga dapat diketahui pada generasi ke berapa suatu marga muncul, setelah Raja Batak.
Dari skema yang dibuatnya, maka akan terlihat jelas, suatu kelompok marga muncul pada generasi ke berapa, sejak Raja Batak. Artinya munculnya satu marga tidak berada pada generasi yang sama. Marga Situmorang misalnya dari kelompok marga Lontung muncul pada generasi ke lima dibanding marga Sagala yang muncul pada generasi ke tiga. Dari skema tersebut diketahui bahwa marga Limbong, Sagala dan Malau adalah marga yang paling tua.
Daftar yang disusun oleh Wasinton Hutagalung ini banyak dijadikan sebagai bahan acuan dalam menentukan nomor urut generasi keturunan marga-marga lain. Penentuan nomor urut generasi ini dianggap sangat penting karena, dalam adat Batak, usia tidak dapat dijadikan sebagai tolok-ukur. Ada kemungkinan bahwa orang tua yang sudah ubanan, memanggil “bapak” (amangtua atau amanguda) kepada orang yang masih remaja dalam kelompok satu marga. Untuk memperoleh kepastian tentang kedudukannya, mereka saling mencocokkan nomor urut generasi masing-masing dan dengan demikian akan dapat diketahui siapa dan memanggil apa terhadap yang lain.
Diantara para penulis ini ada dua pendapat yang berbeda:
- Yang pertama ialah mereka yang percaya pada legenda bahwa Raja Batak adalah manusia “par banua ginjang” (di turunkan dari langit lewat gunung olimpus Pusuk Buhit). Pendapat ini di anut oleh Waldemar Hutagalung, Mangaraja Salomo Pasaribu dan Mangaraja Asal Siahaan.
- Yang kedua berpendapat bahwa leluhur orang Batak pada awalnya menginjakkan kakinya di pantai timur dan secara perlahan-lahan masuk ke pedalaman dan akhirnya bermukim di kaki gunung Dolok Pusuk Buhit. Pendapat ini dianut oleh WKH Iypes dan Wasinton Hutaglung.
Walau berbeda pendapat mereka sepakat bahwa leluhur orang Batak (khususnya Batak Toba) pada awalnya bermukim di kampung Sianjur Mula-Mula ( di kaki Dolok Pusuk Buhit) dan kemudian berserak ke segala penjuru menempati lahan-lahan kosong di wilayah sekitarnya.
Apabila daftar marga yang disusun oleh Wasinton ini dijadikan sebagai bahan acuan, usia orang Batak sejak pertama kali bermukim di kaki Dolok Pusuk Buhit masih sekitar seusia dengan marga Limbong, Sagala dan Malau, ditambah dengan dua generasi di atasnya yaitu Tatea Bulan dan Raja Batak.
Berdasarkan urutan marga ini dan dengan mengingat bahwa marga Limbong masih berada dalam posisi nomor urut generasi ke-22 (menurut pengakuan seorang marga Limbong-saat buku ini ditulis-pen), dapat di duga bahwa keberadaan orang Batak di Dolok Pusuk Buhit masih terbilang ratusan tahun. Namun, jika angka ratusan tahun ini dibandingkan dengan pendapat para ahli yang menyatakan bahwa orang Batak adalah tergolong Melayu Tua¾itu berarti usianya sudah ribuan tahun¾mereka merupakan penghuni Nusantara pertama bersama suku-suku lain seperti Samang, Kubu, Toraja. Bila demikian halnya, akan timbul pertanyaan: Di manakah mereka bermukim sebelum menetap di kaki Dolok Pusuk Buhit?
Ada banyak pendapat tentang asal-usul orang Batak ini. Salah satu di antaranya¾dan pendapat ini didukung banyak pakar¾mengatakan bahwa orang Batak berasal dari Hindia Muka. Karena suatu sebab, mereka hijrah ke Nusantara dan mendarat di berbagai tempat. Merekalah yang kemudian menjadi leluhur berbagai suku di Indonesia. W.K.H. Iypes mengatakan bahwa, pada kedatangannya yang pertama, leluhur orang Batak mendarat di sekitar pantai timur Sumatera. Akan tetapi, karena terdesak oleh para pendatang baru, secara pelan-pelan mereka menarik diri ke pedalaman di antaranya ke hutan-hutan Alas dan Gayo sekarang. Dari sanalah penyebaran orang Batak dimulai. Sebagian pergi ke daerah Karo dan Dairi dan sebagian lagi masuk wilayah Dolok Pusuk Buhit, demikian kata Iypes.
Rasa enggan untuk bergaul dengan para pendatang baru, dijadikan sebagai alasan utama mengapa mereka masuk ke pedalaman. Alasan ini sepertinya kurang masuk akal karena, berdasarkan kulturnya, orang Batak bukanlah orang yang mau dan mudah mengalah, apalagi sampai harus surut jauh ke pedalaman di Dolok Pusuk Buhit yang ter isolir secara sempurna. Pasti ada alasan-alasan lain mengapa mereka mengambil kawasan ini sebagai tempat untuk bermukim.
Alasan pertama ialah bahwa, untuk sampai ke kampung Sianjur Mula-mula, dahulu hanya ada satu pintu masuk, yaitu lewat Tele. Desa Tele terletak antara Dolok Sanggul dan Sidikalang, di suatu dataran tinggi dengan hawanya yang dingin. Dari desa inilah satu-satunya terdapat jalan darat menuju Dolok Pusuk Buhit dan selanjutnya ke pulau Samosir. Dahulu, jalan tersebut hanyalah jalan setapak dan kemudian hari dirombak menjadi jalan raya. Walaupun telah berubah menjadi jalan raya, dibutuhkan kehati-hatian untuk menyusurinya karena di sebelah jalan tersebut terdapat jurang-jurang terjal yang menganga. Sekadar memberikan sedikit gambaran, di jalan raya inilah Letnan Jenderal Sahala Rajagukguk mengalami kecelakaan karena mobil yang ditumpanginya terjatuh ke jurang yang dalam dan akhirnya meninggal dunia.
Alasan kedua ialah bahwa di tempat ini ada lahan kosong yang dapat diolah sebagai tanah pertanian. Lahan tersebut terletak di lembah yang indah dan lumayan luas untuk ukuran jumlah penduduk pada masa itu. Lahan ini begitu subur dan mempunyai sumber mata air yang mengalir dari pegunungan, bukan sawah tadah hujan.
Alasan ketiga ialah bahwa tempat ini terletak tidak begitu jauh dari Danau Toba, yang penuh dengan ikan air tawar. Dari danau ini mereka mengharapkan sumber makanan nabati yang tidak habis-habisnya. Inilah alasan-alasan yang agak masuk akal mengapa mereka memilih tempat ini.
Karena terisolir secara sempurna, dunia mereka, terbentang hanya sejauh mata memandang. Karena itu, tidak salah jika keturunan orang Batak lebih mempercayai legenda-legenda yang hidup di sekelilingnya, seperti kisah yang tertuang dalam legenda “Siboru Deak Parujar.” Mereka percaya bahwa, menurut legenda, orang Batak adalah suku bangsa yang diciptakan oleh “Mulajadi Nabolon,” yang diturunkan lewat puncak Gunung “Olympus” Pusuk Buhit dan bermukim di Sianjur Mula-mula. Legenda penciptaan ini sangat dipercaya oleh orang Batak, sehingga mereka menganggap dirinya adalah suku yang lain dari suku-suku yang ada di Nusantara. Karena dipercaya sebagai asal-mula orang Batak, banyak orang sengaja berkunjung ke tempat ini untuk sekadar ingin tahu apa sesungguhnya yang terdapat di sana. Namun, ada beberapa alasan untuk meragukannya.
Pertama, sejak dulu, orang Batak telah mengenal aksara khas mereka sendiri. Aksara ini dipakai oleh hampir seluruh puak Batak. Menurut apa yang diyakini, ada dua buku besar yang menjadi buku pusaka orang Batak, yaitu Pustaha Tumbaga Holing dan Pustaha Laklak. Buku pusaka ini sama-sama ditulis di atas kulit kayu. Bahan penulisan yang berbeda, di samping beda isi, menyebabkan kedua buku ini diberi nama yang berbeda. Pustaha Tumbaga Holing ditulis dengan tinta yang terbuat dari mangsi (getah kayu), sedangkan Pustaha Laklak ditulis dengan tinta yang terbuat dari itom (cairan hitam dari dedaunan). Dari segi isinya, Pustaha Tumbaga Holing memuat aturan-aturan yang menyangkut kehidupan bermasyarakat, sedangkan Pustaha Laklak memuat berbagai aji-ajian (mantra), yang umumnya tentang pengobatan dan ramalan. Pustaha Tumbaga Holing, ditulis oleh turunan Raja Isumbaon, sementara Pustaha Laklak ditulis oleh turunan Tatea Bulan.
Kedua, orang Batak sudah memiliki pengetahuan tentang arah mata angin. Kedelapan mata angin ini berturut-turut disebut sebagai Purba (timur), Anggoni (tenggara), Dangsina (selatan), Nariti (barat daya), Pastima (barat), Manabia (barat laut), Utara (utara) dan Irisanna (timur laut). Pengetahuan tentang arah mata angin biasanya diperlukan apabila seseorang berada di suatu wilayah yang sangat luas, seperti lautan atau gurun pasir, di mana tidak ada benda-benda yang dapat dijadikan sebagai patokan untuk menentukan arah. Kehidupan mereka di pinggiran Danau Toba dan sekitarnya tidaklah membutuhkan penentuan arah seperti itu.
Ketiga, orang Batak juga telah mengenal sistem kalender yang disebut parhalaan. Sistem penanggalan mereka didasarkan pada perputaran bulan (lunar system) sehingga mereka menemukan bahwa dalam sebulan terdapat 30 hari dan dalam setahun terdapat 12 kali bulan berputar. Parhalaan (kalender) biasanya diperlukan dalam mengikat janji untuk bertemu, atau juga untuk menentukan hari yang baik. Dalam kalender Batak, hal itulah yang banyak digambarkan. Tiap “hari” mempunyai arti dan makna, yang diberi gambar hala (kalajengking).
Berdasarkan kenyataan tersebut, kita mengambil kesimpulan bahwa dahulunya orang Batak tinggal di suatu tempat yang berdekatan dengan atau mempunyai hamparan permukaan yang sangat luas¾daratan, air, atau padang pasir¾yang membutuhkan alat penentuan arah untuk memastikan lokasi satu tempat. Tempat tersebut juga pasti ramai dikunjungi orang dan karena itu dibutuhkan penentuan hari untuk membuat janji pertemuan. Yang menjadi pertanyaan: Di manakah tempat tersebut ? Dalam tempo yang cukup lama hal ini menjadi teka-teki. Namun, walaupun menjadi teka – teki.
Leave a Comment
MUNCULNYA SEBUTAN ORANG TAPANULI
Filed under: Pemikiran — rajabatak2 @ 2:42 am
Tags: Raja Batak
Para pendatang dari Tanah Batak Utara (Toba) adalah gelombang yang menyusul kemudian. Mereka pada awalnya berada di daerah pinggiran, dengan mengolah lahan-lahan kosong yang dijadikan sebagai lahan pertanian. Tanah-tanah kosong ini biasanya adalah tanah rawa yang tidak dapat ditanami oleh maskapai-maskapai perkebunan. Tanah ini terletak di Simalungun ( Pem. Tanah Jawa), Asahan (Rawang dan Desa Gaja), di Deli Serdang (Bamban, Percut, Lubuk Pakam, Bedagei) dan di Sei Priok. Sei Priok yang tadinya adalah rawa-rawa, setelah diolah menjadi lahan subur, kemudian diklaim oleh PTP sebagai miliknya sehingga sempat perkara di Pangadilan. Ada juga yang bekerja sebagai kerani kebun, tapi jumlahnya dapat dihitung dengan jari.
Seorang pendatang dari Toba bernama Kitab Sibarani, yang kemudian setelah memeluk agama Islam, populer dengan nama “Guru Kitab”. Dengan mendirikan Zending Islam, dia diberi beberapa bidang tanah oleh Sultan Deli di Jalan Si Singamangaraja sekarang. Penggunaan istilah zending dalam yayasan yang didirikannya dimaksudkan untuk mengimbangi Zending Kristen yang perannya begitu dominan di Tanah Batak Utara. Zending Islam ini digunakan untuk melakukan siar Islam di Tanah Batak Utara. Gagal dalam upayanya, peninggalan Gr Kitab berupa beberapa bidang tanah pemberian Sultan, menjadi rebutan di antara para ahli warisnya.
Para pendatang dari Tanah Batak Utara, termasuk orang-orang yang unik. Mereka adalah orang-orang yang percaya diri, sehingga datang dengan utuh, bahkan dengan harpe-nya sekaligus. Ini berarti bahwa semua ikut terbawa, mulai dari adat-istiadatnya hingga kebiasaan-kebiasaannya, seperti memelihara anjing dan babi, sesuatu yang sangat tidak berkenan bagi lingkungannya yang kebanyakan memeluk agama Islam. Babi-babi peliharaan ini dalam kegelapan malam menyeruduk rumah-rumah penduduk untuk mencari makanan. Banyak protes yang diajukan, akan tetapi mereka seolah-olah tidak peduli. Akhirnya, “batak makan babi” menjadi cap kurang elok yang dikenakan pada mereka.
Cap ini sangat tidak berterima bagi orang Batak, yang berasal dari Tanah Batak Selatan khususnya Mandailing. Jauh sebelumnya, mereka juga tidak mau digolongkan kedalam suku Batak. Hal ini terutama karena dengan kata batak, sering dikonotasikan dengan bebal, bodoh dan kepala batu. Berdasarakan hal-hal tersebut diatas mereka berkata bahwa “orang Mandailing bukan orang Batak.” Hal ini menimbulkan pertentangan dengan orang Batak yang berasal dari Angkola, Sipirok dan Padang Lawas, yang juga berasal dari Tanah Batak Selatan, yang dengan teguh mempertahankan identitasnya “kebatakannya”. Orang yang meninggal misalnya, lebih dahulu dilakukan upacara adat sebelum di makamkan yang hal ini sangat ditentang oleh orang Mandailing yang lebih mengutamakan penguburan menurut syariat Islam. Dengan alasan bahwa Mandailing bukan Batak, orang Mandailing melarang orang-orang dari Angkola, Sipirok dan Padang Lawas untuk dikuburkan disebuah pemakaman khusus yang mereka beli dari Sultan Deli. Walau mereka menganut agama yang sama (Islam), orang-orang Mandailing tetap pada putusannya, melarang mereka dimakamkan disana. Orang-orang Angkola cs melawan, dengan membuka pintu pagar makam secara paksa. Hal ini dijawab oleh orang-orang yang berasal dari Mandailing dengan melempari mereka dengan batu. Karena peristiwa itu sangat memalukan, raja-raja dari Tanah Batak Selatan, termasuk dari Mandailing membuat suatu Pernyataan Sikap yang terkenal dengan “Batak Maninggoring.”
Raja-raja yang menandatangani pernyataan itu antara lain adalah Raja Mangatas dari Pakantan Lombang, Sutan Soripada Panusunan dari Pakantan Buali, Mangaraja Panusunan dari Ulu, Sutan Kumala Bulan dari Tariang, Sutan Singa Soro Baringin dari Monambin, Mangaraja Panobaunan dari Kota Nopan, Mangaraja Sutan Soleangon dari Panombangan, Mangaraja Gunung Sorik Marapi dari Naga, Sutan Pandapotan dari Pidoli Bukit, Mangaraja Solompoon dari Kota Siantar, Mangaraja Panusunan dari Penyabungan Julu, Mangaraja Iskandar Panusunan dari Penyabungan Tonga, Sutan Bintang Pandapotan dari Gunung Baringin dan Patuan Kumala Bulan sebagai Kepala Kuria Gunung Tua. Semua raja ini berada dalam lingkungan underafdeeling Groot en Klein Mandailing, Ulu en Pakantan-Afdeeling Padang Sidimpuan. Pernyataan bersama itu ditandatangani di atas kertas bermaterai yang dibuat pada tanggal 18 Agustus 1922 dengan isi sebagai berikut:
“Menerangkan dengan sesoenggoehnya, bahwa bangsa dari pendoedoek Mandailing itoe ialah bangsa Batak; sedang agamanja sebagian besar Islam dan sebahagaian ketjil sekali agama Christen, ia-itoe dalam koeria Pakantan Lombang, Pakantan Boekit dan Kota Siantar. Nama Mandailing itoe boekanlah nama bangsa akan tetapi nama negeri (loehak).”
Walau Pemerintah Jajahan menjauhkan diri dari masalah seperti ini, akan tetapi karena peristiwa yang memalukan ini, Gubernur Jenderal di Batavia terpaksa turun tangan. Dan berdasarkan Pernyataan Bersama diatas, Gubernur Jenderal memenangkan orang Angkola cs. Namun demikian persoalan tidak lantas selesai, karena orang-orang dari Mandailing masih tetap bertahan dengan pendiriannya. Dalam satu sensus yang diadakan oleh Pemerintah Jajahan, mereka tetap menolak dimasukkan dalam kelompok orang Batak.
Solusi kemudian muncul dari orang-orang yang berasal dari Tapanuli Tengah (Sibolga), yang berbaur dari berbagai etnis, seperti Minangkabau dan Melayu. Walaupun kebanyakan di antaranya berasal dari Tanah Batak Utara, banyak diantaranya yang sudah memeluk agama Islam, yang juga merasa risi disebut orang Batak. Mereka menyebut diri dalam satu identitas baru yang sekarang kita kenal sebagai “orang tapanuli”.
Jadi, pada awalnya, penyebutan “orang tapanuli” dimaksudkan sebagai pembeda antara orang Batak yang tidak memakan babi (Islam) dan mereka yang makan babi yang pada umumnya berasal dari Tanah Batak Utara. Mereka umumnya menganut agama Kristen Protestan.
Akan tetapi Tapanuli adalah nama satu wilayah dimana Tapanuli Utara juga termasuk di dalamnya. Karena merasa berhak, orang-orang yang berasal dari Tapanuli Utara-yang sesedikit ada juga yang merasa malu menyebut dirinya orang Batak–turut memakainya dan tidak ada siapapun yang dapat melarangnya. Jadi penyebutan orang Tapanuli, lebih bersifat kewilayahan, dari pada genealogis (garis keturunan). Pemakaian secara ramai-ramai ini menyebabkan unsur pembeda antara orang-orang Batak yang memeluk agama Islam dari Tanah Batak Selatan dan orang-orang yang bukan Islam, yang berasal dari Tanah Batak Utara lama lama-menjadi hilang.
Para perantau yang berasal dari wilayah Tanah Batak Utara dan Tanah Karo sebelumnya telah banyak yang merantau ke wilayah Timur. Karena ada rasa malu menyebut diri sebagai orang Batak, banyak diantaranya ber adaptasi dengan cara memeluk agama Islam dan mengganti namanya dengan nama-nama yang bernafas Islam. Hal ini banyak terjadi bagi pendatang dari Tanah Batak Utara di Asahan dan Labuhan Batu dan pendatang dari Tanah Karo di Tanah Deli, Langkat dan Serdang. Dalam waktu yang cukup lama mereka menyembunyikan identitas asli dirinya, hingga sulit membedakan mereka dengan penduduk setempat (asli).
Jelasnya penyebutan kata tapanuli berkembang lebih bersifat ke wilayahan. Itu sebabnya mereka yang menyebut diri sebagai orang tapanuli pada umumnya adalah mereka yang berasal dari wilayah Karesidenan Tapanuli dalam hal ini mereka yang berasal dari Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah dan Tapanuli Utara. Mereka merasa lebih nyaman menyebut diri sebagai orang Tapanuli dari pada orang Batak. Orang Batak yang berasal dari Tanah Karo dan Simalungun, hampir tidak pernah menggunakannya, karena kedua wilayah ini termasuk Karesidenan Sumatera Timur, bukan Karesidenan Tapanuli. Begitu pula orang Pakpak/ Dairi, walaupun pada awalnya masuk karesidenan Tapanuli. Dengan menyebut diri sebagai orang Tapanuli ada keuntungan yang mereka peroleh. Yang pertama dan terutama ialah kesan negatif yang muncul dengan menyebut diri sebagai orang Batak. Kesan negatif ini telah tumbuh sejak William Marsden menerbitkan suatu buku dengan judul The History of Sumatra. Dalam bukunya, Marsden menulis tentang suatu suku di pedalaman Sumatera¾orang Batak¾yang masih kanibal. Marsden menulis tentang Batak berdasarkan catatan Charles Miller dan Giles Holloway yang pernah berkunjung ke pedalaman Tanah Batak pada tahun 1722.
Di tempat ini, mereka menemukan tengkorak manusia yang disimpan dalam lumbung padi. Dari penemuan ini¾tanpa melakukan penyelidikan lebih lanjut¾Marsden mengambil kesimpulan bahwa tengkorak itu ada, karena dagingnya dimakan. Marsden tidak tahu bahwa, pada zaman dahulu, orang Batak mempunyai kebiasaan bahwa mayat orang-orang tertentu, yang biasanya dihormati, disimpan lebih dahulu sebelum tiba waktunya untuk dikuburkan. Hal inilah yang mendorong Sir Thomas Stamford Raffles, setelah kepulangannya dari Calcutta, berkunjung ke pedalaman Tanah Batak pada bulan Februari 1820.
Lain Marsden, lain pula Junghuhn. Junghuhn, yang juga masuk ke pedalaman Tanah Batak, terheran-heran melihat seseorang yang memakan racun bahkan sambil tertawa. Inilah awal dari nama singkong (ubi kayu) dari Tanah Batak¾setelah diteliti¾diberi nama manihot utelessima, untuk membedakannya dari utelessima yang lain, yang dikenal sebagai singkong beracun. Cerita tentang orang-orang Batak “makan orang” tersebar ke seantero dunia, sementara si Marihot yang menawari Junghuhn untuk makan singkong, walaupun namanya sudah memperkaya ilmu botani, tidak pernah diketahui bahkan oleh orang-orang Batak sendiri.
Keuntungan lain ialah ialah dengan menyebut diri sebagai “orang tapanuli”, persatuan diantara dua puak besar (Mandailing/Angkola dan Toba) menjadi kokoh tanpa ada yang dirugikan. Karena sering ditonjolkan sebagai identitas diri, sebutan orang Tapanuli menjadi satu hal yang biasa bahkan hingga kini, tanpa menyadari bahwa sebutan tersebut adalah salah.
Tapanuli adalah nama satu wilayah mulai dari Natal dan Air Bangis berbatasan dengan Panti dan Rao dengan Propinsi Sumatera Barat. Menyusur jalan raya lewat Padang Sidimpuan, sampai ke Sibolga dan Barus berbatasan dengan Singkil di pantai barat Aceh. Termasuk dalam Karesidenan ini ialah Tapanuli Utara sampai batas Aek Nauli. Parapat sendiri adalah batas kota yang berbatasan dengan Karesidenan Sumatera Timur. Inilah wilayah Tapanuli sebelum adanya pemekaran sesuai dengan tuntutan Otonomi Daerah.
Leave a Comment
MERANTAU KE TANAH DELI
Filed under: Pemikiran — rajabatak2 @ 2:40 am
Tags: Deli
Dahulu, wilayah Sumatera Utara hanya dihuni oleh dua suku. Kelompok yang pertama adalah suku Batak dan yang kedua adalah suku Melayu. Suku Batak bermukim di pantai barat Sumatera dan suku Melayu bermukim di pantai timurnya. Wilayah mereka dipisah oleh batas alam -Bukit Barisan-dengan hutan-hutannya yang lebat dan jurang-jurangnya yang dalam. Kenyataan bahwa banyak suku Batak kemudian bermukim di pedalaman dan suku Melayu tetap tinggal di pinggir-pinggir pantai dijadikan sebagai alasan mengapa suku Melayu dianggap sebagai pendatang yang menyusul kemudian.
Mata pencaharian utama suku Melayu sebagai pedagang dan nelayan menyebabkan mereka banyak berhubungan dengan pedagang-pedagang dari Arab. Itulah sebabnya mereka kemudian memeluk agama Islam. Kehidupan suku Melayu mulai meningkat sejak di daerah ini, beberapa maskapai asing membuka perkebunan besar. Dengan memanfaatkan hasil penelitian yang dilakukan para ahli seperti Junghuhn, suatu perusahaan yang bernama Deli Maschappij (Deli Mij) membuka perkebunan tembakau di Tanah Deli.
Karena perusahaan ini meraup keuntungan yang sangat besar, berbagai perusahaan asing lainnya, seperti Horrison Crossfield dari Inggris, Socfindo dari Prancis, United States Rubber Sumatra Plantation dari Amerika, HVA (Hollands Vereniging Amsterdam) dari Belanda berlomba-lomba untuk menanam modal dengan membuka perkebunan. Perusahaan-perusahaan ini memperoleh hak sewa tanah jangka panjang (erfacht) dari para sultan. Selain menamam tembakau di Tanah Deli, perusahaan-perusahaan tersebut menanam karet di Asahan dan Labuhan Batu dan kelapa sawit di Deli Serdang. Di Simalungun sendiri, HVA menanam karet sehingga orang-orang di Simalungun juga mengenal karet dengan nama lain yaitu “hapea” (pengucapan dari HVA).
Bukan hanya di bidang perkebunan, suatu perusahaan asing yang bernama Batavsche Petroleum Maschappiy (BPM) melakukan usaha pengeboran minyak di Pangkalan Berandan, Langkat. Sultan Langkat bernama Tengku Abdul Aziz, memperoleh 1 benggol (2 ½ sen), untuk setiap 16 liter minyak yang di sedot dari bumi Langkat. Itu sebabnya pada waktu itu Kesultanan Langkat merupakan Kesultanan yang paling kaya di daerah Swapraja Sumatra Timur.
Suatu pelabuhan khusus dibuka di Belawan untuk membawa bahan-bahan mentah tersebut ke berbagai negara. Untuk mendukung usaha ini diperlukan jalur transportasi. Sejumlah jalan raya dibangun dengan mulus. Di samping itu, didirikan pula suatu perusahaan transportasi berskala besar dengan nama DSM (Deli Spoorweg Maschapiy). Mereka membuka jalur kreta api mulai dari Medan menuju Tebing Tinggi. Di tempat ini, jalur tersebut bercabang dua, satu menuju Pematang Siantar dan satu lagi menuju Labuhan Batu. Dari Kisaran, jalur kereta api tersebut bercabang dua lagi, satu ke arah Tanjung Balai dan satu lagi ke arah Rantau Perapat. Juga dibuka jalur kreta api menuju Aceh, dengan melewati Pangkalan Berandan dan Pangkalan Susu. Hingga muncul Gerakan Aceh Merdeka (GAM), rel kereta api ini masih tetap utuh, tanpa pernah dirusak. Kurang jelas apa penyebabnya, jalur kereta api tersebut tidak pernah difungsikan.
Dengan dibukanya perkebunan-perkebunan ini, terbuka pula banyak lapangan kerja. Pihak yang pertama memperoleh keuntungan dengan masuknya perusahaan-perusahaan ini ialah para Sultan yang ada di Sumatera Timur. Sultan Langkat misalnya memproleh uang dari setiap liter minyak bumi yang di sedot dari bumi Pangkalan Susu dan Pangkalan Berandan. Sultan Deli memperoleh uang dari hak sewa tanah dari perkebunan tembakau. Sultan Serdang begitu pula, memperoleh hak sewa atas tanah yang dibuka sebagai perkebunan karet dan kelapa sawit. Juga Sultan Asahan, Raja-Raja Simalungun, Sultan Bilah dan Sultan Kota Pinang. Selain memperoleh kekayaan dari sewa tanah mereka juga mendapat gaji bulanan dari Pemerintah. Jika kita perhatikan, mereka yang diangkat sebagai Sultan di Sumatera Timur, lebih bernuansa boneka pemerintah jajahan. Sang Naualuh Raja Siantar, yang berpendirian, tidak sejengkal pun tanahnya diberikan kepada Belanda, dimakzulkan lalu dibuang ke Bengkalis. Sultan dan raja-raja bentukan Belanda ini, hidup mewah dan berkecukupan, sementara rakyat hidup serba kekurangan. Hal inilah yang kelak memicu timbulnya revolusi sosial, begitu penjajah Belanda angkat kaki.
Di belakangnya menyusul orang-orang dari Tanah Batak Selatan yang, selain karena mereka telah lebih dahulu memperoleh pendidikan, juga banyak memperoleh kemudahan dari sultan Deli. Mereka bahkan diberikan sebidang tanah di Sungai Mati untuk dijadikan sebagai perkampungan yang sekarang dikenal dengan nama Kampung Baru. Disamping itu oleh pendatang dari Tanah Batak Selatan ini juga membeli sebidang tanah di dekatnya yang dijadikan sebagai tempat pemakaman khusus untuk kelompok mereka.
Ibarat setumpuk gula yang dirubung semut, wilayah ini banyak diminati perantau dari Cina dan India. Orang Cina pada umumnya berasal dari Hokian. Seorang perantau Cina, bernama Cong A Fie datang dari Hokian. Dengan bermodal sepotong kayu pikul untuk mengumpul goni-goni bekas dan botol-botol kosong, dia berhasil membangun kerajaan bisnisnya di Medan. Dia membangun toko yang diberi nama Kesawan dan Canton, yang kemudian menjadi nama kawasan tersebut. Sayangnya, tidak seorang pun di antara anak dan cucunya mampu mempertahankan bisnis Cong A Fie. Rumahnya yang begitu megah di Kesawan, masih berdiri dengan kokoh menunjukkan sisa-sisa kejayaan Cong A Fie.
Sebagian orang Cina perantauan ini pada awalnya bermukim di Kwan Te Bio (sekarang Jalan Irian Barat), bersebelahan dengan Kesawan. Nama ini pada awalnya adalah nama kelenteng yang dibangun di sana dan jalan di depannya cukup lama diberi nama Jalan Kwan Te Bio, nama klenteng tersebut. Sebagian lagi mereka tinggal di Lho A Yok (sekarang Jalan Asia). Orang-orang Cina perantauan ini bergabung dalam suatu organisasi yang diberi nama Hwa Kiaw Kong Hui atau Perkumpulan Cina Perantauan.
Wilayah ini juga menarik minat pedagang dari India, berasal dari Bengal sehingga orang menyebut mereka orang Benggali. Mereka bergerak di bidang perdagangan tekstil dan juga mengembangkan usahanya dalam pemeliharaan lembu (farming). Mereka mengelola bisnis ini dengan baik, sehingga dapat mensuplai susu untuk seluruh kota Medan. Lembu punya susu, Benggali punya nama, merupakan pemeo orang Medan akan dominasi orang Bengal dalam bidang ini. Juga ada orang India (Tamil) yang yang didatangkan dari Madras, untuk pembuatan jalan raya. Mereka bermukim di sebuah perkampungan yang sampai sekarang dinamakan kampung Madras, walau lebih dikenal dengan nama kampung keling. Sebuah sekolah khusus turut pula dibangun dengan nama Khalsa English School dengan kata pengantar bahasa Inggeris.
Sementara itu, para pendatang dari Minang, ditempatkan disebuah tempat didepan istana Sultan. Karena bakat dagangnya tempat ini dipersiapkan sebagai satu kota, hingga dinamakan Kota Maksum disekitar jalan Puri dan Amaliun sekarang. Pemukiman ini sampai sekarang masih didominasi oleh orang-orang yang berasal dari Minangkabau dan sedikit diantaranya berasal dari Aceh. Banyaknya pendatang ini menyebabkan Medan yang pada awalnya didirikan oleh seorang pendatang dari Tanah Batak bernama Guru Patimpus, berubah menjadi kota besar.
Banyaknya bidang usaha yang dibuka, membutuhkan tenaga kerja kelas bawah yang di Sumatera Utara sangat kurang. Untuk itu, pemerintah Belanda mengeluarkan Besluit No. 1 Tahun 1880 tentang Koolie Ordonantie atau lebih dikenal sebagai Poenale Sanctie. Sejumlah penduduk miskin di Pulau Jawa diiming-iming dengan pekerjaan yang enak dan penghasilan yang besar. Banyak orang tergoda dan membubuhkan cap jempol dalam kontrak yang isinya tidak mereka ketahui sama sekali. Mereka ditempatkan di sejumlah emplasemen perkebunan. Keturunan kuli-kuli kontrak inilah yang sekarang dikenal sebagai Puja Kesuma¾Putera Jawa Kelahiran Sumatera.
Leave a Comment
MUNCULNYA TAPANULI SEBAGAI KARESIDENAN
Filed under: Pemikiran — rajabatak2 @ 2:39 am
Tags: Tapanuli
Menjadi “orang tapanuli” mempunyai sejarah sangat panjang. Perkataan Tapanuli ini pertama sekali diperkenalkan sewaktu Batta Districh dipisah dari Hoofd Afdeling Minangkabau. Kata “tapanuli” itu sendiri pertama kali diperkenalkan oleh Pemerintah Belanda. Pada tahun 1823 dengan Keputusan Gubernur Jenderal No. 18 pada tanggal 4 November 1823, karesidenan Minangkabau dibagi menjadi dua hoofdafdeling yaitu Hoofdafdeling Minangkabau dan Hoofdafdeling Padang. The Tapian Na Uli Territories, yang sebelumnya adalah wilayah dibawah otoritas pemerintah Inggeris meliputi Natal sampai dengan Sibolga, dimasukkan dalam Karesidenan Minangkabau. Dahulu kala tempat ini menjadi tempat persinggahan kapal-kapal layar Inggeris, untuk mengisi air minum dalam pelayaran dari Calcutta ke Bengkulen. Sejak itulah wilayah ini dimasukkan dalam otoritas Britania Raya ( 1724-1825). Akan tetapi dengan ditanda tanganinya Traktat London (1824), Inggeris dengan terpaksa melepas wilayah ini, termasuk juga wilayah lain kepada pemerintah Belanda. The Tapian Nauli Territories dimasukkan dalam Hoofdafdeling Minangkabau.
Pada masa C.Th. Elout sebagai komisaris jenderal yang dihunjuk oleh pemerintah jajahan untuk mengambil over eks jajahan Inggeris, timbul keinginan, untuk memisah Natal dan sekitarnya menjadi satu distrik sendiri dengan nama Batta Districht. Keinginan tersebut muncul, karena perbedaan ethnis yang berdiam di wilayah ini. Natal dan sekitarnya dan begitu pula Mandailing dan Sibolga dihuni oleh ethnis Batak, sementara Minangkabau dihuni oleh ethnis Minang. Itu sebabnya namanya pun diberi nama Batta Districht sesuai nama penghuninya.
Pemberian nama Batta Districht, pengganti nama The Tapanuli Territories ditolak oleh orang-orang Mandailing, dengan alasan orang Mandailing bukan orang Batak. Karena banyak bergaul dengan orang-orang Minang dan kebetulan menganut agama yang sama (Islam), mereka merasa lebih dekat dengan orang Minang dan merasa allergi dengan kata “batak”. Akan tetapi pemerintah tetap berpendirian akan tetap memisah wilayah ini. Oleh karenanya dicari sebuah nama yang kira-kira dapat diterima oleh mereka yang menentang. Dengan merubah kata Tapian Na Uli yang dulu dipakai oleh Inggeris, menjadi Tapanuli, diperkenalkan nama baru yaitu Residente van Tapanoeli meliputi wilayah Groot Mandailing dan Natal, Sibolga dan sekitarnya, termasuk Barus. Kata “tapanuli” berasal dari gabungan tiga kata tapian na uli, yang berarti tempat permandian (tapian) yang (na) indah (uli). Pemberian nama indah ini, ternyata tidak mendapat tantangan dari mereka yang semula menentang. Bersamaan dengan pemisahan itu, diangkat pula beberapa regent di Sumatera Barat dengan gaji f300 per bulan. Menyusul di Tanah Batak Selatan, untuk pertama sekali, diangkat seorang regent bernama Raja Gadumbang Lubis. Kedudukan regent ini, menurut janji pemerintah Belanda, disamakan dengan sultan di Pulau Jawa. Akan tetapi, sebagaimana ternyata kemudian, janji tersebut tidak pernah ditepati. Setelah Raja Gadumbang mangkat dalam perang melawan tentara Paderi, dia digantikan Sutan Kumala Bulan Nasution. Setelah itu, tidak ada lagi regent di Tapanuli. Sebuah sistem pemerintahan yang baru, diperkenalkan dimana setiap negeri dipimpin oleh seorang kepala luhak.
Mengapa nama Batta Districht ditolak oleh orang-orang Mandailing ? Alasan yang utama ialah karena pada masa itu orang Batak masih digolongkan orang-orang bodoh, bebal dan kepala batu dan mereka tidak mau dimasukkan kelompok seperti itu. Bila kita membaca tulisan van deer Tuuk, yang menyetakan bahwa orang-orang Batak dari pedalaman, menjadi makanan empuk para pedagang Melayu dan Minang yang ada di Barus, membuktikan bahwa orang-orang Batak pada waktu itu, benar-benar masih “bodoh” sehingga dapat diperdaya dengan mudah.
Alasan yang kedua, suku Batak sering dihubungkan dengan laporan Charles Miller dan Giles Holloway dan kemudian ditulis oleh W Marsden dalam bukunya The History of Sumatra, tentang satu suku di pedalaman yang masih kannibal. Orang Batak makan orang, merupakan satu streotipe yang sukar untuk dihilangkan akan suku yang satu ini.
Alasan yang ketiga ialah orang Mandailing sudah sejak lama mempunyai hubungan dengan orang Minangkabau. Banyak guru-guru mengaji yang didatangkan dari Minangkabau mengajarkan agama Islam di Tanah Batak Selatan. Begitu pula orang-orang Mandailing banyak belajar berdagang dari orang Minangkabau, menyebabkan hubungan mereka sangat akrab. Dalam bahasa Minang, perkataan batak itu mempunyai arti yang jelek yaitu rampok. Orang-orang Mandailing tidak mau disebut sebagai pembatak (perampok).
Inilah awal pertama munculnya nama Tapanuli, menjadi nama satu wilayah karesidenan. Kemudian nama tapanuli oleh proses ruang dan waktu, juga menjadi sebutan bagi orang-orang yang berasal dari karesidenan itu. Mereka menyebut dirinya “orang Tapanuli” (yang berasal dari karesidenan tapanuli), sebagai penganti “orang Batak”. Secara tersirat, sebutan ini sebenarnya lebih merupakan “pengingkaran diri”, karena malu, di cap sebagai orang bodoh, bebal dan kepala batu, apalagi kannibal. Dan itu pula sebabnya orang-orang Batak yang merantau ke luar pulau lebih nyaman menyebut dirinya sebagai orang seberang. Sementara dalam intern mereka sendiri, mereka menyebut diri halak hita (orang kita= Batak)
Leave a Comment
PUAK-PUAK SUKU BATAK
Filed under: Pemikiran — rajabatak2 @ 2:37 am
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, seluruh puak Batak mengaku dirinya sebagai keturunan Raja Batak. Berdasarkan arah penyebarannya, suku Batak kemudian terbagi menjadi beberapa puak. Puak yang pertama ialah puak Gayo yang secara khusus dibicarakan dalam bagian tersendiri dengan sub-judul “Batak 27.” Puak yang kedua ialah orang-orang yang bermukim di Dataran Tinggi Karo. Mereka kemudian terbelah menjadi dua puak, yaitu Puak Karo dan Puak Pakpak. Puak yang ketiga adalah orang-orang yang bermukim di Dolok Pusuk Buhit. Mereka kemudian terbagi menjadi tiga puak, yaitu Puak Toba, Puak Mandailing/ Angkola dan Puak Simalungun.
Tentu saja menarik dan perlu mendapat penelitian yang lebih mendalam buku Sejarah Lampung yang diterbitkan Balai Pustaka pada tahun 1977. Dalam buku itu dituliskan bahwa Suku Lampung adalah keturunan Ompu Silamponge yang meninggalkan Tanah Batak pada waktu gunung berapi meletus, awal-mula terjadinya Danau Toba. Menurut buku itu, Ompu Silamponge bersama beberapa orang berlayar dan terdampar di pantai Krui. Mereka kemudian mendaki Bukit Pasagih dan kemudian mereka berpisah di tempat itu, sebagian menuju Rejang dan Lebong dan Ompu Silamponge tetap tinggal di Lampung. Dialah yang menjadi leluhur orang Lampung sekarang.
Bahwa mereka adalah orang Batak dibuktikan dengan banyaknya tulisan kulit kayu yang sebagian masih disimpan dan dipelihara oleh banyak keluarga dan sebagian lagi disimpan di Museum Lampung. Aksaranya tampak mirip dengan aksara Batak dan banyak bercerita tentang silsilah keluarga. Walaupun hal di atas dapat dijadikan sebagai bukti nyata, para ahli sampai saat ini belum pernah memasukkan suku Lampung sebagai salah satu puak dalam rumpun suku Batak. Mereka tetap merupakan suku tersendiri, yang hubungannya dengan suku Batak masih sebatas suatu legenda yang dipercayai oleh banyak orang Lampung. Karena suku Lampung hingga saat ini belum pernah dimasukkan ke dalam puak suku Batak, hanya ada enam puak yang tergolong dalam suku Batak. Puak Alas dan Gayo termasuk di dalamnya. Berikut ini disajikan secara ringkas keberadaan puak-puak tersebut:
1. PUAK KARO
Puak Karo, berdasarkan wilayah yang menjadi tempat mereka bermukim, dikenal sebagai Karo Gunung dan Karo Dusun. Karo Gunung adalah mereka yang tinggal di Dataran Tinggi Karo dan wilayah sekitarnya, yang sekarang dikenal sebagai Kabupaten Karo. Karo Dusun adalah mereka yang merantau ke daerah Langkat dan Deli Serdang. Di tempat ini mereka beranak-pinak dan malah ada di antaranya yang diangkat sebagai kepala urung (kepala negeri/kepala kuria), seperti di Sunggal, Hamparan Perak, Sukapiring, Senembah dan Petumbak. Akan tetapi, karena mereka memeluk agama Islam dan memakai nama yang bernafas Islam banyak orang menganggap mereka adalah orang Melayu.
Puak Karo terikat dalam kelompok yang dikenal sebagai Merga Silima. Merga Silima¾yang menjadi kelompok yang mempersatukan seluruh Puak Karo¾terdiri atas marga Karo-karo, Ginting, Tarigan, Sembiring dan Perangin-angin. Seluruh marga yang ada di Tanah Karo, yang terdiri atas puluhan marga, dihimpun dalam kelompok yang disebut Merga Silima ini. Marga Silima adalah induk seluruh marga Karo. Lima marga berikut kemudian berkembang yang kemudian pecahan-pecahan marga ini menjadi marga yang berdiri sendiri. Namun, walau telah memisahkan diri masih banyak diantaranya yang keluar, masih tetap menggunakan marga induknya. Marga Silima tersebut ialah:
1. Merga KARO-KARO:
1. Guru Singa, 2. Kemit, 3. Ketaren, 4. Sinuhaji, 5. Sekali, 6. Samura, 7. Sinukaban, 8. Sinuraya, 9. Sinulingga, 10. Sinubulan, 11. Barus, 12. Bukit, 13. Kaban, 14. Kacaribu, 15. Sitepu, 16. Surbakti, 17. Torong, dan 18. Jung.
2. Merga GINTING:
1. Babo, 2. Jadibata, 3. Jawak, 4. Gurusinga, 5. Gurupatih, 6. Suka, 7. Ajartambun, 8. Beras, 9. Garamata, 10. Manik, 11. Munthe, 12. Pase, 13. Sugihen, dan 14. Capah.
3. Merga TARIGAN:
1. Tua, 2. Tambun, 3. Sibero, 4. Tambak, 5. Silangit, 6. Purba, 7. Gersang, 8. Gerneng, 9. Tegur, 10. Pekan, 11. Bondong, 12. Jampang.
4. Merga SEMBIRING:
1. Berahmana, 2. Bunuhaji, 3. Guru Kinayan, 4. Muham, 5. Pandebayang, 6. Pelawi, 7. Tekang, 8. Colia, 9. Depari, 10. Kembaren, 11. Meliala, 12. Pandia, 13. Sinulaki, 14. Sinupayung.
5. Merga PERANGIN-ANGIN:
1. Keliat, 2. Pinem, 3. Kaban, 4. Laksa, 5. Pencawan, 6. Namuhaji, 7. Penggarun, 8. Sebayang, 9. Singarimbun, 10. Sukatendel, 11. Bangun, 12. Benjerang, 13. Perbesi.
Dalam perkembangan selanjutnya, walau tergolong dalam satu marga induk diantara mereka sudah terjadi saling kawin-mengawini, yang dahulunya merupakan sesuatu yang terlarang, sepanjang mereka sudah menabalkan diri sebagai satu marga yang berdiri sendiri. Marga yang sudah menabalkan diri sebagai marga yang berdiri sendiri antara lain, Ketaren, Sinuhaji, Sinuraya, Barus, Sitepu, Surbakti, Torong, Munthe, Capah, Sibero, Silangit, Pelawi, Depari, Meliala, Pandia, Keliat, Pinem, Pencawan, Sebayang, Singarimbun dan Bangun.
2. PUAK PAKPAK
Puak Pakpak bermukim di wilayah Dairi. Hal ini menyebabkan puak ini sering juga disebut sebagai puak Dairi. Mereka hidup bertetangga dengan Puak Karo, Simalungun dan Toba. Kalau dibandingkan dengan ketiga tetangganya tersebut, mereka sedikit tertinggal. Hal ini dapat dimaklumi karena merekalah yang terakhir dapat disentuh peradaban Barat setelah puak Mandailing, puak Toba, puak Simalungun dan puak Karo. Ketertinggalan mereka lebih banyak terjadi karena puak ini banyak terlibat dalam upaya-upaya memerangi penjajah Belanda, baik dalam perang yang dilakukan oleh orang Aceh maupun oleh Raja Si Singamangaraja XII.
Dalam upaya memerangi penjajah Belanda, Raja Si Singamangaraja XII memilih tempat ini sebagai basis perjuangannya yang terakhir. Di daerah inilah riwayat perjuangan Raja Si Singamangaraja berlangsung paling lama. Satu legion yang sudah berpengalaman dalam perang hutan di Afrika ditugaskan untuk memburunya di tengah hutan yang lebat. Bahkan beliau mengakhiri perjuangan dan hidupnya di tempat ini ketika dia wafat pada tahun 1907, bersama dua orang puteranya Patuan Nagari dan Patuan Anggi dan seorang puterinya Lopian. Sejak perlawanan mereka berakhir, wilayah ini resmi dimasukkan sebagai wilayah jajahan. Marga-marga yang kita kenal antara lain ialah Tumangger, Maha, Keloko, Kesugihen, Nalu, Padang Batanghari, Perbesi, Simalango, Nahampun, Ujung, Boang Manalu, Berutu, Padang, Solin, Sinamo, Cibero, Bako, Siketang, Angkat, Simanjorang, Sambo, Kabeakan dan Bancin.
3. PUAK SIMALUNGUN
Puak Simalungun pada umumnya adalah puak campuran penduduk asli dan pendatang dari Toba dan Tanah Karo, sehingga sulit menentukan mana sesungguhnya penduduk asli Simalungun. Berdasarakan kenyataan ini, Seminar Adat Simalungun yang diselenggarakan pada tahun 1964 menetapkan bahwa “suku Simalungun adalah orang yang mengakui ahap Simalungun, yakni orang yang berbahasa, beradat-istiadat dan berbudaya Simalungun.” Rumusan ini diterima karena mereka sadar akan keberadaan ke-bhinneka-an dan perlunya membina persatuan berdasarkan pepatah: Sin Raya, Sini Purba, Sin Dolog, Sini Panei, na i ja pe lang marubah asal ma na marholong ni atei. Artinya, dari mana pun seseorang datang, asalkan dengan tujuan dan itikad yang baik, dia dapat diterima dalam keluarga besar Simalungun.
Kata simalungun berasal dari gabungan beberapa patah kata: si, ma, dan lungun. Si adalah kata penunjuk dan ma adalah awalan dari kata lungun yang berarti “rindu.” Kalau digabungkan, kedua kata ini berarti “orang yang merasa rindu.” Kata simalungun sering dihubungkan dengan pasukan pengawal Tatea Bulan yang ditugaskan untuk mencari Sumba dan ibunya, yang menghilang dari kampung Sianjur Mula-mula. Mereka mencari ibu dan anak tersebut, tetapi ke mana pun mereka mencari keduanya- ibu dan anak- tidak pernah tampak dan tetap hilang bagaikan ditelan bumi. Karena tugasnya tidak terpenuhi, akhirnya mereka bergabung dengan sisa-sisa ekspedisi Pamalayu dan membentuk puak sendiri yang sekarang dikenal sebagai Puak Simalungun.
Namun, ada juga orang yang berpendapat bahwa kata simalungun berasal dari dua patah kata simou dan lungun. Kata simou berarti samar-samar dan kata lungun berarti sunyi dan lengang. Pengertian ini dihubungkan dengan keadaan wilayah ini yang dulunya dirasakan sunyi dan lengang sehingga sulit menentukan batas-batas wilayahnya.
Apabila kita telusuri marga-marga yang ada di Simalungun, memang semuanya terasa simou atau samar-samar. Marga-marga utama yang ada di Simalungun¾Damanik, Saragih, Purba dan Sinaga¾yang dianggap sebagai marga asli Simalungun, namun, kalau ditelusuri lebih jauh sampai kepada sub-sub marganya, akan ditemukan bahwa banyak di antaranya berasal dari marga pendatang dari Toba dan dari Tanah Karo.
Marga-marga utama di atas mempunyai sub-sub marga; marga Damanik kini terdiri atas Damanik Ambarita, Damanik Gurning, Damanik Bariba, Damanik Malau. Marga Purba terdiri atas Purba Tambak, Purba Bawang, Purba Girsang, Purba Dasuka, Purba Dagambir, Purba Sidadolok. Marga Sinaga terdiri atas Sinaga Dadihoyong, Sinaga Siallagan, Sinaga Sidasuhut, Sinaga Porti, Sinaga Sidabariba, Sinaga Sidaha Pintu, Sinaga Sidagelan. Marga Saragih terdiri atas Saragih Dajawak, Saragih Turnip, Saragih Damunte, Saragih Garingging, Saragih Dasalak, Saragih Sumbayak.
4. PUAK MANDAILING DAN ANGKOLA
Wilayah Mandailing membentang dengan begitu luas sehingga pemerintah penjajah memberinya nama Groot Mandailing (Mandailing Godang), atau Mandailing Raya. Penduduk di sekitar wilayah ini menamakan diri sebagai orang (puak) Mandailing. Bersebelahan dengan daerah ini, di Sipirok bermukim penduduk yang menamakan diri sebagai puak Angkola. Tidak ada sesuatu yang dapat dijadikan sebagai pembeda antara puak Angkola dan puak Mandailing, karena umumnya mereka mempunyai marga yang sama seperti Siregar, Nasution, Lubis atau Harahap.
Konon, penduduk di daerah ini menyebut dirinya sebagai orang Angkola karena keteguhannya pada aturan-aturan adat. Aturan-aturan adat dijalankan dengan begitu keras, misalnya dalam adat perkawinan. Perkawinan satu marga di Angkola dianggap tabu, berbeda dari wilayah tetangganya Mandailing. Di Mandailing, aturan-aturan seperti ini sudah banyak dilanggar. Di daerah ini, perkawinan lebih didasarkan menurut aturan agama, bukan menurut aturan adat, sehingga perkawinan satu marga, bukanlah sesuatu yang terlarang.
Jika dibandingkan dengan puak Batak yang lain, puak Mandailing jauh lebih dahulu maju. Hal ini dapat dimaklumi karena puak ini lebih awal merubah tata kehidupannya sebagai akibat masuknya Islam yang dibawa oleh kaum Paderi dari Minangkabau. Dan setelah itu, mereka pula yang mengundang pemerintah Belanda memasuki wilayah mereka untuk mengusir para “pidari” yang sudah melenceng jauh dari tujuan kedatangan mereka sebelumnya.Yang jelas persintuhan dengan kedua kaum ini membawa perubahan yang sangat besar dalam tata kehidupan masyarakat Mandailing. Perubahan yang menyangkut keyakinan dibawa oleh kaum Paderi dan perubahan dalam tata kehidupan dibawa oleh penjajah Belanda lewat pendidikan. Setelah melihat potensi yang ada dalam diri orang Mandailing, pemerintah penjajah banyak membuka sekolah di daerah ini. Sementara orang-orang Batak lain masih sibuk dengan alemu-alemu yang diwarisi dari para leluhur mereka, orang Mandailing sudah mempelajari ilmu dengan tekun. Bahkan, orang Batak pertama yang belajar ke Eropa misalnya, adalah orang Mandailing bernama Sati Sokondar bermarga Nasution, yang kemudian terkenal dengan nama Willem Iskandar.
Ada sesuatu yang menarik dalam diri anak kecil ini sehingga dia oleh Nyonya Godon (isteri seorang Controleur di Kotanopan), dibawa ke Negeri Belanda dan kemudian disekolahkan di sana. Di Belanda dia berganti nama menjadi Wilhelm Iskandar. Penggantian nama Sati Sokondar menjadi Wilhelm Iskandar adalah atas anugerah Prins Wilhelm yang menjadi raja Belanda pada waktu itu. Waktu beliau meninjau sekolah yang menjadi tempat Sati belajar, dia terheran-heran melihat kepandaian anak ini. Karena kepintarannya Prins Wilhelm berkenan memberi nama baru sesuai dengan namanya kepada Sati. Setamat dari negeri Belanda, dia dipercaya untuk memimpin Sekolah Guru (Kweekschool) yang pertama di Tano Bato. Guru-guru alumni Tano Bato begitu berperan dalam memajukan Tanah Batak Selatan, sehingga jauh melebihi saudara-saudaranya yang lain. Setelah periode kemerdekaan, di antara sejumlah sarjana putera Batak, sebagian besar berasal dari Tanah Batak Selatan.
5. PUAK GAYO DAN ALAS
Puak Gayo dan Alas bermukim di pedalaman Aceh yang sekarang dikenal sebagai Aceh Tengah dan Aceh Tenggara. Secara administratif, wilayah ini masuk dalam Daerah Istimewa Aceh, yang kini telah berubah menjadi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Karena umumnya mereka menganut agama Islam, banyak orang menggolongkan puak ini ke dalam suku Aceh, sama halnya dengan suku Nias yang digolongkan ke dalam suku Batak hanya karena kedua suku ini bermukim dalam satu wilayah Provinsi Sumatera Utara dan kebetulan mayoritas penduduknya menganut agama Kristen. Dr. Snouck Hurgronje sendiri, seorang acehkenner¾ahli tentang masalah-masalah Aceh¾mengatakan bahwa orang Alas dan juga Gayo adalah suku tersendiri, bukan Aceh dan juga bukan Batak. Sementara orang Gayo menyatakan dirinya adalah Batak Bebesan atau Batak 27.
Daerah mereka yang miskin dengan sumber daya alam dan masalah transportasi yang buruk dan sangat minim, menyebabkan wilayah mereka sangat ter-isolir. Hidup mereka sangat miskin bila dibandingkan dengan tetangga mereka (Aceh Besar), menyebabkan mereka mengejar ketertinggalan mereka lewat pendidikan. Hal ini mengakibatkan, menurut kualitas sumber daya manusianya, orang Gayo dan Alas secara persentase lebih maju daripada orang Aceh sendiri.
Untuk memecahkan keterisolasian daerah ini, suatu proyek raksasa yang dikenal sebagai proyek Ladia Galaska (singkatan dari Lautan Hindia, Gayo, Alas, dan Selat Malaka) kini sedang dikerjakan. Proyek ini dimulai dari Lautan Hindia di pantai Barat (Meulaboh) hingga Selat Malaka di pantai Timur (Peureulak), dengan membelah wilayah Gayo dan Alas melalui suatu jalan raya. Proyek ini menimbulkan banyak kontroversi. Para ahli lingkungan, merasa khawatir bahwa pembukaan wilayah ini akan mengakibatkan kerusakan terhadap ekosistem Gunung Leuser. Kekhawatiran utama ialah ruas antara Pinding dan Lokop, sepanjang 13 km, yang akan membelah Gunung Leuser. Apabila jalan raya di ruas ini tidak dipindahkan, dikhawatirkan Gunung Leuser yang sudah ditetapkan sebagai suaka marga satwa akan dirambah habis-habisan sehingga menimbulkan kerusakan ekosistem. Proyek ini menjadi buah simalakama. Apabila tidak dilanjutkan, Gayo dan Alas akan tetap menjadi daerah yang terisolir. Karena itu, ada usul perubahan terhadap jalur pembuatan jalan raya ini, khususnya yang menyangkut daerah Pinding dan Lokop dengan cara mengalihkannya. Diharapkan, dengan pengalihan ruas jalan ini, Gunung Leuser dan sekitarnya, sebagai wilayah yang dilindungi dan mendapat bantuan dana dari World Wild Fund, akan terbebas dari pembalakan.
6. PUAK TOBA
Puak Toba bermukim di suatu wilayah di pinggir letusan gunung api Toba. Sebagai bekas letusan gunung api yang terbesar pernah ada di dunia, bagian besar wilayahnya terdiri dari batu-batu padas yang sulit diolah, berlainan misalnya dengan wilayah yang jauh dari letusan gunung tersebut menjadi tanah yang subur. Hanya sebagian kecil di antaranya dapat dijadikan sebagai areal persawahan tadah hujan, sebagian lagi adalah tanah yang dapat diolah untuk kebun ketela dan sayur dan tempat menggembalakan kerbau. Itulah sebabnya pekerjaan utama penduduk Puak Toba, di samping bertani, adalah memelihara ternak, seperti kerbau, sapi dan babi. Tanahnya yang tandus, menyebabkan penduduk negeri ini banyak yang miskin. Terbatasnya lahan yang dapat diolah untuk pertanian, menyebabkan banyak penduduk menjual tenaga (mencangkul dan memotong padi) ke wilayah subur disekitarnya (Mandailing dan Angkola). Hal ini menyebabkan disatu masa, orang-orang dari Toba, dianggap kedudukannya lebih rendah dari puak yang bermukim di wilayah tetangganya.
Setelah Nommensen masuk ke Tanah Batak Utara, keadaan menjadi terbalik. Kenyataan bahwa orang-orang yang mengenyam pendidikan memperoleh kehidupan yang lebih layak daripada orang-orang yang tidak berpendidikan, menyebakan orang-orang tua di daerah ini berlomba-lomba untuk menyekolahkan anaknya, karena lewat pendidikan mereka memperoleh kesempatan untuk mengisi banyak lowongan pekerjaan. Orang-orang tua dengan sekuat tenaga berupaya untuk menyekolahkan anaknya sehingga lahir pemeo hugogo pe mansari, arian nang botari, lao pasingkolahon gellengki. Gencarnya mereka merubah kehidupan lewat pendidikan, menyebabkan orang-orang yang berasal dari puak ini, tampil dengan sangat percaya diri, berbeda jauh pada waktu-waktu sebelumnya. Mereka merasa tidak perlu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya, bahkan lingkungannya yang seharusnya menyesuaikan diri dengan gaya hidupnya. Mereka sangat bangga dengan adat dan budayanya yang khas, yang membedakan mereka dengan orang-orang lain di sekitarnya. “Halak hita”, merupakan satu sebutan bagi mereka, sebagai pembeda dengan mereka yang berada diluar kelompoknya yang dianggap sebagai orang lain.
Leave a Comment
R A J A B A T A K
Filed under: Pemikiran — rajabatak2 @ 2:35 am
Tags: Alas, Angkola, Batak, Gayo, Karo, Mandailing, Pakpak, Simalungun, Toba
Bab 1
Batak adalah satu kelompok suku yang bermukim di suatu wilayah yang sangat luas di daerah Sumatera Utara¾tepatnya di pantai sebelah barat¾mulai dari pesisir pantai Natal yang berbatasan dengan Minangkabau hingga daerah Singkil, yang berbatasan dengan pantai Barat Aceh. Pantai Barat ini hanya sedikit dapat dihuni karena ganasnya ombak Lautan Hindia. Daerah yang dapat dihuni adalah Natal, Karan, Tabuyung dan Batu Mundan. Daerah ini masuk dalam wilayah Tapanuli Selatan. Pantai Barat lainnya, seperti Sibolga, Sorkam, Barus dan Manduamas berbatasan dengan wilayah Daerah Istimewa Aceh.Daerah pedalaman hingga Langgapayung dan Kota Pinang, yaitu kota yang berbatasan dengan Labuhan Batu, lebih banyak dihuni orang Batak yang berasal dari puak Mandailing. Daerah pedalaman lainnya, seperti Tapanuli Utara dan Simalungun, dihuni oleh Puak Toba dan Simalungun. Begitu juga, wilayah Dairi dihuni oleh puak Pakpak dan Dataran Tinggi Karo sampai Kotacane, kota yang berbatasan dengan Daerah Istimewa Aceh, dihuni oleh Puak Karo. Selebihnya, Aceh Timur dan Aceh Tengah dihuni oleh Puak Gayo dan Alas yang masih digolongkan sebagai rumpun suku Batak.
Wilayah yang sangat luas inilah yang umumnya dikatakan sebagai wilayah Tanah Batak. Persoalannya ialah, sebelum mereka menempati wilayah yang mahaluas ini, di manakah mereka pada awalnya bermukim. Sebagai pendatang dari Hindia Muka, demikian pendapat para ahli, di manakah mereka pertama kali menjejakkan kakinya, mendirikan perkampungan, lalu berkembang. Pertanyaan ini perlu mendapat jawaban karena seluruh suku Batak, mulai dari puak Mandailing/ Angkola, puak Toba, puak Simalungun, puak Pakpak (Dairi), puak Karo, dan puak Gayo dan Alas mengaku dirinya sebagai orang Batak. Akan tetapi, apabila kepada masing-masing puak ditanyakan tentang asal-usul leluhurnya, hampir tidak satu pun dapat memberikan jawaban yang pasti. Hanya puak Toba, walaupun hanya didasarkan pada legenda, dapat mengatakan bahwa mereka berasal dari suatu kampung yang bernama Sianjur Mula-mula di kaki Dolok Pusuk Buhit, di pinggir Danau Toba. Konon, di kampung inilah Raja Batak bermukim dan mempunyai dua orang putera, yaitu Guru Tatea Bulan dan Siraja Isumbaon. Kampung Sianjur Mula-mula sekarang masih ada, terpelihara dengan baik, dan dihuni oleh marga Limbong dan Sagala, yang merupakan keturunan Guru Tatea Bulan.
Walaupun pada awalnya hanya berupa legenda, orang Batak, khususnya puak Toba, percaya akan asal-usul ini. Apa alasannya? Karena itulah yang tertulis dalam tarombo (sejarah). Sayangnya, tarombo ini terbatas hanya di kalangan orang-orang yang berasal dari puak Toba, padahal suku Batak tidak hanya terdiri atas puak Toba, melainkan juga puak-puak lain seperti Karo, Simalungun, Mandailing/ Angkola, Pakpak, Gayo dan Alas. Karena itu, pendapat bahwa Sianjur Mula-mula adalah asal-mula orang Batak sulit diterima. Tarombo yang ditulis menurut versi puak Toba tersebut tidak menerangkan dengan jelas hubungan antara leluhur puak Batak Toba dan puak-puak Batak yang lain, kecuali hanya reka-rekaan belaka.
Karena hubungan yang tidak jelas ini, sementara di lain pihak masing-masing puak mengaku dirinya sebagai orang Batak, timbul pertanyaan: Apakah tidak ada sesuatu yang mengikat mereka sehingga menjadi satu kesatuan? Inilah yang mendorong diselenggarakannya suatu seminar dengan tema “Seminar tentang Norma-norma Adat Batak” pada bulan September 1982, yang mencoba untuk mengambil suatu pendekatan dari segi kultural. Bersama beberapa eksponen generasi muda Batak, antara lain M. Jailani Sitohang, S.H., Abidan T.L. Sitohang, Pandapotan Hutabarat, Sumuran Harahap, Muhammad Simatupang, Raja Lumbantobing, Bastian Rajagukguk, John Kr. Limbong, Syahren Hasibuan, Fajar Lubis, Barita Pasaribu dan Justianus Naibaho, diadakan satu seminar yang dimaksudkan untuk mencoba memperoleh jawaban pertanyaan di atas.
Seminar tersebut berlangsung dari tanggal 2–4 September. Banyak pemuka Batak dan generasi mudanya hadir pada waktu itu. Di antara tokoh-tokoh tua yang hadir antara lain terdapat Pangulu Lubis, H.A.K. Pulungan, Bismar Siregar,
S.H., M.D. Siregar, Effendy Siregar, Hadeli Hasibuan dari Tapanuli Selatan; Selamat Ginting dan Bagin dari puak Karo; T. Djano Damanik dan Jahali Saragih dari puak Simalungun; M.D. Maha dan Marisi Tumangger dari puak Pakpak; dan Guru Nalom Siahaan, C.B. Tampubolon (Ompu Boksa II), Anton Hes Simbolon, M.T. Siregar, H. Baksa Napitupulu dan ahli hukum adat Prof. Mr. Herman Sihombing dari Universitas Andalas dari Puak Toba.
Seminar tersebut dipimpin oleh H. Djamaluddin Tambunan, R.P. Manurung, S.H. dan Bachtiar Ginting, dengan dibantu oleh Sadar Sibarani. Seminar berlangsung selama tiga hari dan berjalan dengan sukses. Di antara seluruh pembicara diperoleh kesepakatan bahwa seluruh puak mengakui bahwa adat dan budaya Batak berpola pada dalihan na tolu. Prinsip dalihan na tolu, yang pada puak Karo disebut sebagai sangkep sitelu, adalah satu pola adat yang hidup turun-temurun sejak leluhur orang Batak untuk mengatur tata pergaulan dan hubungan kekerabatan sehingga terikat dalam satu kesatuan.
Dalam pidato penutupan, H. Djamaluddin Tambunan, mantan gubernur Jambi, sambil menitikkan air mata berkata: “Baru pertama kali saya melihat suku Batak duduk secara bersama, berbicara tentang dirinya tanpa ada silang-selisih.” Dalam pertemuan tersebut tidak satu puak pun menolak keberadaan mereka sebagai keturunan Raja Batak dan menyangkal larangan kawin satu marga (dongan tubu atau dongan sabutuha), yang menjadi tiang utama dalihan na tolu. Artinya, keberadaan Raja Batak dan larangan kawin semarga ini diakui dan berlaku pada umunya bagi semua suku Batak.
Lalu, siapakah sesungguhnya Raja Batak itu? Dalam buku tarombo Batak, khususnya puak Toba, nama ini akan senantiasa ditemukan. Nama Raja Batak tetap berada di puncak sebagai leluhur puak Batak (Toba). Akan tetapi, apabila kita simak suatu skema indah yang diciptakan oleh O. H. Sihite Panderaja (1941) dalam bentuk pohon beringin (baringin tumbur jati), diperlihatkan bahwa kakek Raja Batak adalah Ompu Raja Ijolma dan anaknya adalah Raja Domia. Anak Raja Domia adalah Sori Mangaraja (Raja Batak). Sesudahnya, kita temukan nama Sisiak di Banua, lalu kembali muncul nama Sori Mangaraja. Setelah itu, di bawahnya ada nama Sinambeuk, yang anaknya kembali bernama Raja Batak.
Raja Batak yang merupakan anak Sinambeuk inilah yang digambarkan dalam setengah lingkaran dan mempunyai dua orang putera, yaitu Ompuntuan Doli dan Raja Sumba. Ompuntuan Doli berputera Guru Tatea Bulan, sedangkan Raja Sumba berputera Tuan Sori Mangaraja. Dalam skema itu terlihat bahwa Raja Batak yang pertama adalah Sori Mangaraja. Sebelum nama Raja Batak yang tercatat dalam tarombo sebagai leluhur orang Batak, masih ada nama Sori Mangaraja lain, yang merupakan kakek (ompung) Raja Batak. Begitu pula, dalam buku Pustaha Tumbaga Holing, karya Raja Patik Tampubolon, disebutkan bahwa masih ada lagi beberapa generasi di bawah Sori Mangaraja, barulah kemudian muncul nama Raja Batak sebagai leluhur puak Batak di Toba.
Jauh sebelum munculnya nama Raja Batak, telah ada nama Sori Mangaraja yang dikenal sebagai Raja Batak. Mengingat bahwa nama Sori Mangaraja sering disebut, hal itu menjadi petunjuk bahwa Sori Mangaraja bukanlah suatu nama, melainkan suatu gelar, sama halnya dengan gelar Raja Si Singamangaraja, yang digunakan oleh para penggantinya bahkan sampai 12 generasi. Berarti bahwa, dalam suatu periode tertentu, orang Batak pernah dipimpin oleh seorang raja dengan gelar Sori Mangaraja, jauh sebelum periode Raja Si Singamangaraja, yang diakui sebagai Raja Batak yang bermukim di Bakkara.
Di antara kedua periode ini, masih ada nama raja yang lain, walaupun tidak sebesar pendahulunya, yaitu Raja Hatorusan. Nama Raja Hatorusan muncul sebagai gelar putera sulung Gr Tateabulan. Hanya saja nama ini menjadi sebuah legenda karena konon sejak dia dilahirkan, mempunyai bentuk yang aneh-berupa segumpal daging-mempunyai mulut, mata dan telinga, akan tetapi tidak mempunyai kaki dan tangan. Karena tidak punya kaki dan tangan dia ibarat segumpal daging sehingga dia diberi nama raja Miok-miok atau raja Gumeleng-geleng.
Tidak puas dengan bentuk tubuhnya yang aneh, miok-miok atau gumeleng-geleng meminta kepada ibundanya untuk diantarkan ke puncak Dolok Pusuk Buhit untuk bertemu dengan maha pencipta-Mulajadi Nabolon. Setelah bertemu, Gumeleng-geleng meminta agar tubuhnya disempurnakan. Permintaannya dikabulkan, tetapi sayang berlebihan; bentuknya menjadi seperti bengkarung (kadal) dan diberi pula sepasang sayap. Konon, Mulajadi Nabolon membuat tampangnya seperti itu agar dia tidak bergaul dengan manusia yang penuh dengan dosa “karena engkaulah penerus sembah (hatorusan ni somba) kepadaku,” demikian Mulajadi Nabolon. Sejak saat itulah Gumeleng-geleng menyandang gelar Raja Hatorusan.
Akan tetapi bila kita merujuk sebuah korespondensi antara Raja Si Singamangaraja XII yang ditujukan kepada Toengkoe Ilir di Barus, raja tersebut masih menyebut Toengkoe Ilir sebagai Raja Hatorusan. Itu berarti setidaknya di Tanah Batak Utara, gelar yang melegenda ini masih hidup, sejak pertama sekali disandang oleh Gumeleng-geleng, dan kemudian diteruskan oleh para penggantinya baik Toengkoe Hulu sebagai gelar raja di Barus Hulu dan Toengkoe Ilir sebagai gelar raja di Barus Hilir. Perlu diketahui, kerajaan di Barus terbagi dua, sejak muculnya keturunan Sultan Ibrahim dari Pagarruyung di Barus. Untuk menghindarkan pertikaian, mereka sepakat membagi dua kerajaan tersebut yaitu Barus Hulu untuk mereka yang berketurunan Batak dan Barus Hilir untuk mereka yang berketurunan Minangkabau.
Sementara Raja Uti, menjadi raja na manjujung baringin na di Barus, dia oleh turunan Gr Tateabulan dijadikan tokoh mistis dan kemudian melegenda bahwa dia adalah tokoh yang tidak pernah mati karena dia dipercaya hatorusan ni somba tu Mulajadi Nabolon (jalan untuk menghaturkan sembah kepada maha pencipta).
Khusus tentang Raja Si Singamangaraja I, masih diperlukan penelitian yang mendalam: Mengapa keturunan bungsu (Raja Oloan¾Sinambela) dari Tuan Sorba Dibanua dapat diakui sebagai raja? Hal ini menjadi pertanyaan karena, dalam adat partuturon Batak (Hukum Adat Batak), putera bungsu menjadi raja i jolo bertentangan dengan hukum adat. Tulisan Adniel Lumbantobing yang berceritera tentang seorang ibu yang mandi di hutan (harangan sulu-sulu), lalu hamil dan melahirkan anak yang luar biasa, yang sarat dengan berbagai mitos dan dongeng, sulit diterima, apalagi untuk masa sekarang. Begitu pula rasa sayang kepada sang adik, seperti yang dilansir Ompu Buntilan dalam bukunya SEJARAH BATAK adalah cerita omong kosong. Pasti ada satu kejadian yang luar biasa yang menyebabkan putera si anak bungsu ini diakui sebagai raja. Karena sahala sihahaan (hak si anak sulung) sebagai raja i jolo, sampai saat ini masih kental dalam hidup orang Batak.
Lalu, bagaimanakah dengan keberadaan Raja Sori Mangaraja, yang namanya banyak disebut dalam buku tarombo? Namanya sering disebut, sementara cerita tentang dirinya tidak pernah ada. Itulah yang menyebabkan Raja Sori Mangaraja menjadi suatu misteri yang, apabila dapat dijawab, akan membuka tabir yang meliputi asal-muasal puak-puak Batak.
Kita yakin bahwa, pada zaman Tuan Sori Mangaraja, orang Batak masih bermukim di suatu tempat dan belum terbagi-bagi ke dalam beberapa puak. Di tempat ini mereka membangun sistem kemasyarakatan yang patrilineal. Untuk menjamin keutuhan sistem ini, dibentuk satu pola hubungan yang kita kenal dengan Dalihan Natolu. Pelanggaran atas pola ini, terutama yang menyangkut perkawinan dalam kelompok sendiri (sedarah) dapat menyebabkan seseorang si si pulpulon tu ruang batu, sitaha on tu ruang bulu, tidak ada tempat yang aman baginya, bahkan ke liang batu atau ke dalam ruang bambu. Kehidupan inilah yang mereka lakoni selama ratusan tahun.
Pasti ada suatu alasan mengapa mereka kemudian berpisah dan berada dalam jarak yang begitu berjauhan. Faktor jarak ini penyebab komunikasi mereka terputus, yang mengakibatkan mereka menjadi kelompok-kelompok yang berdiri sendiri-sendiri. Kelompok-kelompok ini mengembangkan diri dengan kebiasaan sendiri, namun dasar yang mengikat tata pergaulan tidak pernah berubah yaitu pola dasar dalihan na tolu.
No comments:
Post a Comment